Pages

Sabtu, 19 September 2015

Kajian filsafat ilmu Islami


KAJIAN FILSAFAT ILMU ISLAMI



   Prinsip dasar kajian dalam buku ini adalah mengurai ilmu secara filosofis, dalam pendekatan epistemologis merupakan hasil kajian atau elaborasi terhadap buku-buku referensi filsafat ilmu yang umumnya telah menjadi rujukan di Perguruan Tinggi. Muatan yang berbeda pada kajian buku ini, bahwa implikasi pembahasannya menggunakan  pendekatan ajaran Islam untuk memberi gambaran bahwa ilmu sebagai obyek kajian filsafat, maka kajiannya harus menggunakan pendekatan al-Qur’an yang secara otoritas (wujud) sebagai sumber ilmu, dan dengan demikian sumber ilmu yang hakiki hanyalah Allah swt. Al-Qur’an diturunkan oleh Allah swt sebagai hudan (petunjuk) bagi manusia, di dalamnya terkandung bayan (penjelasan) mengenai petunjuknya, dan juga furqān (pembeda) sebagai nilai pembeda, QS. al-Baqarah/2: 185:
ãöky­ tb$ŸÒtBu üÏ%©!$# tAÌRé& ÏmŠÏù ãb#uäöà)ø9$# Wèd Ĩ$¨Y=Ïj9 ;M»oYÉit/ur z`ÏiB 3yßgø9$# Èb$s%öàÿø9$#ur 4 ÇÊÑÎÈ4
Terjemahnya :
Bulan Ramadhan, adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil).[1]
Eksistensi al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia menuntut adanya kemampuan memahami petunjuk itu. Karena sejauh mana seseorang dapat merealisasikan petunjuk al-Qur’an dalam segala aspeknya, tidak hanya bergantung pada kuatnya keyakinan terhadapnya, tetapi juga bergantung pada tingkat kedalaman dan luasnya pemahaman terhadap kandungan al-Qur’an.
Karena itu, pernyataan dalam ayat di atas tidak hanya menekankan eksistensi al-Qur’an sebagai petunjuk, tetapi juga disertai dengan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk tersebut. Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa, petunjuk al-Qur’an terutama dapat dipahami dengan penjelasan yang bersumber dari al-Qur’an sendiri.
Sebagai petunjuk paripurna, al-Qur’an bukan hanya merupakan kitab suci yang berkenaan dengan masalah- masalah ritual peribadatan dan masalah hukum-hukum keagamaan akan tetapi sebagai petunjuk semua aspek kehidupan bagi manusia seluruhnya dalam wujud ilmu pengetahuan sebagai instrumen.
Karena al-Qur’an  merupakan petunjuk paripurna yang berkenaan dengan seluruh aspek kehidupan manusia, maka sudah tentu al-Qur’an juga adalah kitab petunjuk keilmuan. Oleh karena itu, aspek keilmuan ditempatkan sebagai masalah utama yang diungkap oleh al-Qur’an, mengingat masalah keilmuan adalah salah satu aspek yang menduduki posisi amat penting dalam kehidupan manusia. Hal itu sangat jelas, dalam kalimat “Utul ‘Ilma Darajat”, berdasarkan QS. al-Mujadillah, 58:11), ayat ini menunjukkan bahwa proses memperoleh ilmu atau pendidikanlah yang mengantarkan manusia pada derajat yang lebih tinggi.
Urgensi keilmuan itu dibuktikan oleh pilihan wahyu pertama[2] yang diturunkan oleh Allah swt, QS. Al-‘Alaq/96:
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ ù&tø%$# y7š/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷ètƒ       ÇÎÈ

Terjemahnya:
(1)      Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. (2) Yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah. (3) Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. (4) Yang mengajarkan (kepada) manusia apa yang tidak diketahuinya.
