PERBANDINAGAN EPISTEMOLOGI
Epistemologi sain
sekuler dan epistemologi sain Islami dapat diiden- tifikasi sebagai
berikut:
Epistemologi sains sekuler berpandangan
bahwa pencapaian pengeta- huan ilmiah semata-mata merupakan
fungsi dari bekerjanya indra dan akal
manusia.
Dengan pandangan epistemologis
demikian itu, maka filsafat sain sekuler hanya berpandangan bahwa pengetahuan
ilmiah (ilmu pengetahuan) secara sempit dalam wilayah keterjangkauan indra lahiriah dan/atau kemampuan
rasional manusia.
Pandangan epistemologis Islami
sebenarnya juga menyatakan bahwa pengetahuan ilmiah dapat
dicapai antara lain dengan indra dan akal, akan tetapi indra dan akal itu menurut konsep Islam mempunyai
pengertian yang berbeda secara mendasar dengan pandangan epistemologi sains
sekuler.
Pertama mengenai indra. Dalam hal
ini epistemologi Islami berpandangan
adanya dua kategori indra, yaitu indra lahiriah dan indra batiniah (indra
kalbu) atau fuad. Indra batiniah (fuad)
inilah yang tidak dikenal dalam epistemologi sains sekuler. Padahal dalam rangka
berpengetahuan, peranan indra batiniah itu sangat jelas, yaitu untuk mempersepsi realitas non-fisik.
Memang dapat dimaklumi (walaupun tidak bisa diterima) mengapa filsafat
ilmu sekuler tidak mengenal indra batiniah, sebab ilmu-ilmu sekuler, khususnya
dalam perkembangan mutakhirnya dewasa ini, memang tidak mengenal adanya
realitas di luar realitas alam fisik. Sementara
itu, dalam pandangan Islam, realitas non-fisik dipahami keberadaannya
sebagaimana ditekankan oleh al-Qur’an sebagai alam gaib.
Pada konteks ini merupakan
penyimpangan yang paling nyata antara sain sekuler dan sain lslami. Sain sekuler mengenyampingkan segala sesuatu yang
bersifat gaib dan karena itu sangat menganut pandangan sekularisme. Realitas
yang dipahaminya hanyalah realitas alam
fisik duniawi kini, dan tidak mengenal alam gaib dan alam ukhrawi. Karenanya, dengan hanya menggunakan prinsip-prinsip sain
sekuler untuk melakukan penjelasan
ilmiah mengenai ajaran Islam dipastikan akan mengalami kesulitan, sebab ada nilai-nilai
yang tidak bisa diakomodirnya.
Selanjutnya mengenai akal.
Filsafat ilmu sekuler mengenal akal identik dengan otak pada manusia dengan keseluruhan fungsi sistem
sarafnya. Karena itulah maka, apa yang dipahami oleh sain sekuler sebagai yang
masuk akal atau rasional adalah hubungan-hubungan logis (deduktif maupun
induktif) yang kemudian dikembangkan pemahamannya.
Berbeda
dengan itu, dalam konsep epistemologi lslami yang telah dikemukakan di atas, akal adalah sekadar sebuah benda secara
terminologis yang sesungguhnya menunjuk
pada qalb (hati), artinya,
salah-satu potensi qalb sebenarnya adalah berakal. Ketika
qalb melaksanakan fungsi memahami maka pada saat itu ia memerankan dirinya sebagai
akal.
Hati dalam fungsi berakalnya
melakukan tindak memahami hubungan- hubungan logis yang diberikan sebagai hasil penalaran yang ber-
langsung pada otak manusia. Jadi akal bukan di otak, dan otak tidak melakukan
tindakan memahami.
Pengetahuan yang dihasilkan melalui kerja akal adalah pengeta- huan menjelaskan
(explanated knowledge), yaitu
pengetahuan yang menjelaskan hubungan sesuatu apa adanya menurut kenyataan faktualnya. Padahal apa yang terjadi menurut kenyataan
faktualnya, khususnya pada realitas kehidupan manusia, belum tentu adalah apa
yang seharusnya.
