PARADIGMA
SUMBER ILMU
A.
Definisi Pengetahuan
Secara
etimologi pengetahuan berasal dari kata bahasa Inggris yaitu knowledge. Dijelaskan dalam Encyclopedia of Philosophy
bahwa definisi pengetahuan adalah kepercayaan
yang benar (knowledge is justified true belief)[1]
Secara
terminologi dikemukakan beberapa definisi tentang pengetahuan. Menurut Sidi Gazalba, pengetahuan
adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu. Pekerjaan tahu tersebut
adalah hasil dari kenal, sadar, insaf,
mengerti, dan pandai. Pengetahuan itu adalah semua milik atau isi pikiran.[2]
Dengan demikian pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk
tahu.
Dalam
kamus filsafat dijelaskan bahwa pengetahuan (knowledge) adalah proses kehidupan yang diketahui manusia secara
lengsung dari kesadarannya sendiri. Dalam peristiwa ini yang mengetahui
(subyek) memiliki yang diketahui (obyek) di dalam dirinya sendiri sedemikian
aktif sehingga yang mengetahui itu menyusun yang diketahui pada dirinya sendiri
dalam kesatuan aktif.[3]
Lebih
lanjut lagi dijelaskan bahwa
pengetahuan dalam arti luas berarti semua
kehadiran internasional obyek dalam
subyek. Namun dalam arti sempit dan berbeda dengan imajinasi atau pikiran
belaka, pengetahuan hanya berarti putusan yang benar dan pasti (kebenaran, kepastian). Di sini subyek
sadar akan hubungan obyek dengan eksistensi. Pada umumnya, adalah tepat kalau
mengatakan pengetahuan hanya merupakan pengalaman “sadar”. Karena sangat sulit melihat bagaimana persisnya suatu
pribadi dapat sadar akan satu eksisten tanpa kehadiran eksisten itu di dalam
dirinya.[4]
Orang
pragmatis, terutama John Dewey tidak
membedakan pengetahuan dengan kebenaran (antara knowledge dengan truth).
Jadi pengetahuan itu harus benar, kalau
tidak benar adalah kontradiksi.[5]
1.
Jenis Pengetahuan
Beranjak
dari pengetahuan adalah kebenaran dan kebenaran adalah pengetahuan, maka
di dalam kehidupan manusia dapat memiliki berbagai pengetahuan dan kebenaran. Buharnuddin
Salam mengemukakan bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia ada empat, yaitu:
Pertama, pengetahuan biasa, yakni pengetahuan yang dalam filsafat dikatakan
dengan istilah common sense, dan
sering diartikan dengan good sense,
karena seseorang memiliki sesuatu di mana ia menerima secara baik.
Dengan common sense, sampai pada
keyakinan secara umum tentang sesuatu, di mana mereka akan berpendapat sama
semuanya. Common sense dari pengalaman sehari-hari, seperti air dapat dipakai
untuk menyiram bunga, makanan dapat mengenyangkan rasa lapar, musim kemarau
akan mengeringkan sawah tadah hujan, dan sebagainya.[6]
Kedua, pengetahuan ilmu, yaitu ilmu sebagai terjemahan dari science. Dalam pengertian yang sempit science diartikan untuk menunjukkan
pengetahuan alam, yang sifatnya kuantitatif dan obyektif.[7]
Ilmu pada prinsipnya merupakan usaha
untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan common science, suatu pengetahuan yang berasal dari pengalaman dan
pengamatan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, dilanjutkan dengan suatu
pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode.
Ilmu dapat merupakan suatu metode
berpikir secara obyektif (obyektif
thingking), tujuannya untuk menggambarkan dan memberi makna terhadap dunia faktual.
Pengetahuan yang diperoleh dengan ilmu, diperolehnya melelui observasi,
eksperimen, klasifikasi. Analisis ilmu itu obyektif dan menyampingkan unsur
pribadi, pemikiran logika diutamakan, netral dalam arti tidak dipengaruhi oleh
sesuatu yang bersifat kedirian (subyektif), karena dimulai dengan fakta. Ilmu
merupakan milik manusia secara komprehensif. Ilmu merupakan lukisan dan
keterangan yang lengkap dan konsisten mengenai hal-hal yang dipelajarinya dalam
ruang dan waktu sejauh jangkauan logika dan dapat diamati pancaindera manusia.
Ketiga, pengeathuan filsafat, yakni pemikiran yang diperoleh yang bersifat
kontemplatif dan spekulatif. Pengetahuan filsafat lebih menekankan pada
universitas dan kedalaman kajian tentang sesuatu. Kalau ilmu hanya pada satu
bidang pengetahuan yang sempit dan rigid,
filsafat membahas hal yang lebih luas
dan mendalam. Filsafat biasanya memberikan pengetahuan yang reflektif dan
kritis, sehingga ilmu yang tadinya kaku dan cenderung tertutup menjadi longgar
kembali.
