KAJIAN DASAR-DASAR ILMU
A.
Kajian Ontologi: Hakikat Apa yang
Dikaji
Kattsoff
memulai pembahasan ontologi dengan merumuskan pernyataan mengenai kenyataan, yaitu; (1) kenyataan
bersifat kealaman (naturalisme), (2)
kenyataan bersifat benda mati (materialisme),
(3) kenyataan bersifat rohaniah (idealisme),
(4) yang sungguh ada kecuali Tuhan dan Malaikat berupa bahan dan bentuk (hylomorfisme), (5) segenap pernyataan
menyangkut “kenyataan” tidak mengandung makna (empirisme logis).[1]
Uraian tersebut di atas menggambarkan bahwa kajian ontologi
tentang yang ada (kenyataan)
didasari dengan lima pendekatan aliran, yaitu naturalisme, materialisme,
idealisme, hylomorfisme dan empirisme
logis, seperti dalam deskripsi berikut:
Gambar
9
DESKRIPSI KENYATAAN MENURUT
KATTSOFF
(KAJIAN
ONTOLOGI)
Rumusan pernyataan Kattsoff
mengenai kenyataan tersebut merefleksikan berbagai aliran ontologis dalam
filsafat Barat. Krikorian dalam bukunya Naturalism and the
Human Spirit (1944) berpandangan bahwa semua penjelasan pada
akhirnya mengacu pada objek-objek dan peristiwa-peristiwa dalam kerangka ruang
dan waktu.[2] Titus et al.
mengemukakan bahwa natura adalah dunia yang
diungkapkan kepada kita oleh sains.[3] Sehingga, bagi seorang naturalis, pengetahuan ilmiah adalah
satu-satunya pengetahuan.[4]
Menurut teori baru materialisme,
apa yang dianggap sebagai kenyataan yang bersifat materi adalah segala sesuatu
yang pada akhirnya dikatakan nyata, berasal dari materi, atau berasal dari
gejala-gejala yang bersangkutan dengan materi,[5] sehingga bagi kaum materialis,
pengetahuan ilmiah merupakan pengetahuan yang paling memadai.[6] Sementara itu Titus et al. menyebutkan bahwa doktrin alam
semesta dapat ditafsirkan seluruhnya dengan sains fisik.[7]
Melihat adanya penyempitan kenyataan
oleh dua aliran di atas, idealisme[8] mengemukakan pandangannya
bahwa realitas terdiri atas atau erat hubungannya dengan ide, fikiran atau
jiwa. Kaum idealis dapat saja menerima penjelasan ahli fisika tentang materi,
asalkan tidak mereduksi alam semesta hanya dalam bentuk materi fisik.[9]
Keberadaan aliran idealisme
mengisyaratkan bahwa dalam dunia pemikiran Barat, tidak semua meniscayakan
kenyataan material, namun juga terdapat kesadaran akan adanya “sesuatu” di
balik alam materi dan sangat menentukan. Hanya saja ketika gagal memberikan
penjelasan yang memadai tentang keberadaan “sesuatu” tersebut, implikasinya
justru malah semakin memperkuat pandangan materialisme.[10]
Sementara itu, para ilmuan-ilmuan
muslim dengan berdasar kepada keyakinan mereka kepada Allah, telah menciptakan
teori ilmu yang membahas bukan saja objek-objek inderawi, sebagaimana ilmu-ilmu
modern, tetapi juga objek-objek metafisik. Hal ini mencerminkan basis
ontologis yang digunakan para ilmuan muslim dalam bangunan epistemologisnya. Walaupun
objek-objek metafisik tidak bisa diindera, namun diyakini memiliki status
ontologis yang sama nyatanya dengan objek-objek fisik, bahkan lebih ril
daripada objek-objek inderawi.[11]
Dalam mengkritisi lemahnya
ide-ide filsafat Barat, Murtadha Muthahhari mengutip perkataan Hegel: Untuk memecahkan masalah enigmatik[12] tentang penciptaan
semesta ini seharusnya kita tidak terlalu jauh membahas “yang menyebabkan
segala sesuatu” (illat-e fa’aili), karena pada suatu sisi akal tidak dapat
terpuaskan dengan adanya ketersalingkaitan (tasalsul) dan
melanjutkan pada pencarian akan “Sebab Pertama”. Di sisi lain, bila kita
menganggap “Sebab Pertama” teka-teki tidak terpecahkan dan akal tidak
terpuaskan; masalah yang tersisa adalah mengenai mengapa sebab pertama menjadi sebab
pertama.’[13]
Meskipun Sebab Pertama memiliki
keterkaitan dengan Wājib al-Wujūd[14]
dalam ontologi Islam, namun kesimpulan yang dikemukakan oleh Hegel tersebut
merupakan reductio ad absurdum.[15] Hegel berkesimpulan demikian
ketika berhadapan dengan mustahilnya tasalsul (ketersalingkaitan) yang
tak berhingga. Penerimaan Hegel bukan atas penerimaan akal secara langsung,
melainkan penerimaan akal secara terpaksa karena tidak mampu menolak. Di satu
sisi, meskipun tidak ada halangan untuk menerima kemungkinan tasalsul tersebut, namun di satu sisi
juga sulit dimengerti mengapa sebab-sebab yang lainnya memerlukan sebab,
sementara Sebab Pertama tidak memerlukan sebab. Karena itu, menurut Muthahhari,
penjelasan mengenai penciptaan bukan dengan sebab melainkan dengan dalil.[16]
Secara umum pandangan ontologi
dalam Islam berkisar pada masalah eksistensi Tuhan. Kartanegara mengemukakan
argumentasi-argumentasi dari para filosof muslim menyangkut keberadaan Tuhan
sebagai berikut:
1) Argumen kebaruan (dalīl al-ḥudūṡ) yang diwakili
oleh al-Kindi, yaitu argumen yang memberi penekanan kepada tesis tentang barunya atau
kesementaraan alam semesta. Pembuktian temporalitas alam semesta dilakukan dengan
menunjukkan bahwa alam yang didefinisikan sebagai selain Tuhan terdiri dari
atom-atom dan aksiden-aksiden yang hanya bisa bertahan sesaat dan harus dicipta
terus-menerus oleh Tuhan yang menciptakan dan menghancurkan semuanya. Untuk membuktikan keberadaan Tuhan
al-Kindi mengemukakan empat argumen sebagai berikut:
a)
Alam semesta adalah terbatas dan
dicipta dalam waktu. Al-Kindi berkata bahwa telah ditunjukkan bahwa alam
semesta adalah terbatas dari sudut jasad,
waktu dan gerak yang berarti ia
harus dicipta. Berdasarkan hukum kausalita, segala sesuatu yang dicipta
dalam ruang dan waktu haruslah memiliki pencipta. Karena itulah Tuhan sebagai
penciptanya dan karena itu harus ada.
b)
Keesaan bagi al-Kindi adalah sifat utama Tuhan. Segala sesuatu yang tersusun dan
beragam tergantung secara mutlak pada keesaan Tuhan. Esa sejati atau yang
pertama adalah sebab terakhir dari mana setiap objek inderawi memancar, dan Dia
membawa setiap objek tersebut menjadi wujud. Kesatuan dan keanekaan
bersama-sama dalam satu objek inderawi dan keanekaan haruslah merupakan satu
kelompok dari satuan-satuan tunggal, sehingga niscaya bahwa tidak akan pernah
ada keanekaan seandainya tidak ada kesatuan.
c)
Secara logis, sesuatu tidak
mungkin menjadi sebab bagi dirinya. Sesuatu yang menjadi sebab bagi dirinya
mungkin tiada dan esensinya juga tiada. Dengan demikian, tidak ada sebab maupun
yang disebabkan, karena sebab dan akibat hanya dinisbatkan kepada yang ada.
