Pages

Sabtu, 19 September 2015

Kajian dasar-dasar Ilmu






KAJIAN DASAR-DASAR ILMU




A.    Kajian Ontologi: Hakikat Apa yang Dikaji

Kattsoff memulai pembahasan ontologi dengan merumuskan pernyataan mengenai kenyataan, yaitu; (1) kenyataan bersifat kealaman (naturalisme), (2) kenyataan bersifat benda mati (materialisme), (3) kenyataan bersifat rohaniah (idealisme), (4) yang sungguh ada kecuali Tuhan dan Malaikat berupa bahan dan bentuk (hylomorfisme), (5) segenap pernyataan menyangkut “kenyataan” tidak mengandung makna (empirisme logis).[1]
Uraian tersebut di atas menggambarkan bahwa kajian ontologi tentang yang ada (kenyataan) didasari dengan lima pendekatan aliran, yaitu naturalisme, materialisme, idealisme, hylomorfisme dan empirisme logis, seperti dalam deskripsi berikut:

Gambar 9
DESKRIPSI KENYATAAN MENURUT KATTSOFF
(KAJIAN ONTOLOGI)













Rumusan pernyataan Kattsoff mengenai kenyataan tersebut merefleksikan berbagai aliran ontologis dalam filsafat Barat. Krikorian dalam bukunya Naturalism and the Human Spirit (1944) berpandangan bahwa semua penjelasan pada akhirnya mengacu pada objek-objek dan peristiwa-peristiwa dalam kerangka ruang dan waktu.[2] Titus et al. mengemukakan bahwa natura adalah dunia yang diungkapkan kepada kita oleh sains.[3] Sehingga, bagi seorang naturalis, pengetahuan ilmiah adalah satu-satunya pengetahuan.[4]
Menurut teori baru materialisme, apa yang dianggap sebagai kenyataan yang bersifat materi adalah segala sesuatu yang pada akhirnya dikatakan nyata, berasal dari materi, atau berasal dari gejala-gejala yang bersangkutan dengan materi,[5] sehingga bagi kaum materialis, pengetahuan ilmiah merupakan pengetahuan yang paling memadai.[6] Sementara itu Titus et al. menyebutkan bahwa doktrin alam semesta dapat ditafsirkan seluruhnya dengan sains fisik.[7]
Melihat adanya penyempitan kenyataan oleh dua aliran di atas, idealisme[8] mengemukakan pandangannya bahwa realitas terdiri atas atau erat hubungannya dengan ide, fikiran atau jiwa. Kaum idealis dapat saja menerima penjelasan ahli fisika tentang materi, asalkan tidak mereduksi alam semesta hanya dalam bentuk materi fisik.[9]
Keberadaan aliran idealisme mengisyaratkan bahwa dalam dunia pemikiran Barat, tidak semua meniscayakan kenyataan material, namun juga terdapat kesadaran akan adanya “sesuatu” di balik alam materi dan sangat menentukan. Hanya saja ketika gagal memberikan penjelasan yang memadai tentang keberadaan “sesuatu” tersebut, implikasinya justru malah semakin memperkuat pandangan materialisme.[10]
Sementara itu, para ilmuan-ilmuan muslim dengan berdasar kepada keyakinan mereka kepada Allah, telah menciptakan teori ilmu yang membahas bukan saja objek-objek inderawi, sebagaimana ilmu-ilmu modern, tetapi juga objek-objek metafisik. Hal ini mencerminkan basis ontologis yang digunakan para ilmuan muslim dalam bangunan epistemologisnya. Walaupun objek-objek metafisik tidak bisa diindera, namun diyakini memiliki status ontologis yang sama nyatanya dengan objek-objek fisik, bahkan lebih ril daripada objek-objek inderawi.[11]
Dalam mengkritisi lemahnya ide-ide filsafat Barat, Murtadha Muthahhari mengutip perkataan Hegel: Untuk memecahkan masalah enigmatik[12] tentang penciptaan semesta ini seharusnya kita tidak terlalu jauh membahas “yang menyebabkan segala sesuatu” (illat-e fa’aili), karena pada suatu sisi akal tidak dapat terpuaskan dengan adanya ketersalingkaitan (tasalsul) dan melanjutkan pada pencarian akan “Sebab Pertama”. Di sisi lain, bila kita menganggap “Sebab Pertama” teka-teki tidak terpecahkan dan akal tidak terpuaskan; masalah yang tersisa adalah mengenai mengapa sebab pertama menjadi sebab pertama.’[13]
Meskipun Sebab Pertama memiliki keterkaitan dengan Wājib al-Wujūd[14]  dalam ontologi Islam, namun kesimpulan yang dikemukakan oleh Hegel tersebut merupakan reductio ad absurdum.[15] Hegel berkesimpulan demikian ketika berhadapan dengan mustahilnya tasalsul (ketersalingkaitan) yang tak berhingga. Penerimaan Hegel bukan atas penerimaan akal secara langsung, melainkan penerimaan akal secara terpaksa karena tidak mampu menolak. Di satu sisi, meskipun tidak ada halangan untuk menerima kemungkinan tasalsul tersebut, namun di satu sisi juga sulit dimengerti mengapa sebab-sebab yang lainnya memerlukan sebab, sementara Sebab Pertama tidak memerlukan sebab. Karena itu, menurut Muthahhari, penjelasan mengenai penciptaan bukan dengan sebab melainkan dengan dalil.[16]
Secara umum pandangan ontologi dalam Islam berkisar pada masalah eksistensi Tuhan. Kartanegara mengemukakan argumentasi-argumentasi dari para filosof muslim menyangkut keberadaan Tuhan sebagai berikut:
1)    Argumen kebaruan (dalīl al-ḥudūṡ) yang diwakili oleh al-Kindi, yaitu argumen yang memberi penekanan kepada tesis tentang barunya atau kesementaraan alam semesta. Pembuktian  temporalitas alam semesta dilakukan dengan menunjukkan bahwa alam yang didefinisikan sebagai selain Tuhan terdiri dari atom-atom dan aksiden-aksiden yang hanya bisa bertahan sesaat dan harus dicipta terus-menerus oleh Tuhan yang menciptakan dan menghancurkan semuanya. Untuk membuktikan keberadaan Tuhan al-Kindi mengemukakan empat argumen sebagai berikut:
a)    Alam semesta adalah terbatas dan dicipta dalam waktu. Al-Kindi berkata bahwa telah ditunjukkan bahwa alam semesta adalah terbatas dari sudut jasad, waktu dan gerak yang berarti ia harus dicipta. Berdasarkan hukum kausalita, segala sesuatu yang dicipta dalam ruang dan waktu haruslah memiliki pencipta. Karena itulah Tuhan sebagai penciptanya dan karena itu harus ada.
