Pages

Sabtu, 19 September 2015

Epistemologi Sekuler dan Epistemologi Islami






A.  Epistemologi Sains Sekuler (Modern)
1.      Objek ilmu
     Objek ilmu adalah keseluruhan realitas atau kenyataan. Pada kenyataannya, pandangan setiap orang mengenai realitas sangat beragam. Dalam dunia ilmu dikenal berbagai aliran yang secara beragam memandang realitas lazim disebut sebagai aliran-aliran ontologi.
     Karena itu objek ilmu dalam kajian epistemologi di Barat, dirumuskan berdasarkan aliran-aliran ontologi sebagai berikut:

a.    Aliran Naturalisme
     Naturalisme adalah sebuah aliran filsafat yang secara harfiah mengandung arti sebagai paham serba alam. Menurut naturalisme, kenyataan hakikatnya bersifat alam, yang kategori pokoknya adalah kejadian-kejadian dalam ruang dan waktu. Adapun yang bersifat nyata pasti termasuk dalam kategori alam. Sesuatu yang dikategorikan demikian itu dapat dijumpai dan dapat dipelajari oleh manusia dengan cara-cara sebagaimana dewasa ini dikenal sebagai metode ilmiah.[1]
     Menurut Bagus, naturalisme adalah sebuah pandangan filsafat yang memberikan suatu peran yang sangat menentukan bahkan ekslusif pada alam. Naturalisme juga mengandung pengertian sebuah teori filsafat umum yang mengarahkan secara berat sebelah pada alam sub-human, khususnya aspek biologisnya, dan menganggap bahwa apa yang secara khusus mencirikan kemanusiaan hanyalah perluasan dari tata biologis berdasarkan prinsip-prinsip alam.[2]
     Dengan demikian pandangan ontologis dari naturalisme mengenai kenyataan adalah apa saja yang bersifat alam, yakni segala yang berada dalam dimensi ruang dan waktu. Konsekuesi logis dari pandangan ini adalah; (1) segala sesuatu yang dianggap ada namun di luar dari dimensi ruang dan waktu, tidak dianggap sebagai kenyataan, dan (2) segala sesuatu yang tidak mungkin dipahami melalui metode-metode yang digunakan dalam ilmu-ilmu kealaman, tidak bisa dikatakan sebagai sebuah kenyataan.[3]
     Bagi penganut naturalisme, sesuatu yang bereksistensi, bukan merupakan himpunan bawahan dari kenyataan, akan tetapi yang bereksistensi adalah kenyataan itu sendiri. Sebuah kursi kayu bukan hanya suatu kenyataan yang kebetulan karena substansi terdalamnya bersifat fisik sehingga bereksistensi, melainkan merupakan kejadian yang niscaya karena sejumlah kualitas suatu proses yang berkesinambungan. Sebagai sesuatu yang terdapat dalam ruang dan waktu, kursi itu bereksistensi, sehingga ia adalah kenyataan.[4]
     Faktor-faktor penyusun kejadian adalah proses, kualitas dan relasi. Sebuah mangga misalnya, baik ketika masih di pohon maupun telah dipetik, senantiasa akan mengalami proses yang berkesinambungan, terdiri atas kualitas-kualitas tertentu dan senantiasa berhubungan dengan hal-hal lain. Dengan kata lain, apa saja yang merupakan kenyataan pasti menggambarkan ketiga hal tersebut. Sehingga tidak mungkin terdapat sesuatu yang secara mutlak bersifat statis (misalnya tidak rusak), atau tanpa kualitas, atau tanpa hubungan dengan yang lain.[5]
     Mencermati teori tersebut, akan muncul pertanyaan, bagaimana proses, kualitas dan hubungan itu dipahami? Jawabnya adalah dengan penyelidikan empiris terhadap kejadian-kejadian yang pemahaman atasnya (kejadian-kejadian itu) perpulang pada dirinya sendiri sebagaimana adanya, atau kepada hal lain yang menurut pengalaman menunjukkan bahwa yang satu memang dapat dipulangkan kepada yang lain tanpa mengenal hirarki kualitas, lebih tinggi atau lebih rendah.