Pada lima ayat yang paling pertama turun tersebut, terdapat dua kata yang secara eksplisit dan harfiyah berkenaan dengan ilmu, yaitu “‘allama (mengajarkan, memberi ilmu) dan “ya‘lam” (dia mengetahui, dia berilmu). Selain itu, lima ayat tersebut juga mengandung  kata yang berhubungan erat dengan ilmu, yaitu kata “iqra, alaq, dan “qalam.
Kata “iqra adalah perintah membaca. Membaca adalah langkah penting pertama yang mengantar manusia dalam memperoleh ilmu. Kata “‘alaq” dalam kalimat “khalaqa al-insān min ‘alaq, adalah ayat yang mengandung isyarat substansi ilmu yang amat menantang untuk menelitinya. Demikian halnya dengan kata “qalam”, yang menurut Quraish Shihab berarti alat yang digunakan untuk menulis[3] atau pena. Pena adalah alat utama dalam dunia tulis-menulis, sedangkan kegiatan tulis-menulis adalah salah satu inti kegiatan ilmu. Qalam juga dapat dimaknai secara lebih abstrak sebagai simbol seluruh peralatan yang menjadi perantara manusia memperoleh ilmu.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa al-Qur’an sebagai petunjuk kehidupan bagi manusia dalam seluruh aspek kehidupannya adalah kitab al-Qur’an yang juga menjadi petunjuk dasar dalam masalah keilmuan, dan kunci memperoleh ilmu secara luas adalah membaca.
Perlu dipahami secara kritis, bahwa al-Qur’an hadir di saat peradaban manusia telah mengenal tradisi keilmuan. Tradisi keilmuan tersebut terus berkembang pesat seiring dengan perkembangan peradaban dan melahirkan berbagai ideologi yang banyak dianut umat manusia serta teknologi yang dapat menciptakan fasilitas-fasilitas hidup jasmaniah yang memudahkan manusia dalam menjalani aktifitas kehidupannya. Kenyataan ini mendorong mayoritas manusia untuk senantiasa mendalami ideologi, sains dan teknologi tersebut utamanya di belahan bumi bagian Barat.
Sejarah menunjukkan, bahwa perkembangan tradisi keilmuan semakin lama semakin menunjukkan berpijak pada paradigma materialistik dan mekanistik, sehingga tidak menyentuh masalah subtansial yang sangat fundamental, yaitu realitas nonempiris. Hal ini berdampak pada kurang sempurnanya bangunan paradigma keilmuan tersebut.
Paradigma keilmuan Barat yang bersifat sekular tersebut merupakan manifestasi dari konsep-konsep filsafat yang memisahkan hal-hal metafisik dengan hal-hal fisik secara tidak berdasar, meskipun sebenarnya akar filsafat tersebut berasal dari Yunani yang pada awal perkembangannya tidak memisahkannya. Paradigma keilmuan yang berkembang bahkan bukan sekedar memisahkan, tapi menolak keberadaan metafisik, seperti dalam pemikiran positivisme dan materialisme.
Pemisahan atau penolakan tersebut mengakibatkan terabaikannya berbagai aspek nilai dan masalah keberadaan Tuhan sebagai pokok dan puncak pengetahuan. Dominasi konsep-konsep keilmuan sekular tersebut telah meluas baik secara kualitas maupun kuantitas dan secara langsung telah merasuki pemikiran umat Islam.
