Pages

Sabtu, 19 September 2015

Paradigma sumber ilmu






PARADIGMA SUMBER ILMU




A.    Definisi Pengetahuan
Secara etimologi pengetahuan berasal dari kata bahasa Inggris yaitu knowledge. Dijelaskan dalam Encyclopedia of Philosophy bahwa definisi pengetahuan adalah kepercayaan yang benar (knowledge is justified true belief)[1]
Secara terminologi dikemukakan beberapa definisi tentang pengetahuan. Menurut Sidi Gazalba, pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu. Pekerjaan tahu tersebut adalah hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti, dan pandai. Pengetahuan itu adalah semua milik atau isi pikiran.[2] Dengan demikian pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu.
Dalam kamus filsafat dijelaskan bahwa pengetahuan (knowledge) adalah proses kehidupan yang diketahui manusia secara lengsung dari kesadarannya sendiri. Dalam peristiwa ini yang mengetahui (subyek) memiliki yang diketahui (obyek) di dalam dirinya sendiri sedemikian aktif sehingga yang mengetahui itu menyusun yang diketahui pada dirinya sendiri dalam kesatuan aktif.[3]
Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa pengetahuan dalam arti luas berarti semua kehadiran internasional obyek dalam subyek. Namun dalam arti sempit dan berbeda dengan imajinasi atau pikiran belaka, pengetahuan hanya berarti putusan yang benar dan pasti (kebenaran, kepastian). Di sini subyek sadar akan hubungan obyek dengan eksistensi. Pada umumnya, adalah tepat kalau mengatakan pengetahuan hanya merupakan pengalaman “sadar”. Karena sangat sulit melihat bagaimana persisnya suatu pribadi dapat sadar akan satu eksisten tanpa kehadiran eksisten itu di dalam dirinya.[4]
Orang pragmatis, terutama John Dewey tidak membedakan pengetahuan dengan kebenaran (antara knowledge dengan truth). Jadi pengetahuan itu harus benar, kalau tidak benar adalah kontradiksi.[5]

1.     Jenis Pengetahuan
Beranjak  dari pengetahuan adalah kebenaran dan kebenaran adalah pengetahuan, maka di dalam kehidupan manusia dapat memiliki berbagai pengetahuan dan kebenaran. Buharnuddin Salam mengemukakan bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia ada empat, yaitu:
Pertama, pengetahuan biasa, yakni pengetahuan yang dalam filsafat dikatakan dengan istilah common sense, dan sering diartikan dengan good sense, karena seseorang memiliki sesuatu di mana ia menerima secara baik.
Dengan common sense, sampai pada keyakinan secara umum tentang sesuatu, di mana mereka akan berpendapat sama semuanya. Common sense dari pengalaman sehari-hari, seperti air dapat dipakai untuk menyiram bunga, makanan dapat mengenyangkan rasa lapar, musim kemarau akan mengeringkan sawah tadah hujan, dan sebagainya.[6]
Kedua, pengetahuan ilmu, yaitu ilmu sebagai terjemahan dari science. Dalam pengertian yang sempit science diartikan untuk menunjukkan pengetahuan alam, yang sifatnya kuantitatif dan obyektif.[7]
Ilmu pada prinsipnya merupakan usaha untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan common science, suatu pengetahuan yang berasal dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, dilanjutkan dengan suatu pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode.
Ilmu dapat merupakan suatu metode berpikir secara obyektif (obyektif thingking), tujuannya untuk menggambarkan dan memberi makna terhadap dunia faktual. Pengetahuan yang diperoleh dengan ilmu, diperolehnya melelui observasi, eksperimen, klasifikasi. Analisis ilmu itu obyektif dan menyampingkan unsur pribadi, pemikiran logika diutamakan, netral dalam arti tidak dipengaruhi oleh sesuatu yang bersifat kedirian (subyektif), karena dimulai dengan fakta. Ilmu merupakan milik manusia secara komprehensif. Ilmu merupakan lukisan dan keterangan yang lengkap dan konsisten mengenai hal-hal yang dipelajarinya dalam ruang dan waktu sejauh jangkauan logika dan dapat diamati pancaindera manusia.
Ketiga, pengeathuan filsafat, yakni pemikiran yang diperoleh yang bersifat kontemplatif dan spekulatif. Pengetahuan filsafat lebih menekankan pada universitas dan kedalaman kajian tentang sesuatu. Kalau ilmu hanya pada satu bidang pengetahuan yang sempit dan rigid, filsafat membahas hal yang lebih luas dan mendalam. Filsafat biasanya memberikan pengetahuan yang reflektif dan kritis, sehingga ilmu yang tadinya kaku dan cenderung tertutup menjadi longgar kembali.
  Keempat, pengetahuan agama, yakni pengetahuan yang hanya dipertoleh dari Tuhan lewat para Rasul-Nya. Pengetahuan agama bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh para pemeluk agama. Pengetahuan mengandung beberapa hal yang pokok, yaitu ajaran tentang cara berhubungan dengan Tuhan, yang sering juga disebut dengan hubungan vertical dan cara hubungan dengan sesama manusia, yang lazim juga disebut dengan hubungan horizontal. Pengetahuan agama yang lebih penting informasi tentang Tuhan, juga informasi tentang hari akhir (Akhirat). Iman kepada hari akhirat merupakan ajaran pokok agama dan sekaligus merupakan ajaran yang membuat manusia optimis akan masa depannya. Menurut para pengamat, agama masih bertahan sampai sekarang karena adanya doktrin tentang hidup setelah mati karenanya masih dibutuhkan.