     Jika secara ontologis naturalisme meletakkan doktrin mengenai hakikat kenyataan adalah kejadian-kejadian dalam ruang dan waktu, maka secara epistemologis meletakkan doktrin bahwa semua ilmu harus mengacu pada peristiwa-peristiwa yang ada dalam dimensi ruang dan waktu.
b.      Aliran Materialisme
    Bagus menulis bahwa materialisme merupakan pandangan filsafat yang menganggap bahwa segala sesuatu tidak lain hanyalah materi yang sedang bergerak, atau merupakan keyakinan yang menganggap bahwa pikiran memang sungguh-sungguh ada tetapi disebabkan oleh perubahan-perubahan material dan sama sekali bergantung pada materi. Pikiran tidak memiliki kedayagunaan kausal, juga tidak mutlak perlu untuk berfungsinya alam semesta material.[6]
     Doktrin tersebut didasarkan pada argumen bahwa segala sesuatu dikatakan  nyata, jika pada hakikatnya berawal dari materi atau terjadi karena gejala-gejala yang bersangkutan dengan materi. Karena itu materialisme menyatakan bahwa tidak ada entitas nonmaterial dan kenyataan supranatural. Pikiran dan aksi material lainnya yang oleh kebanyakan orang dianggap sebagai tidak bersubstansi material, pada dasarnya adalah perwujudan dari gejala-gejala yang bersangkut paut dengan materi.[7]
     Dari penjelasan singkat di atas, terlihat bahwa jika naturalisme mendasarkan ajarannya pada alam sebagai kenyataan terdalam, maka materialisme mendasarkannya pada materi. Dengan kata materi yang dimaksudkannya adalah yang bersifat material, baik yang bersifat makroskopis maupun mikroskopis. Karena itulah maka materi dikatakan bersifat abadi, dalam arti yang abadi adalah yang bersifat material. Berbagai keadaan yang menunjukkan adanya tingkatan kenyataan pada dasarnya adalah perkembangan melalui proses evolusi, di mana evolusi pada hakikatnya adalah pemolaan kembali.[8]
     Sebagaimana penganut naturalisme, materialisme juga meletakkan implikasi pahamnya secara epistemologi melalui keniscayaan pemahaman realitas pada penyelidikan atas dasar metode-metode ilmiah. Kenyataan adalah apa yang  oleh ilmu ditetapkan sebagai kenyataan.[9]
     Dalam sejarahnya, materialisme ternyata menunjukkan perkembangan hingga abad modern dalam berbagai varian, seperti materialisme rasional, materialisme mekanistis, materialisme parsial, materialisme antropologis, materialisme dialektis, dan materialisme historis.[10]
   Demikian secara singkat pengenalan tentang materialisme. Meskipun sesungguhnya pembahasan mengenainya cukup butuh waktu yang tidak singkat, namun dalam rangka menangkap inti pandangan mengenai hakikat kenyataan atau kenyataan terdalam bertitik tolak dari satu akar pandangan yang sama, yaitu materi. Kenyataan bahwa materialisme berkembang menjadi berbagai varian tidak menjadikannya beranjak dari paham dasarnya, melainkan lebih pada bagaimana kenyataan terdalam itu dipahami.
c.       Aliran Idealisme
     Bertolak belakang dengan materialisme dan naturalisme, idealisme merupakan suatu corak kefilsafatan yang berpandangan bahwa hakikat terdalam dari kenyataan tidaklah bersifat materi, melainkan bersifat rohani atau spiritual (kejiwaan). Karena itu istilah idealisme terkadang dikenal juga dengan istilah immaterialisme atau mentalisme.[11]
     Secara harfiah kata “idealisme” ditentukan lebih banyak oleh arti biasa dari “ide” dari pada kata “ideal”. Melihat doktrin pemikirannya, menurut W. E. Hocking, lebih tepat jika yang digunakan adalah “idea-isme” dari pada “ideal-isme”. Karena secara mendasar idealisme mengatakan bahwa realitas terdiri dari ide-ide, pikiran-pikiran, akal (mind) atau jiwa (selves) dan bukan benda-benda material dan kekuatan. Mind adalah hal yang lebih dahulu (primer) daripada materi. Jika materialisme mengatakan materi itulah yang riil dan akal hanyalah fenomena yang menyertainya, idealisme mengatakan akal itulah yang riil, materi hanya merupakan produk sampingan.[12]
     Idealisme berpandangan bahwa, jika kenyataan terdalam adalah alam atau materi, maka tentu saja segala hal dan gejala pasti dapat diterangkan secara determinis dan menyisakan tanya yang pada akhirnya menjadi misteri yang tak terpecahkan. Tapi pada kenyataannya, banyak hal yang dan gejala yang tidak dapat diterangkan dengan penjelasan yang bersifat alam atau materi. Seperti nilai, makna, pengalaman spiritual dan lain-lain sejenisnya. Bahkan adanya nilai, pada hakikatnya mengandung makna adanya jiwa atau roh yang dapat menangkap makna dan mengenali nilainya.[13]
     Istilah roh dalam hal ini dimaknai sebagai sesuatu dalam diri yang bukan merupakan alat-alat inderawi, yang memberikan panghargaan pada nilai-nilai atau menjelaskan sensasinya. Karena itu idealisme menempatkan pahamnya pada sisi ekstrim sebaliknya dari naturalisme dan materialisme dengan pandangan bahwa agar materi atau tatanan kejadian yang terjadi dalam dimensi ruang dan waktu dapat dipahami hakikatnya yang terdalam maka, harus ada jiwa atau roh yang menyertainya dan yang ada hubungan tertentu menjadi dasar dari hal-hal tersebut.[14]
     Dengan pandangan seperti ini, idealisme menyatakan bahwa seluruh realitas (ontologis) bersifat spiritual dan materi (yang fisik) pada hakikatnya tidak ada. Implikasinya pada ilmu ialah bahwa ilmu mengenai realitas hanya mungkin melalui proses-proses mental.