Sain sekuler hanya mengenal
bentuk akhir pengetahuan sebagai produk akal. Karena itulah sain sekuler mengenal prinsip ilmu
bebas nilai. Sementara
itu dalam epistemologi Islami pengetahuan pada tingkat
akal belumlah selesai sebagai sebuah
pengetahuan ilmiah. la masih memerlukan proses lebih lanjut
pada tingkat proses pengolahan lubb. Seperti telah dijelaskan di atas, sebagaimana fuad
dan 'aql adalah alat secara tenninologis yang sebenarnya tetap menunjuk
pada qalb, demikian pula halnya lubb.
Lubb adalah alat terminologis qalb yang menjalankan
fungsi pensenyawaan kerja indra, fuad dan 'aql. Dalam al-Qur’an fungsi
itu disebut zikr-fikr.
Dengan zikr-fikr, lubb bekerja memproses pengetahuan berdasarkan data indrawi
fisik, data indrawi fuad dan hasil pemahaman 'aql sehingga melahirkan pengetahuan
yang tidak terlepas dari dimensi transendennya. Artinya, pengetahuan selalu dilihat sebagai hikmah dari adanya Allah, dan
dilihat apa fungsi seharusnya bagi kehidupan
manusia. Perhatikan konteks al-Qur’an berikut:
Wahai Tuhan Kami (ternyala) Engkau tidak menciptakan semua itu sia-sia.
Maha Suci Engkau, jauhkanlah kami dari adzab neraka.
Pada ayat tersebut terlihat isyarat petunjuk Allah mengenai dua hal,
yaitu (1) kesadaran ilmuan yang memfungsikan lubbnya, dan (2)
pembahasaan ilmu oleh ilmuan yang memfungsikan lubbnya.
Dalam hal ilmuan yang
memfungsikan lubbnya, ayat tersebut memberi isyarat petunjuk bahwa melalui
proses zikrfikr:
Capaian pertama yang selalu
dicapai oleh ilmuan adalah meningkatnya kesadaran ketuhanannya,
sebagaimana diisyaratkan oleh kalimat Rabbana. Hal ini hanya bisa dicapai oleh ilmuan tersebut karena potensi fuadnya
bekerja sehingga bisa mengindera
bagaimana segala kemahaan sifat-sifat Allah tercermin dalam realitas yang dipahaminya.
Justru atas kesadaran
ketuhanan itulah, ilmuan tersebut melihat ketidak sia-siaan ciptaan
Allah yang dipelajarinya, yang kemudian dibahasakannya dalam bahasa ilmiah. Secara teknis makna tersebut direpresentasikan oleh kalimat maa khalaqta
haadza baatilan.
Karena memiliki kesadaran mengenai kedudukan dan hakikat ilmu yang duemukannya,
ilmuan kemudian mclihat lebih jauh bahwa pada dasarnya ilmu tersebut
harus digunakan untuk: (a) tidak menodai kemahasucian Allah, baik dalam
pemahaman maupun penggunaannya, (b) tidak menggunakan ilmu tersebut pada perbuatan-perbuatan
yang mengakibalkan azab neraka. Dengan pemahaman demikian, maka ilmu digunakan
untuk ibadah kepada Allah dalam arti luas, termasuk didalamnya dalam
rangka penciptaan kemaslahatan hidup duniawi dan penegakan nilai-nilai
moral. Makna ini dipahami terkandung
dalam kalimat al- Qur’an: subha>naka fa qina>
'adza>ban na>r.
Pada sisi pembahasaan ilmu, ayat tersebut mengisyaratkan:
Pemyataan pengetaluian hasil proses keilmuan tingkat lubb selalu dibahasakan dengan bahasa kesadaran ketuhanan. Dengan
demikian, siapapun yang membaca pernyataan pengetahuan tersebut akan membaca bagaimana
hubungan Allah dengan ilmu yang terkandung dalam ciptaanNya.
Pernyataan pengetahuan hasil proses keilmuan tingkat lubb dapat menunjukkan kenyataan faktual dan
kenyataan yang seharusnya terjadi.
Pernyataan pengetahuan hasil proses keilmuan tingkat lubb dapat menunjukkan bagaimana seharusnya pengetahuan tersebut
digunakan dalam rangka ibadah kepada Allah. Termasuk dalam hal ini, dari sisi
sebaliknya, memberi warning terhadap bahaya-bahaya kemanusiaan akibat
penyalahgunaannya.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas akhirnya
terlihat betapa konsep epistemologi Islami meletakkan pengertian mengenai
pengetahuan ilmiah secara sangat berbeda dengan pengertian dalam sain sekuler.
