Pages

Selasa, 29 September 2015

Konsep Ketuhanan (kajian Pendidikan Agama Islam)

Ibadah Umrah Maret 2014



KONSEP KETUHANAN MENURUT ISLAM

1.   Urgensi Iman Kepada Tuhan
Sebagai aspek keimanan, masalah Ketuhanan mendapat perhatian dan pengkajian yang intensif di lingkup masyarakat Islam. Dalam konteks ini, aspek yang akan dikaji adalah aspek kejiwaan dan nilai. Kecintaan kepada Allah, ikhlas beramal hanya karena Allah, serta mengabdikan diri dan  tawakkal sepenuhnya kepada-Nya, merupakan nilai keutamaan yang ushuli (pokok) dalam menyempurnakan cabang-cabang keimanan (M. Abduh Malik dkk, 2009:1).
Selajutnya diuraikan, sesungguhnya amalan lahiriah berupa ibadah mahdhah dan muamalah akan mencapai kesempurnaan, jika diramu dengan nilai keutamaan yang ushuli tersebut sehingga nilai-nilai tersebut senantiasa mengalir dalam hati dan terwujud dalam setiap gerak serta perilaku umat Islam. Pendidikan modern dimungkinkan telah berimplikasi negatif terhadap jiwa peserta didik generasi penerus bangsa dari berbagai arah.  Untuk itu perlu
ditanamkan nilai-nilai keimanan dalam nalar, pikir, dan akal budi mereka, agar mereka selamat dari pengaruh negatif tersebut.
Islam agama ibadah. Ajaran tentang ibadah didasarkan atas kesucian hati yang dipenuhi dengan keikhlasan, cinta, dan dibersihkan dari dorongan hawa nafsu, egoisme, dan sikap ingin menang sendiri. Seorang muslim tidak sempurna jika kehangatan spiritualitas yang dimiliki tidak disertai dengan pengalaman ilmiah dan ketajaman nalar. Pentingnya budi bagi iman, ibarat pentingnya mata bagi orang yang sedang berjalan.
Hemat penulis, memahami urgensi iman kepada Tuhan sebagaimana telah diuraikan, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.        Iman kepada Tuhan bersifat ushuli atau pokok.
2.        Iman kepada Tuhan bersifat kausa prima (sebab akibat).
3.        Iman kepada Tuhan berpengaruh pada nilai atau derajat iman pada rukun-rukun iman yang lainnya.

2.  Filsafat Ketuhanan dalam Islam
Perkataan ilah, yang selalu diterjemahkan Tuhan, dalam al-Qur’an dipakai untuk menyatakan berbagai obyek yang dibesarkan dan/atau dipentingkan oleh manusia, antara lain terdapat pada QS. al-Jatsiyah, (45):23 dan QS. al-Qashash, (28):38.
Makna ila>h dalam ayat-ayat tersebut menunjukkan, bahwa perkataan ila>h bisa mengandung arti berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi) ataupun benda nyata (Fir’aun atau penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan ila>h dalam al-Qur’an juga dipakai dalam bentuk tunggal (mufrad: Ila>hun), ganda (mutsanna: Ila>haini), dan banyak (jama’: a>lihatun). Bertuhan nol atau atheisme tidak mungkin. Untuk dapat mengerti tentang definisi Tuhan atau ila>h yang tepat berdasarkan penjelasan al-Qur’an adalah sebagai berikut Tuhan (ila>h) ialah sesuatu yang sangat dipentingkan oleh manusia, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-Nya". Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan secara luas, tercakup di dalamnya yang dipuja, dicintai, diagungkan, diharapkan dapat memberikan kemaslahatan atau kegembiraan, dan termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya atau kerugian (M. Abduh Malik dkk, 2009:3).
Definisi Ilah  menurut Ibnu Taimiyah:
Ila>h (Tuhan) ialah: Yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepada-Nya, merendahkan diri di hadapan-Nya, takut, dan mengharap- kan-Nya. Kepada-Nya tempat berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdoa, dan bertawakkal kepada-Nya untuk kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari pada-Nya, dan menimbul-kan ketenangan di saat mengingat-Nya dan terpaut cinta kepada-Nya (M. Imaduddin, 1989:56 ).
Berdasarkan defmisi tersebut dapat dipahami, bahwa Tuhan itu bisa bentuk apa saja, yang dipentingkan oleh manusia. Logikanya, manusia tidak mungkin atheis, atau tidak ber-Tuhan.
 Dalam ajaran Islam ditemukan pernyataan la> ila>ha illa Allah. Susunan kalimat tersebut dimulai dengan peniadaan, yaitu tidak ada Tuhan, kemudian baru diikuti dengan penegasan melainkan Allah. Hal itu berarti bahwa, seorang muslim harus membersihkan diri dari segala macam keyakinan terhadap Tuhan, sehingga yang ada dalam hatinya hanya satu Tuhan, yaitu Allah swt










                                                                                                                 
3.      Sejarah Pemikiran Tentang Tuhan Menurut Barat
Konsep Ketuhanan menurut pemikiran Barat didasarkan atas hasil pemikiran, baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah. Dalam literatur sejarah agama, dikenal teori evolusionisme, yaitu teori yang menyatakan adanya proses dari kepercayaan yang amat sederhana, selanjutnya mengalami peningkatan menjadi sempurna. Teori tersebut mula-mula dikemukakan oleh Max Muller, kemudian oleh EB Taylor, Robertson Smith, Lubbock dan Jevens.
Proses perkembangan pemikiran tentang Tuhan menurut teori evolusionisme dalam M. Abduh Malik dkk, 2009:4:
a.  Dinamisme
Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif telah mengakui adanya kekuatan yang berpengaruh dalam kehidupan. Setiap benda diyakini mempunyai pengaruh pada manusia, ada yang berpengaruh positif dan ada pula yang berpengaruh negatif.
b.  Animisme.
Di samping kepercayaan dinamisme, masyarakat primitif juga mempercayai adanya roh dalam hidupnya. Setiap benda yang dianggap benda baik, mempunyai roh. Oleh masyarakat primitif, roh dipercayai sebagai sesuatu yang aktif sekalipun bendanya telah mati. Menurut kepercayaan ini, agar manusia tidak terkena efek negatif dari roh-roh tersebut, manusia harus menyediakan kebutuhan roh berupa saji-sajian.
c.    Politheisme
Kepercayaan dinamisme dan animisme ternyata lambat-laun tidak memberikan kepuasan, karena terlalu banyak yang menjadi sanjungan dan pujaan. Roh yang lebih dari yang lain, kemudian disebut dewa. Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu sesuai dengan bidangnya, misalnya dewa cahaya, dewa air, dsb.
d.   Henotheisme.
Politheisme tidak memberikan kepuasan terutama terhadap kaum cendekiawan. Oleh karena itu dari dewa-dewa yang diakui, diadakan seleksi, karena tidak mungkin mempunyai kekuatan yang sama. Lambat-laun kepercayaan manusia meningkat menjadi lebih definitif (tertentu). Satu bangsa hanya mengakui satu dewa yang disebut dengan Tuhan, namun manusia masih mengakui Tuhan bangsa lain. Kepercayaan satu Tuhan untuk satu bangsa disebut dengan henotheisme.
e.    Monotheisme.
Kepercayaan henotheisme meningkat menjadi monotheisme.  Hanya mengakui adanya satu Tuhan untuk seluruh bangsa. Bentuk monotheisme ditinjau dari filsafat Ketuhanan terbagi menjadi tiga paham, yaitu deisme, pantheisme, dan theisme.

0 komentar:

Posting Komentar