     Seperti halnya materialisme, sejarah idealisme juga menunjukkan perkembangan ke berbagai varian, namun tetap bertolak dari pandangan dasar yang sama. Idealisme subjektif berpandangan bahwa alam merupakan postulat subjek yang memutuskan. Idealisme objektif berpandangan bahwa alam tidak lain adalah intelegensi yang kelihatan. Idealisme transendental atau idealisme kritis yang diperkenalkan oleh Kant berpandangan bahwa pengalaman langsung bukan “benda” dalam dirinya sendiri serta ruang dan waktu adalah forma intuisi manusia sendiri. Terdapat istilah lain, yaitu idealisme epistemologis yang pada dasarnya adalah penamaan lebih lanjut dari pandangan yang mengatakan bahwa kontak manusia dengan alam adalah kontak ide.[15]
     Salah satu perkembangan yang diakui dalam perkembangan dalam filsafat sains modern adalah idealisme Jerman yang muncul sebagai gerakan intelektual yang meletakan eksistensi dan ide identik. Walaupun antar satu dengan yang lain di antara filusuf idelisme Jerman ini terdapat perbedaan, namun mereka sepakat pada dua ide dasar, yaitu; 1) keunggulan pikiran, dan 2) gerakan dialektis. Secara ringkas hal ini dapat dijelaskan dengan rasio sebagai ide dari segala ide dan basis primordial mutlak pengendalian dirinya sendiri, dan sesudah itu segala sesuatu dalam dirinya sendiri merupakan momen-momen atau tampakan yang berkembang sendiri. Rasio pada hakikatnya merupakan sumber menjadi, dan jalan yang harus diikutinya diatur oleh gerakan dialektis.[16]
d.      Aliran Hilomorfisme
     Dalam bahasa Yunani hilomorfisme merupakan bentukan dari dua kata ”hyle” (materi) dan “morphe” (bentuk, rupa).[17] Hilomorfisme digunakan sebagai istilah karena meletakkan pandangannya dengan doktrin bahwa tidak satu pun hal yang bersifat fisis yang bukan merupakan kesatuan dari esensi dan eksistensi. Artinya, ia selalu memiliki sifat fisis dan hakikat tertentu. Eksistensi dapat dipersepsi secara inderawi dan esensi dapat dipahami secara akali. Misalnya, sebuah kursi (sebagai sesuatu yang bereksistensi). Kursi itu adalah sesuatu yang ada, berada dalam kenyataan, dan menampak dalam ruang dan waktu. Karena itu ia bereksistensi dan potensial dipersepsi secara inderawi. Apa sesungguhnya hakikat sebagai sesuatu yang bereksistensi? Tidak lain adalah kursi. Ke”kursian”an adalah esensi dari kursi itu dan merupakan keapaan (whatness) kursi  yang dapat dipahami dengan kerja akal. Dalam hal ini, upaya memahami keberadaan kursi yang bereksistensi tidak dapat dipahami adanya dirinya dengan keapaan sebagai kursi.[18]
     Apa yang dikemukakan di atas adalah keniscayaan adanya esensi pada setiap hal yang bereksistensi secara fisik. Pemahaman ini sesungguhnya mengajak untuk bisa memilah antara eksistensi dan esensi. Oleh karena tidak selalu yang bereksistensi harus berbentuk fisik, misalnya pikiran, maka doktrin tersebut tidak harus dipahami secara sebaliknya bahwa segala sesuatu yang beresensi dengan sendiri harus bereksistensi.[19]
     Sebagaimana yang dikemukakan Bagus bahwa salah satu pengertian dari hilomorfisme adalah sebuah aliran filsafat yang memandang bahwa bentuk adalah sesuatu yang tidak berubah meskipun ia berada pada perubahan yang berlangsung secara terus menerus, sehingga terjamin sebuah kesinambungan dan identitas bagi hal individual. Sementara materi adalah sesuatu yang senantiasa mengalami perubahan sehingga bisa saja tidak mempunyai eksistensi substansial atau individual.[20]
     Hilomorfisme lebih jauh berpandangan bahwa semua benda fisik tersusun dari materi dan berforma. Forma adalah prinsip aktualitas dan aktivitasnya, sedangkan materi adalah prinsip potensialitas dan pasivitasnya. Sebagaimana halnya dengan doktrin pertama, doktrin ini pada dasarnya adalah doktrin Neo-Thomisme. Dalam penerapannya pada manusia, misalnya, maka manusia dapat dipahami secara esensial dan eksistensial. Esensi manusia adalah apa yang menjadikan dirinya manusia dan bukan yang lain. Kendati secara eksistensial diri manusia senantiasa mengalami perubahan (tua, muda, invalid, operasi plastik dan lain-lain) fisik, namun ia tetap manusia. Esensinya tetap ada dan tidak berubah karena perubahan lahiriahnya. Esensi manusia sebagai manusia adalah tidak fisis.[21]