Sekular berasal dari bahasa Inggris, yaitu secular yang berarti: bersifat duniawi, fana, temporal, yang tidak bersifat spiritual, abadi dan sakral; kehidupan di luar biara, dan sebagainya. Secara istilah, sekular dapat diartikan sebagai keterbebasan manusia pertama-tama dari agama kemudian metafisika yang mengatur nalar dan bahasanya. Dalam pengertian lain adalah keterlepasan manusia di segala sektor kehidupannya dari dominasi lembaga-lembaga dan simbol-simbol keagamaan. Dua definisi tersebut menunjukkan bahwa sekular adalah keterbebasan manusia dalam cara berfikirnya dan dalam segala sektor kehidupan pribadi dan masyarakat yang berwujud dalam berbagai aspek kebudayaan, dari segala yang bersifat keagamaan dan metafisika, sehingga bersifat duniawi belaka.[4]
Pandangan sekular adalah sebuah pandangan yang tidak mendasarkan diri pada keyakinan tentang Tuhan, alam gaib, hari akhir dan segala sesuatu yang keberadaannya meniscayakan eksistensi Tuhan. Pandangan ini berakibat langsung pada separatisasi pengetahuan dari dimensi ke-Tuhanan. Oleh karena itu, sekularisme melahirkan sebuah pengetahuan yang tidak memiliki nilai sakralitas. Keimanan dianggap sesuatu yang tidak penting dalam masalah keilmuan dan karena itu iman tidak perlu ada dalam proses pencarian, perumusan, serta aplikasi ilmu.
Paradigma keilmuan tersebut menurut Qadir membuat pengetahuan mengalami desakralisasi dan terpotong dari akarnya.[5] Sains yang berkembang adalah sains yang tidak memiliki dimensi ke-Tuhanan. Sehingga bukan saja konsepnya yang kurang paripurna, melainkan juga penerapannya yang tidak mempertimbangkan aspek kemanusiaan dan lingkungan.
Menurut Mehzar, kecenderungan sekularisme dapat dikatakan bermula sejak Galileo menyanggah pendapat Aristoteles yang menganggap bahwa benda pada dasarnya diam dan tidak bergerak. Karena itu, sebuah benda memerlukan gaya penggerak dari luar yang bisa menggerakkannya. Dengan teori ini, bukti kosmologi eksistensi Tuhan dapat dikenal. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari teori fisika tersebut yang meniscayakan adanya penggerak pertama yang tak digerakkan dan dikenal dengan Prima Causa (penyebab pertama). Sementara itu Galileo berpendapat bahwa benda pada dasarnya bergerak lurus dengan kecepatan tetap. Gaya tidak menyebabkan gerak, akan tetapi menyebabkan perubahan kecepatan. Gaya itu bersumber dari eksistensi benda-benda lain. Setiap benda, baik bergerak atau diam, saling memberi pengaruh gerak antara satu dengan yang lainnya dalam bentuk gaya-gaya mekanik. Pandangan ini lebih dikenal sebagai pandangan mekanistik Newtonian.[6]
Dalam pandangan mekanistik Newtonian, semua gerak benda tidak memerlukan penggerak nonmaterial, yang disebut akal atau malaikat, untuk mengarahkan gerak. Setiap benda bergerak secara otomatis sesuai potensi internal yang dimiliki dalam merespon pergerakan benda lain. Dengan demikian, tidak ada keniscayaan munculnya kesimpulan akan adanya Prima Causa. Hal inilah yang memicu muculnya sekularisme.[7]
Meski teori mekanistik Newton menjadi pemicu berkembangnya sekularisme, namun sang pencetus tidaklah merumuskan teorinya karena tendensi kepercayaannya, melainkan berdasarkan kesimpulan pemikirannya, karena sebagaimana yang kita tahu, Newton adalah seorang yang religius yang mempercayai adanya kekuasaan Tuhan.[8]
Jika paradigma keilmuan sekuler tidak segera direkonstruksi atau diganti dengan sebuah paradigma keilmuan baru, maka masa depan dunia beserta isinya hanyalah kehancuran. Demikian kesimpulan sederhana yang dapat dipetik dari buku Pritjof Capra yang berjudul The Turning Point.[9]
Kehidupan dunia modern memberi gambaran jelas bahwa paradigma keilmuan sekuler Barat lebih memperlihatkan perkembangannya dalam hal sains aplikatif dalam bentuk teknologi dari pada perkembangan konsep keilmuan universal yang aplikatif dalam segala dimensi kehidupan dan kemanusiaan. Pengembangan teknologi tersebut tidak memiliki pondasi paradigma keilmuan yang paripurna. Sains aplikatif bahkan merumuskan landasan keilmuan sendiri, dan mampu mendikte pengembangan keilmuan teoritis. Ideologi demokrasi dan politik perang Amerika, misalnya, dirumuskan untuk menopang ambisi aplikasi sains dalam bentuk pengembangan teknologi.