Keempat,
pengetahuan agama, yakni pengetahuan
yang hanya dipertoleh dari Tuhan lewat para Rasul-Nya. Pengetahuan agama
bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh para
pemeluk agama. Pengetahuan mengandung beberapa hal yang pokok, yaitu ajaran
tentang cara berhubungan dengan Tuhan, yang sering juga disebut dengan hubungan
vertical dan cara hubungan dengan
sesama manusia, yang lazim juga disebut dengan hubungan horizontal. Pengetahuan agama yang lebih penting informasi tentang
Tuhan, juga informasi tentang hari akhir (Akhirat).
Iman kepada hari akhirat merupakan ajaran pokok agama
dan sekaligus merupakan ajaran yang membuat manusia optimis akan masa depannya.
Menurut para pengamat, agama masih
bertahan sampai sekarang karena adanya doktrin tentang hidup setelah mati
karenanya masih dibutuhkan.
Mengelaborasi
jenis-jenis pengetahuan yang telah dikemukakan oleh Buharnuddin Salam, maka penulis memahami bahwa
pengetahuan menurut jenisnya ada empat, yaitu pengetahuan biasa, pengetahuan
ilmu, pengetahuan filsafat, pengetahuan agama.
2.
Perbedaan
Pengetahuan dengan Ilmu
Mengelaborasi sejumlah pengertian yang
dikemu-kakan para ilmuan, sering ditemukan kerancuan antara pengertian pengetahuan dan ilmu. Kedua kata tersebut dianggap memiliki persamaan arti, bahkan
ilmu dan pengetahuan terkadang dirangkum menjadi kata mejemuk yang mengandung
arti tersendiri. Hal ini sering kita jumpai dalam berbagai tulisan yang
membicarakan tentang ilmu pengetahuan.
Namun jika kedua kata itu berdidri sendiri-sendiri, akan tampak perbedaan
antara keduanya.[8]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Ilmu disamakan artinya dengan pengetahuan,
ilmu adalah pengetahuan.[9]
Dari asal katanya, dapat diketahui bahwa pengetahuan diambil dari kata dalam
bahasa Inggris yaitu knowledge, sedangkan ilmu diambil dari kata science dan peralihan dari bahasa Arab ilm.[10]
Beberapa definisi yang telah disebutkan
sebelumnya, pada definisi berikut pun tidak jauh berbeda, pengetahuan merupakan
hasil tahu manusia terhadap sesuatu, atau segala perbuatan manusia untuk
memahami suatu obyek tertentu. Perbedaan dapat berwujud barang-barang fisik,
pemahamannya dilakukan dengan cara persepsi baik lewat indara maupun lewat
akal, dapat pula obyek yang dipahami oleh manusia berbentuk ideal atau yang
bersangkutan dengan masalah kejiwaan.[11]
Upaya dalam memperjelas pemahaman, perlu juga dibedakan antara
pengetahuan yang sifatnya prailmiah.
Dengan pengetahuan ilmiah. Pengetahuan yang bersifat prailmiah ialah pengetahuan
yang belum memenuhi syarat-syarat ilmiah pada umumnya. Sebaliknya, pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan
yang harus memenuhi syarat-syarat ilmiah. Pengetahuan pertama disebut pengetahuan
biasa, pengetahuan kedua disebut disebut pengetahuan ilmiah.[12]
Adapun
syarat-syarat yang dimiliki oleh pengetahuan ilmiah adalah: harus memiliki
obyek tertentu (formal dan material) dan harus bersistem (harus runtut). Di
samping pengetahuan ilmiah harus memiliki metode tertentu dengan sifatnya yang
umum. Metode itu meliputi metode deduksi, induksi, dan analisis.[13]
Setelah
dikemukakan beberapa pengertian pengeta-huan, selanjutnya dikemukakan beberapa
pengertian ilmu sebagai bahan perbandingan. Dalam Encyclopedia Americana,
dijelaskan bahwa ilmu (science) adalah pengetahuan yang bersiaft positif dan
sistematis.[14]
The Liang Gie mengutip Paul
Freedman dari buku The Principles
of Sciencetific Research memberi
batasan ilmu sebagai berikut:
Ilmu adalah suatu bentuk aktiva manusia yang dengan
melakukannya umat manusia memperoleh suatu pengetahuan dan senantiasa lebih
lengkap dan lebih cermat tentang alam di masa lampau, sekarang dan kemudian
hari, serta suatu kemampuan yang meningkat untuk menyesuaikan dirinya pada dan
mengubah sifat-sifatnya sendiri.[15]
Carles
Siregar merumuskan, ilmu adalah
proses yang membuat pengetahuan.[16]
Dalam arti umum , ilmu sering dijadikan pembeda, umpamanya untuk membedakan
antara disiplin Ilmu Pengetahuan Alam Sementara itu, Jujun dalam buku Ilmu
dalam Perspektif menulis: “…ilmu lebih bersifat merupakan kegiatan daripada
sekedar produk yang siap dikonsumsikan.[17]
Perbedaan antara ilmu dengan pengetahuan dapat
ditelusuri dengan melihat perbedaan ciri-cirinya. Herbert L. Searles memperlihatkan ciri-ciri tersebut sebagai
berikut:“Kalau ilmu berbeda dengan filsafat berdasarkan empiris, maka ilmu
berbeda dari pengetahuan biasa karena cirri sistematisnya”.[18]
Berdasarkan sejumlah keterangan di atas, dapat disim-pulkan
bahwa pada dasarnya pengetahuan berbeda dengan ilmu. Perbedaan itu terlihat
dari sifat sistematik dan cara memperolehnya.