     Sebagai pandangan yang lebih meluas, hilomorfisme juga menyatakan bahwa alam semesta tersusun atas materi dan bentuk dalam suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Ada materi berarti ada bentuk. Ada bentuk berarti ada juga materi. Pandangan ontologis hilomorfisme adalah pandangan yang didasarkan pada hasil penerapan akal budi terhadap dunia sekeliling yang berbentuk.[22]
e.       Aliran Positivisme
     Positivisme adalah aliran filasafat yang secara radikal beranjak dari ketidakpercayaan terhadap pandangan-pandangan dan pembicaraan-pembicaraan metafisik yang dilakukan oleh aliran-aliran filsafat sebelumnya. Karena itu, para penganutnya menyatakan bahwa positivisme adalah suatu filsafat non-metafisik.[23]
     Positivisme merupakan aliran filsafat yang meniscayakan ilmu-ilmu yang bersifat empiris atau kealaman sebagai satu-satunya sumber ilmu yang benar dan tidak menerima kandungan ilmu dari studi-studi filsafat atau metafisika.[24]
     Dalam pandangan positivisme, pertanyaan-pertanyaan metafisis sama sekali tidak mengandung makna, tidak dapat dipertanggungjawabkan dan tidak ada gunanya. Pada dasarnya, satu-satunya tolok ukur yang dapat digunakan untuk mengetahui kenyataan adalah apa yang disebut sebagai keadaan dapat diverifikasi. Misalnya, pernyataan metafisis yang mengatakan bahwa “ada substansi terdalam dari segala hal yang menampak”, jelas adalah pertanyaan yang tidak ada gunanya karena tidak bermakna, karena tak satu pun pengamatan inderawi yang bisa dilakukan untuk mengambil keputusan terhadap kebenaran pernyataan tersebut, dan karenanya ia tidak bisa dipertanggungjawabkan. Demikian halnya untuk pertanyaan-pertanyaan metafisik lain.[25]
     Positivisme adalah aliran filsafat yang dipopulerkan oleh Auguste Comte (1798-1857) yang juga menamai positivisme sebagai filsafat positif. Dalam mensistematisir pandangan positivisme, Comte bertitik tolak dari pandangan bahwa perkembangan masyarakat sebenarnya ditunjukkan oleh perkembangan pemikiran cara berpikir dalam tiga tahap, yaitu teologis, metafisis, dan positif.[26]
     Dalam tahap teologis, perkembangan masyarakat ditandai oleh tiga tahap perkembangan cara berpikir. Pertama adalah cara berpikir animis, di mana masyarakat mempercayai bahwa benda-benda fisik memiliki jiwa. Dalam cara pandang ini realitas dipahami sebagai perwujudan dari kehendak roh atau jiwa yang dimiliki oleh benda-benda. Kedua adalah cara berpikir politeis, di mana masyarakat percaya pada dewa-dewa yang masing-masing menguasai lapangan tertentu. Ketiga adalah cara berpikir monoteis, di mana masyarakat mempercayai adanya hanya satu dewa atau Tuhan sebagai penguasa segala sesuatu.[27]
     Dalam tahap metafisis, perkembangan masyarakat ditunjukkan oleh perkembangan pemikiran yang menunjukkan kemampuan untuk melakukan konseptualisasi metafisis melalui konsep-konsep dan prinsip-prinsip abstrak, seperti substansi terdalam, esensi, penyebab, dan sebagainya.[28]
     Dalam tahap positif, masyarakat telah mencapai tahap tertinggi dalam perkembangannya, di mana masyarakat dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai realitas berdasarkan fakta dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan melalui kemampuan verifikasi empirik. Pada tahap ini, satu-satunya bahasa mengenai realitas adalah bahasa ilmu-ilmu positif yang dicapai melalui metode empiris dan disebut ilmiah.[29]