b)    Keesaan bagi al-Kindi adalah sifat utama Tuhan. Segala sesuatu yang tersusun dan beragam tergantung secara mutlak pada keesaan Tuhan. Esa sejati atau yang pertama adalah sebab terakhir dari mana setiap objek inderawi memancar, dan Dia membawa setiap objek tersebut menjadi wujud. Kesatuan dan keanekaan bersama-sama dalam satu objek inderawi dan keanekaan haruslah merupakan satu kelompok dari satuan-satuan tunggal, sehingga niscaya bahwa tidak akan pernah ada keanekaan seandainya tidak ada kesatuan.
c)    Secara logis, sesuatu tidak mungkin menjadi sebab bagi dirinya. Sesuatu yang menjadi sebab bagi dirinya mungkin tiada dan esensinya juga tiada. Dengan demikian, tidak ada sebab maupun yang disebabkan, karena sebab dan akibat hanya dinisbatkan kepada yang ada. Jika sesuatu yang tiada merupakan sebab bagi dirinya, maka pada waktu yang sama, ia adalah dirinya dan juga berbeda dengan dirinya. Namun hal ini menjadi kontradiksi. Sesuatu yang mungkin ada dan esensinya juga ada yang dalam hal ini bisa saja esensinya berbeda dengan dirinya. Hal ini adalah tidak mungkin secara logis, atau sesuatu yang sama akan menjadi sebab dan sekaligus akibat yang juga pastinya merupakan sebuah kontradiksi. Karena itu, untuk mengatakan bahwa sesuatu benda ada dan esensinya juga ada sebagai sebab bagi dirinya adalah rancu.
d)   Sebagaimana kita mampu mengidentifikasi keberadaan jiwa dengan mengamati akibat-akibat yang tampak dari badan kita, demikian juga kita bisa mengetahui wujud Tuhan dengan mengamati akibat-akibat dari pengaturan-Nya yang bijak, yang tercermin dalam dunia lahiriah.
2)    Argumen melalui kemungkinan (dalīl al-jawāz) yang diwakili oleh Ibn Sina, yaitu argumen yang fokus pada kontengensi atau kemungkinan, dari mana adanya Wujud Niscaya dapat secara logis disimpulkan. Argumen kemungkinan menyatakan bahwa suatu wujud yang mungkin tidak bisa ada dengan sendirinya karena kontingensi berarti menggantung dalam keseimbangan antara ada dan tiada, sehingga membutuhkan sebuah sebab yang akan mengubah keiseimbangan tersebut ke arah yang ada. Sebenarnya, argumentasi ini telah lebih dahulu diperkenalkan oleh al-Farrābī, namun di tangan Ibnu Sinalah argumen ini mencapai perkembangannya yang matang.
3)    Argumen melalui rancangan (dalīl al-‘ināyah) yang diwakili oleh Ibn Rusyd, yaitu argumen yang menyatakan bahwa perlengkapan yang dibuat pada sesuatu demi kenyamanan dan kebahagiaan manusia adalah dicipta untuk kepentingan manusia sendiri merupakan bukti adanya rahmat Tuhan. Pencipta yang menakjubkan untuk segala sesuatu seperti penciptaan kehidupan organik, persepsi inderawi, dan pengenalan intelektual, merupakan bukti dari penciptaan yang menakjubkan. Argumentasi-argumentasi tersebut di atas dapat dianggap sebagai usaha manusia untuk memahami keberadaan Tuhan dengan akal atau dengan pendekatan filsafat.[17]
Meskipun argumentasi tersebut di atas berbeda, namun menyiratkan bahwa Tuhan adalah Hakikat dari segala hakikat yang ada dan disepakati bersama oleh para filosof muslim. Perbedaan hanya terletak pada cara mereka menjelaskan keberadaan Tuhan sebagai Hakikat dari segala hakikat yang ada. Apa yang telah dikemukakan oleh filosof terdahulu hanya dilanjutkan oleh filosof kemudian, baik mengutipnya, mengana-lisanya, memodifikasinya, atau mengkolaborasi argumen-argumen tersebut.
Argumen-argumen tentang Wujud berhasil disintesiskan menjadi sebuah argumen yang lebih komperehensif oleh Mulla Shadra dan menamakan filsafatnya dengan al-Hikmah al-Muta‘āliyah (Kearifan Puncak). Sintesis ini menurut Fazlur Rahman tidak hanya berupa rekonsiliasi dan kompromi yang superfisial, tetapi berlandaskan prinsip-prinsip filosofis yang dikemukakan dan dijelaskan untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam.[18]
Mullah Shadra membedakan secara tegas antara wujūd[19] dan realitasnya. Wujūd  merupakan suatu konsep yang paling universal dan paling dikenal di antara seluruh konsep yang ada, sedangkan realitasnya adalah sesuatu yang paling tersembunyi, meskipun sesungguh-nya ia merupakan sesuatu yang paling nyata. Wujūd merupakan realitas satu-satunya bagi mereka yang memiliki intelektual yang dihasilkan dari proses iluminasi dan pengungkapan.[20]
Huwaidi menulis tentang ontologi yang benar sebagai berikut: Adanya Pencipta adalah mutlak. Menjadikan manusia dengan benar, menciptakan langit dan bumi dengan benar, Ia menyimpan tanda-tanda kebesaran-Nya dalam Bumi dan Langit dengan benar. Diciptakan oleh Allah yang menertibkan segala sesuatu. Itulah yang disebut Filsafat wujud yang benar.’[21]
Selanjutnya, apa yang diulas oleh Huwaidi dalam bukunya juga berkisar pada masalah Sang Pencipta, penciptaan, dan yang diciptakan. Sebagaimana Muthahhari, Huwaidi juga menganggap bahwa kesimpulan tentang causa prima (sebab pertama) yang berkembang di Barat adalah kesimpulan yang dibuat secara terpaksa karena tidak mungkin memutuskan untuk menerima rangkaian sebab-akibat yang tak terhingga. Huwaidi juga hanya mengulas argumen-argumen filosof muslim awal seperti yang telah disebutkan.
Definisi ontologi dengan berbagai pandangan tentang dan mengenainya sudah cukup untuk memberikan gamabaran tentang  pengertian ontologi yang akan digunakan pada pembahasan selanjutnya, yaitu pandangan Al-Qur’an tentang realitas atau konsep Al-Qur’an tentang “ada”.