Jika sesuatu yang tiada merupakan sebab bagi dirinya, maka pada waktu yang
sama, ia adalah dirinya dan juga berbeda dengan dirinya. Namun hal ini menjadi
kontradiksi. Sesuatu yang mungkin ada dan esensinya juga ada yang dalam hal ini
bisa saja esensinya berbeda dengan dirinya. Hal ini adalah tidak mungkin secara
logis, atau sesuatu yang sama akan menjadi sebab dan sekaligus akibat yang juga
pastinya merupakan sebuah kontradiksi. Karena itu, untuk mengatakan bahwa
sesuatu benda ada dan esensinya juga ada sebagai sebab bagi dirinya adalah
rancu.
d)
Sebagaimana kita mampu
mengidentifikasi keberadaan jiwa dengan mengamati akibat-akibat yang tampak
dari badan kita, demikian juga kita bisa mengetahui wujud Tuhan dengan
mengamati akibat-akibat dari pengaturan-Nya yang bijak, yang tercermin dalam
dunia lahiriah.
2)
Argumen melalui kemungkinan (dalīl
al-jawāz) yang diwakili oleh Ibn Sina,
yaitu argumen yang fokus pada kontengensi atau kemungkinan, dari mana adanya
Wujud Niscaya dapat secara logis disimpulkan. Argumen kemungkinan menyatakan
bahwa suatu wujud yang mungkin tidak bisa ada dengan sendirinya karena
kontingensi berarti menggantung dalam keseimbangan antara ada dan tiada,
sehingga membutuhkan sebuah sebab yang akan mengubah keiseimbangan tersebut ke
arah yang ada. Sebenarnya, argumentasi ini telah lebih dahulu diperkenalkan
oleh al-Farrābī, namun di tangan Ibnu Sinalah argumen ini mencapai
perkembangannya yang matang.
3)
Argumen melalui rancangan (dalīl
al-‘ināyah) yang diwakili oleh Ibn Rusyd, yaitu argumen yang
menyatakan bahwa perlengkapan yang dibuat pada sesuatu demi kenyamanan dan
kebahagiaan manusia adalah dicipta untuk kepentingan manusia sendiri merupakan
bukti adanya rahmat Tuhan. Pencipta yang menakjubkan untuk segala sesuatu
seperti penciptaan kehidupan organik, persepsi inderawi, dan pengenalan
intelektual, merupakan bukti dari penciptaan yang menakjubkan.
Argumentasi-argumentasi tersebut di atas dapat dianggap sebagai usaha manusia
untuk memahami keberadaan Tuhan dengan akal atau dengan pendekatan filsafat.[17]
Meskipun argumentasi tersebut di
atas berbeda, namun menyiratkan bahwa Tuhan adalah Hakikat dari segala hakikat
yang ada dan disepakati bersama oleh para filosof muslim. Perbedaan hanya
terletak pada cara mereka menjelaskan keberadaan Tuhan sebagai Hakikat dari
segala hakikat yang ada. Apa yang telah dikemukakan oleh filosof terdahulu
hanya dilanjutkan oleh filosof kemudian, baik mengutipnya, mengana-lisanya, memodifikasinya, atau
mengkolaborasi argumen-argumen tersebut.
Argumen-argumen
tentang Wujud berhasil disintesiskan menjadi sebuah argumen yang lebih
komperehensif oleh Mulla Shadra dan menamakan filsafatnya dengan al-Hikmah
al-Muta‘āliyah (Kearifan Puncak). Sintesis ini menurut Fazlur Rahman tidak hanya berupa
rekonsiliasi dan kompromi yang superfisial, tetapi berlandaskan prinsip-prinsip
filosofis yang dikemukakan dan dijelaskan untuk pertama kalinya dalam sejarah
Islam.[18]
Mullah
Shadra
membedakan secara tegas antara wujūd[19]
dan realitasnya. Wujūd merupakan suatu konsep yang paling universal
dan paling dikenal di antara seluruh konsep yang ada, sedangkan realitasnya
adalah sesuatu yang paling tersembunyi, meskipun sesungguh-nya ia merupakan sesuatu yang paling nyata. Wujūd
merupakan realitas satu-satunya bagi mereka yang memiliki intelektual yang
dihasilkan dari proses iluminasi dan pengungkapan.[20]
Huwaidi menulis tentang ontologi
yang benar sebagai berikut: Adanya Pencipta adalah mutlak. Menjadikan manusia
dengan benar, menciptakan langit dan bumi dengan benar, Ia menyimpan
tanda-tanda kebesaran-Nya dalam Bumi dan Langit dengan benar. Diciptakan oleh
Allah yang menertibkan segala sesuatu. Itulah yang disebut Filsafat wujud yang
benar.’[21]
Selanjutnya,
apa yang diulas oleh Huwaidi dalam bukunya juga berkisar pada masalah Sang
Pencipta, penciptaan, dan yang diciptakan. Sebagaimana Muthahhari, Huwaidi juga
menganggap bahwa kesimpulan tentang causa prima (sebab pertama) yang
berkembang di Barat adalah kesimpulan yang dibuat secara terpaksa karena tidak
mungkin memutuskan untuk menerima rangkaian sebab-akibat yang tak terhingga.
Huwaidi juga hanya mengulas argumen-argumen filosof muslim awal seperti yang
telah disebutkan.
Definisi
ontologi dengan berbagai pandangan tentang dan mengenainya sudah cukup untuk
memberikan gamabaran tentang pengertian
ontologi yang akan digunakan pada pembahasan selanjutnya, yaitu pandangan Al-Qur’an tentang
realitas atau konsep Al-Qur’an
tentang “ada”.
B.