Perbedaan tersebut menyangkut pengetahuan prailmiah atau pengetahuan
biasa, sedangkan pengetahuan ilmiah dengan ilmu tidak mempunyai perbedaan yang
berarti.
Dalam perkembangannya lebih lanjut di Indonesia,
pengetahuan disamakan dengan artinya dengan ilmu. Hal ini dapat dilihat dari
pendapat-pendapat berikut: Kata ilmu berasal dari bahasa Arab ‘alima
(ia telah mengetahui). Kata jadian ilmu
berarti pengetahuan.[19]
Berdasarkan uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam bahasa,
pengetahuan dan ilmu bersinonim arti,
sedang dalam arti material, keduanya
mempunyai perbedaan.
B.
Hakikat dan Sumber Pengetahuan
Pengetahuan
berkembang dari rasa ingin tahu, yang merupakan ciri khas manusia karena
manusia adalah satu-satunya makhluk yang mengembangkan pengetahuan secara
bersungguh-sungguh. Binatang juga mempunyai pengetahuan, namun pengetahuan itu
terbatas hanya untuk kelangsungan hidupnya (survival).
Manusia
mengembangkan pengetahuannya untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhan hidup ini.
Manusia memikirkan hal-hal baru, karena ia hidup bukan sekedar untuk
kelangsungan hidup, namun lebih dari itu. Manusia mengembangkan kebudayaan,
manusia member makna kepada kehidupan, “manusia memanusiakan diri dalam hidupnya” dan masih banyak lagi pernyataan semacanm
ini, semua itu hakikatnya menyimpulkan bahwa manusia dalam
hidupnya mempunyai tujuan tertentu dalam hidupnya yang lebih tinggi dari
sekedar kelangsungan hidupnya. Inilah yang menyebabkan manusia mengem-bangkan
pengetahuannya dan pengetahuan ini jugalah yang mendorong mangusai mahluk yang bersifat khas di muka bumi ini.
Pengetahuan ini mampu dikembangkan manusia yang
disebabkan dua hal utama, yakni (1) manusia mempunyai bahasa yang mampu
mengomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi
tersebut. (2) yang menyebabkan mampu mengembangkan pengetahuannya dengan cepat
dan mantap adalah kemampuan berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir
tertentu.[20]
Pada
pembahasan ini penulis menjelaskan tentang hakikat pengetahuan yang meliputi
apa itu pengetahuan dan bagaimana memperoleh pengetahuan tersebut dan hal ini
juga merupakan bagian dari kajian filsafat pengetahuan atau epistemologi.
1.
Hakikat Pengetahuan
Pengetahuan
pada dasarnya keadaan mental (mental
state). Mengetahui sesuatu adalah menyusun pendapat tentang suatu obyek,
dengan kata lain menyusun gambaran tentang fakta yang ada di luar akal.
Persoalannya kemudian adalah apakah gambaran itu sesuai dengan fakta atau
tidak? Apahak gambaran itu benar? Atau apakah gambaran itu dekat pada kebenaran
atau atau jauh dari kebenaran?
Teori
yang popular untuk mengetahui hakikat pengetahuan adalah:
a.
Teori Realisme
Teori
ini mempunyai pandangan realistis terhadap alam. Pengetahuan menurut realism
adalah gambaran atau copy yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata
(dari fakta atau hakikat). Pengetahuan atau gambaran yang ada dalam akal adalah
copy dari yang asli yang ada di luar akal. Hal ini tidak ubahnya seperti
gambaran yang terdapat dalam foto. Dengan demikian , realism berpendapat bahwa
pengetahuan adalah benar dan tepat bila sesuai dengan kenyataan.[21]
Ajaran
realism percaya bahwa dengan sesuatu atau lain cara, ada hal-hal yang hanya
terdapat di dalam dan tentang dirinya sendiri, serta yang hakikatnya tidak
terpengaruh oleh seseorang. Contohnya, fakta menunjukkan, suatu meja tetap
sebagaimana adanya, kendati tidak ada orang di dalam ruangan itu yang menengkapnya.
Jadi meja itu tidak tergantung kepada gagasan kita mengenainya, tetapi
tergantung pada meja tersebut.[22]
Para
pengamut relisme mengekaui bahwa seseorang biasa salah lihat pada benda-benda atau dia melihat terpengaruh oleh keadaan
sekelilingnya. Namun, mereka paham ada benda yang dianggap mempunyai wujud
tersendiri, ada benda yang tetap kendati diamati. Menurut Rasjidi, penganut
agama perlu sekali mempelajari realism dengan alasan:
1.