     Sebenarnya positivisme sendiri sebelum sampai pada puncaknya yang dikenal sebagai positivisme logis dewasa ini, menunjukkan tiga tahap perkembangan. Pada tahap pertama, positivisme mengarahkan ilmu hanya pada hal-hal yang bersifat positif objektif. Pada tahap kedua, ilmu juga sudah menggunakan sudut pandang psikologi subjektif. Barulah kemudian pada tahap ketiga, melalui kegiatan yang dilakukan oleh apa yang dinamakan sebagai lingkaran Wina, penganut neo-positivisme menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis dan semantika dalam positivisme logis. Pada tahap ini, positivisme secara lebih sistematis dan cermat melakukan pembicaraan mengenai masalah-masalah bahasa, logika simbolis dan struktur penyelidikan ilmiah, yang terutama dengan penggunaan matematika dan logika ilmiah memasuki masalah-masalah epistemologi. Pada tahap terakhir ini, positivisme dikenal sebagai positivisme logis.[30]
     Pembicaraan lebih jauh mengenai positivisme logis pada dasarnya lebih mengarah pada pembahasan epistemologi. Namun demikian, dari padanya dapat ditarik pengertian bahwa secara ontologis ia memandang realitas objektif sebagai hakikat kenyataan yang segala hal mengenainya terlepas dari pandangan-pandangan metafisik, melainkan pengetahuan objektif yang dapat diverifikasi secara empiris. Bahkan terhadap hal-hal yang berkenaan dengan realitas kehidupan manusia, positivisme mamandangnya sebagai realitas objektif dalam kebudayaan dan perkembangannya menurut tempat dan waktu.[31]
     Secara ringkas beberapa pandangan ontologis sebagaimana yang dipaparkan sebelumnya yang berkembang dan digunakan sebagai dasar penetapan objek ilmu dalam merumuskan epistemologi sains modern dapat ditunjukkan dengan karakteristik sebagai berikut:
1.      Memandang objek materi ilmu tidak dalam kerangka pandangan adanya Pencipta yang memandang segala sesuatu selain Pencipta adalah ciptaan.
2.      Memandang sesuatu sebagai suatu objek materi ilmu sejauh ia berada dalam jangkauan indera dan/atau rasio manusia untuk bisa memahaminya, dan pemahaman atasnya merupakan fungsi indera dan/atau rasio.
3.      Memandang keberadaan objek meteri ilmu hanya dalam kerangka ruang dan waktu dunia belaka.
4.      Memandang objek materi ilmu diatur oleh hukum-hukum keberadaan, namun tidak mempersoalkan asal hukum-hukum keberadaan itu.
    Dengan karakteristik pandangan ontologis sebagaimana yang disebutkan di atas, filsafat sains modern akhirnya memandang bahwa pengetahuan ilmiah adalah ilmu mengenai objek-objek materi yang dapat dijangkau indera lahiriah dan/atau pemahaman rasional melalui penalaran. Dengan perkataan lain, segala sesuatu tidak masuk dalam wilayah jangkauan indera dan/atau pemahaman rasional manusia dianggap di luar wilayah objek materi pengetahuaan atau ilmu. Bahkan secara sempit, di antara filusuf sains dan saintis ada yang hanya mengakui keberadaan objek-objek inderawi sebagai objek materi pengetahuan ilmiah, dengan implikasi bahwa yang disebut pengetahuan ilmiah hanyalah pengetahuan mengenai objek-objek tersebut yang telah diperoleh dengan metodologi ilmu-ilmu kealaman. Pandangan demikian, terutama ditunjukkan oleh penganut empirisme, positivisme, naturalisme dan materialisme.
     Dengan rumusan karakteristik seperti telah disebutkan, akan jelas terlihat perbedaannya dengan objek pengetahuan yang tidak luput sebagai bahan kajian untuk memperoleh ilmu di kalangan pemikir muslim.

B.  Epistemologi Islami

1.      Objek Ilmu
     Dalam epistemologi Islami, keseluruhan realitas juga merupakan objek materi ilmu. Pandangan Islam tentang realitas membedakan pandangan mereka tentang status ontologi objek-objek ilmu. Dalam Islam dikenal dua alam yang merupakan realitas dan merupakan objek kajian ilmu, yaitu alam gāib (tidak tampak) dan alam syahādah (tampak).[32]
     Dapat dipahami bahwa memang bisa timbul kebingungan bagi sementara kalangan terhadap pandangan ontologi Islam yang telah dikemukakan, khususnya bagi mereka yang berpijak pada cara pandang ontologis sains modern. Bagaimana posibilitas alam gāib atau alam yang tidak tampak dijadikan sebagai objek kajian ilmu. Keberatan ini dikemukakan berdasarkan pengalaman bahwa secara epistemologi, atau lebih khusus lagi secara metodologi tidak dimungkinkan adanya suatu alat verifikasi yang dapat digunakan secara bersama oleh semua orang. Misalnya, bagaimana menggunakan verifikasi untuk menguji kebenaran pernyataan mengenai hal-hal yang bersifat tidak tampak.