Kajian Epistemologi: Cara Mendapatkan Ilmu
Epistemologi sering juga diartikan sebagai teori pengetahuan. Bagus menulis
dalam ensiklopedinya bahwa epistemologi berasal dari kata Yunani, yaitu ‘episteme’
(pengetahuan, ilmu pengetahuan) dan ‘logos’
(pengetahuan, informasi) yang berarti pengetahuan tentang pengetahuan atau
adakalanya disebut sebagai teori pengetahuan.[22] Hal senada juga diungkapkan oleh Rizal dan Misnal yang menulis bahwa
secara etimologis epistemologi berarti teori pengetahuan.[23] Kartanegara pun menyamakan antara epistemologi dan teori pengetahuan.[24] Dalam arti luas, teori pengetahuan
dapat juga dikatakan sebagai metafisika pengetahuan, karena mencakup
penelitian-penelitian tentang proses terjadinya pengetahuan serta studi kritis
tentang keabsahan sebuah pengetahuan. Dalam arti sempit, teori pengetahuan
merupakan penelitian filosofis tentang kesahihan objektif pengetahuan.[25]
Filsafat ilmu, filsafat sains dan filsafat pengetahuan adalah
istilah-istilah yang sering digunakan dalam pembahasan tentang epistemologi.
Disebutkan bahwa hubungan filsafat ilmu dan filsafat pengetahuan dengan
epistemologi adalah hubungan antara cabang dan induk di mana epistemologi
adalah induknya. Objek material dari filsafat pengetahuan adalah gejala
pengetahuan, sedangkan gejala-gejala
pokok ilmu menurut sebab terdalam adalah objek material filsafat ilmu.
Pembahasan dalam epistemologi adalah objek pengetahuan, sumber dan alat untuk
memperoleh pengetahuan, kesadaran, dan metode validitas pengetahuan, serta
kebenaran pengetahuan.[26]
Ediyono tidak memasukkan filsafat sains sebagai cabang epistemologi, karena
menurut pandangannya dari segi pengertian, sains tidak jauh berbeda dengan
ilmu. Sains merupakan kata serapan yang telah mengalami adaptasi fonemis dari
kata Inggris science yang berarti any organized knowledge (pengetahuan
yang terorganisir). Dalam bahasa Indonesia sains disepadankan dengan ilmu atau
ilmu pengetahuan, namun sains dibatasi pada persoalan fisik atau inderawi,
sementara ilmu melampauinya pada masalah-masalah nonfisik atau metafisik.[27]
Sementara itu epistemologi bagi Bagir dan Abidin adalah satu di antara tiga
aspek filsafat ilmu. Dua aspek lainnya yaitu ontologi dan aksiologi.
Epistemologi atau teori pengetahuan berkaitan dengan fakultas-fakultas manusia
yang merupakan alat untuk mencapai objek, serta berkaitan dengan cara subjek
mencapai objek. Jika penekanannya adalah sifat-sifat dan cara kerja
fakultas-fakultas itu, maka ini adalah kajian epistemologi, tapi
jika aksentuasinya adalah proses sampainya subjek ke objek, maka inilah yang
dikenal dengan metode keilmuan[28].
Sementara bagi Ediyono, metode keilmuan adalah prosedur yang ditempuh untuk
memperoleh pengetahuan ilmu. Menurut Ediyono
langkah metodologi inilah yang membedakan ilmu dengan pengetahuan lain.[29]
Di sini Ediyono tidak menyebutkan pengetahuan lain seperti apa yang
dimaksud, juga tidak menjelaskan metodologi seperti apa yang digunakan atau bentuk
metode secara spesifik yang membedakannya dengan pencapaian pengetahuan lain.
Semestinya setiap pengetahuan yang diperoleh sudah barang tentu melalui tahapan
metodologis. Metode ilmiah menurut Ediyono lebih lanjut merupakan penataan
data-data yang masih tidak teratur untuk digunakan dalam mencapai pengetahuan
ilmiah. Apakah hanya pengetahuan ilmiah yang
mensyaratkan penataan data atau organisasi data untuk menuju ke
pemahaman tertentu? Apakah itu tidak berlaku pada pengetahuan lain? Terhadap
aksentuasi proses yang ditekankan oleh Bagir dan Abidin perlu dijelaskan
mengenai padanan dari ‘sampainya subjek terhadap objek’. Apakah ketika subjek
telah sampai pada objek berarti subjek telah mengilmui atau mengetahui objek?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus mendapatkan jawabannya yang pasti
karena konsep epistemologi itulah yang akan digunakan untuk melahirkan ilmu.
Metodologi yang dilahirkan, yang merupakan penjabaran dari sebuah konsep
epistemologi, haruslah dapat berlaku secara umum. Hal ini didasarkan pada
kaidah logika bahwa hal parsial harus merupakan jabaran dari yang umum.
Konsekuensinya jika sesuatu yang parsial merupakan jabaran dari yang umum
adalah ia harus sesuai dengan yang parsial lainnya karena ia juga merupakan
jabaran dari umum yang sama.
Sumantri[30] juga berpandangan bahwa epistemologi merupakan salah satu dari tiga
landasan filsafat ilmu dalam melakukan telaah secara filosofis yang bertujuan
untuk menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu.[31]
Ketiga landasan tersebut adalah:
a)
Landasan
ontologi sebagai landasan filosofis
yang membicarakan tentang objek yang ditelaah ilmu, wujud hakiki objek
tersebut, serta hubungan antara objek dengan daya tangkap manusia;
b)
Landasan
epistemologi sebagai landasan
filosofis yang mempersoalkan proses yang memungkinkan perolehan ilmu, prosedur
perolehannya, hal-hal yang harus diperhatikan agar kita mendapat pengetahuan
yang benar, serta cara, teknik, dan sarana yang membantu dalam mendapatkan
pengetahuan yang berupa ilmu;
c)
Landasan
aksiologi sebagai landasan filosfis
yang ingin menjawab persoalan seputar tujuan penggunaan ilmu, kaitan antara
cara penggunaan ilmu tersebut dengan kaidah-kaidah moral, serta kaitan antara
teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan
norma-norma moral-profesional.
Beerling, Kwee, Mooij, dan Van Peursen[32]
dalam Pengantar Filsafat Ilmu[33]
membedakan pembicaraan dalam filsafat ilmu menurut tendensinya
(kecenderungannya), yaitu bertendensi metafisik dan bertendensi metodologik.
Filsafat ilmu bertendensi metafisik disebut juga sebagai filsafat ilmu dalam
arti luas. Dalam arti ini, filsafat ilmu membicarakan hubungan eksternal ilmu,
seperti implikasi ontologik-metafisik dari citra dunia yang bersifat ilmiah,
nilai-nilai yang menjadi pegangan penyelenggara ilmu serta konsekuensi etis
penyelenggara dan pengguna ilmu. Sementara filsafat ilmu yang bertendensi
metodologik disebut juga sebagai filsafat ilmu dalam arti sempit. Dalam konteks
ini, filsafat ilmu membicarakan permasalahan internal ilmu atau
hubungan-hubungan ke dalam yang terdapat dalam proses ilmu itu sendiri.[34]
Tampaknya, filsafat ilmu modern lebih cenderung pada pengertian kedua
seperti yang dikemukakan oleh Beerling et al. di atas, yaitu lebih
bertendensi metodo-logik. Sementara filsafat ilmu dalam Islam, sebagaimana akan dipaparkan
nanti, lebih bertendensi metafisik dan dalam cakupan yang lebih luas.