B.     Kajian Epistemologi: Cara Mendapatkan Ilmu
       Epistemologi sering juga diartikan sebagai teori pengetahuan. Bagus menulis dalam ensiklopedinya bahwa epistemologi berasal dari kata Yunani, yaitu episteme’ (pengetahuan, ilmu pengetahuan) dan ‘logos’ (pengetahuan, informasi) yang berarti pengetahuan tentang pengetahuan atau adakalanya disebut sebagai teori pengetahuan.[22] Hal senada juga diungkapkan oleh Rizal dan Misnal yang menulis bahwa secara etimologis epistemologi berarti teori pengetahuan.[23] Kartanegara pun menyamakan antara epistemologi dan teori pengetahuan.[24] Dalam arti  luas, teori pengetahuan dapat juga dikatakan sebagai metafisika pengetahuan, karena mencakup penelitian-penelitian tentang proses terjadinya pengetahuan serta studi kritis tentang keabsahan sebuah pengetahuan. Dalam arti sempit, teori pengetahuan merupakan penelitian filosofis tentang kesahihan objektif pengetahuan.[25]
       Filsafat ilmu, filsafat sains dan filsafat pengetahuan adalah istilah-istilah yang sering digunakan dalam pembahasan tentang epistemologi. Disebutkan bahwa hubungan filsafat ilmu dan filsafat pengetahuan dengan epistemologi adalah hubungan antara cabang dan induk di mana epistemologi adalah induknya. Objek material dari filsafat pengetahuan adalah gejala pengetahuan, sedangkan  gejala-gejala pokok ilmu menurut sebab terdalam adalah objek material filsafat ilmu. Pembahasan dalam epistemologi adalah objek pengetahuan,  sumber dan alat untuk memperoleh pengetahuan, kesadaran, dan metode validitas pengetahuan, serta kebenaran pengetahuan.[26]
       Ediyono tidak memasukkan filsafat sains sebagai cabang epistemologi, karena menurut pandangannya dari segi pengertian, sains tidak jauh berbeda dengan ilmu. Sains merupakan kata serapan yang telah mengalami adaptasi fonemis dari kata Inggris science yang berarti any organized knowledge (pengetahuan yang terorganisir). Dalam bahasa Indonesia sains disepadankan dengan ilmu atau ilmu pengetahuan, namun sains dibatasi pada persoalan fisik atau inderawi, sementara ilmu melampauinya pada masalah-masalah nonfisik atau metafisik.[27]
       Sementara itu epistemologi bagi Bagir dan Abidin adalah satu di antara tiga aspek filsafat ilmu. Dua aspek lainnya yaitu ontologi dan aksiologi. Epistemologi atau teori pengetahuan berkaitan dengan fakultas-fakultas manusia yang merupakan alat untuk mencapai objek, serta berkaitan dengan cara subjek mencapai objek. Jika penekanannya adalah sifat-sifat dan cara kerja fakultas-fakultas itu, maka ini adalah kajian epistemologi, tapi jika aksentuasinya adalah proses sampainya subjek ke objek, maka inilah yang dikenal dengan metode keilmuan[28]. Sementara bagi Ediyono, metode keilmuan adalah prosedur yang ditempuh untuk memperoleh pengetahuan ilmu. Menurut Ediyono langkah metodologi inilah yang membedakan ilmu dengan pengetahuan lain.[29]
       Di sini Ediyono tidak menyebutkan pengetahuan lain seperti apa yang dimaksud, juga tidak menjelaskan metodologi seperti apa yang digunakan atau bentuk metode secara spesifik yang membedakannya dengan pencapaian pengetahuan lain. Semestinya setiap pengetahuan yang diperoleh sudah barang tentu melalui tahapan metodologis. Metode ilmiah menurut Ediyono lebih lanjut merupakan penataan data-data yang masih tidak teratur untuk digunakan dalam mencapai pengetahuan ilmiah. Apakah hanya pengetahuan ilmiah yang  mensyaratkan penataan data atau organisasi data untuk menuju ke pemahaman tertentu? Apakah itu tidak berlaku pada pengetahuan lain? Terhadap aksentuasi proses yang ditekankan oleh Bagir dan Abidin perlu dijelaskan mengenai padanan dari ‘sampainya subjek terhadap objek’. Apakah ketika subjek telah sampai pada objek berarti subjek telah mengilmui atau mengetahui objek?
       Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus mendapatkan jawabannya yang pasti karena konsep epistemologi itulah yang akan digunakan untuk melahirkan ilmu. Metodologi yang dilahirkan, yang merupakan penjabaran dari sebuah konsep epistemologi, haruslah dapat berlaku secara umum. Hal ini didasarkan pada kaidah logika bahwa hal parsial harus merupakan jabaran dari yang umum. Konsekuensinya jika sesuatu yang parsial merupakan jabaran dari yang umum adalah ia harus sesuai dengan yang parsial lainnya karena ia juga merupakan jabaran dari umum yang sama.
       Sumantri[30] juga berpandangan bahwa epistemologi merupakan salah satu dari tiga landasan filsafat ilmu dalam melakukan telaah secara filosofis yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu.[31] Ketiga landasan tersebut adalah:
a)        Landasan ontologi sebagai landasan filosofis yang membicarakan tentang objek yang ditelaah ilmu, wujud hakiki objek tersebut, serta hubungan antara objek dengan daya tangkap manusia;
b)        Landasan epistemologi sebagai landasan filosofis yang mempersoalkan proses yang memungkinkan perolehan ilmu, prosedur perolehannya, hal-hal yang harus diperhatikan agar kita mendapat pengetahuan yang benar, serta cara, teknik, dan sarana yang membantu dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu;
c)        Landasan aksiologi sebagai landasan filosfis yang ingin menjawab persoalan seputar tujuan penggunaan ilmu, kaitan antara cara penggunaan ilmu tersebut dengan kaidah-kaidah moral, serta kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral-profesional.
       Beerling, Kwee, Mooij, dan Van Peursen[32] dalam Pengantar Filsafat Ilmu[33] membedakan pembicaraan dalam filsafat ilmu menurut tendensinya (kecenderungannya), yaitu bertendensi metafisik dan bertendensi metodologik. Filsafat ilmu bertendensi metafisik disebut juga sebagai filsafat ilmu dalam arti luas. Dalam arti ini, filsafat ilmu membicarakan hubungan eksternal ilmu, seperti implikasi ontologik-metafisik dari citra dunia yang bersifat ilmiah, nilai-nilai yang menjadi pegangan penyelenggara ilmu serta konsekuensi etis penyelenggara dan pengguna ilmu. Sementara filsafat ilmu yang bertendensi metodologik disebut juga sebagai filsafat ilmu dalam arti sempit. Dalam konteks ini, filsafat ilmu membicarakan permasalahan internal ilmu atau hubungan-hubungan ke dalam yang terdapat dalam proses ilmu itu sendiri.[34]
       Tampaknya, filsafat ilmu modern lebih cenderung pada pengertian kedua seperti yang dikemukakan oleh Beerling et al. di atas, yaitu lebih bertendensi metodo-logik. Sementara filsafat ilmu dalam Islam, sebagaimana akan dipaparkan nanti, lebih bertendensi metafisik dan dalam cakupan yang lebih luas.
       Sementara itu Juhaya S. Praja[35] tidak melihat filsafat ilmu berdasarkan kecenderungan, melainkan secara umum sebagai satu kesatuan konseptual yang membicarakan tiga masalah pokok[36]yaitu:
a)        Masalah asal pengetahuan (origin of knowledge). Masalah ini meliputi sumber pengetahuan,  sumber kebenaran pengetahuan, dan proses mengetahui;
b)        Masalah penampilan (appearance) realitas. Masalah ini meliputi watak pengetahuan, keberadaan dunia nyata akal dan kemungkinan untuk mengetahuinya;
c)        Masalah pengujian (verifikasi) kebenaran pengetahuan. Masalah ini meliputi kemungkinan verifikasi kebenaran pengetahuan dan perbedaan antara kebenaran dan kekeliruan.