Dengan menjelaskan kesulitan-kesulitan yang terdapat dalam pikiran. Kesulitan
pikiran tersebut adalah pendapat yang mengatakan bahwa tiap-tiap kejadian dapat
diketahui hanya dari segi subyektif. Menurut Rasjidi, pernyataan itu tidak benar
sebab adanya faktor subyektif bukan berarti bukan menolak factor obyektif. Kalau seseorang melihat sebatang pohon,
tentu pohon itu memang yang dilihat oleh subyektif. Namun, hal ini tidak
berarti meniadakan pohon yang mempunyai wujud tersendiri. Begitu juga ketika
berdoa kepada Tuhan, bukan berarti Tuhan itu hanya terdapat dalam pikiran.
Tetapi Tuhan mempunyai wujud tersendiri.
2.
Dengan jalan memberi pertimbangan-pertimbangan yang positif, menurut
Rasjidi, umumnya orang beranggapan bahwa tiap-tiap benda mempunyai satu sebab.
Contohnya, apa yang menyebabkan Ahmad sakit. Biasanya kita puas ketika kita
dijawab karena kuman. Sebenarnya, sebab sakit itu banyak karena ada orang yang
tersarang kuman dalam tubuhnya, tetapi dia tidak sakit. Dengan demikian,
penyakit si Ahmad mungkin disebabkan keadaan badannya, iklim dan sebagainya.
Prinsip semacam ini, menurut Rasjidi bisa digunakan untuk mempelajari agama
karena adanya perasaan yang subyektif tidak berarti tidak adanya keadaan yang
obyektif.[23]
b.
Teori Idealisme
Ajaran idealisme menegaskan bahwa untuk mendapatkan
pengetahuan yang benar-benar sesuai dengan kenyataan adalah mustahil.
Pengetahuan adalah proses-proses mental atau proses psikologis yang bersifat
subyektif. Oleh karena itu, pengetahuan bagi seorang idealis hanya merupakan
gambaran subyektif dan bukan gambaran obyektif tentang realitas.
Subyektif dipandang sebagai suatu yang mengetahui,
yaitu dari orang yang membuat gambaran tersebut. Karena itu, pengetahuan
menurut idealism tidak menggambarkan hakikat kebenaran. Akan tetapi yang
diberikan kebenaran hanyalah gambaran menurut pendapat atau penglihatan orang
yang mengetahui (subyek).[24]
Kalau realisme mempertajam perbedaan antara yang mengetahui dan
yang diketahui, idealisme adalah sebaliknya. Bagi idealisme, dunia dan
bagian-bagiannya harus dipandang sebagai hal-hal yang mempunyai hubungan
seperti organ tubuh dengan bagian-bagiannya. Dunia merupakan suatu kebulatan
bukan kesatuan mekanik, tetapi kebulatan organic yang sesungguhnya yang
sedemikian rupa, sehingga suatu bagian darinya dipandang sebagai kebulatan
logis, dengan makna inti yang terdalam.
Premis pokok yang diajukan oleh idealism adalah jiwa mempunyai
kedudukan utama dalam alam semesta. Idealisme tidak menginkari adanya materi,
namun materi adalah suatu gagasan yang tidak jelas dan bukan hakikat. Sebab,
seseorang yang akan memikirkan materi dalam hakikatnya yang terdalam, dia harus
memikir ruh atau akal. Jika seseorang ingin mengetahui apakah sesungguhnya
materi itu, dia harus meneliti apakah pikiran itu, apakah nilai itu, dan apakah
akal budi itu, bukannya apakah materi itu.[25]
Sebenarnya realism dan idealism memiliki kelemahan tertentu.
Realisme ekstrim bisa sampai pada monism materealistik atau dualism. Seorang
pengikut materialisme mengatakan jika demikian halnya, sudah barang tentu dapat
juga dikatakan bahwa jiwa adalah materi dan materi adalah jiwa, bahkan jiwa dan
materi sepenuhnya sama. Lebih lanjut, realisme tidak mementingkan subyek
sebagai penilai, tetapi hanya memfokuskan pada obyek yang dinilai. Padahal,
subyek yang menilai memeliki pesan penting dalam menghubungkan antar obyek
dengan ungkapan tentang obyek tersebut.
Idealisme subyektif juga akan menimbulkan kebenaran yang
relative karena setiap individu berhak untuk menolak kebenaran yang bersifat
universal tidak diakui. Kalau demikian jadinya, aturan-aturan agama dan
kemasyarakatan hanya bisa benar untuk kelompok tertentu dan tidak berlaku bagi
kelompok lain. Lagi pula, idealisme terlalu menutamakan subyek sebagai si
penilai dengan merendahkan obyek yang dinilai. Sebab, subyek yang menilai
kadangkala berada pada keadaan yang berubah-ubah, sepertti sedang marah dan
gembira.
2. Sumber
Pengetahuan
Semua orang mengakui memiliki pengetahuan.