Sementara itu Juhaya S. Praja[35]
tidak melihat filsafat ilmu berdasarkan kecenderungan, melainkan secara umum
sebagai satu kesatuan konseptual yang membicarakan tiga masalah pokok[36]yaitu:
a)
Masalah
asal pengetahuan (origin of knowledge). Masalah ini meliputi sumber
pengetahuan, sumber
kebenaran pengetahuan, dan proses mengetahui;
b)
Masalah
penampilan (appearance) realitas. Masalah ini meliputi watak
pengetahuan, keberadaan dunia nyata akal dan kemungkinan untuk mengetahuinya;
c)
Masalah
pengujian (verifikasi) kebenaran pengetahuan. Masalah ini meliputi kemungkinan
verifikasi kebenaran pengetahuan dan perbedaan antara kebenaran dan kekeliruan.
Menurut Mustansyir dan Munir, ketiga landasan filosofis
tersebut juga merupakan objek formal dari filsafat ilmu.[37]
Ontologi menyangkut hakikat ilmu atau lebih khusus ke hakikat wujud ilmu itu
sendiri. Tidak seperti Sumantri yang secara umum melihat ontologi sebagai
landasan filosofis menyangkut hakikat wujud dari objek yang ditangkap oleh ilmu,
bukan menjadikan ilmu sebagai objek ontologis. Epitemologi menyangkut cara
memperoleh ilmu, dan aksiologi menyangkut fungsi ilmu bagi manusia.
Baqir dan Abidin mengemukakan bahwa sedikitnya ada tiga aspek dalam
filsafat ilmu, yaitu ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Aspek ontologis
menyang-kut teori tentang ada (being) sebagai objek ilmu. Hal ini senada
dengan landasan ontologi Jujun. Aspek epistemologis menyangkut
fakultas-fakultas manusia (human faculties)[38]
sebagai alat untuk mencapai objek. Epistemologi mempelajari sifat-sifat dan
cara kerja fakultas-fakultas tersebut. Aspek aksiologis menilai dampak ilmu
terhadap lingkungan di mana ilmu tersebut dikembangkan dan diterapkan.[39]
C.
Kajian Aksiologi: Nilai Kegunaan Ilmu
Kenyataan dari dampak penerapan sains modern yang
dirasakan sejak dari awal perkembangannya mendorong munculnya persoalan tentang
nilai ilmu, baik materi ilmu itu sendiri maupun nilai praktis dari ilmu. Jika
dilihat dari motif pekembangan filsafat sains modern, maka itu lebih banyak
diakibatkan oleh keprihatinan para ilmuan dan filosof akan berbagai dampak
negatif yang mengganggu, bahkan mengancam eksistensi manusia. Ini mulai
mengemuka sekitar awal abad XX, meskipun sejak abad sebelumnya Francis Bacon
dianggap telah meletakkan dasar filsafat ilmu.[40]
Ketika sains berlepas diri dari
filsafat, beberapa ilmuan dan filosof merasa tercerabut dari pandangan
menyeluruh tentang konsep alam semesta, termasuk di antaranya tentang nilai,
sehingga mereka merumuskan sebuah konsep filsafat yang bisa menjelaskan
pengetahuan secara keseluruhan dari segala aspeknya.[41]
Dengan basis ontologi dan
epistemologi yang materialistik, filsafat Barat pada akhirnya tidak mampu
merumuskan aksiologi yang kokoh. Reduksi potensi manusia dalam memperoleh
pengetahuan serta pembatasan objek pengetahuan pada yang fisik saja menjadikan
argumentasi filsafat Barat tentang nilai pengetahuan sangat parsial, tentu saja
ini akan berimplikasi langsung dalam praktisasi ilmu, karena sudah tidak dengan
pertimbangan yang menyeluruh.
Kenyataan tersebut sangat berbeda
dalam filsafat Islam. Dengan basis ontologi dan epistemologi yang kokoh, karena
didasari pada Yang Maha Benar, aksiologi Islam memiliki nilai kebenaran
objektif secara teoritis sehingga tentu saja memiliki nilai praktis yang dapat
mengantarkan manusia menjadi insan kāmil dalam menjalani tujuan utama
hidupnya.
Dalam lingkup aksiologi, Ṣadr
mengurai panjang lebar tentang aliran-aliran aksiologi filsafat yang berkembang
di Barat. Berbagai kekeliruan-kekeliruan berpikir yang terjadi tidak lain
diakibatkan oleh lemahnya basis-basis ontologi dan epistemologi Barat. Ṣadr
terlihat lebih menekankan aspek nilai pengetahuan dalam arti kandungan
kebenaran dari sebuah pengetahuan di banding aspek penerapannya.[42]
Aksiologi berasal dari kata
Yunani, yaitu axios yang berarti layak dan logos berarti ilmu
atau studi mengenai. Dari pengertian etimologis ini, Bagus menurunkan beberapa
pengertian seperti; 1) aksiologi merupakan analisis nilai-nilai dengan
pengertian membatasi arti, ciri-ciri, asal, tipe, kriteria dan status
epistemologi dari nilai-nilai itu; 2) merupakan studi yang menyangkut teori
umum tentang nilai atau studi yang menyangkut segala yang bernilai.[43]
Secara lebih lengkap dapat
diberikan penjelasan bahwa aksiologi adalah studi filosofis mengenai hakikat
nilai-nilai. Hakikat nilai dapat dijelaskan dengan tiga cara. Pertama, nilai
sepenuhnya berhakikat subjektif. Dari pandangan ini, nilai-nilai merupakan
reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku. Pengikut teori idealisme
subjektif (positivisme logis, emotivisme, analisis linguistik dalam etika)
menganggap nilai sebagai sebuah fenomena kesadaran dan memandang nilai sebagai
pengungkapan perasaan psikologis, sikap subjektif manusia kepada objek yang
dinilainya. Kedua, nilai-nilai merupakan kenyataan, namun tidak terdapat ruang
dan waktu. Nilai-nilai merupakan esensi-esensi logis dan dapat diketahui
melalui akal. Ketiga, nilai-nilai merupakan unsur-unsur objektif yang menyusun
kenyataan.[44]
Dari jabaran pandangan aksiologi
di atas dapat ditarik sebuah pengertian bahwa yang dimaksud dengan aksiologi
adalah telaah filosofis tentang nilai. Kaitannya dengan pembahasan epistemologi
adalah bagaimana hakikat nilai dari ilmu, atau berkaitan dengan persoalan;
apakah ilmu itu bebas nilai atau tidak? Apakah relevan mengatakan; bahwa ilmu
itu baik atau buruk ataukah tidak ada relevansinya?