Kita tidak bisa menyangkal kemajuan teknologi yang telah dicapai oleh dunia Barat. Namun untuk mengatakan bahwa ilmu-ilmu sosial, ekonomi, politik, psikologi, kedokteran, misalnya, bahkan fisika teoritis telah mengungguli paradigma keilmuan Islam, masih perlu didiskusikan lebih jauh. Dalam hal penganut mungkin dapat dibenarkan, karena sebagian umat Islam pun bahkan menganutnya. Tapi dalam hal kesempurnaan paradigma keilmuan secara universal, ilmuan-ilmuan muslim dapat membuktikan keunggulannya.
Komentar para pakar dari berbagai kalangan serta dalam berbagai bentuk kerap kita jumpai dalam mengkritisi sains sekuler. C.A. Qadir misalnya dalam bukunya Philoshopy and Science in the Islamic World,[10] mengatakan:
Western civilization, from which the Western wordview emerges, is not the product of thought, but is the result of many tendencies and influences, a good many of which refuse to go together.
Qadir menilai bahwa peradaban Barat yang telah melahirkan pandangan dunia (worldview) Barat sekarang ini, bukan hanya produk satu aliran pemikiran, tapi hasil dari banyak kecenderungan dan pengaruh, yang kebanyakan di antaranya tidak bisa disesuaikan satu sama lainnya. Dengan demikian, produk pemikiran seperti itu tidak layak untuk digunakan karena sudah tentu produk pemikiran seperti itu tidak utuh, karena pertimbangannya tidak menyeluruh.
Apa yang berkembang di Barat merupakan perpaduan sejarah antara kebudayaan-kebudayaan, filsafat, nilai-nilai Yunani dan Roma Kuno serta percampurannya dengan Yudaisme dan agama Kristen. Perkembangan dan pembentukannya kemudian dilanjutkan oleh bangsa- bangsa Latin, Germanik, Keltik dan Nordik. Barat memperoleh unsur-unsur filsafat dan epistemologi serta dasar-dasar pendidikan etika dan estetika dari Yunani, memperoleh unsur-unsur tata negara dan pemerintahan dari Roma, memperoleh unsur-unsur kepercayaan dan agama dari Yudaisme dan Kristen serta memperoleh semangat jiwa nasionalisme, tradisionalisme serta kemajuan ilmu-ilmu fisika dan teknologi dari bangsa-bangsa Latin dan Germanik. Karena unsur-unsur yang membentuk peradaban barat itu tidak berasal dari akar yang sama, maka unsur-unsur itu tidak mampu menampilkan sebuah pandangan yang harmonis mengenai realitas yang paling hakiki dan mengenai kehidupan manusia.[11]
Di kalangan Islam, telaah kritis terhadap masalah tersebut telah berlangsung lama. Pada hampir setiap literatur keilmuan Islam, dikemukakan juga berbagai pemikiran keilmuan Barat disertai kritik atasnya.[12]Menanggapi lemahnya konsep epistemologi Barat ini, Baqir Shadr menegaskan;
‘jika sumber-sumber pemikiran manusia, kriteria-kriteria, dan nilai-nilainya tidak ditetapkan, tidaklah mungkin melakukan studi apapun, bagaimanapun bentuknya.