Persoalannya dari mana pengetahuan itu diperoleh atau lewat apa pengetahuan itu
didapat. Dari situ timbul pertanyaan bagaimana caranya kita memperoleh
pengetahuan atau dari mana sumber pengetahuan kita? Pengetahuan yang ada pada
kita diperoleh dengan menggunakan berbagai instrument atau alat yang merupakan
sumber pengetahuan tersebut. Dalam hal ini ada beberapa pendapat tentang sumber
pengetahuan antara lain:
a.
Empirisme
Kata ini
berasal dari kata Yunani empeirikos, artinya pengalaman. Menurut aliran ini
manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. Dan bila dikembalikan
kepada bahasa Yunani, pengalaman yang dimaksud ialah pengalaman inderawi.[26]
Dengan
indranya, manusia dapat mengatasi taraf hubungan yang semata-mata fisik dan
masuk ke dalam medan intensional, manusia dengan hal-hal konkret-material.
Pengetahuan
inderawi bersifat parsial. Itu disebabkan oleh adanya perbedaan antara indera
yang satu dengan yang lainnya, berhubungan dengan sifat khas fisiologis indera
dan dengan obyek yang dapat ditangkap sesuai dengannya. Masing-masing indera
menangkap aspek yang berbeda mengenai barang atau mahluk yang menjadi obyeknya.
Jadi pengetahuan inderawi berada menurut perbedaan indera dan terbatas pada
sensibilitas organ-organ tertentu.[27]
Hal ini
dapat dilihat bila kita memperhatikan pertanyaan seperti: Bagaimana orang
mengetahui e situ dingin? Seorang empiris akan mengatakan, karena saya
merasakan hal itu, atau karena seorang ilmuan telah merasakan seperti itu.
Dalam pertanyaan tersebut ada tiga unsure yang perlu, yang mengetahui (subyek),
yang diketahui (obyek), dan cara dia mengetahui bahwa es itu dingin. Bagaimana
dia mengetahui e situ dingin? Dengan menyentuh langsung lewat alat peraba.
Dengan kata lain, seorang empiris akan mengatakan bahwa pengetahuan itu
diperoleh lewat pengalaman-pengalaman inderawi yang sesuai.[28]
John Locke (1632-1704), bapak empiris
Britania mengemukakan teori tabula rasa (sejenis buku catatan kosong). Maksud
ialah bahwa manusia itu pada mulanya kososng dari pengetahuan, lantas
pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu, lantas dia memiliki pengetahuan.
Mula-mula tangkapan indera yang masuk itu sederhana, lama-kelamaan menjadi
kompleks, lalu tersusunlah pengetahuan berarti. Jadi, bagaimanapun kompleks pengetahuan manusia, ia selalu dapat
dicari ujungnya pada pengalaman indera. Sesuatu yang tidak dapat diamati dengan
indera bukanlah pengetahuan yang benar. Jadi pengalaman indera itulah sumber
pengetahuan yang benar.[29]
David Hume, salah satu tokoh
empirisme mengatakan manusia tidak membawa pengetahuan bawaan dalam hidupnya.
Sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberi dua hal, yaitu
kesan-kesan (impressions) dan
kesan-kesan adalah pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman, merasakan
tangan terbakar. Yang dimaksud dengan ide
gambaran tentang pengamatan yang sama-samar yang dihasilkan dengan merenungkan
kembali atau terefleksikan dalam kesan-kesan yang diterima dari pengalaman.[30]
David Hume juga lebih menegaskan
pengalaman lebih memberi keyakinan dibandingkan kesimpulan logika atau
kemestian sebab akibat. Sebab akibat hanya hubungan yang saling berurutan saja
dan secara konstan terjadi, seperti membuat air mendidih, padahal dalam api
tidak dapat diamati adanya “daya aktif” yang mendidihkan air. Jadi itu bukalah
yang diamati. Bukan hal yang dapat dilihat dengan mata sebagai berada dalam
“air” yang direbus.[31]
Jadi, gejala-gejala alamiah menurut anggapan kaum empiris adalah bersifat
konkret dan dapat dinyatakan lewat pancaindera.
Gejala itu
bila ditelaah lebih lanjut mempunyai beberapa karakteristik tertentu umpamanya
saja terdapat pola yang teratur mengetnai suatu kejadian tertentu. Seperti
langit mendung diikuti dengan turunnya hujan. Di samping itu kita melihat
adanya karakteristik lain, yakni adanya kesamaan dan pengulangan, umpamanya
saja bermacam-macam logam jika dipanaskan akan memanjang. Hal ini meyakinkan
kita untuk melakukan sesuatu generalisasi dari berbagai kasus yang telah
terjadi. Dengan menggunakan metode induktif, maka disusun suatu pengetahuan
yang berlaku secara umum lewat pengamatan terhadap gejala-gejala fisik yang
bersifat individual.[32]
Berdasarkan
teori ini, akal hanya mengelola konsep gagasan inderawi. Hal itu dilakukannya
dengan menyusun konsep tersebut atau membagi-bagikannya.[33]
Kaum
empiris juga menganggap akal sebagai sejenis tempat penampungan yang secara
pasif menerima hasil-hasil pengindraan tersebut. Akal berfungsi untuk
memastikan hubungan urutan-urutan peristiwa tersebut padahal hubungan yang
demikian itu bersifat kemungkinan belaka dan pengetahuan kita tentang hubungan
peristiwa tersebut sesungguhnya berasal dari pengalaman. Karena itu, semua
ekperimen selajutnya seharusnya berdasarkan pada perkiraan, bukan kepastian
bahwa peristiwa yang akan dating kemungkinan cocok dengan yang lewat.