Apa yang dicapai oleh
epistemologi sain sekuler juga dapat dicapai oleh epistemologi
Islami, narnun tidak seluruhnya yang dicapai oleh epistemologi Islami dicapai oleh epistemologi sain sekuler.
Akibat pandangan epistemologis sain
sekuler demikian itulah yang dipandang oleh Roger Garaudy sehingga mengatakan bahwa apa yang
diberikan oleh filsafat Barat pada
akhirnya tidak lebih dari sekadar cara berfikir. Atau oleh CA. Qadir yang menyatakan bahwa epistemologi Barat telah
memutus pengetahuan dari akarnya. Atau oleh
Naguib Al Attas yang menyatakan bahwa epistemologi Barat tidak mampu melihat realitas dalam kerangka wahyu.
HAKIKAT
ILMU
Setelah kita membahas beberapa aspek pokok filsafat ilmu menurut dua pandangan,
yaitu menurut pandangan filsafat sain dan filsafat ilmu Islami; kita dapat menurunkan
pengertian mengenai ilmu, atau ilmu pengeta- huan atau pengetahuan ilmiah.
Berdasarkan aspek-aspek
pembahasannya, dari filsafat sain sekuler dapat diturunkan pengertian bahwa:
Dari pandangan sumber
pengetahuan, ilmu adalah pengetahuan ilmiah manusia
mengenai realitas yang diperoleh dari beberapa kemungkinan sumber, yakni indra,
akal, intuisi atau orang-orang yang memiliki otoritas keilmuan tertentu.
Dari sudut pandang ontologi, ilmu adalah pengetahuan ilmiah yang hanya berkenaan dengan obyek-obyek empiris
dan/atau entitas rasional.
Dari sudut pandang
epistemologi, ilmu adalah pengetahuan ilmiah yang harus diperoleh melalui
metode ilmiah yang mewujudkan prinsip-prinsip empirisme dan/atau rasionalisme.
Dari sudut pandang aksiologi, ilmu adalah pengetahuan ilmiah
yang dalam proses dan pernyataannya harus bebas dari nilai-nilai
selain dari nilai-nilai ilmiah itu sendiri.
Selanjutnya, dengan cara yang
sama, dari filsafat ilmu Islami kita bisa menurunkan pengertian bahwa:
Dari sudut pandang sumber pengetahuan, ilmu adalah pengetahuan
ilmiah manusia mengenai realitas yang
sumbernya hanya Allah swt.
Dari sudut pandang ontologi, ilmu adalah pengetahuan
ilmiah manusia mengenai realitas, baik
realitas syahadah maupun realitas gaib.
Dari sudut pandang epistemologi,
ilmu adalah pengetahuan ilmiah manusia yang diperoleh dengan memelalui pemanfaatan petunjuk (al-Quran)
Sumber Ilmu melalui pelaksanaan metode ilmiah
yang secara relevan mengaktualkan potensi internal berupa
indra, fuad, aql dan lubb serta potensi eksternal yaitu ahl al zikr.
Dari sudut pandang aksiologis, ilmu adalah pengetahuan
ilmiah yang melalui proses, pernyataan
bahasa dan penggunaannya meng- akomodir secara relevan dan proporsional nilai-nilai ilmiah, tauhid, syar'i
dan akhlaqi.
Dua pengertian mengenai ilmu di
atas jelas memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Pada intinya, perbedaan tersebut sangat
mendasar karena terletak dimensi keimanan
dalam ilmu.
Dalam pandangan Islami, dimensi
keimanan adalah dimensi yang inhearent dcngan dengan ilmu, yang ditunjukkan oleh digunakannya
landasan ke-Tuhan-an dan pandangan
mengenai hierarki realitas mulai dari tingkat syahadah (fisik) hingga gaib. Itu sebabnya, konsep ilmu dalam Islam tetap
berpijak pada kesadaran ke-Tuhan-an dan kesadaran
akhlaqi dan kesadaran eskatologis (ukhrawi).
Karena dimensi keimanan itu merupakan bagian tak terpisahkan dalam konsep keilmuan
Islami, maka implikasi tuntutannya ialah penggunaan wawasan keimanan dalam
proses keilmuan. Bukti konkrit dari penggunaan wawasan keimanan tersebut dalam
keilmuan, harus terlihat dalam ekspresi keilmuan setiap ilmuan yang menggunakan
paradigmanya, baik dalam sikap maupun pemyataan ilmiah. Pembahasan mengenai
ekspresi ini bisa dilihat pada pembahasan mengenai sikap ilmiah ilmuan dan bahasa
ilmu yang akan dibicarakan pada pembahasan berikutnya.