     Hal ini sebenarnya tidak perlu terjadi sebab dalam rangka verifikasi, dunia sains modern sendiri telah mengakui salah satu acuan verifikasi adalah pernyataan-pernyataan otoritas. Verifikasi terhadap pernyataan-pernyataan yang berkenaan dengan objek alam yang tidak tampak dapat dilakukan dengan verifikasi rasional terhadap pernyataan-pernyataan doktrinal yang berkenaan dengannya, yang bersumber dari Allah swt. sebagai sumber ilmu itu sendiri.
     Dalam dunia pemikiran Islam, terdapat empat aliran yang sangat berpengaruh. Namun keempat aliran ini tidak berbeda pendapat dalam hal realitas yang terdiri dari dua alam, tampak tersaksikan dan tidak, dan keduanya merupakan objek yang harus ditelaah. Perbedaan pandangan yang mengakibatkan mereka berbeda aliran pemikiran hanya terletak pada metodologi mereka dalam mencapai kebenaran.
     Seperti yang dikemukakan oleh Mutahhari, terdapat empat metode pemikiran yang mempunyai karakter filosofis dalam arti luas, yaitu menyangkut masalah ontologi dan kosmologi. Keempat metode yang digunakan untuk menyebut aliran mereka sebagaimana telah disebutkan di bab sebelumnya adalah; 1) metode deduktif dari filsafat peripatetik, 2) metode iluminasi atau penyingkapan, 3) metode pengembaraan dari kalangan ‘irfān  atau sufisme, dan metode deduksi rasional para mutakallimīn. [33]
     Keempat aliran pemikiran tersebut meski berbeda dalam metodologi mencapai kebenaran namun tetap sepakat bahwa yang menjadi objek ilmu adalah keseluruhan realitas, baik yang teramati maupun yang tidak terindera. Dengan pandangan bahwa status ontologi objek-objek ilmu tidak diberikan hanya kepada objek-objek alami atau materiil, namun juga kepada objek-objek immateriil. Status obtologi objek-objek ilmu juga berbanding lurus dengan hierarki wujud. Semakin tinggi posisi wujud dalam hierarki wujud, semakin riil dan fundamental status ontologisnya.[34]

1.     Sumber dan Sarana-sarana Ilmu
     Sebagai sumber ilmu, indera dipandang telah mencukupi kebutuhan kita untuk memperoleh ilmu, karena dengan pancaindera, lima dimensi dari sebuah benda dapat diamati. Akan tetapi indera belum memadai untuk memberikan ilmu kepada manusia secara sepenuhnya, karena dalam berbagai kasus indera memberikan informasi yang tidak menyeluruh. Seperti ketika Kartanegara memberi contoh bahwa kita yang melihat bintang yang kecil adalah tangkapan yang keliru karena sesungguhnya bintang itu besar, bahkan ada yang lebih besar dari matahari.[35] Namun contoh ini dapat dianggap bukan merupakan kekeliruan bagi indera, melainkan telah menangkap objek apa adanya sesuai fungsinya, sebab yang keliru justru ketika indera penglihatan menangkap objek dengan ukuran yang sama meskipun berbeda jarak pandang. Letak kekeliruan adalah tafsiran kita setelah indera penglihatan tersebut menyodorkan fakta hasil pengamatannya, sehingga selama indera masih mampu menjangkau sebuah objek, sejauh itu pula indera berperan sebagai pengumpul data bagi manusia. Kekeliruan inderawi seharusnya tidak dihubungkan sebagai sumber ilmu, tetapi berhubungan dengan disfungsi biologis indera, karena dalam kondisi inilah indera bisa keliru dalam melakukan perannya dan berbeda dari peran seharusnya yang telah umum diketahui.
     Jadi, indera dianggap tidak memadai sebagai sumber ilmu satu-satunya bukan karena indera sering keliru, melainkan karena terdapatnya berbagai objek yang tidak terjangkau indera. Karena itu, manusia tetap membutuhkan potensi lain yang akan melengkapi dalam memperoleh ilmu.