Pembahasan tentang nilai jika
dikaitkan dengan epistemologi, sangat tepat jika dibahas dengan perspektif yang
digunakan oleh Kattsoff dengan menggunakan istilah ’yang bernilai dan yang
diberi nilai’. Dengan sudut pandang ini, sesuatu dapat dilihat nilainya dari
sesuatu itu sendiri atau dari sesuatu yang memberinya nilai atau membuatnya
bernilai.[45]
Perspektif pertama melihat objek
secara tersendiri. Sementara perspektif kedua berkaitan dengan objek lain
demikian pula subjek. Jika dikaitkan dengan epistemologi, maka yang pertama
berarti hakikat nilai yang oleh ilmu dari sejak awal, sementara yang kedua
melihat kebernilaian ilmu jika dikaitkan dengan subjek. Dengan ketiga cara
menjelaskan seperti yang dikemukakan oleh Bagus sebelumnya, maka tinggal
mengganti kata ‘sesuatu’ dengan kata ‘ilmu’ dengan mencocokkan perspektif yang
digunakan oleh Kattsoff.
Algazali membagi ilmu menjadi
ilmu-ilmu faktual teoritis dan ilmu-ilmu praktis. Ilmu-ilmu faktual teoritis
sepenuhnya dalam dimensi ontologis dan aksiologisnya bebas nilai atau netral.
Tetapi itu tidak berarti bahwa semua fakta dapat diungkap dan semua ilmu
faktual dapat diterapkan begitu saja melainkan dalam dimensi aksiologisnya
harus mempertimbangkan konteks dan implikasinya sesuai dengan tuntutan
norma-norma etis-yuridis.[46]
a.
Kajian Pengetahuan
Berdasarkan
pendekatan aspek
kebahasaan, istilah pengetahuan
tampak lebih orisinil dibanding ilmu dalam konteks
pemikiran di Indonesia. Dari struktur morfologisnya, afiksasi morfem
“pe-an” menandakan secara internal
struktur morfologi Bahasa Indonesia. Di samping itu, secara eksternal tidak
memiliki indikasi berupa kata yang serupa dengan makna yang identik dalam bahasa
asing. Berbeda dengan ilmu akan dijelaskan tersendiri yang memiliki kemiripan dengan bahasa asing dalam hal ini
Bahasa Arab. Sehingga sulit memastikan apakah ‘ilmu’ turut diwariskan bersama
pengetahuan yang lahir dari budaya pemikiran bangsa Indonesia.
Dengan demikian, lebih dapat diterima kalau
dikatakan bahwa sejarah pemikiran bangsa Indonesia adalah sejarah pengetahuan.
Ilmu hanya dapat dipandang sebagai perkembangan pengetahuan selanjutnya.
Terlihat dalam penggunaan istilah ‘ilmu pengetahuan’ yang digunakan dalam
budaya pendidikan Indonesia. Istilah ini merupakan pencirian sebuah jenis
pengetahuan yang besifat ilmiah. Dalam perkembangan selanjutnya, ‘ilmu
pengetahuan’ cenderung lebih diakui dan lebih banyak disebut dari pada
‘pengetahuan biasa’.
Jika
analisa dilakukan dengan pendekatan kebahasaan, dapat disimpulkan bahwa ilmu
tidak dapat berdiri sendiri. Ilmu hanya dapat menjadi sifat dari sebuah
pengetahuan. Meskipun dalam penggunaan kata ilmu tidak bersama dengan
pengetahuan, namun tetap mengindikasikan bahwa yang dimasud adalah pengetahuan.
Pengetahuan didapat dari proses kerja dari ‘tahu’ atau mengetahui. Demikian
juga halnya dengan ilmu. Kecuali jika dalam memperoleh ilmu ada cara lain dari dari proses
mengetahui tadi. Artinya, segala hal yang diperoleh dari kata kerja ‘tahu’
adalah pengetahuan.
Karena itulah menurut Kartanegara, pengetahuan
dipandang lebih umum dan bukan berbeda dengan ilmu. Bahkan terkadang disamakan[47]. Ilmu adalah keturunan
dari pengetahuan dan tidak dapat didefinisikan tanpa pengetahuan. Ilmu hanya
bisa dibedakan dengan ‘pengetahuan lain’ yang bukan pengetahuan ilmiah atau
tidak ditempuh sesuai dengan metodologi ilmiah. Itu akan terlihat dengan jelas
ketika perbedaan yang nyata antara ilmu pengetahuan dengan pengetahuan yang
lain sudah dapat dicirikan dengan jelas pula. Karena tanpa ciri yang nyata,
ilmu akan tampak sebagai kata lain dari pengetahuan.
Pengetahuan diartikan sebagai segala sesuatu yang
diketahui, kepandaian, atau segala sesuatu yang diketahui berkenaan mata
pelajaran.[48] Pengertian ini sangat umum
sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Di samping itu juga memiliki
keidentikan dengan dunia akademik karena berkaitan dengan mata pelajaran yang sarat
dengan muatan ilmiah. Bertolak dari pengertian tersebut,
sulit dibedakan antara pengetahuan ilmiah dengan pengetahuan yang tidak ilmiah.
Sejalan dengan pengertian tersebut, Bagus menulis
dalam ensiklopedinya; Dalam arti luas,
pengetahuan berarti semua kehadiran intensional objek dalam subjek. Tapi dalam
arti sempit dan berbeda dari imajinasi atau pemikiran belaka, pengetahuan hanya
berarti putusan yang benar dan pasti (kebenaran; kepastian). Di sini subjek
sadar akan hubungan-hubungannya sendiri dengan objek dan sadar akan hubungan
objek dengan eksistensi. Pada umumnya, adalah tepat kalau mengatakan
pengetahuan hanya merupakan pengalaman “sadar”. Karena, sangat sulit melihat
bagaimana persisnya suatu pribadi dapat sadar akan suatu eksisten tanpa
kehadiran eksisten itu di dalam dirinya’[49].
Dapat dipahami, bahwa dengan mengikuti pengertian
pengetahuan di atas, pengertian ilmu menjadi tidak memililki makna secara
signifikan. Ketika objek telah hadir dalam subjek dan merupakan putusan yang
benar dan pasti, maka semua itu adalah pengetahuan. Tidak ada pemisahan yang
jelas posisi objek dari pengetahuan dan objek dari ilmu dalam diri subjek.
Pengertian ini juga secara gamblang menegaskan pengertian yang dilekatkan
kepada pengetahuan biasa sebagai sesuatu yang mengandung dugaan. Seseorang tidak semestinya berkata; “saya mengetahui” jika didalamnya mengandung dugaan. Jauh lebih
jelas jika dia berkata; “saya menduga”.
Jadi, kata kunci yang harus dipegang dalam
memahami pengetahuan adalah kehadiran objek dalam diri subjek dan berarti
sebuah keputusan yang benar dan pasti, atau dalam bahasa Al-Attas sampainya
makna sesuatu kepada diri atau sampainya diri kepada makna sesuatu.[50] Ketika metodologi ilmiah
dirancang untuk mendapatkan kepastian dan kebenaran, maka sudah sangat jelas
bahwa antara ilmu dan pengetahuan tidak terdapat perbedaan yang signifikan
kecuali hanya perbedaan antar genus dalam satu spesies.