  Mengelaborasi jenis-jenis pengetahuan yang telah dikemukakan oleh Buharnuddin Salam, maka penulis memahami bahwa pengetahuan menurut jenisnya ada empat, yaitu pengetahuan biasa, pengetahuan ilmu, pengetahuan filsafat, pengetahuan agama.



 















2.     Perbedaan Pengetahuan dengan Ilmu
Mengelaborasi sejumlah pengertian yang dikemu-kakan para ilmuan, sering ditemukan kerancuan antara pengertian pengetahuan dan ilmu. Kedua kata tersebut dianggap memiliki persamaan arti, bahkan ilmu dan pengetahuan terkadang dirangkum menjadi kata mejemuk yang mengandung arti tersendiri. Hal ini sering kita jumpai dalam berbagai tulisan yang membicarakan tentang ilmu pengetahuan. Namun jika kedua kata itu berdidri sendiri-sendiri, akan tampak perbedaan antara keduanya.[8]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Ilmu disamakan artinya dengan pengetahuan, ilmu adalah pengetahuan.[9] Dari asal katanya, dapat diketahui bahwa pengetahuan diambil dari kata dalam bahasa Inggris yaitu knowledge, sedangkan ilmu diambil dari kata science dan peralihan dari bahasa Arab ilm.[10]
Beberapa definisi yang telah disebutkan sebelumnya, pada definisi berikut pun tidak jauh berbeda, pengetahuan merupakan hasil tahu manusia terhadap sesuatu, atau segala perbuatan manusia untuk memahami suatu obyek tertentu. Perbedaan dapat berwujud barang-barang fisik, pemahamannya dilakukan dengan cara persepsi baik lewat indara maupun lewat akal, dapat pula obyek yang dipahami oleh manusia berbentuk ideal atau yang bersangkutan dengan masalah kejiwaan.[11]
Upaya dalam memperjelas pemahaman, perlu juga dibedakan antara pengetahuan yang sifatnya prailmiah.
Dengan pengetahuan ilmiah. Pengetahuan yang bersifat prailmiah ialah pengetahuan yang belum memenuhi syarat-syarat ilmiah pada umumnya. Sebaliknya, pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang harus memenuhi syarat-syarat ilmiah. Pengetahuan pertama disebut pengetahuan biasa, pengetahuan kedua disebut disebut pengetahuan ilmiah.[12]
       Adapun syarat-syarat yang dimiliki oleh pengetahuan ilmiah adalah: harus memiliki obyek tertentu (formal dan material) dan harus bersistem (harus runtut). Di samping pengetahuan ilmiah harus memiliki metode tertentu dengan sifatnya yang umum. Metode itu meliputi metode deduksi, induksi, dan analisis.[13]
       Setelah dikemukakan beberapa pengertian pengeta-huan, selanjutnya dikemukakan beberapa pengertian ilmu sebagai bahan perbandingan. Dalam Encyclopedia Americana, dijelaskan bahwa ilmu (science) adalah pengetahuan yang bersiaft positif dan sistematis.[14]
       The Liang Gie mengutip Paul Freedman dari buku The Principles of Sciencetific Research memberi batasan ilmu sebagai berikut:
Ilmu adalah suatu bentuk aktiva manusia yang dengan melakukannya umat manusia memperoleh suatu pengetahuan dan senantiasa lebih lengkap dan lebih cermat tentang alam di masa lampau, sekarang dan kemudian hari, serta suatu kemampuan yang meningkat untuk menyesuaikan dirinya pada dan mengubah sifat-sifatnya sendiri.[15]
Carles Siregar merumuskan, ilmu adalah proses yang membuat pengetahuan.[16] Dalam arti umum , ilmu sering dijadikan pembeda, umpamanya untuk membedakan antara disiplin Ilmu Pengetahuan Alam Sementara itu, Jujun dalam buku Ilmu dalam Perspektif menulis: “…ilmu lebih bersifat merupakan kegiatan daripada sekedar produk yang siap dikonsumsikan.[17]
Perbedaan antara ilmu dengan pengetahuan dapat ditelusuri dengan melihat perbedaan ciri-cirinya. Herbert L. Searles memperlihatkan ciri-ciri tersebut sebagai berikut:“Kalau ilmu berbeda dengan filsafat berdasarkan empiris, maka ilmu berbeda dari pengetahuan biasa karena cirri sistematisnya”.[18]
Berdasarkan sejumlah keterangan di atas, dapat disim-pulkan bahwa pada dasarnya pengetahuan berbeda dengan ilmu. Perbedaan itu terlihat dari sifat sistematik dan cara memperolehnya. Perbedaan tersebut menyangkut pengetahuan prailmiah atau pengetahuan biasa, sedangkan pengetahuan ilmiah dengan ilmu tidak mempunyai perbedaan yang berarti.
Dalam perkembangannya lebih lanjut di Indonesia, pengetahuan disamakan dengan artinya dengan ilmu. Hal ini dapat dilihat dari pendapat-pendapat berikut: Kata ilmu berasal dari bahasa Arab ‘alima (ia telah mengetahui). Kata jadian ilmu berarti pengetahuan.[19]
Berdasarkan  uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam bahasa, pengetahuan dan ilmu bersinonim arti, sedang dalam arti material, keduanya mempunyai perbedaan.