     Indera lahir mempersepsi objek masih secara parsial, dalam artian merupakan sumber informasi yang sepotong-sepotong bergantung pada fungsinya. Mata memiliki informasi penampakan, hidung memiliki informasi bau, telinga memiliki informasi suara, lidah dan indera peraba memiliki informasi rasa. Kesemua informasi ini belum tersusun secara utuh meski itu adalah objek yang sama. Karena itu, diperlukan sarana lain yang bisa mensintesiskan informasi pancaindera lahir menjadi gabungan bagian-bagian menjadi sesuatu yang utuh dari lima dimensi. Sarana ini merupakan kecakapan-kecakapan mental lain yang dalam epistemologi Islam disebut sebagai pancaindera batin yang sangat efektif membantu kerja akal.[36]
     Kecakapan pertama yang digunakan oleh manusia dalam merespon objek adalah al-hissu al-musytarak (indera bersama). Kecakapan yang diistilahkan oleh Ibnu Sina ini berfungsi untuk menyusun segala informasi parsial kelima indera menjadi bagian utuh dari segala dimensinya sehingga tidak lagi berupa data parsial yang disodorkan oleh masing-masing indera. Kecakapan kedua adalah khayal atau daya imajinasi retentif. Daya ini berfungsi untuk melestarikan segala informasi yang datang dari pancaindera. Pancaindera yang hanya bertugas untuk menangkap objek berdasarkan fungsinya, sementara daya khayal inilah yang merekam seluruh data yang ditangkap oleh pancaindera. Daya inilah yang memungkinkan kita bisa menyusun kembali hasil tangkapan pancaindera kapan pun kita mau. Segala objek yang pernah tertangkap pancaindera kita dapat kita putar ulang dengan memanfatkan potensi khayal ini. Yang ketiga adalah daya estimasi (wahm). Kecakapan ini berfungsi untuk menilai maksud dibalik sebuah objek. Maksud tersebut bisa berupa bahaya yang mengancam atau juga berupa manfaat. Dengan indera ini manusia akan terbantu dalam mengambil keputusan bertindak, terutama jika berkaitan dengan keselamatannya. Setelah menangkap sesuatu dengan pancaindera lahir, manusia akan senantiasa melakukan upaya estimasi terhadap objek tersebut. Hasil estimasi tersebut akan memberikan informasi tambahan terhadap daya khayalnya sebagai pelengkap bagian yang harus dilekatkan kepada objek tersebut, sehingga ketika terjadi penginderaan berulang terhadap sebuah objek, rekaman tentang maksud dibalik objek yang dihasilkan oleh daya estimasi akan ikut terputar kembali.[37]
      Kecakapan keempat adalah imajinasi (mutakhayyilah atau compositive imaginative faculty). Kecakapan ini berfungsi untuk memberikan gambaran komprehensif dari sebuah objek. Keunggulan kecakapan ini adalah selain mampu memberikan gambaran komprehensif sebuah objek juga mampu melakukan modifikasi objek menjadi bentuk lain yang berbeda dengan objek sesungguhnya, dalam arti mampu mengkreasikan sebuah gambaran baru, bahkan yang tidak ada dalam kenyataan sekalipun, dengan mengambil sumber dari yang sudah ada. Seorang manusia misalnya, mampu menggambarkan dalam imajinasinya seakan hewan berkepala manusia. Tokoh-tokoh kartun yang digemari bahkan disukai anak-anak merupakan hasil kreasi dari daya imajinasi ini.[38]
      Kecakapan yang kelima adalah memori (al-khāfiah). Kecakapan ini berfungsi untuk merekam gambaran menyeluruh dari daya imajinasi termasuk merekam kreatifitas bentuk baru dari daya imajinasi. Daya ini memungkinkan seseorang memutar kembali gambaran imajinasi baik yang berupa bentuk koprehensif asli dari objek maupun gambar rekaan di saat-saat yang lain. Memori merupakan indera batin terakhir dalam sistem yang dibangun oleh al-Farrābī dan Ibnu Sīna.[39]
     Dari pemaparan di atas kita bisa melihat betapa lengkapnya perangkat manusia secara inderawi dalam mempersepsi objek. Cukupkah itu untuk memberikan gambaran objek sebagaimana adanya? Jawabannya, belum. Manusia masih perlu dukungan sarana lain yang bisa menyempurnakan sampainya objek ke subjek sebagaimana adanya. Indera hanya menginformasikan bahwa besi yang dipanaskan akan memuai, tetapi indera tidak menginformasikan hukum-hukum yang menyebabkan hal itu terjadi. Karena itulah, dibutuhkan sumber lain yang bisa menjalankan peran tersebut, dan itu adalah akal.
      Dengan akal manusia bisa melakukan analisis tentang sebuah objek dan memberikan argumentasi yang lengkap sehingga objek yang hadir tidak sekedar hadir begitu saja melainkan lengkap dengan penjelasannya serta hukum-hukum yang melingkupi objek tersebut. Akal yang menemukan argumentasi kenapa pensil tampak bengkok oleh mata jika dicelupkan ke dalam gelas berisi air. Akal yang menyusun argumentasi kenapa bulan yang bundar itu tampak separuh oleh mata. Indera hanya menyaksikan sebuah benda yang dilempar ke atas akan jatuh kembali, sementara akal menyusun argumen kenapa hal itu bisa terjadi.
     Akal memiliki perangkat-perangkat, atau konstruksi-konstruksi mental yang disebut sebagai kategori-kategori oleh Immanuel Kant, seperti kategori ruang, waktu, substansi, kausalitas, relasi, dan kuantitas. Namun yang paling utama dari akal adalah kecakapannya untuk menangkap kuiditas atau esensi dari sesuatu yang diamati atau dipahaminya. Dengan kecakapan ini, akal manusia dapat mengetahui konsep universal dari objek yang diamatinya lewat indera yang bersifat abstrak dan tidak lagi berhubungan dengan data partikular. Inilah yang disebut oleh Aristoteles sebagai bentuk (form/ṣūrah). Dengan kemampuan akal menangkap esensi (māhiyah) dari benda-benda yang diamatinya, manusia sanggup menyimpan berjuta makna atau pemahaman tentang berbagai objek ilmu yang bersifat abstrak sehingga tidak memerlukan ruang fisik yang luas sebagai wadah pikiran kita.[40]
     Sebagai sarana ilmu, akal sangat besar peranannya dalam memperoleh ilmu. Namun akal hanya berupa kecakapan intelektual atau kecerdasan intelegensi. Akal tidak bisa berperan secara maksimal ketika berhadapan dengan persoalan-persoalan yang menyangkut sisi emosional dan spiritual manusia. Akal tidak mengerti banyak menyangkut pengalaman-pengalaman eksistensial, yaitu pengalaman yang secara langsung kita rasakan, dan bukan seperti yang kita konsepsikan. Hanya hati dan intuisilah yang mampu melakukannya.[41]


[1]Lihat Lois O. Kattsoff, Element of Philoshopy, dialihbahasakan oleh Soejono Soemargono dengan judul Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987), h. 216.
 [2]Lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat  (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 688.
[3] Lihat Louis O. Kattsoff, op. cit., h. 216
[4]Ibid., h. 217
[5]Ibid.
[6] Lihat Lorens Bagus, op. cit., h. 593.
[7] Louis O. Kattsoff, op. cit., h. 220.
[8]Ibid., h. 222.
[9]Ibid., h. 225.
[10]Lihat Juhaya S. Praja, op. cit., h. 54-70.
[11] Lihat Louis O. Kattsoff, op. cit., h. 224
[12] Lihat Juhaya S. Praja, op. cit. h., 36-37.
[13] Lihat Louis O. Kattsoff, loc. cit.
[14] Ibid.
[15] Lihat Harol H. Titus, Marilyn S. Smith, Richard T. Nolan, Living Issue in Philosophy, diterjemahkan oleh H. M. Rasjidi dengan judul Persoalan-persoalan Filsafat (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 317-327.
[16] Lihat Lorens Bagus, op. cit., h. 302.
[17] Ibid., h. 284.
[18] Lihat Louis O. Kattsoff, op. cit., h. 227-228.
[19] Ibid., h. 229.
[20]Lihat Bagus, op. cit., h. 285.
[21]Lihat Louis O. Kattsoff, op. cit., h. 230
[22]Ibid., h. 231.
[23] Lihat Lorens Bagus, op. cit., h. 858.
[24]Ibid.
[25]Lihat Louis O. Kattsoff, op. cit., h. 232.
[26]Lihat Murtadha Mutahhari, The Causes Responsible of Materialist in the West diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Akmal Kamil dengan judul Kritik Islam terhadap Materialisme  (Jakarta: Al-Huda, 2001),  h. 31
[27]Ibid.
[28]Ibid.
[29]Ibid.
[30]Lihat Lorens Bagus, op. cit., h. 861-864.
[31]Lihat Louis O. Kattsoff, op. cit., h. 233-234.
[32]Lihat QS. Al-Anām/6: 73, QS. Al-Taubah/9: 94, QS. Al-Taubah/9:105, QS. Al-Radu/13: 9, QS. Al-Mu’minūn/23: 92, QS. Al-Sajadah/32: 6, QS. Sabā/34: 3, QS. Al-Zumar/39: 46, Qs. Al-asyr/59: 22, Qs. Al-Jumah/62: 8, dan QS. Al-Tagābūn/64: 18.
[33]Lihat Murtadha Mutahhari, Tema-tema Penting Filsafat Islam (Bandung: Yayasan Mutahhari bekerja sama dengan Penerbit  Mizan, 1993), h. 42-43.
[34]Lihat Mulyadi Kartanegara¸Pengantar, op. cit., h. 41.
[35]Ibid., h. 19-20.
[36] Ibid., h. 21
[37]Ibid., h. 21-22.
[38]Ibid., h. 23
[39]Ibid., h. 24.
[40]Ibid., h.25
[41]Ibid., h. 27.

0 komentar:

Posting Komentar