Al-Attas dalam bukunya Islam dan Filsafat Sains
mengurai panjang lebar tentang penerjemahan kata knowledge dan
science.
Mana yang berarti pengetahuan dan
mana yang berarti ilmu. Ia
mengkritisi usulan Suryasumantri agar science diterjemahkan dengan ilmu dan knowledge dengan
pengetahuan. Usulan ini kemudian menjadi umum digunakan. Secara semantik, knowledge
memang lebih tepat diterjemahkan sebagai ilmu
apalagi jika dikaitkan dengan asal kata ilmu yang identik dengan kata ‘ilmun
yang sebagai istilah generik dalam bahasa Arab, memang memiliki nuansa yang
serupa dengan knowledge. Sementara
science
yang merupakan spesies ilmu, mesti diterjemahkan menjadi ilmu pengetahuan,
karena pengetahuan memang merupakan semacam spesies dari ilmu.[51]
b.
Kajian Ilmu
Berbeda dengan pengetahuan, ilmu memiliki indikasi
eksternal berupa kata yang secara fonologis dan morfologis sama dengan bahasa
lain. Kata ‘ilmu dalam Bahasa Arab memiliki kesamaan dengan kata ilmu
dalam Bahasa Indonesia dan memiliki arti yang identik, yaitu pengetahuan.
Secara morfologis dapat dilihat ketika kata ilmu dibentuk menjadi kata sifat
‘ilmiah’. Penambahan akhiran ‘ah’ dengan terlebih dahulu merubah fonem /u/
menjadi /i/, adalah proses pengimbuhan yang bertujuan untuk memberi arti sifat.
Proses pengimbuhan ini tidak umum dalam Bahasa Indonesia. Bentuk morfologi
seperti ini justru lebih dikenal dalam Bahasa Arab. Penambahan ‘ya’(ي) pada kata ‘ilmun’ (علم)
menjadi ‘ilmiyyatun’ (علمية) dilakukan
untuk memberi kandungan sifat pada kata tersebut. Dengan demikian, kesesuaian
tidak hanya dalam tataran fonologi dan morfologi, tapi juga tentunya dalam
tataran semantik, sehingga sangat kuat mengindikasikan bahwa kata ilmu
merupakan serapan dari Bahasa Arab.
Kartanegara juga menulis bahwa ilmu berasal dari Bahasa
Arab. Kata ‘ilmu berasal dari kata ‘alima yang berarti
mengetahui. Jadi secara harfiah kata ilmu tidak berbeda dengan science yang
berasal dari bahasa Yunani (sciere) yang berarti mengetahui.[52]
Koherensi sistematik adalah hakikat ilmu. Demikian
menurut Bagus dalam mencirikan ilmu sehingga berbeda dengan pengetahuan. Ilmu
menandakan kesatuan ide yang mengacu ke objek yang sama dan saling berkaitan
secara logis, lanjutnya.[53] Tapi jika kesatuan ide yang
berkaitan secara logis tersebut dalam hal kehadirannya dalam diri subjek, apa
bedanya dengan pengetahuan. Adalah keliru jika Bagus berpendapat bahwa
kehadiran setiap objek dalam diri subjek mungkin tanpa keterkaitan logis atau koherensi
sistematis bagian-bagian objek. Dan supaya tidak terjadi kontradiksi antara
pengertian ilmu dan pengetahuan yang dikemukakan Bagus, harus ada penjelasan lebih rinci tentang maksud ‘kehadiran’tersebut. Karena
jika seseorang tidak mampu menjelaskan sebuah objek, itu artinya objek itu
belum hadir dalam diri subjek, dan berarti juga sang subjek tidak mengetahui.
Kartanegara dalam Pengantar Epistemologi Islam
mencirikan ilmu sebagai pengetahuan sesuatu sebagaimana adanya. Berbeda dari
pengetahuan biasa karena pengetahuan biasa dapat saja mengetahui tentang
sesuatu tidak sebagaimana adanya, melainkan hanya pengetahuan umum yang
didasarkan pada opini atau kesan keliru dari tangkapan indera.[54] Dari pengertian ini
dipahami bahwa ilmu sesungguhnya tidak berbeda dengan pengetahuan. Ilmu hanya
berbeda dengan pengetahuan biasa atau umum, di mana ilmu telah terbukti
kebenarannya, sementara pengetahuan biasa belum terbukti benar, atau baru
berupa anggapan atau asumsi. Ketika dalam pembuktian asumsi tersebut ternyata
tidak benar maka asumsi tersebut bukan saja tidak mengalami peningkatan status
menjadi pengetahuan ilmiah, tapi malah kehilangan predikat sebagai pengetahuan
biasa.
Dengan demikian, jika seluruh pengetahuan biasa
atau umum yang berdasar dari opini dan asumsi dibawa ke medan pembuktian apa
pun bentuknya, maka yang terjadi sesungguhnya adalah seleksi pengetahuan.
Pengetahuan yang ternyata terbukti kebenarannya menjadi pengetahuan ilmiah,
sementara yang tidak terbukti, gugur sebagai pengetahuan bahkan sebagai
pengetahuan biasa sekalipun, karena tidak ada faedahnya menganggapnya sebagai
pengetahuan setelah secara nyata terbukti bahwa itu tidak benar. Pada akhirnya,
ilmu dan pengetahuan tidak lagi bisa dibedakan, karena yang namanya pengetahuan
biasa atau umum telah dieliminasi dalam arena pembuktian.
Dari beberapa pencirian sebelumnya, yaitu
pencirian dengan koherensi yang sistematis dan hubungan logis bagian-bagian
objek serta pengetahuan sebagaimana adanya yang diperoleh dengan langkah
pembuktian, tidak secara pasti membedakan antara pengetahuan dan ilmu. Hal yang
jelas dapat dibedakan adalah antara ilmu dengan pengetahuan biasa atau umum
bukan dengan pengetahuan. Hanya saja rujukan referensial dari istilah
pengetahuan biasa atau umum juga tidak jelas dan dapat menimbulkan bias. Sama
biasnya dengan istilah, misalnya “emas palsu”, karena “emas palsu” sudah pasti
bukan emas. Bandingkan dengan “pengetahuan asumtif”!
Demikian pula jika dikatakan bahwa hubungan antara
ilmu dan pengetahuan adalah hubungan genetif di mana pengetahuan adalah gen dan
ilmu adalah spesiesnya. Pernyataan ini jika didasarkan pada kedua pencirian
tersebut di atas, juga meperlihatkan adanya kerancuan. Jika ilmu mensyaratkan
koherensi logis sistematis untuk menjadi spesies khusus dari pengetahuan, maka
syarat itu haruslah ada dalam gen pengetahuan itu. Karena jika syarat itu tidak
ada maka tidak bisa dikatakan kalau spesies ilmu berasal dari gen pengetahuan.