Salah satu perdebatan besar itu adalah diskusi yang mempersoalkan sumber-sumber dan asal-usul pengetahuan dengan meneliti, mempelajari dan mencoba mengungkapkan prinsip-prinsip primer kekuatan struktur pikiran yang dianugerahkan pada manusia. Dengan itu, ia dapat menjawab pertanyaan- pertanyaan berikut: Bagaimana pengetahuan itu muncul dalam diri manusia? Bagaimana kehidupan intelektualnya tercipta, termasuk setiap pemikiran dan konsep-konsep (notion) yang muncul sejak dini? Dan apakah sumber yang memberikan kepada manusia arus pemikiran dan pengetahuan ini’[13]
Dalam lingkup epistemologi Islam, Mahdi Ghulsyani menjelaskan bahwa epistemologi yang digunakan untuk membangun pemahaman adalah; (1) indera eksternal yang dengannya pengamatan dan ekperimen dapat dilakukan, (2) intelek yang tidak dipengaruhi sifat-sifat buruk yang menguasai kehendak dan prasangka serta bebas dari peniruan buta, (3) wahyu dan inspirasi. Di samping itu, dalam berbagai literatur pemikiran Islam, hati juga dianggap sebagai alat penalaran.[14]
Dengan konsep tersebut, Islam memiliki alat yang lebih lengkap untuk memahami sesuatu. Sementara dalam pemikiran Barat alat untuk menjangkau objek dan untuk memahami sangat minim, yaitu terbatas pada indera lahiriah dan intelek belaka. Ini mengakibatkan kemampuan pemahaman manusia hanya terbatas pada physical world (dunia materi).
Sejarah filsafat utamanya bidang epistemologi yang dimulai di Yunani, ternyata pada akhirnya tidak berkembang menuju paradigma keilmuan yang utuh di Barat. Kenyataan ini dimulai ketika Rene Descartes dari Prancis dan Bacon dari Inggris mencanangkan metode empiris-eksperimen dalam sains menggantikan silogistik- rasional. Penggantian metode ini mengakibatkan filsafat terpisah dari sains. Filsafat hanya menggali masalah metafisik dan tidak lagi menyentuh hal-hal empiris. Filosof yang dalam arti kuno berarti orang yang menguasai semua ilmu, di zaman modern hanya ditujukan pada orang yang mengkaji masalah-masalah metafisik dengan mengandalkan logika murni.[15] Kenyataan ini mengakibatkan paradigma sains modern Barat tidak cukup memiliki pondasi metafisik, karena sains modern hanya pada wilayah fisik dan terpisah dari metafisik yang diserahkan pada filsafat.
Kondisi demikian tidak berlaku dalam dunia Islam. Filsafat yang diterima dari Yunani dikembangkan sebagaimana mestinya. Dalam sejarah pemikiran Islam, tidak terdapat fase kesenjangan antara metode silogistik-rasional dan empiris-eksperimen. Hal ini telah dikemukakan sebelumnya dengan menggunakan pendapat-pendapat ilmuan muslim.
Empat belas abad yang lalu al-Quran sesungguhnya telah mengingatkan umat manusia melalui nabi-Nya akan hal tersebut. Para ulama Islam pun bukannya tidak menyadari dan melakukan sesuatu seperti kegiatan keilmuan. Namun hal itu belum mampu menahan laju pengaruh sains modern (sekuler), minimal terhadap dunia pendidikan kita di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial maupun historis karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Filsafat telah berhasil mengubah pola pemikiran bangsa Yunani dan umat manusia dari pandangan mitosentris menjadi logosentris. Awalnya bangsa Yunani dan bangsa lain di dunia beranggapan bahwa semua kejadian di alam ini dipengaruhi oleh para dewa. Karenanya para dewa harus dihormati dan sekaligus ditakuti kemudian disembah. Dengan filsafat, pola pikir yang selalu tergantung pada dewa diubah menjadi pola pikir yang tergantung pada rasio. Kejadian alam, seperti gerhana tidak lagi dianggap sebagai kegiatan dewa yang tertidur, tetapi merupakan kejadian alam yang disebabkan oleh matahari, bulan, dan bumi berada pada garis yang sejajar, sehingga bayang-bayang bulan menimpa sebagian permukaan bumi.