       Menurut Mustansyir dan Munir, ketiga landasan filosofis tersebut juga merupakan objek formal dari filsafat ilmu.[37] Ontologi menyangkut hakikat ilmu atau lebih khusus ke hakikat wujud ilmu itu sendiri. Tidak seperti Sumantri yang secara umum melihat ontologi sebagai landasan filosofis menyangkut hakikat wujud dari objek yang ditangkap oleh ilmu, bukan menjadikan ilmu sebagai objek ontologis. Epitemologi menyangkut cara memperoleh ilmu, dan aksiologi menyangkut fungsi ilmu bagi manusia.
       Baqir dan Abidin mengemukakan bahwa sedikitnya ada tiga aspek dalam filsafat ilmu, yaitu ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Aspek ontologis menyang-kut teori tentang ada (being) sebagai objek ilmu. Hal ini senada dengan landasan ontologi Jujun. Aspek epistemologis menyangkut fakultas-fakultas manusia (human faculties)[38] sebagai alat untuk mencapai objek. Epistemologi mempelajari sifat-sifat dan cara kerja fakultas-fakultas tersebut. Aspek aksiologis menilai dampak ilmu terhadap lingkungan di mana ilmu tersebut dikembangkan dan diterapkan.[39]

C.    Kajian Aksiologi: Nilai Kegunaan Ilmu
       Kenyataan dari dampak penerapan sains modern yang dirasakan sejak dari awal perkembangannya mendorong munculnya persoalan tentang nilai ilmu, baik materi ilmu itu sendiri maupun nilai praktis dari ilmu. Jika dilihat dari motif pekembangan filsafat sains modern, maka itu lebih banyak diakibatkan oleh keprihatinan para ilmuan dan filosof akan berbagai dampak negatif yang mengganggu, bahkan mengancam eksistensi manusia. Ini mulai mengemuka sekitar awal abad XX, meskipun sejak abad sebelumnya Francis Bacon dianggap telah meletakkan dasar filsafat ilmu.[40]
       Ketika sains berlepas diri dari filsafat, beberapa ilmuan dan filosof merasa tercerabut dari pandangan menyeluruh tentang konsep alam semesta, termasuk di antaranya tentang nilai, sehingga mereka merumuskan sebuah konsep filsafat yang bisa menjelaskan pengetahuan secara keseluruhan dari segala aspeknya.[41]
       Dengan basis ontologi dan epistemologi yang materialistik, filsafat Barat pada akhirnya tidak mampu merumuskan aksiologi yang kokoh. Reduksi potensi manusia dalam memperoleh pengetahuan serta pembatasan objek pengetahuan pada yang fisik saja menjadikan argumentasi filsafat Barat tentang nilai pengetahuan sangat parsial, tentu saja ini akan berimplikasi langsung dalam praktisasi ilmu, karena sudah tidak dengan pertimbangan yang menyeluruh.
       Kenyataan tersebut sangat berbeda dalam filsafat Islam. Dengan basis ontologi dan epistemologi yang kokoh, karena didasari pada Yang Maha Benar, aksiologi Islam memiliki nilai kebenaran objektif secara teoritis sehingga tentu saja memiliki nilai praktis yang dapat mengantarkan manusia menjadi insan kāmil dalam menjalani tujuan utama hidupnya.
       Dalam lingkup aksiologi, Ṣadr mengurai panjang lebar tentang aliran-aliran aksiologi filsafat yang berkembang di Barat. Berbagai kekeliruan-kekeliruan berpikir yang terjadi tidak lain diakibatkan oleh lemahnya basis-basis ontologi dan epistemologi Barat. Ṣadr terlihat lebih menekankan aspek nilai pengetahuan dalam arti kandungan kebenaran dari sebuah pengetahuan di banding aspek penerapannya.[42]
       Aksiologi berasal dari kata Yunani, yaitu axios yang berarti layak dan logos berarti ilmu atau studi mengenai. Dari pengertian etimologis ini, Bagus menurunkan beberapa pengertian seperti; 1) aksiologi merupakan analisis nilai-nilai dengan pengertian membatasi arti, ciri-ciri, asal, tipe, kriteria dan status epistemologi dari nilai-nilai itu; 2) merupakan studi yang menyangkut teori umum tentang nilai atau studi yang menyangkut segala yang bernilai.[43]
       Secara lebih lengkap dapat diberikan penjelasan bahwa aksiologi adalah studi filosofis mengenai hakikat nilai-nilai. Hakikat nilai dapat dijelaskan dengan tiga cara. Pertama, nilai sepenuhnya berhakikat subjektif. Dari pandangan ini, nilai-nilai merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku. Pengikut teori idealisme subjektif (positivisme logis, emotivisme, analisis linguistik dalam etika) menganggap nilai sebagai sebuah fenomena kesadaran dan memandang nilai sebagai pengungkapan perasaan psikologis, sikap subjektif manusia kepada objek yang dinilainya. Kedua, nilai-nilai merupakan kenyataan, namun tidak terdapat ruang dan waktu. Nilai-nilai merupakan esensi-esensi logis dan dapat diketahui melalui akal. Ketiga, nilai-nilai merupakan unsur-unsur objektif yang menyusun kenyataan.[44]
       Dari jabaran pandangan aksiologi di atas dapat ditarik sebuah pengertian bahwa yang dimaksud dengan aksiologi adalah telaah filosofis tentang nilai. Kaitannya dengan pembahasan epistemologi adalah bagaimana hakikat nilai dari ilmu, atau berkaitan dengan persoalan; apakah ilmu itu bebas nilai atau tidak? Apakah relevan mengatakan; bahwa ilmu itu baik atau buruk ataukah tidak ada relevansinya?
       Pembahasan tentang nilai jika dikaitkan dengan epistemologi, sangat tepat jika dibahas dengan perspektif yang digunakan oleh Kattsoff dengan menggunakan istilah ’yang bernilai dan yang diberi nilai’. Dengan sudut pandang ini, sesuatu dapat dilihat nilainya dari sesuatu itu sendiri atau dari sesuatu yang memberinya nilai atau membuatnya bernilai.[45]
       Perspektif pertama melihat objek secara tersendiri. Sementara perspektif kedua berkaitan dengan objek lain demikian pula subjek. Jika dikaitkan dengan epistemologi, maka yang pertama berarti hakikat nilai yang oleh ilmu dari sejak awal, sementara yang kedua melihat kebernilaian ilmu jika dikaitkan dengan subjek. Dengan ketiga cara menjelaskan seperti yang dikemukakan oleh Bagus sebelumnya, maka tinggal mengganti kata ‘sesuatu’ dengan kata ‘ilmu’ dengan mencocokkan perspektif yang digunakan oleh Kattsoff.