Jadi dalam
empirisme, sumber utama untuk memperoleh pengetahuan adalah data empiris yang
diperoleh dari pancaindera. Akal tidak berfungsi banyak, kalaupun ada, itu
hanya sebatas ide yang kabur.[34]
Kelemahan-kelemahan
aliran empirisme, antara lain:[35]
1.
Indera (mata)
itu terbatas, benda yang jauh kelihan kecil, apakah ia benar-benar kecil?
Ternyata tidak. Keterbatasan indralah menggambarkan seperti itu. Dalam ini
terbentuk pengetahuan yang salah.
2.
Indara (lidah)
itu menipu, pada orang yang sakit malaria gula rasanya pahit, udara akan terasa
dingin. Dalam hal ini akan terbentuk pengetahuan yang salah.
3.
Obyek yang menipu, contohnya fatamorgana dan ilusi. Jadi obyek itu sebenarnya
tidak sebagaimana ia ditangkap oleh indera (indra), ia membohongi indera.
4.
Berasal dari indera
dan obyek sekaligus. Dalam hal ini,
indera (mata) tidak mampu melihat seekor gajah secara keseluruhan, dan gajah
itu juga tidak dapat memper-lihatkan badannya secara keseluruhan.
Kesimpulannya, empirisme lemah karena keterbatasan indera manusia.
b.
Rasionalisme
Menurut
aliran ini, akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar
diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia memperoleh pengetahuan melalui
kegiatan menangkap obyek.
Bagi aliran ini kekeliruan pada aliran
empirisme yang disebabkan kelemahan alat indera dapat dikoreksi, seandainya
akal digunakan. Rasionalisme tidak mengingkari kegunaan indera dalam memperoleh
pengetahuan. Penga-malan indera diperlukan untuk merangsang akal dan memberikan
bahan-bahan yang menyebabkan akal dapat bekerja, tetapi sampainya kepada
manusia kepada kebenaran adalah semata-mata akal.
Laporan indera menurut rasionalisme merupakan
bahan yang belum jelas, bahkan ini memungkinkan dipertim-bangkan oleh akal
dalam pengalaman berpikir. Akan mengatur bahan tersebut sehingga dapatlah
terbentuk pengetahuan yang benar. Jadi fungsi pancaindera hanyalah untuk
memperoleh data-data dari alam nyata dan akalnya menghubungkan data-data itu
satu dengan yang lain.
Dalam penyusunan ini akal menggunakan konsep-konsep rasional atau
ide-ide universal. Konsep tersebut mempunyai wujud dalam alam nyata dan
bersifat universal, dan yang dimaksud dengan prinsip-prinsip universal adalah
abteaksi dari benda-benda konkret, hukum kausalitas atau gambaran umum tentang
kursi. Sebaliknya, bagi empirisme hukum tersebut tidak diakui.[36]
Pada penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan
terletak dalam ide dan bukunya dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran
mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk keapada
kenyataan, kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat
diperoleh dengan akal budi saja.[37]
Akal, selain bekerja karena ada bahan dari indera, juga akal
menghasilkan pengetahuan yang tidak berdasarkan bahan inderawi sama sekali,
jadi akal juga dapat menghasilkan pengetahuan tentang obyek yang betul-betul
abstrak.
Descartes, seorang
pelopor rasionalisme berusaha menemukan kebenaran itu, menurutnya ia tidak ragu
bahwa ia ragu. Ia yakin kebenaran-kebenaran semacam itu ada dan kebenaran
tersebut dikenal dengan cahaya yang terang dari akal budi sebagai hal-hal yang
tidak dapat diragukan. Dengan demikian akal budi dipahamkan sebagai sejenis
perantara suatu teknik deduktif yang dengan memakai teknik tersebut dapat
ditemukan kebenaran, artinya dengan melakukan penalaran yang akhirnya
tersusunlah pengetahuan.[38]
Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide-ide yang
menurut anggapannya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukanlah
ciptaan manusia. Prinsip itu sudah jauh sebelum manusia berusaha memikirkannya.