Perubahan dari pola pikir mitosentris ke logosentris membawa implikasi yang tidak kecil. Alam dengan segala gejalanya, yang selama ini ditakuti kemudian didekati dan bahkan dieksploitasi. Perubahan yang mendasar adalah ditemukannya hukum-hukum alam dan teori-teori ilmiah yang menjelaskan perubahan yang terjadi, baik di alam jagad raya (makro-kosmos) maupun alam manusia (mikrokosmos). Dari penelitian alam jagad raya bermunculan ilmu astronomi, kosmologi, fisika, kimia, dan sebagainya, sedangkan dari manusia muncul ilmu biologi, psikologi, sosiologi, dan sebagainya. Ilmu-ilmu tersebut kemudian menjadi lebih terspesialisasi dalam bentuk yang lebih kecil dan sekaligus semakin aplikatif dan terasa manfaatnya.
Pada perkembangan selanjutnya, ilmu terbagi dalam beberapa disiplin, yang membutuhkan pendekatan, sifat, objek, tujuan, dan ukuran yang berbeda antara disiplin ilmu yang satu dengan yang lainnya. Pada gilirannya, cabang ilmu semakin subur dengan segala variasinya. Namun, tidak dapat juga dipungkiri bahwa ilmu yang terspesialisasi itu semakin menambah sekat-sekat antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu yang lain, sehingga muncul arogansi ilmu yang satu terhadap ilmu yang lain. Tidak hanya sekadar sekat-sekat antar disiplin ilmu dan arogansi ilmu, tetapi yang terjadi adalah terpisahnya ilmu itu dengan nilai luhur ilmu, yaitu untuk menyejahterakan umat manusia. Bahkan tidak mustahil terjadi, ilmu menjadi bencana bagi kehidupan umat manusia, seperti pemanasan global dan dehumanisasi.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa satu sisi ilmu berkembang dengan pesat, di sisi lain, timbul kekhawatiran yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu itu karena tidak ada seorang pun atau lembaga yang memiliki otoritas untuk menghambat implikasi negatif dari ilmu. John Naisbitt mengatakan bahwa era inforrnasi menimbulkan gejala mabuk teknologi, yang ditandai dengan beberapa indikator, yaitu: (1) Masyarakat lebih menyukai penyelesaian masalah secara kilat, dari masalah agama sampai masalah gizi. (2) Masyarakat takut dan sekaligus memuja teknologi. (3) Masyarakat mengaburkan perbedaan antara yang nyata dan yang semu. (4) Masyarakat menerima kekerasan sebagai sesuatu yang wajar. (5) Masyarakat mencintai teknologi dalam bentuk mainan. (6) Masyarakat menjalani kehidupan yang berjarak dan terenggut."
Ilmu dan teknologi dalam konteks itu kehilangan ruhnya yang fundamental karena ilmu kemudian mengeliminir peran manusia dan bahkan manusia tanpa sadar menjadi budak ilmu dan teknologi. Karena itu, filsafat ilmu berusaha mengembalikan ruh dan tujuan luhur ilmu agar ilmu tidak menjadi bumerang bagi kehidupan umat manusia. Di samping itu, salah satu tujuan filsafat ilmu adalah untuk mempertegas bahwa ilmu dan teknologi adalah instrumen bukan tujuan.
Dalam konteks yang demikian diperlukan suatu pandangan yang komprehensif tentang ilmu dan nilai-nilai yang berkembang di tengah masyarakat. Dalam masyarakat beragama, ilmu adalah bagian yang tidak terpisahkan dari nilai-nilai ketuhanan karena sumber ilmu yang hakiki adalah dari Tuhan, manusia hanya menemukan sumber itu dan kemudian merekayasanya untuk dijadikan instrumen kehidupan. Manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling tinggi derajatnya dibandingkan dengan makhluk yang lain karena manusia diberikan daya berpikir. Daya pikir inilah yang menemukan teori-teori ilmiah dan teknologi.