       Algazali membagi ilmu menjadi ilmu-ilmu faktual teoritis dan ilmu-ilmu praktis. Ilmu-ilmu faktual teoritis sepenuhnya dalam dimensi ontologis dan aksiologisnya bebas nilai atau netral. Tetapi itu tidak berarti bahwa semua fakta dapat diungkap dan semua ilmu faktual dapat diterapkan begitu saja melainkan dalam dimensi aksiologisnya harus mempertimbangkan konteks dan implikasinya sesuai dengan tuntutan norma-norma etis-yuridis.[46]

a.     Kajian Pengetahuan
     Berdasarkan pendekatan aspek kebahasaan, istilah pengetahuan tampak lebih orisinil dibanding ilmu dalam konteks pemikiran di Indonesia. Dari struktur morfologisnya, afiksasi morfem “pe-an”  menandakan secara internal struktur morfologi Bahasa Indonesia. Di samping itu, secara eksternal tidak memiliki indikasi berupa kata yang serupa dengan makna yang identik dalam bahasa asing. Berbeda dengan ilmu akan dijelaskan tersendiri yang memiliki kemiripan dengan bahasa asing dalam hal ini Bahasa Arab. Sehingga sulit memastikan apakah ‘ilmu’ turut diwariskan bersama pengetahuan yang lahir dari budaya pemikiran bangsa Indonesia.
       Dengan demikian, lebih dapat diterima kalau dikatakan bahwa sejarah pemikiran bangsa Indonesia adalah sejarah pengetahuan. Ilmu hanya dapat dipandang sebagai perkembangan pengetahuan selanjutnya. Terlihat dalam penggunaan istilah ‘ilmu pengetahuan’ yang digunakan dalam budaya pendidikan Indonesia. Istilah ini merupakan pencirian sebuah jenis pengetahuan yang besifat ilmiah. Dalam perkembangan selanjutnya, ‘ilmu pengetahuan’ cenderung lebih diakui dan lebih banyak disebut dari pada ‘pengetahuan biasa’.
       Jika analisa dilakukan dengan pendekatan kebahasaan, dapat disimpulkan bahwa ilmu tidak dapat berdiri sendiri. Ilmu hanya dapat menjadi sifat dari sebuah pengetahuan. Meskipun dalam penggunaan kata ilmu tidak bersama dengan pengetahuan, namun tetap mengindikasikan bahwa yang dimasud adalah pengetahuan. Pengetahuan didapat dari proses kerja dari ‘tahu’ atau mengetahui. Demikian juga halnya dengan ilmu. Kecuali jika dalam memperoleh ilmu ada cara lain dari dari proses mengetahui tadi. Artinya, segala hal yang diperoleh dari kata kerja ‘tahu’ adalah pengetahuan.
       Karena itulah menurut Kartanegara, pengetahuan dipandang lebih umum dan bukan berbeda dengan ilmu. Bahkan terkadang disamakan[47]. Ilmu adalah keturunan dari pengetahuan dan tidak dapat didefinisikan tanpa pengetahuan. Ilmu hanya bisa dibedakan dengan ‘pengetahuan lain’ yang bukan pengetahuan ilmiah atau tidak ditempuh sesuai dengan metodologi ilmiah. Itu akan terlihat dengan jelas ketika perbedaan yang nyata antara ilmu pengetahuan dengan pengetahuan yang lain sudah dapat dicirikan dengan jelas pula. Karena tanpa ciri yang nyata, ilmu akan tampak sebagai kata lain dari pengetahuan.
       Pengetahuan diartikan sebagai segala sesuatu yang diketahui, kepandaian, atau segala sesuatu yang diketahui berkenaan mata pelajaran.[48] Pengertian ini sangat umum sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Di samping itu juga memiliki keidentikan dengan dunia akademik karena berkaitan dengan mata pelajaran yang sarat dengan muatan ilmiah. Bertolak dari pengertian tersebut, sulit dibedakan antara pengetahuan ilmiah dengan pengetahuan yang tidak ilmiah.
       Sejalan dengan pengertian tersebut, Bagus menulis dalam ensiklopedinya; Dalam arti luas, pengetahuan berarti semua kehadiran intensional objek dalam subjek. Tapi dalam arti sempit dan berbeda dari imajinasi atau pemikiran belaka, pengetahuan hanya berarti putusan yang benar dan pasti (kebenaran; kepastian). Di sini subjek sadar akan hubungan-hubungannya sendiri dengan objek dan sadar akan hubungan objek dengan eksistensi. Pada umumnya, adalah tepat kalau mengatakan pengetahuan hanya merupakan pengalaman “sadar”. Karena, sangat sulit melihat bagaimana persisnya suatu pribadi dapat sadar akan suatu eksisten tanpa kehadiran eksisten itu di dalam dirinya’[49].
       Dapat dipahami, bahwa dengan mengikuti pengertian pengetahuan di atas, pengertian ilmu menjadi tidak memililki makna secara signifikan. Ketika objek telah hadir dalam subjek dan merupakan putusan yang benar dan pasti, maka semua itu adalah pengetahuan. Tidak ada pemisahan yang jelas posisi objek dari pengetahuan dan objek dari ilmu dalam diri subjek. Pengertian ini juga secara gamblang menegaskan pengertian yang dilekatkan kepada pengetahuan biasa sebagai sesuatu yang mengandung dugaan. Seseorang tidak semestinya berkata; “saya mengetahui” jika didalamnya mengandung dugaan. Jauh lebih jelas jika dia berkata; “saya menduga”.
       Jadi, kata kunci yang harus dipegang dalam memahami pengetahuan adalah kehadiran objek dalam diri subjek dan berarti sebuah keputusan yang benar dan pasti, atau dalam bahasa Al-Attas sampainya makna sesuatu kepada diri atau sampainya diri kepada makna sesuatu.[50] Ketika metodologi ilmiah dirancang untuk mendapatkan kepastian dan kebenaran, maka sudah sangat jelas bahwa antara ilmu dan pengetahuan tidak terdapat perbedaan yang signifikan kecuali hanya perbedaan antar genus dalam satu spesies.
       Al-Attas dalam bukunya Islam dan Filsafat Sains mengurai panjang lebar tentang penerjemahan kata knowledge dan science. Mana yang berarti pengetahuan dan mana yang berarti ilmu. Ia mengkritisi usulan Suryasumantri agar science diterjemahkan dengan ilmu dan knowledge dengan pengetahuan. Usulan ini kemudian menjadi umum digunakan. Secara semantik, knowledge memang lebih tepat diterjemahkan sebagai ilmu apalagi jika dikaitkan dengan asal kata ilmu yang identik dengan kata ‘ilmun yang sebagai istilah generik dalam bahasa Arab, memang memiliki nuansa yang serupa dengan knowledge. Sementara science yang merupakan spesies ilmu, mesti diterjemahkan menjadi ilmu pengetahuan, karena pengetahuan memang merupakan semacam spesies dari ilmu.[51]
b.     Kajian Ilmu
       Berbeda dengan pengetahuan, ilmu memiliki indikasi eksternal berupa kata yang secara fonologis dan morfologis sama dengan bahasa lain. Kata ‘ilmu dalam Bahasa Arab memiliki kesamaan dengan kata ilmu dalam Bahasa Indonesia dan memiliki arti yang identik, yaitu pengetahuan. Secara morfologis dapat dilihat ketika kata ilmu dibentuk menjadi kata sifat ‘ilmiah’. Penambahan akhiran ‘ah’ dengan terlebih dahulu merubah fonem /u/ menjadi /i/, adalah proses pengimbuhan yang bertujuan untuk memberi arti sifat. Proses pengimbuhan ini tidak umum dalam Bahasa Indonesia. Bentuk morfologi seperti ini justru lebih dikenal dalam Bahasa Arab. Penambahan ‘ya’(ي) pada kata ‘ilmun’ (علم) menjadi ‘ilmiyyatun’ (علمية) dilakukan untuk memberi kandungan sifat pada kata tersebut. Dengan demikian, kesesuaian tidak hanya dalam tataran fonologi dan morfologi, tapi juga tentunya dalam tataran semantik, sehingga sangat kuat mengindikasikan bahwa kata ilmu merupakan serapan dari Bahasa Arab.
       Kartanegara juga menulis bahwa ilmu berasal dari Bahasa Arab. Kata ‘ilmu berasal dari kata ‘alima yang berarti mengetahui. Jadi secara harfiah kata ilmu tidak berbeda dengan science yang berasal dari bahasa Yunani (sciere) yang berarti mengetahui.[52]
       Koherensi sistematik adalah hakikat ilmu. Demikian menurut Bagus dalam mencirikan ilmu sehingga berbeda dengan pengetahuan. Ilmu menandakan kesatuan ide yang mengacu ke objek yang sama dan saling berkaitan secara logis, lanjutnya.[53] Tapi jika kesatuan ide yang berkaitan secara logis tersebut dalam hal kehadirannya dalam diri subjek, apa bedanya dengan pengetahuan. Adalah keliru jika Bagus berpendapat bahwa kehadiran setiap objek dalam diri subjek mungkin tanpa keterkaitan logis atau koherensi sistematis bagian-bagian objek. Dan supaya tidak terjadi kontradiksi antara pengertian ilmu dan pengetahuan yang dikemukakan Bagus, harus ada penjelasan lebih rinci tentang maksud ‘kehadiran’tersebut. Karena jika seseorang tidak mampu menjelaskan sebuah objek, itu artinya objek itu belum hadir dalam diri subjek, dan berarti juga sang subjek tidak mengetahui.
       Kartanegara dalam Pengantar Epistemologi Islam mencirikan ilmu sebagai pengetahuan sesuatu sebagaimana adanya. Berbeda dari pengetahuan biasa karena pengetahuan biasa dapat saja mengetahui tentang sesuatu tidak sebagaimana adanya, melainkan hanya pengetahuan umum yang didasarkan pada opini atau kesan keliru dari tangkapan indera.[54] Dari pengertian ini dipahami bahwa ilmu sesungguhnya tidak berbeda dengan pengetahuan. Ilmu hanya berbeda dengan pengetahuan biasa atau umum, di mana ilmu telah terbukti kebenarannya, sementara pengetahuan biasa belum terbukti benar, atau baru berupa anggapan atau asumsi. Ketika dalam pembuktian asumsi tersebut ternyata tidak benar maka asumsi tersebut bukan saja tidak mengalami peningkatan status menjadi pengetahuan ilmiah, tapi malah kehilangan predikat sebagai pengetahuan biasa.
       Dengan demikian, jika seluruh pengetahuan biasa atau umum yang berdasar dari opini dan asumsi dibawa ke medan pembuktian apa pun bentuknya, maka yang terjadi sesungguhnya adalah seleksi pengetahuan. Pengetahuan yang ternyata terbukti kebenarannya menjadi pengetahuan ilmiah, sementara yang tidak terbukti, gugur sebagai pengetahuan bahkan sebagai pengetahuan biasa sekalipun, karena tidak ada faedahnya menganggapnya sebagai pengetahuan setelah secara nyata terbukti bahwa itu tidak benar. Pada akhirnya, ilmu dan pengetahuan tidak lagi bisa dibedakan, karena yang namanya pengetahuan biasa atau umum telah dieliminasi dalam arena pembuktian.
       Dari beberapa pencirian sebelumnya, yaitu pencirian dengan koherensi yang sistematis dan hubungan logis bagian-bagian objek serta pengetahuan sebagaimana adanya yang diperoleh dengan langkah pembuktian, tidak secara pasti membedakan antara pengetahuan dan ilmu. Hal yang jelas dapat dibedakan adalah antara ilmu dengan pengetahuan biasa atau umum bukan dengan pengetahuan. Hanya saja rujukan referensial dari istilah pengetahuan biasa atau umum juga tidak jelas dan dapat menimbulkan bias. Sama biasnya dengan istilah, misalnya “emas palsu”, karena “emas palsu” sudah pasti bukan emas. Bandingkan dengan “pengetahuan asumtif”!
       Demikian pula jika dikatakan bahwa hubungan antara ilmu dan pengetahuan adalah hubungan genetif di mana pengetahuan adalah gen dan ilmu adalah spesiesnya. Pernyataan ini jika didasarkan pada kedua pencirian tersebut di atas, juga meperlihatkan adanya kerancuan. Jika ilmu mensyaratkan koherensi logis sistematis untuk menjadi spesies khusus dari pengetahuan, maka syarat itu haruslah ada dalam gen pengetahuan itu. Karena jika syarat itu tidak ada maka tidak bisa dikatakan kalau spesies ilmu berasal dari gen pengetahuan. Jika rasionalisasi ini diterima, maka pertanyaan adalah; dapatkah sesuatu yang logis bisa tinggal bersama atau melahirkan sesuatu yang tidak logis? Dapatkah gen pengetahuan yang salah satu unsurnya adalah logis sitematis menerima dan melahirkan sesuatu yang tidak logis dan sistematis?
       Karena itulah, pemakaian kata ‘ilmu’ dan ‘pengetahuan’ sering dipertukarkan dan kadangkala dipadukan dalam penggunaan. Dalam pertukaran atau pemaduan kedua kata tersebut ternyata tidak menimbulkan kesalahan semantis. Itu berarti bahwa memang tidak terdapat perbedaan konseptual antara kedua kata tersebut. Jika alasannya adalah tergantung konteks, maka perbedaan keduanya bukalah perbedaan yang ada secara internal masing-masing istilah melainkan ada secara eksternal.
       Hal yang berbeda terjadi antara istilah ‘ilmu’ dengan ‘sains’. Adanya perbedaan dapat dipahami karena keduanya berasal dari dua budaya pemikiran yang berbeda, ilmu dari Timur dan sains dari Barat. Budaya pemikiran Timur Tengah misalnya yang sangat ditopang dengan Islam memiliki cakupan ilmu yang luas. Kaitan antara pemikiran dan ideologi Islam menjadi sangat kuat karena ditopang oleh idiologi tokoh-tokoh ilmuan Islam. Pergulatan pemikiran dari berbagai aliran menjadi salah satu media pematangan proses berpikir di dunia Islam. Tidak demikian di dunia Barat. Zaman kegelapan yang terjadi di abad-abad pertengahan menimbulkan efek tersendiri terhadap pemikiran di Barat. Otoritas gereja yang begitu kuat dan sangat menekan dinamika pemikiran terutama berbagai kesimpulan ilmiah yang mengancam posisinya. Pada akhirnya ilmuan sains modern sangat tidak tertarik untuk berbicara hal-hal yang bersifat metafisik.
       Persamaan dapat ditemui dalam kedua istilah tersebut (sains dan ilmu), misalnya keduanya mencirikan pemikiran logis sistematis. Namun dalam perkembangan selanjutnya terkadang masing-masing memiliki kecenderungan yang berbeda. Hal yang paling menonjol adalah ruang lingkup dari keduanya. Sains hanya dibatasi pada bidang-bidang empiris positif, sementara ilmu selain membahas masalah empiris juga menyangkut masalah nonempiris, seperti matematika dan metafisika.[55]
       Dari aspek peristilahan keduanya hanya penting dikemukakan dalam dunia pemikiran Indonesia. Pentingnya mencari makna kedua istilah tersebut secara referensial karena keduanya terkadang dipakai secara tidak konsisten.  Kadang disamakan, tetapi di saat lain dibedakan. Hal ini menuntut pentingnya ilmuan yang ada di Indonesia menemukan penjelasan pasti mengenai keduanya.
       Latar belakang pemikiran para tokoh pemikiran Indonesia menjadi salah satu penyebab digunakan istilah tersebut secara berbeda. Mereka yang belajar di Barat akan akrab dengan istilah sains, sementara mereka yang memiliki kiblat pemikiran di Timur tentu lebih akrab dengan istilah ilmu.
       Jika pertemuan pemikiran yang mengakibatkan terjadinya interaksi bahasa pemikiran adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari, maka hal yang perlu dicermati adalah seleksi peristilahan, terutama sekali dalam hal menyerap bahasa asing. Kata ilmu dan sains yang diserap dari bahasa asing misalnya, harus dilihat kesepadanannya dalam bahasa Indonesia. Ini juga akan memberikan pertimbangan urgensi sebuah bahasa yang akan diserap, karena kepentingan untuk menyerap sebuah kata atau istilah dari bahasa asing biasanya disebabkan tidak adanya rujukan tersebut di mana bahasa yang menyerap digunakan. Tetapi ketika rujukan konsep tersebut ada dan sudah sejak lama dikenal maka tentu saja telah ada kata sebagai simbol rujukan tersebut.
       Dengan demikian, ketika ilmu dan sains diserap ke dalam Bahasa Indonesia, maka pertanyaannya adalah: apakah tidak ada kata atau istilah dalam bahasa Indonesia yang sepadan dengan kedua kata istilah tersebut. Kalau memang tidak ada, itu menandakan bahwa budaya pemikiran Indonesia sangat ketinggalan dan memang pantas menyerap keduanya sekalian bersama sistem pemikiran yang dirujukinya, karena sistem pemikiran tersebut tidak terdapat di Indonesia. Tapi jika rujukan kata dan istilah tersebut telah lama dikenal dan memiliki kata sendiri dalam bahasa Indonesia, maka pertanyaannya adalah; apa kata atau istilah tersebut dalam bahasa Indonesia dan untuk apa kedua kata dan istilah asing tersebut diserap? Setelah ditemukan jawabannya barulah berpikir untuk melakukan usaha untuk mempertahankan dan menggunakannya dalam bahasa Indonesia. Tujuan penyerapan itu haruslah termuat dalam muatan kata dan istilah tersebut, sehingga tidak menyeretnya untuk membentuk sebuah arti baru yang sebenarnya tidak ada.
       Bila kita merujuk ke acuan Islam, yaitu al-Qur’an, kita akan menemukan suatu kata yang secara etimologi dekat dengan kata ilmu yaitu ‘ilm. Dalam bahasa Arab kata tersebut memiliki banyak derivasi sebagaimana banyak digunakan dalam al-Qur’an. Dengan derivasi beragam, memahami ‘ilm dapat dilakukan dengan melihat misalnya bentuk kata kerjanya yang menunjukkan bahwa ‘ilm adalah hasil dari proses kerja ‘allama. Tidak seperti ilmu dalam bahasa Indonesia yang tidak memiliki kata kerja, sehingga ilmu diperoleh dari sebuah proses kerja dengan menggunakan kata kerja lain.
       Dengan melihat penggunaan kata ‘ilm dengan segala derivasinya dalam al-Qur’an, maka akan ditemukan dua maksud. Terkadang mengandung maksud pengetahuan dalam arti umum, dan ada kalanya digunakan untuk menunaikan arti pengetahuan secara lebih khusus, atau terkadang diterjemahkan sebagai pengetahuan ilmiah. Akan tetapi karena al-Qur’an menggunakan keduanya dengan kata ‘ilm, maka keduanya harus diberi predikat ilmiah dalam pengertian mengandung syarat kebenaran dan kepastian.


     Menurut Mustansyir dan Munir, ketiga landasan filosofis tersebut juga merupakan objek formal dari filsafat ilmu.[56] Ontologi menyangkut hakikat ilmu atau lebih khusus ke hakikat wujud ilmu itu sendiri. Tidak seperti Sumantri yang secara umum melihat ontologi sebagai landasan filosofis menyangkut hakikat wujud dari objek yang ditangkap oleh ilmu, bukan menjadikan ilmu sebagai objek ontologis. Epitemologi menyangkut cara memperoleh ilmu, dan aksiologi menyangkut fungsi ilmu bagi manusia.
Baqir dan Abidin mengemukakan bahwa sedikitnya ada tiga aspek dalam filsafat ilmu, yaitu ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Aspek ontologis menyangkut teori tentang ada (being) sebagai objek ilmu. Hal ini senada dengan landasan ontologi Jujun. Aspek epistemologis menyangkut fakultas-fakultas manusia (human faculties)[57] sebagai alat untuk mencapai objek. Epistemologi mempelajari sifat-sifat dan cara kerja fakultas-fakultas tersebut. Aspek aksiologis menilai dampak ilmu terhadap lingkungan di mana ilmu tersebut dikembangkan dan diterapkan.[58]



         [1]Lihat Louis O. Kattsoff, Element of Philoshopy, dialihbahasakan oleh Soejono Soemargono dengan judul Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987), h. 215-216.
[2]Lorens Bagus, op. cit., h. 689.
[3]Lihat Harol H. Titus, Marilyn S. Smith, Richard T. Nolan, Living Issue in Philosophy, diterjemahkan oleh H. M. Rasjidi dengan judul Persoalan-persoalan Filsafat (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 293.
[4]Lihat Louis O. Kattsoff, op. cit., h. 219.
[5]Ibid., h. 220.
         [6]Ini diungkapkan oleh Roy Wood Sellars dalam bukunya Philosophy for the Future , lihat Kattsoff, op. cit., h. 220.