Fungsi pikiran manusia di sini hanya untuk mengenali prinsip-prinsip tersebut
kemudian menjadi pengetahuannya. Prinsip itu sendiri adah ada dan bersifat a
priori dan dapat diketahui oleh manusia lewat kemampuan berpikir rasionalnya
dan dengan mengetahui prinsip itulah maka kita dapat mengerti kejadian-kejadian
yang berlaku dalam alam sekitar kita.[39]
Spinoza memberikan penjelasan yang lebih mudah dengan mnyusun
sistem rasionalisme atas dasar ilmu ukur. Menurutnya dalil ilmu ukur merupakan
dalil kebenaran yang tidak perlu dibuktikan lagi. Artinya, Spinoza yakin jika
memehami makna yang terkandung oleh pernyataan, “sebuah garis lurus merupakan
jarak terdekat di antara dua buah titik”. Maka seseorang mau tidak mau mengakui
kebenaran pernyataan itu. Menurutnya tidak perlu ada bukti-bukti yang lain
kecuali makna yang terkandung kata-kata yang digunakan.[40]
Teori
rasionalisme juga mempunyai kelemahan, seperti mengenai criteria untuk
mengetahui akan kebenaran dari suatu ide yang memenurut seseorang adalah jelas
dan dapat dipercaya tetapi menurut orang lain tidak. Jadi masalah utama yang
dihadapi kaum rasionalisme adalah evaluasi dari kebenaran premis-premis ini
semuanya bersumber pada penalaran induktif, karena premis-premis ini semuanya
bersumber pada penalaran rasional yang bersifat abstrak. Terbatas dari
pengalaman maka evaluasi semacam ini tidak dapat dilakukan.[41]
Dari dua aliran empirisme dan rasionalisme terlahirlah metode
ilmiah atau pengetahuan sains. Dalam hal ini pancaindera mengumpulkan
data-data, sedangkan akal menyimpulkan berdasarkan pada prinsip-prinsip universal, yang kemudian disebut universal.
Tapi kebenaran yang model ini bukan kebenaran mutlak, tapi kebenaran yang dekat
pada hakikat, yaitu menurut kesanggupan
tertinggi dari akal dalam mendekati hakikat itu.
Namun teori ini pun mengalami kesulitan, karena data-data yang ada
di alam tidak semuanya dapat dikumpulkan karena alam tersebut terlalu besar,
dan yang dapat disimpulkan hanya sebagian dari data-data yang ada dan itupun
yang telah terjadi. Oleh karena itu, pengetahuan yang diperoleh belum sempurna,
karena data-data yang dikumpulkan tidak sempurna.[42]
Adanya problem pada empirisme dan rasionalisme yang mengahsilkan
metode ilmiah melahirkan aliran positivisme oleh Agust Comte dan Imanuel Kant.
Agust Comte berpendapat bahwa indera itu amat penting dalam memperoleh ilmu
pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan
ekperimen.
Kekeliruan indera dapat dikoreksi lewat ekperimen dan ekperimen itu
sendiri memerlukan ukuran-ukuran yang jelas seperti panas diukur dengan derajat
panas, jauh diukur dengan meteran, dan lain sebagainya. Kita tidak cukup
mengatakan api itu panas atau matahari panas, kita juga tidak cukup mengatakan panas
sekali, panas, dan tidak panas. Kita memerlukan ukuran yang teliti. Dari
sinilsh kemajuan sains benar-benar dimulai. Kebenaran diperoleh dengan akal
dengan didukung bukti-bukti empiris yang terukur.
Dalam hal ini Kant juga menekankan pentingnya meneliti lebih lanjut
terhadap apa yang telah dihasilkan oleh indera dengan datanya dan dilanjutkan
oleh akal dengan melakukan penelitian yang lebih mendalam. Ia mencotohkan
bagaimana kita dapat menyimpulkan kalau kuman tikus menyebabkan demam tipus
tanpa penelitian yang mendalam dan ekperimen. Dari penelitian tersebut
seseorang dapat mengambil kesimpulan bahwa ada hubungan sebab akibat antara
kuman tipus dan demam tipus.
Pada dasarnya aliran ini (yang diuraikan oleh Agust Comte dan Imanuel Kant) bukanlah suatu
aliran khas yang berdiri sendiri, tetapi ia hanya menyempurnakan empirisme dan
rasionalisme yang bekerja sama dengan memasukkan perlunya ekperimen dan
ukuran-ukuran.
c.
Intuisi
Menurut Henry Bergson intuisi adalah hasil dari
evolusi pemahaman yang tertinggi. Kemampuan ini mirip dengan insting, tetapi
berbeda dengan kesadaran dan kebebasannya. Pengembangan kemampuan intuisi
memerlukan suatu usaha.[43]
Ia juga mengatakan bahwa intuisi adalah suatu pengetahuan yang langsung, yang
mutlak dan bukan dan bukan pengetahuan yang nisbi.[44]
Menurutnya,
intuisi mengatasi sifat lahiriyah pengetahuan simpbolis, yang ada dasarnya
bersifat analisis, menyeluruh, mutlak, dan tanpa dibantu oleh penggambaran
secara simbolis. Karena itu, in.tuisi adalah sarana untuk mengetahui secara
langsung dan seketika. Analisis atau pengetahuan yang diperoleh lewat pelukisan
tidak dapat menggantikan hasil pengenalan intuisi.[45]
Intuisi
berasal dari personal dan tidak bisa diramalkan. Sebagai dasar untuk menyusun
pengetahuan secara teratur, intuisi tidak dapat diandalkan.[46]
Pengetahuan
intuisi dapat dipergunakan sebagai hipotesa bagi analisis selanjutnya dalam
menentukan benar tidaknya pernyataan yang dikemukakan. Kegiatan intuisi dan
analisis bisa bekerja saling membantu dalam menemukan kebenaran. Bagi Nietzchen intuisi merupakan “intlegensi
yang paling tinggi” dan bagi Maslow
intuisi merupakan “pengalaman puncak” (peak
experience).[47]
Ada sebuah
isme lagi yang barangkali mirip dengan intiusionisme, yaitu iluminasionisme.