B.     Hakikat dan Sumber Pengetahuan
          Pengetahuan berkembang dari rasa ingin tahu, yang merupakan ciri khas manusia karena manusia adalah satu-satunya makhluk yang mengembangkan pengetahuan secara bersungguh-sungguh. Binatang juga mempunyai pengetahuan, namun pengetahuan itu terbatas hanya untuk kelangsungan hidupnya (survival).
      Manusia mengembangkan pengetahuannya untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhan hidup ini. Manusia memikirkan hal-hal baru, karena ia hidup bukan sekedar untuk kelangsungan hidup, namun lebih dari itu. Manusia mengembangkan kebudayaan, manusia member makna kepada kehidupan, “manusia memanusiakan diri dalam hidupnya” dan masih banyak lagi pernyataan semacanm ini, semua itu hakikatnya menyimpulkan bahwa manusia dalam hidupnya mempunyai tujuan tertentu dalam hidupnya yang lebih tinggi dari sekedar kelangsungan hidupnya. Inilah yang menyebabkan manusia mengem-bangkan pengetahuannya dan pengetahuan ini jugalah yang mendorong mangusai mahluk yang bersifat khas di muka bumi ini.
          Pengetahuan  ini mampu dikembangkan manusia yang disebabkan dua hal utama, yakni (1) manusia mempunyai bahasa yang mampu mengomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut. (2) yang menyebabkan mampu mengembangkan pengetahuannya dengan cepat dan mantap adalah kemampuan berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu.[20]
          Pada pembahasan ini penulis menjelaskan tentang hakikat pengetahuan yang meliputi apa itu pengetahuan dan bagaimana memperoleh pengetahuan tersebut dan hal ini juga merupakan bagian dari kajian filsafat pengetahuan atau epistemologi.

1.     Hakikat Pengetahuan
          Pengetahuan pada dasarnya keadaan mental (mental state). Mengetahui sesuatu adalah menyusun pendapat tentang suatu obyek, dengan kata lain menyusun gambaran tentang fakta yang ada di luar akal. Persoalannya kemudian adalah apakah gambaran itu sesuai dengan fakta atau tidak? Apahak gambaran itu benar? Atau apakah gambaran itu dekat pada kebenaran atau atau jauh dari kebenaran?
          Teori yang popular untuk mengetahui hakikat pengetahuan adalah:
a.    Teori Realisme
          Teori ini mempunyai pandangan realistis terhadap alam. Pengetahuan menurut realism adalah gambaran atau copy yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata (dari fakta atau hakikat). Pengetahuan atau gambaran yang ada dalam akal adalah copy dari yang asli yang ada di luar akal. Hal ini tidak ubahnya seperti gambaran yang terdapat dalam foto. Dengan demikian , realism berpendapat bahwa pengetahuan adalah benar dan tepat bila sesuai dengan kenyataan.[21]
          Ajaran realism percaya bahwa dengan sesuatu atau lain cara, ada hal-hal yang hanya terdapat di dalam dan tentang dirinya sendiri, serta yang hakikatnya tidak terpengaruh oleh seseorang. Contohnya, fakta menunjukkan, suatu meja tetap sebagaimana adanya, kendati tidak ada orang di dalam ruangan itu yang menengkapnya. Jadi meja itu tidak tergantung kepada gagasan kita mengenainya, tetapi tergantung pada meja tersebut.[22]
          Para pengamut relisme mengekaui bahwa seseorang biasa salah lihat pada benda-benda atau dia melihat terpengaruh oleh keadaan sekelilingnya. Namun, mereka paham ada benda yang dianggap mempunyai wujud tersendiri, ada benda yang tetap kendati diamati. Menurut Rasjidi, penganut agama perlu sekali mempelajari realism dengan alasan:
1.    Dengan menjelaskan kesulitan-kesulitan yang terdapat dalam pikiran. Kesulitan pikiran tersebut adalah pendapat yang mengatakan bahwa tiap-tiap kejadian dapat diketahui hanya dari segi subyektif. Menurut Rasjidi, pernyataan itu tidak benar sebab adanya faktor subyektif bukan berarti bukan menolak factor obyektif. Kalau seseorang melihat sebatang pohon, tentu pohon itu memang yang dilihat oleh subyektif. Namun, hal ini tidak berarti meniadakan pohon yang mempunyai wujud tersendiri. Begitu juga ketika berdoa kepada Tuhan, bukan berarti Tuhan itu hanya terdapat dalam pikiran. Tetapi Tuhan mempunyai wujud tersendiri.
2.    Dengan jalan memberi pertimbangan-pertimbangan yang positif, menurut Rasjidi, umumnya orang beranggapan bahwa tiap-tiap benda mempunyai satu sebab. Contohnya, apa yang menyebabkan Ahmad sakit. Biasanya kita puas ketika kita dijawab karena kuman. Sebenarnya, sebab sakit itu banyak karena ada orang yang tersarang kuman dalam tubuhnya, tetapi dia tidak sakit. Dengan demikian, penyakit si Ahmad mungkin disebabkan keadaan badannya, iklim dan sebagainya. Prinsip semacam ini, menurut Rasjidi bisa digunakan untuk mempelajari agama karena adanya perasaan yang subyektif tidak berarti tidak adanya keadaan yang obyektif.[23]
b.    Teori Idealisme
     Ajaran idealisme menegaskan bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang benar-benar sesuai dengan kenyataan adalah mustahil. Pengetahuan adalah proses-proses mental atau proses psikologis yang bersifat subyektif. Oleh karena itu, pengetahuan bagi seorang idealis hanya merupakan gambaran subyektif dan bukan gambaran obyektif tentang realitas.
     Subyektif dipandang sebagai suatu yang mengetahui, yaitu dari orang yang membuat gambaran tersebut. Karena itu, pengetahuan menurut idealism tidak menggambarkan hakikat kebenaran. Akan tetapi yang diberikan kebenaran hanyalah gambaran menurut pendapat atau penglihatan orang yang mengetahui (subyek).[24]
     Kalau realisme mempertajam perbedaan antara yang mengetahui dan yang diketahui, idealisme adalah sebaliknya. Bagi idealisme, dunia dan bagian-bagiannya harus dipandang sebagai hal-hal yang mempunyai hubungan seperti organ tubuh dengan bagian-bagiannya. Dunia merupakan suatu kebulatan bukan kesatuan mekanik, tetapi kebulatan organic yang sesungguhnya yang sedemikian rupa, sehingga suatu bagian darinya dipandang sebagai kebulatan logis, dengan makna inti yang terdalam.
     Premis pokok yang diajukan oleh idealism adalah jiwa mempunyai kedudukan utama dalam alam semesta. Idealisme tidak menginkari adanya materi, namun materi adalah suatu gagasan yang tidak jelas dan bukan hakikat. Sebab, seseorang yang akan memikirkan materi dalam hakikatnya yang terdalam, dia harus memikir ruh atau akal. Jika seseorang ingin mengetahui apakah sesungguhnya materi itu, dia harus meneliti apakah pikiran itu, apakah nilai itu, dan apakah akal budi itu, bukannya apakah materi itu.[25]
     Sebenarnya realism dan idealism memiliki kelemahan tertentu. Realisme ekstrim bisa sampai pada monism materealistik atau dualism. Seorang pengikut materialisme mengatakan jika demikian halnya, sudah barang tentu dapat juga dikatakan bahwa jiwa adalah materi dan materi adalah jiwa, bahkan jiwa dan materi sepenuhnya sama. Lebih lanjut, realisme tidak mementingkan subyek sebagai penilai, tetapi hanya memfokuskan pada obyek yang dinilai. Padahal, subyek yang menilai memeliki pesan penting dalam menghubungkan antar obyek dengan ungkapan tentang obyek tersebut.
     Idealisme subyektif juga akan menimbulkan kebenaran yang relative karena setiap individu berhak untuk menolak kebenaran yang bersifat universal tidak diakui. Kalau demikian jadinya, aturan-aturan agama dan kemasyarakatan hanya bisa benar untuk kelompok tertentu dan tidak berlaku bagi kelompok lain. Lagi pula, idealisme terlalu menutamakan subyek sebagai si penilai dengan merendahkan obyek yang dinilai. Sebab, subyek yang menilai kadangkala berada pada keadaan yang  berubah-ubah, sepertti sedang marah dan gembira.
2.  Sumber Pengetahuan
          Semua orang mengakui memiliki pengetahuan. Persoalannya dari mana pengetahuan itu diperoleh atau lewat apa pengetahuan itu didapat. Dari situ timbul pertanyaan bagaimana caranya kita memperoleh pengetahuan atau dari mana sumber pengetahuan kita? Pengetahuan yang ada pada kita diperoleh dengan menggunakan berbagai instrument atau alat yang merupakan sumber pengetahuan tersebut. Dalam hal ini ada beberapa pendapat tentang sumber pengetahuan antara lain:
a.    Empirisme
       Kata ini berasal dari kata Yunani empeirikos, artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. Dan bila dikembalikan kepada bahasa Yunani, pengalaman yang dimaksud ialah pengalaman inderawi.[26]
       Dengan indranya, manusia dapat mengatasi taraf hubungan yang semata-mata fisik dan masuk ke dalam medan intensional, manusia dengan hal-hal konkret-material.