[7]Lihat Harol H. Titus, Marilyn S. Smith, Richard T. Nolan, loc. cit.
[8]Menurut W. E. Hocking, kata “idea-isme” lebih tepat daripada “idealisme”, karena kata “idealisme” lebih banyak ditentukan oleh arti biasa dari “ide” daripada kata “ideal” ibid., h. 316.
[9]Ibid., h. 316-317.
[10]Penjelasan mengenai sebab-sebab yang menyeret ke pemikiran materialisme dunia Barat dapat ditemukan pada buku Murtdha Muthahhari, The Causes Responsible of Materialist in the West diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Akmal Kamil dengan judul Kritik Islam terhadap Materialisme, (Jakarta: Al-Huda, 2001).
         [11]Lihat Mulyadi Kartanegara, Nalar Religius  (Jakarta: Erlangga, 2002), h. 67.
         [12]Enigmatik dalam bahasa Inggris “enigmatic” berarti yang membingungkan atau yang mengandung teka-teki. Lihat John M. Echol dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia, 1995), h. 214.
         [13]Lihat Murtadha Muthahhari, Kritik Islam, op. cit., h. 40.
         [14]Konsep ontologi Islam yang berarti niscaya adanya atau sesuatu yang ada karena memang harus ada dan tanpa diadakan oleh selainnya.
         [15]Reductio ad absurdum adalah penerimaan akal secara tidak langsung melalui penalaran hukum-hukum akal melainkan penerimaan dengan terpaksa karena tidak mampu menolak sebuah hukum logika. Ibid.
         [16]Ibid., h. 46.
         [17]Lihat Mulayadi Kartanegara, Nalar, op. cit., h. 32-43.
         [18]Jalaluddin Rakhmat, Hikmah Muta’aliyah: Fislasafat Islam pasca Ibn Rusyd, dalam Mullah Shadra, ikmah al-Asyriyah, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Dimitri Mahayana dan James Winston Morris dengan judul Kearifan Puncak  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2001), h. vi.
         [19]Mullah Shadra mempertahankan kata “wujūd” karena tidak menemukan kata atau istilah yang tepat untuk dapat memenuhi kriteria seperti kandungan kata  wujūd” yang mustahil didefinisikan dalam pengertian biasa seperti yang digunakan dalam logika, yang membedakan antara genus dan differentia. Tidak ada istilah yang lebih diketahui secara universal selain dari kata “wujūd”. Lihat Syaifan Nur, Filsafat Wujud Mulla Shadra  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 150-151.
         [20] Ibid.
         [21]Lihat Hasan Huwaidi, Konsepsi Ontologi Islam (Yogyakarta: PT. Hanindita, 1983), h. i.
[22]Lihat Lorent Bagus, Kamus Filsafat  (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 212.
[23]Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2001),  h. 16.
[24]Mulyadi Kartanegara, Seri Filsafat Islam; Pengantar Epistemologi Islam (Bandung: Mizan, 2003), h. 1.
[25]Lihat Lorent Bagus, op. cit.  h. 813.
[26]Lihat Suryo Ediyono, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Lintang Pustaka, 2005), h. 52.
[27]Mulyadi Kartanegara, loc. cit.
[28]Haidar Bagir dan Zainal Abidin, Pengantar” dalam Mahdi Ghulsyani. Filsafat-Sains Menurut Al-Quran (Bandung: Mizan, 1986), h. 32.
[29]Ediyono, op. cit., h. 48.
[30]Lihat Mulyadi Kartanegara, Pengantar, loc. cit. Dia mengomentari bahwa dicetaknya Buku Jujun S. Sumantri berkali-kali menunjukkan, selain popularitasnya, juga langkanya studi seperti ini di Indonesia. Di samping itu, buku tersebut hanya merupakan representasi dari kajian filsafat ilmu Barat. 
[31]Lihat Jujun S. Sumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pegantar Populer (Jakarta: Sinar Harapan, 1990), h. 33.
[32]Beerling dan Van Peursen, dua dari empat penulis buku tersebut sudah amat dikenal di Indonesia. Mengenai van Peursen sendiri, pernah membuat ejaan Bahasa Indeonesia yang dikenal dengan Ejaan Van Peursen. Sementara Kwee Swan Liat dan Moij keduanya merupakan guru besar terpandang di Nederland. Kwee dikenal sebagai ahli filsafat ilmu alam dan Moij spesialis filsafat matematika. Lihat Pengantar Penerbit dalam Beerling dan Van Peursen Pengantar Filsafat Ilmu yang dialih bahasakan oleh Soejono Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990).
[33]Judul Asli buku ini adalah Inleiding tot de Wetenschapleer, diterbitkan oleh Erven J. Bijleveld, Ultrecht, 1970. Buku ini merupakan pengantar umum filsafat ilmu pertama di Belanda. Ibid.
[34]Ibid., h. 3.
[35]Lihat Mulyadi Kartanegara, Pengantar, loc. cit. Kajian epistemologi Juhaya S. Praja dianggap lebih baik jika dibandingkan dengan kajian epistemologi Islam.
[36]Lihat Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat: dari Rasionalisme hingga Sekularisme (Bandung: Alva Gracia, 1987), h. 1-2.
[37]Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, op. cit., h. 45.
[38]Sebagai istilah epistemologi, fakultas dimaksudkan sebagai alat atau sarana untuk mencapai objek seperti: fakultas iderawi, fakultas imajinasi, fakultas akal.
[39]Haidar Bagir dan Zainal Abidin, op. cit., h. 7.
[40]Lihat Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, op. cit., h. 43.
[41]Auguste Comte, Herbert Spencer, adalah tokoh-tokoh yang mengambil jalan ini. Lihat Murtadha Muthahhari. Filsafat Hikmah, op. cit., h.53.
[42]Lihat Muhammad Baqir al-adr, op. cit..
[43]Lihat Lorent Bagus, op. cit.,  h. 33
[44]Ibid., h. 33-34.
[45]Louis O. Kattsoff, op. cit., h. 328
[46]Lihat Saeful Anwar, op. cit., h. 329.
[47]Lihat Mulyadi Kartanegara, Pengantar, op., cit., h. 1.
[48]Lihat kamus besar bahasa Indonesia, op. cit.,  h. 884.
[49]Lorent Bagus, op. cit.,  h. 803-804
[50]Lihat Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Filsafat Sains  (Bandung: Mizan, 1995), h. 60
[51]Ibid., h. 21.
[52]Mulyadi Kartanegara, pengantar, op. cit., h. 4.
[53]Lihat Lorent Bagus, op. cit., h. 307
[54]Lihat  Mulyadi Kartanegara, Pengantar, loc. cit.
[55]Ibid.
[56]Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, op. cit., h. 45.
[57]Sebagai istilah epistemologi, fakultas dimaksudkan sebagai alat atau sarana untuk mencapai objek seperti: fakultas iderawi, fakultas imajinasi, fakultas akal.
[58]Haidar Bagir dan Zainal Abidin, op. cit., h. 7.

0 komentar:

Posting Komentar