Aliran ini berkem-bang di kalangan tokoh agama, yang di dalam agama Islam
disebut Ma’rifat, yaitu pengetahuan
yang datang dari Tuhan melalui pencerahan dan penyinaran.[48]
Pengetahuan tersebut akan diperoleh oleh orang yang hatinya telah bersih, telah
siap, dan sanggup menerima pengetahuan tersebut.
Pengetahuan
menerima pengetahuan secara langsung itu diperoleh dengan cara latihan, yang
dalam Islam disebut Riyadhah. Metode
ini secara umum dipakai dalam thariqat
atau tasawuf. Konon, kemampuan
orang-orang itu sampai bisa melihat Tuhan, berbincang dengan Tuhan, melihat
surge, neraka, dan alam gaib lainnya. Dari kemampuan ini dapat dipahami bahwa
mereka tentu mempunyai pengetahuan tingkat tinggi yang banyak sekali dan
meyakinkan pengetahuan itu diperoleh bukan lewat indera dan bukan lewat akal,
melainkan lewat hati.[49]
Menurut
ajaran tasawuf, manusia itu dipengaruhi (ditutupi) oleh hal-hal material,
dipengaruhi oleh nafsunya. Bila nafsu dikendalikan, dan penghalang material
(hijab) dapat disingkirkan, kekuatan rasa itu mampu bekerja, mampu menengkap
obyek-obyek gaib. Di dalam tasawuf ini digambarkan sebagai dalam keadaan fana,
jiwa mampu melihat alam gaib, dari situlah diperoleh pengetahuan.
Adapun
perbedaan antara intuisi dalam filsafat Barat dengan ma’rifat dalam Islam
adalah kalau intuisi diperoleh lewat perenungan dan pemikiran yang konsisten,
sedang-kan dalam Islam ma’rifat diperoleh lewat perenungan dan penyinaran dari
Tuhan.[50]
Pengetahuan
dengan pencerahan ini dapat dianggap sebagai sumber pengetahuan. Sebab, jika
pengetahuan korespondensi melibatkan obyek di luar dirinya, maka pengetahuan
dengan pencerahan menyadarkan bahwa pengetahuan yang di luar harus didahului
dengan pengeta-huan tentang dirinya sendiri.
d.
Wahyu
Wahyu
adalah pengetahuan yang disampaikan oleh Allah kepada manusia lewat perantaraan
para Nabi. Para Nabi memperoleh pengetahuan dari Tuhan tanpa upaya, tanpa
bersusah payah, tanpa memerlukan waktu untuk memperolehnya. Pengetahuan mereka
terjadi atas kehendak Tuhan semesta. Tuhan mensucikan jiwa mereka dan
diterangkan-Nya pula jiwa mereka untuk memperoleh kebenaran dengan jalan wahyu.
Pengetahuan
dengan jalan wahyu merupkan kekhu- susan para Nabi. Hal ini yang membedakan
mereka dengan manusia-manusia lainnya. Akal meyakinkan bahwa kebenaran
pengetahuan mereka berasal dari Tuhan, karena pengetahuan itu memeng ada pada
saat manusia biasa tidak mampu nmengusahakannya, karena hal itu memeng di luar
kemempuan manusia. Bagi manusia tidak jalan lain kecuali menerima dan
membenarkan semua yang berasal dari Nabi.[51]
Wahyu
Allah (agama) berisikan pengetahuan, baik mengeanai kehidupan seseorang yang
terjangkau oleh pengalaman, maupun yang mencakup masalah transe-dental, seperti
latar belakang dan tujuan penciptaan manusia, dunia, dan segenap isinya serta
kehidupan di akhirat nanti.[52]
Kepercayaan
inilah yang merupakan titik tolak dalam agama lewat pengkajian selanjutnya
dapat meningkatkan atau menurunkan kepercayaan itu. Sedangkan ilmu pengetahuan
sebaliknya, yaitu dimulai mengkaji dengan riset, pengalaman, dan percobaan
untuk sampai kepada kebenaran yang faktual.
Apabila
mencermati secara mendalam tentang sumber ilmu sebagaimana telah diuraikan pada
Bab ini, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa sumber pengetahuan ada dua pandangan,
yaitu: (1) ada yang menyatakan sumber pengetahuan adalah manusia, dan (2) ada
yang menyatakan, satu-satunya sumber pengetahuan adalah Tuhan (Allah). Pandangan
pertama dikategorikan sebagai berpikir sekuler, sedangkan pandangan kedua
dikate-gorikan sebagai berpikir Islami, hal itu didasarkan pada identifikasi
karakteristik atau cirri-ciri berpikirnya.
0 komentar:
Posting Komentar