Jika rasionalisasi ini diterima, maka pertanyaan adalah; dapatkah sesuatu yang logis bisa tinggal bersama atau melahirkan sesuatu yang
tidak logis? Dapatkah gen pengetahuan yang
salah satu unsurnya adalah logis sitematis menerima dan melahirkan sesuatu yang
tidak logis dan sistematis?
Karena itulah, pemakaian kata ‘ilmu’ dan
‘pengetahuan’ sering dipertukarkan dan kadangkala dipadukan dalam penggunaan.
Dalam pertukaran atau pemaduan kedua kata tersebut ternyata tidak menimbulkan
kesalahan semantis. Itu
berarti bahwa memang tidak terdapat perbedaan konseptual antara kedua kata
tersebut. Jika alasannya adalah tergantung konteks, maka perbedaan keduanya
bukalah perbedaan yang ada secara internal masing-masing istilah melainkan ada
secara eksternal.
Hal yang berbeda terjadi antara istilah ‘ilmu’
dengan ‘sains’. Adanya perbedaan dapat dipahami karena keduanya berasal dari
dua budaya pemikiran yang berbeda, ilmu dari Timur dan sains dari Barat. Budaya
pemikiran Timur Tengah misalnya yang sangat ditopang dengan Islam memiliki
cakupan ilmu yang luas. Kaitan antara pemikiran dan ideologi Islam menjadi
sangat kuat karena ditopang oleh idiologi tokoh-tokoh ilmuan Islam. Pergulatan
pemikiran dari berbagai aliran menjadi salah satu media pematangan proses
berpikir di dunia Islam. Tidak demikian di dunia Barat. Zaman kegelapan yang
terjadi di abad-abad pertengahan menimbulkan efek tersendiri terhadap pemikiran
di Barat. Otoritas gereja yang begitu kuat dan sangat menekan dinamika
pemikiran terutama berbagai kesimpulan ilmiah yang mengancam posisinya. Pada
akhirnya ilmuan sains modern sangat tidak tertarik untuk berbicara hal-hal yang
bersifat metafisik.
Persamaan dapat ditemui dalam kedua istilah
tersebut (sains dan ilmu), misalnya keduanya mencirikan pemikiran logis
sistematis. Namun dalam perkembangan selanjutnya terkadang masing-masing
memiliki kecenderungan yang berbeda. Hal yang paling menonjol adalah ruang
lingkup dari keduanya. Sains hanya dibatasi pada bidang-bidang empiris positif,
sementara ilmu selain membahas masalah empiris juga menyangkut masalah
nonempiris, seperti matematika dan metafisika.[55]
Dari aspek peristilahan keduanya hanya penting
dikemukakan dalam dunia pemikiran Indonesia. Pentingnya mencari makna kedua
istilah tersebut secara referensial karena keduanya terkadang dipakai secara
tidak konsisten. Kadang disamakan,
tetapi di saat lain dibedakan. Hal ini menuntut pentingnya ilmuan yang ada di
Indonesia menemukan penjelasan pasti mengenai keduanya.
Latar belakang pemikiran para tokoh pemikiran
Indonesia menjadi salah satu penyebab digunakan istilah tersebut secara
berbeda. Mereka yang belajar di Barat akan akrab dengan istilah sains,
sementara mereka yang memiliki kiblat pemikiran di Timur tentu lebih akrab
dengan istilah ilmu.
Jika pertemuan pemikiran yang mengakibatkan
terjadinya interaksi bahasa pemikiran adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari,
maka hal yang perlu dicermati adalah seleksi peristilahan, terutama sekali
dalam hal menyerap bahasa asing. Kata ilmu dan sains yang diserap dari bahasa
asing misalnya, harus dilihat kesepadanannya dalam bahasa Indonesia. Ini juga
akan memberikan pertimbangan urgensi sebuah bahasa yang akan diserap, karena
kepentingan untuk menyerap sebuah kata atau istilah dari bahasa asing biasanya
disebabkan tidak adanya rujukan tersebut di mana bahasa yang menyerap
digunakan. Tetapi ketika rujukan konsep tersebut ada dan sudah sejak lama
dikenal maka tentu saja telah ada kata sebagai simbol rujukan tersebut.
Dengan demikian, ketika ilmu dan sains diserap ke
dalam Bahasa Indonesia, maka pertanyaannya adalah: apakah tidak ada kata atau istilah dalam bahasa Indonesia
yang sepadan dengan kedua kata istilah tersebut. Kalau memang tidak ada, itu
menandakan bahwa budaya pemikiran Indonesia sangat ketinggalan dan memang
pantas menyerap keduanya sekalian bersama sistem pemikiran yang dirujukinya,
karena sistem pemikiran tersebut tidak terdapat di Indonesia. Tapi jika rujukan
kata dan istilah tersebut telah lama dikenal dan memiliki kata sendiri dalam
bahasa Indonesia, maka pertanyaannya adalah; apa kata atau istilah tersebut
dalam bahasa Indonesia dan untuk apa kedua kata dan istilah asing tersebut
diserap? Setelah ditemukan jawabannya barulah berpikir untuk melakukan usaha
untuk mempertahankan dan menggunakannya dalam bahasa Indonesia. Tujuan
penyerapan itu haruslah termuat dalam muatan kata dan istilah tersebut,
sehingga tidak menyeretnya untuk membentuk sebuah arti baru yang sebenarnya
tidak ada.
Bila kita merujuk ke acuan Islam, yaitu al-Qur’an, kita akan menemukan suatu kata yang secara etimologi
dekat dengan kata ilmu yaitu ‘ilm. Dalam bahasa Arab kata tersebut
memiliki banyak derivasi sebagaimana banyak digunakan dalam al-Qur’an. Dengan derivasi beragam, memahami ‘ilm dapat
dilakukan dengan melihat misalnya bentuk kata kerjanya yang menunjukkan bahwa ‘ilm
adalah hasil dari proses kerja ‘allama. Tidak seperti ilmu dalam
bahasa Indonesia yang tidak memiliki kata kerja, sehingga ilmu diperoleh dari
sebuah proses kerja dengan menggunakan kata kerja lain.
Dengan melihat penggunaan kata ‘ilm dengan
segala derivasinya dalam al-Qur’an, maka akan
ditemukan dua maksud. Terkadang mengandung maksud pengetahuan dalam arti umum,
dan ada kalanya digunakan untuk menunaikan arti pengetahuan secara lebih
khusus, atau terkadang diterjemahkan sebagai pengetahuan ilmiah. Akan tetapi
karena al-Qur’an menggunakan keduanya
dengan kata ‘ilm, maka keduanya harus diberi predikat ilmiah dalam
pengertian mengandung syarat kebenaran dan kepastian.
Menurut
Mustansyir dan Munir, ketiga landasan filosofis tersebut juga merupakan objek
formal dari filsafat ilmu.[56]
Ontologi menyangkut hakikat ilmu atau lebih khusus ke hakikat wujud ilmu itu
sendiri. Tidak seperti Sumantri yang secara umum melihat ontologi sebagai
landasan filosofis menyangkut hakikat wujud dari objek yang ditangkap oleh
ilmu, bukan menjadikan ilmu sebagai objek ontologis. Epitemologi menyangkut
cara memperoleh ilmu, dan aksiologi menyangkut fungsi ilmu bagi manusia.
Baqir
dan Abidin mengemukakan bahwa sedikitnya ada tiga aspek dalam filsafat ilmu,
yaitu ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Aspek ontologis menyangkut
teori tentang ada (being) sebagai objek ilmu. Hal ini senada dengan
landasan ontologi Jujun. Aspek epistemologis menyangkut fakultas-fakultas
manusia (human faculties)[57]
sebagai alat untuk mencapai objek. Epistemologi mempelajari sifat-sifat dan
cara kerja fakultas-fakultas tersebut. Aspek aksiologis menilai dampak ilmu
terhadap lingkungan di mana ilmu tersebut dikembangkan dan diterapkan.[58]
[2]Lorens Bagus, op.
cit., h. 689.
[3]Lihat Harol H.
Titus, Marilyn S. Smith, Richard T. Nolan, Living Issue in Philosophy,
diterjemahkan oleh H. M. Rasjidi dengan judul Persoalan-persoalan Filsafat
(Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 293.
[4]Lihat Louis O.
Kattsoff, op. cit., h. 219.
[7]Lihat Harol H. Titus, Marilyn S. Smith, Richard T. Nolan, loc. cit.
[8]Menurut W. E. Hocking, kata “idea-isme” lebih tepat daripada “idealisme”,
karena kata “idealisme” lebih banyak ditentukan oleh arti biasa dari “ide”
daripada kata “ideal” ibid., h. 316.
[10]Penjelasan
mengenai sebab-sebab yang menyeret ke pemikiran materialisme dunia Barat dapat
ditemukan pada buku Murtdha Muthahhari, The Causes Responsible of
Materialist in the West diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Akmal
Kamil dengan judul Kritik Islam terhadap Materialisme, (Jakarta:
Al-Huda, 2001).
[19]Mullah Shadra mempertahankan kata “wujūd” karena tidak
menemukan kata atau istilah yang tepat untuk dapat memenuhi kriteria seperti
kandungan kata “wujūd” yang mustahil didefinisikan dalam pengertian biasa seperti yang digunakan
dalam logika, yang membedakan antara genus dan differentia. Tidak
ada istilah yang lebih diketahui secara universal selain dari kata “wujūd”. Lihat Syaifan Nur, Filsafat Wujud Mulla Shadra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h.
150-151.
[23]Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat
Ilmu (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 16.
[24]Mulyadi Kartanegara, Seri Filsafat
Islam; Pengantar Epistemologi Islam (Bandung: Mizan, 2003), h. 1.
[25]Lihat
Lorent Bagus, op. cit. h. 813.
[26]Lihat
Suryo Ediyono, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Lintang Pustaka, 2005), h. 52.
[27]Mulyadi
Kartanegara, loc. cit.
[28]Haidar Bagir dan Zainal Abidin, “Pengantar”
dalam Mahdi Ghulsyani. Filsafat-Sains
Menurut Al-Quran (Bandung: Mizan, 1986), h. 32.
[29]Ediyono, op.
cit., h. 48.
[30]Lihat Mulyadi
Kartanegara, Pengantar, loc. cit. Dia mengomentari
bahwa dicetaknya Buku Jujun S. Sumantri berkali-kali menunjukkan, selain
popularitasnya, juga langkanya studi seperti ini di Indonesia. Di samping itu,
buku tersebut hanya merupakan representasi dari kajian filsafat ilmu
Barat.
[31]Lihat Jujun S.
Sumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pegantar Populer (Jakarta: Sinar
Harapan, 1990), h. 33.
[32]Beerling dan Van Peursen, dua dari empat penulis buku tersebut sudah amat
dikenal di Indonesia. Mengenai van Peursen sendiri, pernah membuat ejaan Bahasa
Indeonesia yang dikenal dengan Ejaan Van Peursen. Sementara Kwee Swan Liat dan
Moij keduanya merupakan guru besar terpandang di Nederland. Kwee dikenal
sebagai ahli filsafat ilmu alam dan Moij spesialis filsafat matematika. Lihat
Pengantar Penerbit dalam Beerling dan Van Peursen Pengantar Filsafat Ilmu yang
dialih bahasakan oleh Soejono Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990).
[33]Judul Asli buku ini adalah Inleiding tot de Wetenschapleer,
diterbitkan oleh Erven J. Bijleveld, Ultrecht, 1970. Buku ini merupakan
pengantar umum filsafat ilmu pertama di Belanda. Ibid.
[35]Lihat Mulyadi
Kartanegara, Pengantar, loc. cit. Kajian
epistemologi Juhaya S. Praja dianggap lebih baik jika dibandingkan dengan
kajian epistemologi Islam.
[36]Lihat Juhaya S.
Praja, Aliran-aliran Filsafat: dari Rasionalisme hingga Sekularisme (Bandung:
Alva Gracia, 1987), h. 1-2.
[37]Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, op. cit., h. 45.
[38]Sebagai istilah epistemologi, fakultas dimaksudkan sebagai alat atau sarana
untuk mencapai objek seperti: fakultas iderawi, fakultas imajinasi, fakultas
akal.
[39]Haidar Bagir dan Zainal Abidin, op. cit., h. 7.
[40]Lihat Rizal
Mustansyir dan Misnal Munir, op. cit., h. 43.
[41]Auguste Comte, Herbert Spencer, adalah
tokoh-tokoh yang mengambil jalan ini. Lihat Murtadha Muthahhari. Filsafat
Hikmah, op. cit., h.53.
[43]Lihat Lorent
Bagus, op. cit., h. 33
[45]Louis O. Kattsoff,
op. cit., h. 328
[46]Lihat Saeful
Anwar, op. cit., h. 329.
[47]Lihat Mulyadi
Kartanegara, Pengantar, op., cit., h. 1.
[49]Lorent
Bagus, op. cit., h. 803-804
[50]Lihat Syed
Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Filsafat Sains (Bandung: Mizan, 1995), h. 60
[52]Mulyadi
Kartanegara, pengantar, op. cit., h. 4.
[54]Lihat Mulyadi Kartanegara, Pengantar, loc. cit.
[56]Rizal
Mustansyir dan Misnal Munir, op. cit., h. 45.
[57]Sebagai
istilah epistemologi, fakultas dimaksudkan sebagai alat atau sarana untuk
mencapai objek seperti: fakultas iderawi, fakultas imajinasi, fakultas akal.
[58]Haidar
Bagir dan Zainal Abidin, op. cit., h. 7.
0 komentar:
Posting Komentar