Berbeda dengan pandangan Islami, filsafat sain sekuler
justru dengan pertimbangan demi keilmiahan
pengetahuan memandang harus melepaskan diri dari wawasan keimanan tersebut.
Sejak langkah awal proses keilmuannya, filsafat sain sekuler memang telah meletakkan pandangan
mengenai sumber ilmu yang tidak ada hubungannya
dengan Tuhan. Karena itu sain sekuler sejak awal telah melepaskan diri dari penempatan Tuhan sebagai sumber iimu.
Demikian halnya dalam pandangan ontologi
keilmuan, filsafat sain sekuler secara sengaja membangun domain pengetahuan ilmiah
hanya pada realitas fisik-materil.
Peletakan domain pengetahuan ilmiah secara demikian, tidak hanya dilakukan oleh filsafat sain sekuler
dengan pertimbangan bahwa ada wilayah lain (gaib) di luar atau di atas
realitas fisik, tetapi memang tidak mengakui keberadaan realitas gaib tersebut.
Sudah tentu, adalah menjadi implikasi logis pandangan
keilmuan sekuler bila dalam seluruh proses
keilmuan, ilmuan dibawa dalam proses sekularisasi dan pelepasan diri dari kesadaran ke-Tuhan-an serta kesadaran
eskatologis. Itu sebabnya, kata sekuler diletakkan sebagai identitas
pada pandangan filsafat sain sekuler tersebut.
ILMUAN
MENURUT FILSAFAT SAIN ISLAMI
Penetapan kriteria ilmuan menurut filsafat sain
moderen, ilmuan menurut filsafat ilmu islami juga dapat dipahami berdasarkan
pandangan keilmuannya yang dibentuk oleh filsafat ilmu islami sebagai berikut:
Ilmuan adalah mereka yang dalam
konteks keilmuan mengejawantahkan pandangannya mengenai Allah sebagai Sumber
Ilmu. Manusia dipandang bukan sebagai sumber
ilmu melainkan penerima ilmu melalui
pelaksanaan petunjuk untuk memperoleh ilmu dari Allah swt yang terkandung dalam
wahyuNya.
Ilmuan adalah mereka yang dalam
konteks keilmuan meletakkan pandangannya terhadap obyek ilmu sebagai ayat-ayat
Allah (tanda-tanda adanya Allah dengan segala sifat kemahaanNya). Realitas yang
dipahaminya tidak hanya yang bersifat
empirik (syahadah) tapi juga metaempirik (gaib). Atas dasar itu, pengetahuan
ilmiah dipandangnya sebagai segala bentuk pengetahuan mengenai realitas
tersebut.
Ilmuan adalah mereka yang dalam
konteks keilmuan berpandangan bahwa pengetahuan ilmiah dapat diperoleh secara
absah dan benar berdasarkan petunjuk Allah melalui al-Qur’an dan Sunnah
rasulNya. Karena itu pengetahuan ilmiah dapat diwujudkan melalui potensi
internal berupa indra lahiriah dan indra batiniah (fuad), 'aql dan lubb, serta melalui potensi eksternal yakni
otoritas dan ciptaan Allah yangmenjadi obyek ilmu itu sendiri.
Ilmuan adalah mereka yang
berpandangan bahwa Allah adalah sumber seluruh nilai, sehingga nilai-nilai ilmiah
dan nilai-nilai selainnya bersumber dari sumber yang satu yakni Allah. Atas
dasar itu, ilmuan tidak memandang otonomi ilmu dalam kebebasannya secara
terpisah dari nilai-nilai lain tapi menempatkannya secara proporsional dan relevan sejak dari ilmu berupa gagasan,
proses hingga produk dan penggunaan. Ilmuan memandang bahwa ilmu adalah sarana
untuk beribadah kepada Allah dan potensial untuk mewujudkan kehidupan yang
maslahat dunia-akhirat.
Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
BalasHapusSistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
Memiliki 9 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
Link Alternatif :
arena-domino.club
arena-domino.vip
100% Memuaskan ^-^