Pada waktu yang bersamaan, daya pikir tersebut menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan, sehingga dia tidak hanya bertanggung jawab kepada sesama manusia, tetapi juga kepada Pencipta-nya.
Namun, perlu juga diingat bahwa ikatan agama yang terlalu kaku dan terstruktur kadangkala dapat menghambat perkem-bangan ilmu. Karena itu, perlu kejelian dan kecerdasan memper-hatikan sisi kebebasan dalam ilmu dan sistem nilai dalam agama agar keduanya tidak saling bertolak belakang. Di sinilah perlu rumusan yang jelas tentang .ilmu secara filosofis dan akademik serta agama agar ilmu dan teknologi tidak menjadi bagian yang lepas dari nilai-nilai agama dan kemanusiaan serta lingkungan. Karena itu, penulisan buku filsafat ilmu di perguruan tinggi dirasakan sangat penting karena memiliki beragam manfaat, di antaranya, membantu mahasiswa dalam membedakan antara persoalan-persoalan yang ilmiah dan nonilmiah; memberikan landasan historis-filosofis bagi setiap kajian disiplin ilmu yang ditekuni, dan memberikan nilai dan orientasi yang jelas bagi setiap disiplin ilmu.









1.      Pandangan ontologi berbasis al-Qur’an melihat realitas bertitik tolak dari adanya Allah swt. sebagai pencipta dan adanya selain dirinya sebagai ciptaan. Dengan demikian status ontologis dari seluruh objek ilmu adalah akibat dari keterciptaannya sebagai objek yang berdimensi syahādah (fisik) dan atau berdimensi gāib (metafisik).
2.      Pandangan epistemologi berbasis al-Qur’an terdiri atas sub-sub pandangan sebagai berikut:
a.       Sumber ilmu hanyalah Allah swt yang menciptakan dan memiliki ilmu seluruh ciptaan-Nya, dan ilmu-ilmu yang berkembang dari ilmu milik-Nya. Allah swt sebagai sumber ilmu karena hanya Dia yang tidak pernah tidak memiliki ilmu, sebagai syarat bagi sesuatu disebut sebagai sumber ilmu.
b.      Sarana-sarana untuk memperoleh ilmu adalah satu kesatuan fakultas-fakultas pengetahuan pada diri manusia yang meliputi (1) indera lahir (2) otak dan (3) qalb. Ketika qalb menjalankan fungsinya sebagai indera batiniah, maka al-Qur’an menyebutnya sebagai fuād. Ketika qalb menjalankan fungsinya untuk memahami hasil penalaran, maka al-Qur’an menamakannya dengan ‘aql. Ketika qalb melaksanakan fungsi menghayati kebesaran Allah swt. dalam hubungannya dengan seluruh ciptaan-Nya, maka al-Qur’an menamainya sebagai lubb.
c.       Metodologi memperoleh ilmu berbasis al-Qur’an adalah (1) metode tajrī  (eksperimen), (2) burhānī (argumentasi) dan (3) ‘irfānī (intuisi). Verifikasi kebenaran ilmu yang diperoleh dengan metodologi tersebut dilakukan secara proporsional dan menurut metodologinya, yaitu (1) teori korespondensi, (2) teori koherensi dan (3) teori pragmatis.
3.      Pandangan aksiologi berbasis Al-Qur’an dibangun dengan titik tolak tujuan penciptaan manusia untuk beribadah kepada Allah swt., sehingga memiliki tuntutan logis penggunaan ilmu untuk beribadah kepada Allah. Konsekuensi dari tujuan berilmu tersebut sejalan dengan sifat intrinsik objek-objek ilmu itu sendiri yang diciptakan oleh Allah swt. tidak sia-sia, tapi untuk kebaikan. Dengan demikian, men  urut hakikatnya ilmu tidak bebas nilai. Pandangan aksiologi ini juga berdampak pada peningkatan kapasitas sesorang dalam proses keilmuan.