       Pengetahuan inderawi bersifat parsial. Itu disebabkan oleh adanya perbedaan antara indera yang satu dengan yang lainnya, berhubungan dengan sifat khas fisiologis indera dan dengan obyek yang dapat ditangkap sesuai dengannya. Masing-masing indera menangkap aspek yang berbeda mengenai barang atau mahluk yang menjadi obyeknya. Jadi pengetahuan inderawi berada menurut perbedaan indera dan terbatas pada sensibilitas organ-organ tertentu.[27]
       Hal ini dapat dilihat bila kita memperhatikan pertanyaan seperti: Bagaimana orang mengetahui e situ dingin? Seorang empiris akan mengatakan, karena saya merasakan hal itu, atau karena seorang ilmuan telah merasakan seperti itu. Dalam pertanyaan tersebut ada tiga unsure yang perlu, yang mengetahui (subyek), yang diketahui (obyek), dan cara dia mengetahui bahwa es itu dingin. Bagaimana dia mengetahui e situ dingin? Dengan menyentuh langsung lewat alat peraba. Dengan kata lain, seorang empiris akan mengatakan bahwa pengetahuan itu diperoleh lewat pengalaman-pengalaman inderawi yang sesuai.[28]
       John Locke (1632-1704), bapak empiris Britania mengemukakan teori tabula rasa (sejenis buku catatan kosong). Maksud ialah bahwa manusia itu pada mulanya kososng dari pengetahuan, lantas pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu, lantas dia memiliki pengetahuan. Mula-mula tangkapan indera yang masuk itu sederhana, lama-kelamaan menjadi kompleks, lalu tersusunlah pengetahuan berarti. Jadi, bagaimanapun  kompleks pengetahuan manusia, ia selalu dapat dicari ujungnya pada pengalaman indera. Sesuatu yang tidak dapat diamati dengan indera bukanlah pengetahuan yang benar. Jadi pengalaman indera itulah sumber pengetahuan yang benar.[29]
       David Hume, salah satu tokoh empirisme mengatakan manusia tidak membawa pengetahuan bawaan dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberi dua hal, yaitu kesan-kesan (impressions) dan kesan-kesan adalah pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman, merasakan tangan terbakar. Yang dimaksud dengan ide gambaran tentang pengamatan yang sama-samar yang dihasilkan dengan merenungkan kembali atau terefleksikan dalam kesan-kesan yang diterima dari pengalaman.[30]
       David Hume juga lebih menegaskan pengalaman lebih memberi keyakinan dibandingkan kesimpulan logika atau kemestian sebab akibat. Sebab akibat hanya hubungan yang saling berurutan saja dan secara konstan terjadi, seperti membuat air mendidih, padahal dalam api tidak dapat diamati adanya “daya aktif” yang mendidihkan air. Jadi itu bukalah yang diamati. Bukan hal yang dapat dilihat dengan mata sebagai berada dalam “air” yang direbus.[31] Jadi, gejala-gejala alamiah menurut anggapan kaum empiris adalah bersifat konkret dan dapat dinyatakan lewat pancaindera.
       Gejala itu bila ditelaah lebih lanjut mempunyai beberapa karakteristik tertentu umpamanya saja terdapat pola yang teratur mengetnai suatu kejadian tertentu. Seperti langit mendung diikuti dengan turunnya hujan. Di samping itu kita melihat adanya karakteristik lain, yakni adanya kesamaan dan pengulangan, umpamanya saja bermacam-macam logam jika dipanaskan akan memanjang. Hal ini meyakinkan kita untuk melakukan sesuatu generalisasi dari berbagai kasus yang telah terjadi. Dengan menggunakan metode induktif, maka disusun suatu pengetahuan yang berlaku secara umum lewat pengamatan terhadap gejala-gejala fisik yang bersifat individual.[32]
       Berdasarkan teori ini, akal hanya mengelola konsep gagasan inderawi. Hal itu dilakukannya dengan menyusun konsep tersebut atau membagi-bagikannya.[33]
       Kaum empiris juga menganggap akal sebagai sejenis tempat penampungan yang secara pasif menerima hasil-hasil pengindraan tersebut. Akal berfungsi untuk memastikan hubungan urutan-urutan peristiwa tersebut padahal hubungan yang demikian itu bersifat kemungkinan belaka dan pengetahuan kita tentang hubungan peristiwa tersebut sesungguhnya berasal dari pengalaman. Karena itu, semua ekperimen selajutnya seharusnya berdasarkan pada perkiraan, bukan kepastian bahwa peristiwa yang akan dating kemungkinan cocok dengan yang lewat.
       Jadi dalam empirisme, sumber utama untuk memperoleh pengetahuan adalah data empiris yang diperoleh dari pancaindera. Akal tidak berfungsi banyak, kalaupun ada, itu hanya sebatas ide yang kabur.[34]
       Kelemahan-kelemahan aliran empirisme, antara lain:[35]
1.    Indera (mata) itu terbatas, benda yang jauh kelihan kecil, apakah ia benar-benar kecil? Ternyata tidak. Keterbatasan indralah menggambarkan seperti itu. Dalam ini terbentuk pengetahuan yang salah.
2.    Indara (lidah) itu menipu, pada orang yang sakit malaria gula rasanya pahit, udara akan terasa dingin. Dalam hal ini akan terbentuk pengetahuan yang salah.
3.    Obyek yang menipu, contohnya fatamorgana dan ilusi. Jadi obyek itu sebenarnya tidak sebagaimana ia ditangkap oleh indera (indra), ia membohongi indera.
4.    Berasal dari indera dan obyek sekaligus. Dalam hal ini, indera (mata) tidak mampu melihat seekor gajah secara keseluruhan, dan gajah itu juga tidak dapat memper-lihatkan badannya secara keseluruhan. Kesimpulannya, empirisme lemah karena keterbatasan indera manusia.
b.   Rasionalisme
       Menurut aliran ini, akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia memperoleh pengetahuan melalui kegiatan menangkap obyek.
  Bagi aliran ini kekeliruan pada aliran empirisme yang disebabkan kelemahan alat indera dapat dikoreksi, seandainya akal digunakan. Rasionalisme tidak mengingkari kegunaan indera dalam memperoleh pengetahuan. Penga-malan indera diperlukan untuk merangsang akal dan memberikan bahan-bahan yang menyebabkan akal dapat bekerja, tetapi sampainya kepada manusia kepada kebenaran adalah semata-mata akal.
  Laporan indera menurut rasionalisme merupakan bahan yang belum jelas, bahkan ini memungkinkan dipertim-bangkan oleh akal dalam pengalaman berpikir. Akan mengatur bahan tersebut sehingga dapatlah terbentuk pengetahuan yang benar. Jadi fungsi pancaindera hanyalah untuk memperoleh data-data dari alam nyata dan akalnya menghubungkan data-data itu satu dengan yang lain.
  Dalam penyusunan ini akal menggunakan konsep-konsep rasional atau ide-ide universal. Konsep tersebut mempunyai wujud dalam alam nyata dan bersifat universal, dan yang dimaksud dengan prinsip-prinsip universal adalah abteaksi dari benda-benda konkret, hukum kausalitas atau gambaran umum tentang kursi. Sebaliknya, bagi empirisme hukum tersebut tidak diakui.[36]
  Pada penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak dalam ide dan bukunya dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk keapada kenyataan, kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.[37]
  Akal, selain bekerja karena ada bahan dari indera, juga akal menghasilkan pengetahuan yang tidak berdasarkan bahan inderawi sama sekali, jadi akal juga dapat menghasilkan pengetahuan tentang obyek yang betul-betul abstrak.
  Descartes, seorang pelopor rasionalisme berusaha menemukan kebenaran itu, menurutnya ia tidak ragu bahwa ia ragu. Ia yakin kebenaran-kebenaran semacam itu ada dan kebenaran tersebut dikenal dengan cahaya yang terang dari akal budi sebagai hal-hal yang tidak dapat diragukan. Dengan demikian akal budi dipahamkan sebagai sejenis perantara suatu teknik deduktif yang dengan memakai teknik tersebut dapat ditemukan kebenaran, artinya dengan melakukan penalaran yang akhirnya tersusunlah pengetahuan.[38]
  Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide-ide yang menurut anggapannya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukanlah ciptaan manusia. Prinsip itu sudah jauh sebelum manusia berusaha memikirkannya. Fungsi pikiran manusia di sini hanya untuk mengenali prinsip-prinsip tersebut kemudian menjadi pengetahuannya. Prinsip itu sendiri adah ada dan bersifat a priori dan dapat diketahui oleh manusia lewat kemampuan berpikir rasionalnya dan dengan mengetahui prinsip itulah maka kita dapat mengerti kejadian-kejadian yang berlaku dalam alam sekitar kita.[39]
  Spinoza memberikan penjelasan yang lebih mudah dengan mnyusun sistem rasionalisme atas dasar ilmu ukur. Menurutnya dalil ilmu ukur merupakan dalil kebenaran yang tidak perlu dibuktikan lagi. Artinya, Spinoza yakin jika memehami makna yang terkandung oleh pernyataan, “sebuah garis lurus merupakan jarak terdekat di antara dua buah titik”. Maka seseorang mau tidak mau mengakui kebenaran pernyataan itu. Menurutnya tidak perlu ada bukti-bukti yang lain kecuali makna yang terkandung kata-kata yang digunakan.[40]
       Teori rasionalisme juga mempunyai kelemahan, seperti mengenai criteria untuk mengetahui akan kebenaran dari suatu ide yang memenurut seseorang adalah jelas dan dapat dipercaya tetapi menurut orang lain tidak. Jadi masalah utama yang dihadapi kaum rasionalisme adalah evaluasi dari kebenaran premis-premis ini semuanya bersumber pada penalaran induktif, karena premis-premis ini semuanya bersumber pada penalaran rasional yang bersifat abstrak. Terbatas dari pengalaman maka evaluasi semacam ini tidak dapat dilakukan.[41]
  Dari dua aliran empirisme dan rasionalisme terlahirlah metode ilmiah atau pengetahuan sains. Dalam hal ini pancaindera mengumpulkan data-data, sedangkan akal menyimpulkan berdasarkan pada prinsip-prinsip  universal, yang kemudian disebut universal. Tapi kebenaran yang model ini bukan kebenaran mutlak, tapi kebenaran yang dekat pada hakikat, yaitu menurut kesanggupan tertinggi dari akal dalam mendekati hakikat itu.
  Namun teori ini pun mengalami kesulitan, karena data-data yang ada di alam tidak semuanya dapat dikumpulkan karena alam tersebut terlalu besar, dan yang dapat disimpulkan hanya sebagian dari data-data yang ada dan itupun yang telah terjadi. Oleh karena itu, pengetahuan yang diperoleh belum sempurna, karena data-data yang dikumpulkan tidak sempurna.[42]
  Adanya problem pada empirisme dan rasionalisme yang mengahsilkan metode ilmiah melahirkan aliran positivisme oleh Agust Comte dan Imanuel Kant. Agust Comte berpendapat bahwa indera itu amat penting dalam memperoleh ilmu pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan ekperimen.
  Kekeliruan indera dapat dikoreksi lewat ekperimen dan ekperimen itu sendiri memerlukan ukuran-ukuran yang jelas seperti panas diukur dengan derajat panas, jauh diukur dengan meteran, dan lain sebagainya. Kita tidak cukup mengatakan api itu panas atau matahari panas, kita juga tidak cukup mengatakan panas sekali, panas, dan tidak panas. Kita memerlukan ukuran yang teliti. Dari sinilsh kemajuan sains benar-benar dimulai. Kebenaran diperoleh dengan akal dengan didukung bukti-bukti empiris yang terukur.
  Dalam hal ini Kant juga menekankan pentingnya meneliti lebih lanjut terhadap apa yang telah dihasilkan oleh indera dengan datanya dan dilanjutkan oleh akal dengan melakukan penelitian yang lebih mendalam. Ia mencotohkan bagaimana kita dapat menyimpulkan kalau kuman tikus menyebabkan demam tipus tanpa penelitian yang mendalam dan ekperimen. Dari penelitian tersebut seseorang dapat mengambil kesimpulan bahwa ada hubungan sebab akibat antara kuman tipus dan demam tipus.
  Pada dasarnya aliran ini (yang diuraikan oleh  Agust Comte dan Imanuel Kant) bukanlah suatu aliran khas yang berdiri sendiri, tetapi ia hanya menyempurnakan empirisme dan rasionalisme yang bekerja sama dengan memasukkan perlunya ekperimen dan ukuran-ukuran.
c.    Intuisi
       Menurut Henry Bergson intuisi adalah hasil dari evolusi pemahaman yang tertinggi. Kemampuan ini mirip dengan insting, tetapi berbeda dengan kesadaran dan kebebasannya. Pengembangan kemampuan intuisi memerlukan suatu usaha.[43] Ia juga mengatakan bahwa intuisi adalah suatu pengetahuan yang langsung, yang mutlak dan bukan dan bukan pengetahuan yang nisbi.[44]
       Menurutnya, intuisi mengatasi sifat lahiriyah pengetahuan simpbolis, yang ada dasarnya bersifat analisis, menyeluruh, mutlak, dan tanpa dibantu oleh penggambaran secara simbolis. Karena itu, in.tuisi adalah sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Analisis atau pengetahuan yang diperoleh lewat pelukisan tidak dapat menggantikan hasil pengenalan intuisi.[45]
       Intuisi berasal dari personal dan tidak bisa diramalkan. Sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan secara teratur, intuisi tidak dapat diandalkan.[46]
       Pengetahuan intuisi dapat dipergunakan sebagai hipotesa bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar tidaknya pernyataan yang dikemukakan. Kegiatan intuisi dan analisis bisa bekerja saling membantu dalam menemukan kebenaran. Bagi Nietzchen intuisi merupakan “intlegensi yang paling tinggi” dan bagi Maslow intuisi merupakan “pengalaman puncak” (peak experience).[47]
       Ada sebuah isme lagi yang barangkali mirip dengan intiusionisme, yaitu iluminasionisme. Aliran ini berkem-bang di kalangan tokoh agama, yang di dalam agama Islam disebut Ma’rifat, yaitu pengetahuan yang datang dari Tuhan melalui pencerahan dan penyinaran.[48] Pengetahuan tersebut akan diperoleh oleh orang yang hatinya telah bersih, telah siap, dan sanggup menerima pengetahuan tersebut.
       Pengetahuan menerima pengetahuan secara langsung itu diperoleh dengan cara latihan, yang dalam Islam disebut Riyadhah. Metode ini secara umum dipakai dalam thariqat atau tasawuf. Konon, kemampuan orang-orang itu sampai bisa melihat Tuhan, berbincang dengan Tuhan, melihat surge, neraka, dan alam gaib lainnya. Dari kemampuan ini dapat dipahami bahwa mereka tentu mempunyai pengetahuan tingkat tinggi yang banyak sekali dan meyakinkan pengetahuan itu diperoleh bukan lewat indera dan bukan lewat akal, melainkan lewat hati.[49]
       Menurut ajaran tasawuf, manusia itu dipengaruhi (ditutupi) oleh hal-hal material, dipengaruhi oleh nafsunya. Bila nafsu dikendalikan, dan penghalang material (hijab) dapat disingkirkan, kekuatan rasa itu mampu bekerja, mampu menengkap obyek-obyek gaib. Di dalam tasawuf ini digambarkan sebagai dalam keadaan fana, jiwa mampu melihat alam gaib, dari situlah diperoleh pengetahuan.
       Adapun perbedaan antara intuisi dalam filsafat Barat dengan ma’rifat dalam Islam adalah kalau intuisi diperoleh lewat perenungan dan pemikiran yang konsisten, sedang-kan dalam Islam ma’rifat diperoleh lewat perenungan dan penyinaran dari Tuhan.[50]
       Pengetahuan dengan pencerahan ini dapat dianggap sebagai sumber pengetahuan. Sebab, jika pengetahuan korespondensi melibatkan obyek di luar dirinya, maka pengetahuan dengan pencerahan menyadarkan bahwa pengetahuan yang di luar harus didahului dengan pengeta-huan tentang dirinya sendiri.
d.    Wahyu     
       Wahyu adalah pengetahuan yang disampaikan oleh Allah kepada manusia lewat perantaraan para Nabi. Para Nabi memperoleh pengetahuan dari Tuhan tanpa upaya, tanpa bersusah payah, tanpa memerlukan waktu untuk memperolehnya. Pengetahuan mereka terjadi atas kehendak Tuhan semesta. Tuhan mensucikan jiwa mereka dan diterangkan-Nya pula jiwa mereka untuk memperoleh kebenaran dengan jalan wahyu.
       Pengetahuan dengan jalan wahyu merupkan kekhu- susan para Nabi. Hal ini yang membedakan mereka dengan manusia-manusia lainnya. Akal meyakinkan bahwa kebenaran pengetahuan mereka berasal dari Tuhan, karena pengetahuan itu memeng ada pada saat manusia biasa tidak mampu nmengusahakannya, karena hal itu memeng di luar kemempuan manusia. Bagi manusia tidak jalan lain kecuali menerima dan membenarkan semua yang berasal dari Nabi.[51]
       Wahyu Allah (agama) berisikan pengetahuan, baik mengeanai kehidupan seseorang yang terjangkau oleh pengalaman, maupun yang mencakup masalah transe-dental, seperti latar belakang dan tujuan penciptaan manusia, dunia, dan segenap isinya serta kehidupan di akhirat nanti.[52]
       Kepercayaan inilah yang merupakan titik tolak dalam agama lewat pengkajian selanjutnya dapat meningkatkan atau menurunkan kepercayaan itu. Sedangkan ilmu pengetahuan sebaliknya, yaitu dimulai mengkaji dengan riset, pengalaman, dan percobaan untuk sampai kepada kebenaran yang faktual.
       Apabila mencermati secara mendalam tentang sumber ilmu sebagaimana telah diuraikan pada Bab ini, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa sumber pengetahuan ada dua pandangan, yaitu: (1) ada yang menyatakan sumber pengetahuan adalah manusia, dan (2) ada yang menyatakan, satu-satunya sumber pengetahuan adalah Tuhan (Allah). Pandangan pertama dikategorikan sebagai berpikir sekuler, sedangkan pandangan kedua dikate-gorikan sebagai berpikir Islami, hal itu didasarkan pada identifikasi karakteristik atau cirri-ciri berpikirnya.



         [1]Lihat Paul Edwards, The Encyclopedia of Philosophy, (New York: Macmillan Publishing, 1972) vol 3.
         [2]Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), Cet. I, h. 4.
         [3]Loren Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), Cet. 1 h. 803.
         [4]Ibid., h. 804.
         [5]Burhanuddin Salam, Logika Materiil, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), Cet. 1 h. 28.
         [6]Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, (Jakarta Bumi Aksara. 2000), Cet. IV, h. 6.
         [7]Burhanuddin Salam, op. cit., h. 30.
         [8]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: RajaGrafindo, 2004), Cet. IX, h. 89.
         [9]Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 20002).
         [10] Miska Muhammad Amin, Epistemologi Islam, Jakarta UI Press, 1983), h. 3.
         [11]Ibid., h. 4
         [12]Amsal Bakhtiar, op. cit., h. 90.
         [13]Ibid., h. 4.
         [14]Encyclopedia Americana, (USA: Amerika Co., 1972), vol. 24, h. 413.
         [15]The Liang Gie, Pekerjaan Umum, Keinsinyuran, dan Administrasi Pemerintahan, (Yogyakarta: Karya Kencana, 1977), h. 163-164.
         [16]Ibid.
         [17]Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, (Jakarta: PT. Grame-dia, 1981), h. 9.
         [18] The Liang Gie,  op. cit., h. 168.
         [19]Sidi Gazalba, Islam Integrasi Ilmu dan Kebudayaan, (Jakarta: Tinta Mas,1967), h. 2.



         [20]Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998), cet. II, h. 40.
         [21]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, op. cit., h. 94
         [22]Lois O. Kattsoft, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), cet. VII, h. 114.
         [23]Lihat Rasjidi (ED), Filsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), cet. IX, h. 17.
         [24]Amsal Bakhtiar, op. cit., h. 96.
         [25] Lois O. Kattsoft, op. cit., h. 127
         [26]Ahmad Tafsir, Filsafat, h. 24.
         [27]Anton Bakker, Ahmad Chrris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), cet. IV, h.22.
         [28]Amsal Bakhtiar, Filsafat, h. 42.
         [29] Ahmad Tafsir, op. cit., h. 24.
         [30]Amsal Bakhtiar, op. cit., h. 43
         [31]Ibid.
         [32]Ibid.
[33]Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, (Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1998, cet.II, h. 52.
[34]Amsal Bakhtiar, op. cit., h. 44.
         [35]Ahmad Tafsir, op. cit., h. 24.
         [36]Harun Nasution, Filsafat Agama, h. 15.
         [37]Lois O. Kattsoft, Pengantar Filsafat, (Yokyakarta: Tiara Wicana Yogyakarta, 1996), h. 139.
         [38]Ibid.
         [39]Jujun S. Suriasumantri, op. cit., h. 51.
         [40]Amsal Bakhtiar, op. cit., h. 46.
         [41]Jujun S. Suriasumantri, op. cit., h. 51
         [42]Harun Nasution, op. cit., h. 16.
         [43]Ahmad Tafsir, op. cit., h. 27.
         [44]Lihat Kattsoft, op. cit., 146.
         [45]Ibid.
         [46]Jujun S. Suriasumantri, op. cit., 53.
         [47]Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), cet. III, h. 131.
         [48]Amsal Bakhtiar, op. cit., h. 50.
         [49]Ahmad Tafsir, op. cit., h. 58.
         [50]Burhanuddin Salam, op. cit., h. 132.
         [51]A. Mustafa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), cet. I, h. 106.
         [52]Jujun S. Suriasumantri, op. cit., h. 54.

0 komentar:

Posting Komentar