A. Epistemologi Sains Sekuler (Modern)
1.
Objek ilmu
Objek ilmu adalah
keseluruhan realitas atau kenyataan. Pada kenyataannya, pandangan
setiap orang mengenai realitas sangat beragam. Dalam dunia ilmu
dikenal berbagai aliran yang secara
beragam memandang realitas
lazim disebut
sebagai aliran-aliran ontologi.
Karena itu objek ilmu dalam
kajian epistemologi di
Barat, dirumuskan berdasarkan aliran-aliran ontologi sebagai berikut:
a.
Aliran Naturalisme
Naturalisme adalah sebuah aliran filsafat yang secara harfiah
mengandung arti sebagai paham serba alam. Menurut
naturalisme, kenyataan hakikatnya bersifat alam, yang kategori pokoknya adalah
kejadian-kejadian dalam ruang dan waktu. Adapun yang bersifat nyata pasti
termasuk dalam kategori alam. Sesuatu yang dikategorikan demikian itu dapat
dijumpai dan dapat dipelajari oleh manusia dengan cara-cara sebagaimana dewasa
ini dikenal sebagai metode ilmiah.[1]
Menurut Bagus,
naturalisme adalah sebuah pandangan filsafat yang memberikan suatu peran yang
sangat menentukan bahkan ekslusif pada alam. Naturalisme juga mengandung
pengertian sebuah teori filsafat umum yang mengarahkan secara berat sebelah
pada alam sub-human, khususnya aspek biologisnya, dan menganggap bahwa apa yang
secara khusus mencirikan kemanusiaan hanyalah perluasan dari tata biologis
berdasarkan prinsip-prinsip alam.[2]
Dengan
demikian pandangan ontologis dari naturalisme mengenai kenyataan adalah apa
saja yang bersifat alam, yakni segala yang berada dalam dimensi ruang dan
waktu. Konsekuesi logis dari pandangan ini adalah; (1) segala sesuatu yang
dianggap ada namun di luar dari dimensi ruang dan waktu, tidak dianggap sebagai
kenyataan, dan (2) segala sesuatu yang tidak mungkin dipahami melalui
metode-metode yang digunakan dalam ilmu-ilmu kealaman, tidak bisa dikatakan
sebagai sebuah kenyataan.[3]
Bagi penganut
naturalisme, sesuatu yang bereksistensi, bukan merupakan himpunan bawahan dari
kenyataan, akan tetapi yang bereksistensi adalah kenyataan itu sendiri. Sebuah
kursi kayu bukan hanya suatu kenyataan yang kebetulan karena substansi
terdalamnya bersifat fisik sehingga bereksistensi, melainkan merupakan kejadian
yang niscaya karena sejumlah kualitas suatu proses yang berkesinambungan.
Sebagai sesuatu yang terdapat dalam ruang dan waktu, kursi itu bereksistensi,
sehingga ia adalah kenyataan.[4]
Faktor-faktor penyusun kejadian adalah proses, kualitas
dan relasi. Sebuah mangga misalnya, baik ketika masih di pohon maupun telah
dipetik, senantiasa akan mengalami proses yang berkesinambungan, terdiri atas
kualitas-kualitas tertentu dan senantiasa berhubungan dengan hal-hal lain.
Dengan kata lain, apa saja yang merupakan kenyataan pasti menggambarkan ketiga
hal tersebut. Sehingga tidak mungkin terdapat sesuatu yang secara mutlak
bersifat statis (misalnya tidak rusak), atau tanpa kualitas, atau tanpa
hubungan dengan yang lain.[5]
Mencermati teori tersebut, akan muncul pertanyaan,
bagaimana proses, kualitas dan hubungan itu dipahami? Jawabnya adalah dengan
penyelidikan empiris terhadap kejadian-kejadian yang pemahaman atasnya
(kejadian-kejadian itu) perpulang pada dirinya sendiri sebagaimana adanya, atau
kepada hal lain yang menurut pengalaman menunjukkan bahwa yang satu memang
dapat dipulangkan kepada yang lain tanpa mengenal hirarki kualitas, lebih tinggi
atau lebih rendah.
Jika secara
ontologis naturalisme meletakkan doktrin mengenai hakikat kenyataan adalah
kejadian-kejadian dalam ruang dan waktu, maka secara epistemologis meletakkan
doktrin bahwa semua ilmu harus mengacu pada peristiwa-peristiwa yang ada dalam
dimensi ruang dan waktu.
b.
Aliran Materialisme
Bagus menulis bahwa materialisme merupakan pandangan
filsafat yang menganggap bahwa segala sesuatu tidak lain hanyalah materi yang
sedang bergerak, atau merupakan keyakinan yang menganggap bahwa pikiran memang
sungguh-sungguh ada tetapi disebabkan oleh perubahan-perubahan material dan
sama sekali bergantung pada materi. Pikiran tidak memiliki kedayagunaan kausal,
juga tidak mutlak perlu untuk berfungsinya alam semesta material.[6]
Doktrin tersebut didasarkan pada argumen bahwa segala
sesuatu dikatakan nyata, jika pada
hakikatnya berawal dari materi atau terjadi karena gejala-gejala yang
bersangkutan dengan materi. Karena itu materialisme menyatakan bahwa tidak ada
entitas nonmaterial dan kenyataan supranatural. Pikiran dan aksi material
lainnya yang oleh kebanyakan orang dianggap sebagai tidak bersubstansi
material, pada dasarnya adalah perwujudan dari gejala-gejala yang bersangkut
paut dengan materi.[7]
Dari penjelasan singkat di atas, terlihat bahwa jika
naturalisme mendasarkan ajarannya pada alam
sebagai kenyataan terdalam, maka materialisme mendasarkannya pada materi.
Dengan kata materi yang dimaksudkannya adalah yang bersifat material, baik yang
bersifat makroskopis maupun mikroskopis. Karena itulah maka materi dikatakan
bersifat abadi, dalam arti yang abadi adalah yang bersifat material. Berbagai
keadaan yang menunjukkan adanya tingkatan kenyataan pada dasarnya adalah
perkembangan melalui proses evolusi, di mana evolusi pada hakikatnya adalah
pemolaan kembali.[8]
Sebagaimana
penganut naturalisme, materialisme juga meletakkan implikasi pahamnya secara
epistemologi melalui keniscayaan pemahaman realitas pada penyelidikan atas
dasar metode-metode ilmiah. Kenyataan adalah apa yang oleh ilmu ditetapkan sebagai kenyataan.[9]
Dalam sejarahnya, materialisme ternyata menunjukkan
perkembangan hingga abad modern dalam berbagai varian, seperti materialisme
rasional, materialisme mekanistis, materialisme parsial, materialisme antropologis,
materialisme dialektis, dan materialisme historis.[10]
Demikian secara singkat pengenalan tentang materialisme.
Meskipun sesungguhnya pembahasan mengenainya cukup butuh waktu yang tidak
singkat, namun dalam rangka menangkap inti pandangan mengenai hakikat kenyataan
atau kenyataan terdalam bertitik tolak dari satu akar pandangan yang sama,
yaitu materi. Kenyataan bahwa materialisme berkembang menjadi berbagai varian
tidak menjadikannya beranjak dari paham dasarnya, melainkan lebih pada bagaimana kenyataan terdalam itu dipahami.
c.
Aliran Idealisme
Bertolak belakang dengan materialisme dan naturalisme,
idealisme merupakan suatu corak kefilsafatan yang berpandangan bahwa hakikat
terdalam dari kenyataan tidaklah bersifat materi, melainkan bersifat rohani
atau spiritual (kejiwaan). Karena itu istilah idealisme terkadang dikenal juga
dengan istilah immaterialisme atau mentalisme.[11]
Secara harfiah kata “idealisme” ditentukan lebih banyak
oleh arti biasa dari “ide” dari pada kata “ideal”. Melihat doktrin
pemikirannya, menurut W. E. Hocking, lebih tepat jika yang digunakan adalah
“idea-isme” dari pada “ideal-isme”. Karena secara mendasar idealisme mengatakan
bahwa realitas terdiri dari ide-ide, pikiran-pikiran, akal (mind) atau
jiwa (selves) dan bukan benda-benda material dan kekuatan. Mind
adalah hal yang lebih dahulu (primer) daripada materi. Jika materialisme
mengatakan materi itulah yang riil dan akal hanyalah fenomena yang
menyertainya, idealisme mengatakan akal itulah yang riil, materi hanya merupakan
produk sampingan.[12]
Idealisme berpandangan bahwa, jika kenyataan terdalam
adalah alam atau materi, maka tentu saja segala hal dan gejala pasti dapat
diterangkan secara determinis dan menyisakan tanya yang pada akhirnya menjadi
misteri yang tak terpecahkan. Tapi pada kenyataannya, banyak hal yang dan
gejala yang tidak dapat diterangkan dengan penjelasan yang bersifat alam atau
materi. Seperti nilai, makna, pengalaman spiritual dan lain-lain sejenisnya.
Bahkan adanya nilai, pada hakikatnya mengandung makna adanya jiwa atau roh yang
dapat menangkap makna dan mengenali nilainya.[13]
Istilah roh dalam hal ini dimaknai sebagai sesuatu dalam
diri yang bukan merupakan alat-alat inderawi, yang memberikan panghargaan pada
nilai-nilai atau menjelaskan sensasinya. Karena itu idealisme menempatkan
pahamnya pada sisi ekstrim sebaliknya dari naturalisme dan materialisme dengan
pandangan bahwa agar materi atau tatanan kejadian yang terjadi dalam dimensi
ruang dan waktu dapat dipahami hakikatnya yang terdalam maka, harus ada jiwa
atau roh yang menyertainya dan yang ada hubungan tertentu menjadi dasar dari
hal-hal tersebut.[14]
Dengan
pandangan seperti ini, idealisme menyatakan bahwa seluruh realitas (ontologis)
bersifat spiritual dan materi (yang fisik) pada hakikatnya tidak ada.
Implikasinya pada ilmu ialah bahwa ilmu mengenai realitas hanya mungkin melalui
proses-proses mental.
Seperti halnya materialisme, sejarah idealisme juga
menunjukkan perkembangan ke berbagai varian, namun tetap bertolak dari
pandangan dasar yang sama. Idealisme subjektif berpandangan bahwa alam
merupakan postulat subjek yang memutuskan. Idealisme objektif berpandangan
bahwa alam tidak lain adalah intelegensi yang kelihatan. Idealisme
transendental atau idealisme kritis yang diperkenalkan oleh Kant berpandangan
bahwa pengalaman langsung bukan “benda” dalam dirinya sendiri serta ruang dan
waktu adalah forma intuisi manusia sendiri. Terdapat istilah lain, yaitu
idealisme epistemologis yang pada dasarnya adalah penamaan lebih lanjut dari pandangan
yang mengatakan bahwa kontak manusia dengan alam adalah kontak ide.[15]
Salah satu perkembangan yang diakui dalam perkembangan
dalam filsafat sains modern adalah idealisme Jerman yang muncul sebagai gerakan
intelektual yang meletakan eksistensi dan ide identik. Walaupun antar satu
dengan yang lain di antara filusuf idelisme Jerman ini terdapat perbedaan,
namun mereka sepakat pada dua ide dasar, yaitu; 1) keunggulan pikiran, dan 2) gerakan dialektis. Secara ringkas hal ini dapat dijelaskan
dengan rasio sebagai ide dari segala ide dan basis primordial mutlak
pengendalian dirinya sendiri, dan sesudah itu segala sesuatu dalam dirinya
sendiri merupakan momen-momen atau tampakan yang berkembang sendiri. Rasio pada
hakikatnya merupakan sumber menjadi, dan jalan yang harus diikutinya diatur
oleh gerakan dialektis.[16]
d.
Aliran Hilomorfisme
Dalam bahasa
Yunani hilomorfisme merupakan bentukan dari dua kata ”hyle” (materi) dan
“morphe” (bentuk, rupa).[17] Hilomorfisme
digunakan sebagai istilah karena meletakkan pandangannya dengan doktrin bahwa
tidak satu pun hal yang bersifat fisis yang bukan merupakan kesatuan dari
esensi dan eksistensi. Artinya, ia selalu memiliki sifat fisis dan hakikat
tertentu. Eksistensi dapat dipersepsi secara inderawi dan esensi dapat dipahami
secara akali. Misalnya, sebuah kursi (sebagai sesuatu yang bereksistensi). Kursi
itu adalah sesuatu yang ada, berada dalam kenyataan, dan menampak dalam ruang
dan waktu. Karena itu ia bereksistensi dan potensial dipersepsi secara
inderawi. Apa sesungguhnya hakikat sebagai sesuatu yang bereksistensi? Tidak
lain adalah kursi. Ke”kursian”an adalah esensi dari kursi itu dan merupakan
keapaan (whatness) kursi yang
dapat dipahami dengan kerja akal. Dalam hal ini, upaya memahami keberadaan
kursi yang bereksistensi tidak dapat dipahami adanya dirinya dengan keapaan
sebagai kursi.[18]
Apa yang dikemukakan di atas adalah keniscayaan adanya
esensi pada setiap hal yang bereksistensi secara fisik. Pemahaman ini
sesungguhnya mengajak untuk bisa memilah antara eksistensi dan esensi. Oleh
karena tidak selalu yang bereksistensi harus berbentuk fisik, misalnya pikiran,
maka doktrin tersebut tidak harus dipahami secara sebaliknya bahwa segala
sesuatu yang beresensi dengan sendiri harus bereksistensi.[19]
Sebagaimana yang dikemukakan Bagus bahwa salah satu pengertian dari
hilomorfisme adalah sebuah aliran filsafat yang memandang bahwa bentuk adalah
sesuatu yang tidak berubah meskipun ia berada pada perubahan yang berlangsung
secara terus menerus, sehingga terjamin sebuah kesinambungan dan identitas bagi
hal individual. Sementara materi adalah sesuatu yang senantiasa mengalami
perubahan sehingga bisa saja tidak mempunyai eksistensi substansial atau
individual.[20]
Hilomorfisme lebih jauh berpandangan bahwa semua benda
fisik tersusun dari materi dan berforma. Forma adalah prinsip aktualitas dan
aktivitasnya, sedangkan materi adalah prinsip potensialitas dan pasivitasnya.
Sebagaimana halnya dengan doktrin pertama, doktrin ini pada dasarnya adalah
doktrin Neo-Thomisme. Dalam penerapannya pada manusia, misalnya, maka manusia
dapat dipahami secara esensial dan eksistensial. Esensi manusia adalah apa yang
menjadikan dirinya manusia dan bukan yang lain. Kendati secara eksistensial
diri manusia senantiasa mengalami perubahan (tua, muda, invalid, operasi
plastik dan lain-lain) fisik, namun ia tetap manusia. Esensinya tetap ada dan
tidak berubah karena perubahan lahiriahnya. Esensi manusia sebagai manusia
adalah tidak fisis.[21]
Sebagai pandangan yang lebih meluas, hilomorfisme juga
menyatakan bahwa alam semesta tersusun atas materi dan bentuk dalam suatu kesatuan
yang tidak bisa dipisahkan. Ada materi berarti ada bentuk. Ada bentuk berarti
ada juga materi. Pandangan ontologis hilomorfisme adalah pandangan yang
didasarkan pada hasil penerapan akal budi terhadap dunia sekeliling yang
berbentuk.[22]
e.
Aliran Positivisme
Positivisme adalah aliran filasafat yang secara radikal
beranjak dari ketidakpercayaan terhadap pandangan-pandangan dan
pembicaraan-pembicaraan metafisik yang dilakukan oleh aliran-aliran filsafat
sebelumnya. Karena itu, para penganutnya menyatakan bahwa positivisme adalah
suatu filsafat non-metafisik.[23]
Positivisme merupakan aliran filsafat yang meniscayakan
ilmu-ilmu yang bersifat empiris atau kealaman sebagai satu-satunya sumber ilmu
yang benar dan tidak menerima kandungan ilmu dari studi-studi filsafat atau
metafisika.[24]
Dalam pandangan positivisme, pertanyaan-pertanyaan
metafisis sama sekali tidak mengandung makna, tidak dapat dipertanggungjawabkan
dan tidak ada gunanya. Pada dasarnya, satu-satunya tolok ukur yang dapat
digunakan untuk mengetahui kenyataan adalah apa yang disebut sebagai keadaan
dapat diverifikasi. Misalnya, pernyataan metafisis yang mengatakan bahwa “ada
substansi terdalam dari segala hal yang menampak”, jelas adalah pertanyaan yang
tidak ada gunanya karena tidak bermakna, karena tak satu pun pengamatan
inderawi yang bisa dilakukan untuk mengambil keputusan terhadap kebenaran
pernyataan tersebut, dan karenanya ia tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Demikian halnya untuk pertanyaan-pertanyaan metafisik lain.[25]
Positivisme adalah aliran filsafat yang dipopulerkan oleh
Auguste Comte (1798-1857) yang juga menamai positivisme sebagai filsafat
positif. Dalam mensistematisir pandangan positivisme, Comte bertitik tolak dari
pandangan bahwa perkembangan masyarakat sebenarnya ditunjukkan oleh
perkembangan pemikiran cara berpikir dalam tiga tahap, yaitu teologis,
metafisis, dan positif.[26]
Dalam tahap teologis, perkembangan masyarakat ditandai
oleh tiga tahap perkembangan cara berpikir. Pertama adalah cara berpikir
animis, di mana masyarakat mempercayai bahwa benda-benda fisik memiliki jiwa.
Dalam cara pandang ini realitas dipahami sebagai perwujudan dari kehendak roh
atau jiwa yang dimiliki oleh benda-benda. Kedua adalah cara berpikir politeis,
di mana masyarakat percaya pada dewa-dewa yang masing-masing menguasai lapangan
tertentu. Ketiga adalah cara berpikir monoteis, di mana masyarakat mempercayai
adanya hanya satu dewa atau Tuhan sebagai penguasa segala sesuatu.[27]
Dalam tahap metafisis, perkembangan masyarakat ditunjukkan oleh perkembangan pemikiran yang
menunjukkan kemampuan untuk melakukan konseptualisasi metafisis melalui
konsep-konsep dan prinsip-prinsip abstrak, seperti substansi terdalam, esensi,
penyebab, dan sebagainya.[28]
Dalam tahap positif,
masyarakat telah mencapai tahap tertinggi dalam perkembangannya, di mana
masyarakat dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai realitas berdasarkan
fakta dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan melalui kemampuan verifikasi
empirik. Pada tahap ini, satu-satunya bahasa mengenai realitas adalah bahasa
ilmu-ilmu positif yang dicapai melalui metode empiris dan disebut ilmiah.[29]
Sebenarnya positivisme
sendiri sebelum sampai pada puncaknya yang dikenal sebagai positivisme logis
dewasa ini, menunjukkan tiga tahap perkembangan. Pada tahap pertama,
positivisme mengarahkan ilmu hanya pada hal-hal yang bersifat positif objektif.
Pada tahap kedua, ilmu juga sudah menggunakan sudut pandang psikologi
subjektif. Barulah kemudian pada tahap ketiga, melalui kegiatan yang dilakukan oleh
apa yang dinamakan sebagai lingkaran Wina, penganut neo-positivisme
menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis dan semantika dalam
positivisme logis. Pada tahap ini, positivisme secara lebih sistematis dan
cermat melakukan pembicaraan mengenai masalah-masalah bahasa, logika simbolis
dan struktur penyelidikan ilmiah, yang terutama dengan penggunaan matematika
dan logika ilmiah memasuki masalah-masalah epistemologi. Pada tahap terakhir
ini, positivisme dikenal sebagai positivisme logis.[30]
Pembicaraan lebih jauh
mengenai positivisme logis pada dasarnya lebih mengarah pada pembahasan
epistemologi. Namun demikian, dari padanya dapat ditarik pengertian bahwa
secara ontologis ia memandang realitas objektif sebagai hakikat kenyataan yang
segala hal mengenainya terlepas dari pandangan-pandangan metafisik, melainkan
pengetahuan objektif yang dapat diverifikasi secara empiris. Bahkan terhadap
hal-hal yang berkenaan dengan realitas kehidupan manusia, positivisme
mamandangnya sebagai realitas objektif dalam kebudayaan dan perkembangannya
menurut tempat dan waktu.[31]
Secara ringkas beberapa pandangan ontologis sebagaimana
yang dipaparkan sebelumnya yang berkembang dan digunakan sebagai dasar
penetapan objek ilmu dalam merumuskan epistemologi sains modern dapat
ditunjukkan dengan karakteristik sebagai berikut:
1.
Memandang objek materi ilmu tidak dalam
kerangka pandangan adanya Pencipta yang memandang segala sesuatu selain
Pencipta adalah ciptaan.
2.
Memandang sesuatu sebagai suatu objek
materi ilmu sejauh ia berada dalam jangkauan indera dan/atau rasio manusia
untuk bisa memahaminya, dan pemahaman atasnya merupakan fungsi indera dan/atau
rasio.
3.
Memandang keberadaan objek meteri ilmu
hanya dalam kerangka ruang dan waktu dunia belaka.
4.
Memandang objek materi ilmu diatur oleh
hukum-hukum keberadaan, namun tidak mempersoalkan asal hukum-hukum keberadaan
itu.
Dengan karakteristik pandangan ontologis sebagaimana yang
disebutkan di atas, filsafat sains modern akhirnya memandang bahwa pengetahuan
ilmiah adalah ilmu mengenai objek-objek materi yang dapat dijangkau indera
lahiriah dan/atau pemahaman rasional melalui penalaran. Dengan perkataan lain,
segala sesuatu tidak masuk dalam wilayah jangkauan indera dan/atau pemahaman
rasional manusia dianggap di luar wilayah objek materi pengetahuaan atau ilmu.
Bahkan secara sempit, di antara filusuf sains dan saintis ada yang hanya
mengakui keberadaan objek-objek inderawi sebagai objek materi pengetahuan
ilmiah, dengan implikasi bahwa yang disebut pengetahuan ilmiah hanyalah pengetahuan
mengenai objek-objek tersebut yang telah diperoleh dengan metodologi ilmu-ilmu
kealaman. Pandangan demikian, terutama ditunjukkan oleh penganut empirisme,
positivisme, naturalisme dan materialisme.
Dengan rumusan karakteristik seperti telah disebutkan,
akan jelas terlihat perbedaannya dengan objek pengetahuan yang tidak luput
sebagai bahan kajian untuk memperoleh ilmu di kalangan pemikir muslim.
B. Epistemologi Islami
1.
Objek Ilmu
Dalam epistemologi Islami, keseluruhan
realitas juga merupakan objek materi ilmu. Pandangan Islam tentang realitas
membedakan pandangan mereka tentang status ontologi objek-objek ilmu. Dalam
Islam dikenal dua alam yang merupakan realitas dan merupakan objek kajian ilmu,
yaitu alam gāib (tidak tampak) dan alam syahādah (tampak).[32]
Dapat dipahami bahwa memang bisa timbul kebingungan bagi
sementara kalangan terhadap pandangan ontologi Islam yang telah dikemukakan,
khususnya bagi mereka yang berpijak pada cara pandang ontologis sains modern.
Bagaimana posibilitas alam gāib atau alam yang tidak
tampak dijadikan
sebagai objek kajian ilmu. Keberatan ini dikemukakan berdasarkan pengalaman
bahwa secara epistemologi, atau lebih khusus lagi secara metodologi tidak dimungkinkan
adanya suatu alat verifikasi yang dapat digunakan secara bersama oleh semua
orang. Misalnya, bagaimana menggunakan verifikasi untuk
menguji kebenaran pernyataan mengenai hal-hal yang bersifat tidak tampak.
Hal ini sebenarnya tidak perlu terjadi sebab dalam rangka
verifikasi, dunia sains modern sendiri telah mengakui salah satu acuan
verifikasi adalah pernyataan-pernyataan otoritas. Verifikasi terhadap
pernyataan-pernyataan yang berkenaan dengan objek alam yang tidak tampak dapat
dilakukan dengan verifikasi rasional terhadap pernyataan-pernyataan doktrinal
yang berkenaan dengannya, yang bersumber dari Allah swt. sebagai sumber ilmu
itu sendiri.
Dalam dunia
pemikiran Islam, terdapat empat aliran yang sangat berpengaruh. Namun keempat
aliran ini tidak berbeda pendapat dalam hal realitas yang terdiri dari dua
alam, tampak tersaksikan dan tidak, dan keduanya merupakan objek yang harus
ditelaah. Perbedaan pandangan yang mengakibatkan mereka berbeda aliran
pemikiran hanya terletak pada metodologi mereka dalam mencapai kebenaran.
Seperti yang dikemukakan oleh Mutahhari, terdapat empat
metode pemikiran yang mempunyai karakter filosofis dalam arti luas, yaitu
menyangkut masalah ontologi dan kosmologi. Keempat metode yang digunakan untuk
menyebut aliran mereka sebagaimana telah disebutkan di bab sebelumnya adalah;
1) metode deduktif dari filsafat peripatetik, 2) metode iluminasi atau
penyingkapan, 3) metode pengembaraan dari kalangan ‘irfān atau sufisme, dan
metode deduksi rasional para mutakallimīn. [33]
Keempat aliran
pemikiran tersebut meski berbeda dalam metodologi mencapai kebenaran namun
tetap sepakat bahwa yang menjadi objek ilmu adalah keseluruhan realitas, baik
yang teramati maupun yang tidak terindera. Dengan pandangan bahwa status
ontologi objek-objek ilmu tidak diberikan hanya kepada objek-objek alami atau
materiil, namun juga kepada objek-objek immateriil. Status obtologi objek-objek
ilmu juga berbanding lurus dengan hierarki wujud. Semakin tinggi posisi wujud
dalam hierarki wujud, semakin riil dan fundamental status ontologisnya.[34]
1.
Sumber dan
Sarana-sarana Ilmu
Sebagai sumber ilmu, indera dipandang telah mencukupi
kebutuhan kita untuk memperoleh ilmu, karena dengan pancaindera, lima dimensi
dari sebuah benda dapat diamati. Akan tetapi indera belum memadai untuk memberikan
ilmu kepada manusia secara sepenuhnya, karena dalam berbagai kasus indera
memberikan informasi yang tidak menyeluruh. Seperti ketika Kartanegara memberi
contoh bahwa kita yang melihat bintang yang kecil adalah tangkapan yang keliru
karena sesungguhnya bintang itu besar, bahkan ada yang lebih besar dari
matahari.[35]
Namun contoh ini dapat dianggap bukan merupakan kekeliruan bagi indera,
melainkan telah menangkap objek apa adanya sesuai fungsinya, sebab yang keliru
justru ketika indera penglihatan menangkap objek dengan ukuran yang sama
meskipun berbeda jarak pandang. Letak kekeliruan adalah tafsiran kita setelah
indera penglihatan tersebut menyodorkan fakta hasil pengamatannya, sehingga
selama indera masih mampu menjangkau sebuah objek, sejauh itu pula indera
berperan sebagai pengumpul data bagi manusia. Kekeliruan inderawi seharusnya
tidak dihubungkan sebagai sumber ilmu, tetapi berhubungan dengan disfungsi
biologis indera, karena dalam kondisi inilah indera bisa keliru dalam melakukan
perannya dan berbeda dari peran seharusnya yang telah umum diketahui.
Jadi, indera
dianggap tidak memadai sebagai sumber ilmu satu-satunya bukan karena indera
sering keliru, melainkan karena terdapatnya berbagai objek yang tidak
terjangkau indera. Karena itu, manusia tetap membutuhkan potensi lain yang akan
melengkapi dalam memperoleh ilmu.
Indera lahir mempersepsi objek masih secara parsial,
dalam artian merupakan sumber informasi yang sepotong-sepotong bergantung pada
fungsinya. Mata memiliki informasi penampakan, hidung memiliki informasi bau,
telinga memiliki informasi suara, lidah dan indera peraba memiliki informasi
rasa. Kesemua informasi ini belum tersusun secara utuh meski itu adalah objek
yang sama. Karena itu, diperlukan sarana lain yang bisa mensintesiskan
informasi pancaindera lahir menjadi gabungan bagian-bagian menjadi sesuatu yang
utuh dari lima dimensi. Sarana ini merupakan kecakapan-kecakapan mental lain
yang dalam epistemologi Islam disebut sebagai pancaindera batin yang sangat
efektif membantu kerja akal.[36]
Kecakapan pertama yang digunakan oleh manusia dalam
merespon objek adalah al-hissu al-musytarak (indera bersama). Kecakapan
yang diistilahkan oleh Ibnu Sina ini berfungsi untuk menyusun segala informasi
parsial kelima indera menjadi bagian utuh dari segala dimensinya sehingga tidak
lagi berupa data parsial yang disodorkan oleh masing-masing indera. Kecakapan
kedua adalah khayal atau daya imajinasi retentif. Daya ini berfungsi untuk
melestarikan segala informasi yang datang dari pancaindera. Pancaindera yang
hanya bertugas untuk menangkap objek berdasarkan fungsinya, sementara daya
khayal inilah yang merekam seluruh data yang ditangkap oleh pancaindera. Daya
inilah yang memungkinkan kita bisa menyusun kembali hasil tangkapan pancaindera
kapan pun kita mau. Segala objek yang pernah tertangkap pancaindera kita dapat
kita putar ulang dengan memanfatkan potensi khayal ini. Yang ketiga adalah daya
estimasi (wahm). Kecakapan ini berfungsi untuk menilai maksud dibalik
sebuah objek. Maksud tersebut bisa berupa bahaya yang mengancam atau juga
berupa manfaat. Dengan indera ini manusia akan terbantu dalam mengambil
keputusan bertindak, terutama jika berkaitan dengan keselamatannya. Setelah
menangkap sesuatu dengan pancaindera lahir, manusia akan senantiasa melakukan
upaya estimasi terhadap objek tersebut. Hasil estimasi tersebut akan memberikan
informasi tambahan terhadap daya khayalnya sebagai pelengkap bagian yang harus
dilekatkan kepada objek tersebut, sehingga ketika terjadi penginderaan berulang
terhadap sebuah objek, rekaman tentang maksud dibalik objek yang dihasilkan
oleh daya estimasi akan ikut terputar kembali.[37]
Kecakapan keempat adalah imajinasi (mutakhayyilah
atau compositive imaginative faculty). Kecakapan ini berfungsi untuk
memberikan gambaran komprehensif dari sebuah objek. Keunggulan kecakapan ini
adalah selain mampu memberikan gambaran komprehensif sebuah objek juga mampu
melakukan modifikasi objek menjadi bentuk lain yang berbeda dengan objek
sesungguhnya, dalam arti mampu mengkreasikan sebuah gambaran baru, bahkan yang
tidak ada dalam kenyataan sekalipun, dengan mengambil sumber dari yang sudah
ada. Seorang manusia misalnya, mampu menggambarkan dalam imajinasinya seakan
hewan berkepala manusia. Tokoh-tokoh kartun yang digemari bahkan disukai
anak-anak merupakan hasil kreasi dari daya imajinasi ini.[38]
Kecakapan yang
kelima adalah memori (al-khāfiẓah). Kecakapan ini berfungsi untuk merekam gambaran
menyeluruh dari daya imajinasi termasuk merekam kreatifitas bentuk baru dari
daya imajinasi. Daya ini memungkinkan seseorang memutar kembali gambaran
imajinasi baik yang berupa bentuk koprehensif asli dari objek maupun gambar
rekaan di saat-saat yang lain. Memori merupakan indera batin terakhir dalam
sistem yang dibangun oleh al-Farrābī dan Ibnu Sīna.[39]
Dari pemaparan di
atas kita bisa melihat betapa lengkapnya perangkat manusia secara inderawi
dalam mempersepsi objek. Cukupkah itu untuk memberikan gambaran
objek sebagaimana adanya? Jawabannya, belum. Manusia masih perlu dukungan
sarana lain yang bisa menyempurnakan sampainya objek ke subjek sebagaimana
adanya. Indera hanya menginformasikan bahwa besi yang dipanaskan akan memuai,
tetapi indera tidak menginformasikan hukum-hukum yang menyebabkan hal itu
terjadi. Karena itulah, dibutuhkan sumber lain yang bisa menjalankan peran
tersebut, dan itu adalah akal.
Dengan akal
manusia bisa melakukan analisis tentang sebuah objek dan memberikan argumentasi
yang lengkap sehingga objek yang hadir tidak sekedar hadir begitu saja
melainkan lengkap dengan penjelasannya serta hukum-hukum yang melingkupi objek
tersebut. Akal yang menemukan argumentasi kenapa pensil tampak bengkok oleh
mata jika dicelupkan ke dalam gelas berisi air. Akal yang menyusun argumentasi
kenapa bulan yang bundar itu tampak separuh oleh mata. Indera hanya menyaksikan
sebuah benda yang dilempar ke atas akan jatuh kembali, sementara akal menyusun
argumen kenapa hal itu bisa terjadi.
Akal memiliki perangkat-perangkat, atau
konstruksi-konstruksi mental yang disebut sebagai kategori-kategori oleh
Immanuel Kant, seperti kategori ruang, waktu, substansi, kausalitas, relasi,
dan kuantitas. Namun yang paling utama dari akal adalah kecakapannya untuk
menangkap kuiditas atau esensi dari sesuatu yang diamati atau dipahaminya.
Dengan kecakapan ini, akal manusia dapat mengetahui konsep universal dari objek
yang diamatinya lewat indera yang bersifat abstrak dan tidak lagi berhubungan
dengan data partikular. Inilah yang disebut oleh Aristoteles sebagai bentuk (form/ṣūrah). Dengan kemampuan akal menangkap esensi (māhiyah) dari benda-benda yang diamatinya, manusia sanggup
menyimpan berjuta makna atau pemahaman tentang berbagai objek ilmu yang
bersifat abstrak sehingga tidak memerlukan ruang fisik yang luas sebagai wadah
pikiran kita.[40]
Sebagai sarana
ilmu, akal sangat besar peranannya dalam memperoleh ilmu. Namun akal hanya
berupa kecakapan intelektual atau kecerdasan intelegensi. Akal tidak bisa
berperan secara maksimal ketika berhadapan dengan persoalan-persoalan yang
menyangkut sisi emosional dan spiritual manusia. Akal tidak mengerti banyak
menyangkut pengalaman-pengalaman eksistensial, yaitu pengalaman yang secara
langsung kita rasakan, dan bukan seperti yang kita konsepsikan. Hanya hati dan
intuisilah yang mampu melakukannya.[41]
[1]Lihat Lois O. Kattsoff, Element of Philoshopy,
dialihbahasakan oleh Soejono Soemargono dengan judul Pengantar Filsafat
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987), h. 216.
[3] Lihat Louis O. Kattsoff, op. cit., h. 216
[5]Ibid.
[6] Lihat Lorens Bagus, op. cit., h. 593.
[7] Louis O. Kattsoff, op. cit., h. 220.
[11] Lihat Louis O. Kattsoff, op. cit., h. 224
[12] Lihat Juhaya S. Praja, op. cit. h., 36-37.
[14] Ibid.
[15] Lihat Harol H. Titus, Marilyn S. Smith, Richard T. Nolan, Living
Issue in Philosophy, diterjemahkan oleh H. M. Rasjidi dengan judul Persoalan-persoalan
Filsafat (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 317-327.
[16] Lihat Lorens Bagus, op. cit., h. 302.
[17] Ibid., h. 284.
[18] Lihat Louis O. Kattsoff, op. cit., h. 227-228.
[19] Ibid., h. 229.
[20]Lihat Bagus, op. cit., h. 285.
[21]Lihat Louis O. Kattsoff, op. cit., h. 230
[23] Lihat Lorens Bagus, op. cit., h. 858.
[25]Lihat Louis O. Kattsoff, op. cit., h. 232.
[26]Lihat Murtadha Mutahhari, The Causes Responsible of
Materialist in the West diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Akmal
Kamil dengan judul Kritik Islam terhadap Materialisme (Jakarta:
Al-Huda, 2001), h. 31
[27]Ibid.
[28]Ibid.
[29]Ibid.
[30]Lihat Lorens Bagus, op. cit., h. 861-864.
[31]Lihat Louis O. Kattsoff, op. cit., h. 233-234.
[32]Lihat QS. Al-An‘ām/6:
73, QS. Al-Taubah/9: 94, QS. Al-Taubah/9:105, QS. Al-Ra‘du/13: 9, QS. Al-Mu’minūn/23:
92, QS. Al-Sajadah/32: 6, QS. Sabā/34: 3, QS. Al-Zumar/39: 46, Qs. Al-Ḥasyr/59:
22, Qs. Al-Jum‘ah/62:
8, dan QS. Al-Tagābūn/64: 18.
[33]Lihat Murtadha Mutahhari, Tema-tema Penting Filsafat
Islam (Bandung: Yayasan Mutahhari bekerja sama dengan Penerbit Mizan, 1993), h. 42-43.
[34]Lihat Mulyadi Kartanegara¸Pengantar, op. cit., h. 41.
[36] Ibid., h. 21
0 komentar:
Posting Komentar