A.    Implikasi dan Saran
1.      Implikasi
a.       Epistemologi berbasis Al-Qur’an meletakkan semua peluang ilmu dalam spektrum yang luas dalam satu kerangka epistemologis yang sama sehingga tidak ada dan tidak akan ada dikotomi antara ilmu dan dikotomi antara ilmu dan iman.
b.      Epistemologi berbasis Al-Qur’an menuntut lebih jauh pengembangan metode penelitian berbasis Al-Qur’an sebagai instrumen pengembangan ilmu pada tingkat terapan.
c.       Epistemologi berbasis Al-Qur’an meletakkan Al-Qur’an sebagai referensi utama dalam setiap proses keilmuan.
d.      Pandangan tentang taqdir dan sunnatullah dalam epistemologi berbasis Al-Qur’an menuntut pemahaman dan penjelasan yang lebih tepat terhadap kedua istilah tersebut oleh masyarakat atau umat Islam sebagaimana Al-Qur’an menggunakannya.


[1]Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Pen. PT. Karya Toha Putra Semarang, 2002.
[2]Lihat Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 15 (Jakarta: Lentera Hati, 2004), h. 391- 401. Dalam pengantar surah al-‘alaq beliau menyebutkan; menurut Thabathabaí; dari konteks uraian ayat- ayatnya, tidak mustahil bahwa keseluruhan ayat-ayat surah ini turun sekaligus. Munurut Ṭahir al-Syūr; lima ayat yang turun pada tanggal 17 Ramadan ini adalah ayat yang pertama kali turun, pendapat ini dianut oleh jumhur ulama.
[3]Ibid.
[4]Lihat Juhaya S. Pradja, Aliran-aliran Filsafat dari Rasionalisme hingga Sekularisme (Bandung: Alva Gracia CV, 1987), h. 94.
[5]C.A. Qadir, Philosophy and Science in the Islamic World (London and New York: Routledge, 1991), h. 3.
[6]Armahedi Mehzar, “Pengantar” dalam Mulyadi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam: Menyibak Tirai Kejahilan  (Bandung: Mizan, 2003), h. xvii.
[7]Ibid., h. xviii.
[8]Ibid.
[9]Lihat Pritjof Capra, The Turning Point: Science, Society and The Rising Culture, terj. M. Thoyibi, Titik Balik Peradaban: Sains, Mayarakat dan Kebangkitan Kebudayaan (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1997)
[10]C.A. Qadir, op. cit., h. 1.
[11]Ibid.
[12]Seperti  buku Falsafatunā karya seorang filosof Muslim, Muhammad Baqir Shadr, yang memuat pandangan-pandangan terhadap pelbagai aliran filsafat dunia serta kritik kritis terhadapnya dengan memberikan bandingan pemikiran dari khazanah filsafat Islam.

[13]Muhammad Baqir al-Ṣadr, Falsafatunā: Dirāsah Mauḍū‘iyyah fīMu‘tarak Al-Ṣira‘ Al-Fikri baina Mukhtalaf al-Tayyārah al-Falsafiyyah wa Falsafah Al-Islāmiyyah wa Al-Maddiyyah al-Diyaktikiyyah, terj. M. Nur Mufid bin Ali, Falsafatunā: Pandangan Muhammad Baqir al-Ṣadr terhadap Pelbagai Aliran Filsafat Dunia (Bandung: Mizan, 1991), h. 25.
[14] Mahdi Ghulsyani, Filsafat-Sains menurut Alquran (Bandung: Mizan, 1986), h., 84.
[15]Murtadha Muthahhari, Filsafat Hikmah: Pengantar Pemikiran Shadra  (Bandung:Mizan, 2002), h. 52.

1 komentar: