MEMAHAMI LINGKUP KAJIAN
FILSAFAT ILMU
A. ILMU SEBAGAI OBJEK KAJIAN FILSAFAT
Pada dasarnya, setiap ilmu memiliki dua macam objek,
yaitu objek material dan objek formal. Objek material adalah sesuatu
yang dijadikan sasaran penyelidikan, seperti tubuh manusia adalah objek
material ilmu kedokteran. Adapun objek formalnya adalah metode untuk memahami
objek material tersebut, seperti pendekatan induktif dan deduktif. Filsafat sebagai
proses berpikir yang sistematis dan radikal juga memiliki
objek material dan objek formal. Objek material filsafat adalah segala yang ada. Segala yang ada mencakup (1) ada yang tampak dan (2) ada yang
tidak tampak. Ada yang tampak adalah
dunia empiris, sedangkan ada yang tidak tampak adalah alam
metafisika.[1]
Sebagian
filosof membagi objek material
filsafat atas tiga bagian, yaitu: (1) yang ada
dalam alam
empiris, (2) yang ada dalam pikiran, dan (3)
yang ada dalam kemungkinan.
Gambar 1
DESKRIPSI
OBYEK MATERIAL FILSAFAT
Adapun objek formal filsafat adalah sudut pandang yang (1) menyeluruh,
(2) radikal,
dan (3) rasional tentang segala yang
ada.
Selanjutnya Jujun menjelaskan, bahwa cakupan objek
filsafat lebih luas dibandingkan dengan ilmu karena
ilmu hanya terbatas pada persoalan yang empiris
saja, sedangkan filsafat mencakup yang empiris dan yang non-empiris.
Objek ilmu terkait dengan filsafat pada objek empiris. Di samping itu, secara historis
ilmu berasal dari kajian filsafat karena
awalnya filsafatlah yang melakukan pembahasan tentang segala yang ada ini secara sistematis,
rasional, dan logis, termasuk hal
yang empiris.
Gambar 2
DESKRIPSI
OBYEK FORMAL FILSAFAT
Setelah berjalan beberapa lama kajian yang terkait dengan hal yang empiris semakin
bercabang dan berkembang, sehingga menimbulkan
spesialisasi dan menampakkan kegunaan yang praktis. Inilah proses terbentuknya ilmu secara berkesinambungan. Will Durant mengibaratkan filsafat
bagaikan pasukan marinir yang merebut pantai
untuk pendaratan pasukan infanteri.
Pasukan infanteri ini adalah sebagai
pengetahuan yang di antaranya adalah ilmu. Filsafatlah yang menyediakan tempat berpijak bagi kegiatan
keilmuan. Setelah itu, ilmu
berkembang sesuai dengan spesialisasi masing-masing, sehingga ilmulah secara praktis membelah gunung dan
merambah hutan. Setelah itu, filsafat kembali ke laut lepas untuk berspekulasi
dan melakukan eksplorasi lebih jauh.[2]
Karena itu, filsafat oleh para filosof disebut sebagai induk ilmu.
Sebab, dari filsafatlah, ilmu-ilmu modern dan kontemporer
berkembang, sehingga manusia dapat menikmati ilmu dan sekaligus buahnya, yaitu
teknologi. Awalnya, filsafat terbagi pada teoretis dan praktis. Filsafat teoretis mencakup metafisika, fisika, matematika, dan logika, sedangkan filsafat praktis adalah ekonomi, politik, hukum, dan etika. Setiap bidang ilmu ini kemudian
berkembang dan menspesia-lisasi, seperti fisika berkembang menjadi biologi, biologi berkembang menjadi anatomi, kedokteran, dan kedokteran pun
terspesialisasi menjadi beberapa bagian. Perkembangan ini dapat
diibaratkan sebuah pohon dengan cabang dan ranting yang semakin lama semakin rindang.
Bahkan dalam perkembangan berikutnya, filsafat tidak hanya dipandang sebagai induk dan sumber ilmu, tetapi
sudah merupakan bagian dari ilmu itu sendiri, yang
juga mengalami spesialisasi. Dalam taraf peralihan ini filsafat tidak mencakup keseluruhan, tetapi sudah menjadi sektoral. Contohnya, filsafat
agama, filsafat hukum, dan filsafat
ilmu adalah bagian dari perkembangan
filsafat yang sudah menjadi sektoral dan terkotak
dalam satu bidang tertentu.[3]
Filsafat ilmu yang sedang dibahas
ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dari tuntutan tersebut karena filsafat tidak dapat hanya berada pada
laut lepas, tetapi diharuskan juga dapat
membimbing ilmu. Di sisi lain, perkembangan ilmu yang sangat cepat
tidak saja membuat ilmu semakin jauh dari induknya, tetapi juga
mendorong munculnya arogansi dan bahkan komparte-mentalisasi yang tidak sehat antara satu bidang ilmu dengan yang lain.
Tugas filsafat di antaranya adalah menyatukan visi
keilmuan itu sendiri agar tidak terjadi bentrokan antara berbagai
kepentingan. Dalam konteks inilah kemudian ilmu sebagai kajian
filsafat sangat relevan untuk dikaji dan didalami.[4]
Pada akhirnya Amsal
Bakhtiar berargumentasi, bahwa ilmu
sebagai objek kajian filsafat sepatutnya mengikuti alur filsafat,
yaitu objek material yang didekati lewat pendekatan radikal, menyeluruh,
dan rasional. Begitu juga sifat pendekatan spekulatif dalam filsafat sepatutnya merupakan bagian dari ilmu
karenanya ilmu dilihat pada posisi yang tidak mutlak, sehingga masih ada ruang untuk berspekulasi demi pengembangan ilmu itu sendiri.
B.
FILSAFAT ILMU
1. Pengertian
Filsafat
Filsafat dalam bahasa Inggris, yaitu: philosophy,
istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani:
philosophia. Philos (cinta) atau philia
(persahabatan, tertarik kepada)
dan sophos (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi). Jadi,
secara etimologi, filsafat berarti cinta
kebijaksanaan atau kebenaran/hikmah (love of wisdom). Orangnya disebut filosof,
dalam bahasa Arab disebut failasuf.[5]
Gambar 3
DESKRIPSI
FILSAFAT MENURUT BAHASA
Gambar 5
DESKRIPSI
SEBUTAN AHLI FILSAFAT
Harun Nasution
mengatakan bahwa kata filsafat berasal dari bahasa Arab falsafa dengan
wazan
(timbangan) fa’lala, fa’lalah dan fi’lal. Dengan demikian, menurut Harun Nasution, kata benda dari falsafa seharusnya falsafah
dan filsaf. Menurutnya, dalam
bahasa Indonesia banyak terpakai kata filsafat, padahal bukan berasal dari kata Arab falsafah dan bukan
dari kata Inggris philosophy. Harun Nasution
memperta-nyakan apakah kata fil berasal dari bahasa Inggris
dan safah diambil dari kata Arab,
sehingga terjadilah gabungan keduanya, yang kemudian menimbulkan kata filsafat?[6]
Menurut Harun
Nasution istilah filsafat berasal dari bahasa
Arab karena orang Arab lebih dulu datang dan sekaligus mempengaruhi
bahasa Indonesia daripada orang dan bahasa
Inggris. Oleh karena itu, dia konsisten menggunakan kata falsafat, bukan filsafat.
Buku-bukunya mengenai “filsafat”
ditulis dengan falsafat, seperti Falsafat Agama dan
Falsafat
dan Mistisisme dalam Islam.[7]
Kendati istilah filsafat
yang lebih tepat adalah falsafat yang berasal dari
bahasa Arab, kata filsafat sebenarnya bisa diterima dalam bahasa Indonesia.
Sebab, sebagian kata Arab yang diindonesiakan mengalami perubahan dalam huruf vokalnya, seperti masjid
menjadi mesjid dan karamah
menjadi keramat. Karena itu,
perubahan huruf a menjadi i dalam kata falsafah bisa
ditolelir. Lagi pula, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata filsafat
menunjukkan pengertian yang dimaksud, yaitu pengetahuan dan penyelidikan dengan akal
budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya.[8]
Dalam arti tradisional, filsafat merupakan istilah teknis dari kegitan
berpikir secara rasional. Ia adalah induk dari seluruh induk ilmu-ilmu
rasional. Sehingga seorang filosof adalah seseorang yang menguasai secara penuh
semua sains rasional, seperti teologi, matematika, ilmu-ilmu kealaman, politik, etika,
dan ekonomi domestik.[9]
Beberapa pengertian ushuli (pokok) tentang filsafat menurut
kalangan filosof adalah:
1.
Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik
serta lengkap tentang seluruh realitas.
2.
Upaya untuk melukiskan hakikat
realitas akhir dan dasar serta nyata.
3.
Upaya untuk menentukan batas-batas dan
wilayah ataupun jangkauan pengetahuan meliputi sumbernya, hakikatnya, keabsahannya, dan
nilainya.
4.
Penyelidikan kritis atas
pengandaian-pengandaian dan pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan.
5.
Disiplin ilmu yang berupaya untuk
membantu anda melihat apa yang anda katakan dan untuk mengatakan apa yang anda lihat.[10]
Pengertian filsafat secara terminologi sangat
beragam, baik
dalam ungkapan maupun titik tekanannya. Bahkan, Moh. Hatta dan Langeveld mengatakan bahwa definisi
filsafat tidak
perlu diberikan karena setiap orang memiliki titik tekan sendiri dalam
definisinya. Oleh karena itu, biarkan saja seseorang meneliti filsafat terlebih
dahulu kemudian menyimpulkan sendiri.[11]
Mengeraborasi pendapat
Moh. Hatta dan Langeveld
tersebut
ada benarnya, sebab intisari berfilsafat itu terdapat dalam pembahasan bukan pada
definisi. Namun demikian, definisi filsafat untuk dijadikan patokan awal diperlukan
untuk memberi arah dan
cakupan objek yang dibahas, terutama yang terkait
dengan filsafat ilmu. Karena itu, berikut dikemukakan beberapa definisi para filosof terkemuka yang cukup
reprensentatif, baik dari segi zaman
maupun kualitas pemikiran.
Pythagoras (572-497 SM) adalah filosof yang pertama
kali menggunakan kata filsafat, dia mengemukakan bahwa manusia dapat dibagi ke dalam
tiga tipe: mereka yang mencintai kesenangan, mereka yang mencintai
kegiatan, dan mereka yang
mencintai kebijaksanaan, tujuan kebijaksanaan dalam pandangannya menyangkut kemajuan
menuju keselamatan dalam hal keagamaan.[12] Shopia mengandung
arti yang lebih luas daripada kebijaksanaan,
yaitu: (1) Kerajinan, (2) Kebenaran pertama,
(3) Pengetahuan yang luas, (4). Kebajikan intelektual, (5) Pertimbangan yang
sehat, (6). Kecerdikan dalam memutuskan
hal-hal praktis. Dengan demikian asal mula kata filsafat itu sangat umum, yang intinya adalah mencari
keutamaan mental (the pursuit of mental excellence).[13]
Plato (427-347 SM) mengatakan bahwa objek filsafat adalah penemuan kenyataan atau kebenaran
absolut (keduanya sama dalam pandangannya),
lewat "dialektika".[14]
Aristoteles (384-332 SM), tokoh
utama filosof klasik, mengatakan bahwa filsafat menyelidiki sebab dan asas
segala terdalam
dari wujud. Karena itu, ia menamakan filsafat dengan "teologi"
atau "filsafat pertama". Aristoteles sampai pada kesimpulan bahwa
setiap gerak di alam ini digerakkan oleh yang lain. Karena itu, perlu menetapkan satu
penggerak pertama yang menyebabkan gerak itu, sedangkan dirinya sendiri tidak bergerak. Penggerak
pertama ini sama sekali terlepas dari materi; sebab kalau ia materi, maka ia juga mempunyai potensi gerak. Allah, demikian
Aristoteles, sebagai penggerak Pertama adalah Aktus Murni. Aristoteles adalah salah seorang filosof Yunani kuno yang mengatakan bahwa filsafat memperhatikan seluruh pengetahuan, dan
kadang-kadang disamakan dengan
pengetahuan tentang wujud (ontologi).
Al-Farabi (W.950M), seorang filosof Muslim terbesar sebelum Ibnu Sina
berkata, "Filsafat ialah ilmu tentang alam yang maujud dan
bertujuan menyelidiki hakikatnya yang sebenarnya".[15]
Ibnu Rusyd (1126-1198 M), berpendapat bahwa filsafat atau hikmah merupakan
pengetahuan "otonom" yang perlu dikaji oleh manusia karena dia dikaruniai
akal. Al-Qur’an mewajibkan manusia berfilsafat untuk menambah dan memperkuat
keimanan kepada Tuhan.[16]
Immanuel Kant (1724-1804 M), mengatakan bahwa: filsafat itu ilmu
dasar segala pengetahuan, yang mencakup di dalamnya empat persoalan, yaitu:
1.
Apakah yang dapat kita ketahui?
(Dijawab oleh metafisika).
2.
Apakah yang boleh kita kerjakan?
(Dijawab oleh etika/norma).
3.
Sampai di manakah pengharapan kita?
(Dijawab oleh agama).
4.
Apakah yang dinamakan manusia?
(Dijawab oleh antropolog).[17]
Sutan Takdir Alisjahbana berpendapat bahwa filsafat adalah berpikir
dengan insaf., yang dimaksud dengan insaf adalah berpikir dengan
teliti, menurut aturan yang pasti.[18]
Sementara itu, Deng Fung Yu Lan, seorang filosof
dari dunia Timur, mendefinisikan filsafat adalah pikiran yang sistematis dan
refleksi tentang hidup.[19]
Filsafat juga
didefinisikan oleh Hamersama sebagai pengetahuan metodis,
sistematis, dan koheren (bertalian) tentang seluruh kenyataan[20]
Sedangkan Harun Nasution mengatakan bahwa filsafat adalah berpikir
menurut tata tertib (logika)
dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma, dan agama) dan dengan sedalam-dalamnya, sehingga sampai ke dasar-dasar persoalan.[21]
Pandangan Sidi Gazalba filsafat adalah berpikir secara mendalam,
sistematik, radikal, dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti atau hakikat
mengenai segala sesuatu yang ada.[22]
Pendapat Sidi Gazalba tersebut memperlihatkan
adanya tiga ciri pokok dalam filsafat, yaitu:16
1.
Adanya unsur berpikir yang dalam hal ini menggu-nakan akal.
2.
Adanya unsur tujuan yang ingin dicapai melalui berpikir tersebut.
3.
Adanya unsur ciri yang terdapat dalam pikiran tersebut, yaitu berpikir mendalam.
Uraian di atas menunjukkan dengan jelas
ciri dan karakteristik berpikir secara filosofis. Intinya adalah upaya secara sungguh-sungguh dengan menggunakan akal pikiran sebagai alat
utamanya untuk menemukan hakikat segala sesuatu yang berhubungan dengan ilmu.
Gambar
6
DESKRIPSI KARAKTERISTIK
FILSAFAT
Dengan demikian, berpikir
menyeluruh, sistematis, koheren, dan logis adalah pengertian umum yang dapat
disimpulkan dari berbagai definisi tentang filsafat. Pengertian ini mengandung
arti metode berpikir yang digunakan untuk mengetahui sesuatu secara menyeluruh,
sistematis, koheren, dan logis yang hasilnya adalah pengetahuan. Pada konteks ini dapat dilihat bahwa filsafat adalah instrument dan/atau alat pengetahuan.
2.
Pengertian
Hikmah
Telah disebut
terdahulu bahwa salah satu makna filsafat adalah mengutamakan dan mencintai
hikmah. Fuad Iframi al-Bustant mengartikan hikmah dalam kitab monumentalnya Munjid
al-Thullab, secara etimologi yaitu al-‘adl (memposisikan sesuatu pada porosnya), al-hilm (akal baligh/pemikiran
yang sempurna), al-falsafah (filsafat),
dan secara terminologi yaitu:
“Ungkapan atau pemikiran yang sesuai dengan kebenaran suatu pendapat yang valid”.[23]
Ibnu Mundzir, penulis kamus standar dalam bahasa Arab, Lisan al-‘Arabi, menjelaskan bahwa
istilah hikmah berarti terhindar dari kerusakan dan kezaliman,
karena hikmah adalah ilmu yang sempurna dan
manfaat.[24]
Berbeda
dengan al-Jurja>ni dalam
mendefinisikan kata hikmah ialah: "Ilmu yang mempelajari
segala sesuatu yang ada menurut kadar kemampuan manusia."
Ibn Sina mengartikan kata hikmah dalam al-Thabl’iyyat adalah: "Hikmah ialah mencari kesempurnaan diri manusia dengan menggambarkan segala urusan dan membenarkan segala hakikat baik yang bersifat teori maupun praktik menurut kadar kemampuan manusia."[25]
Rumusan tersebut mengisyaratkan bahwa
hikmah sebagai paradigma keilmuan yang mempunyai tiga unsur utama, yaitu: 1) Masalah,
2) Fakta dan data, 3) Analisis ilmuwan dengan teori.[26] Al-Syaybani mengatakan bahwa fiisafat
bukanlah hikmah itu sendiri, melainkan cinta terhadap hikmah dan berusaha
mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan mencari sikap positif terhadapnya. Selanjutnya ia menambahkan bahwa filsafat dapat pula berarti mencari
hakikat sesuatu, berusaha menautkan
sebab dan akibat serta berusaha menginterpretasikan
pengalaman-pengalaman manusia.[27]
3.
Karakteristik Berpikir Filsafati
Menurut
Louis O. Kattsoff, seorang filsuf
tidak hanya membicarakan dunia yang ada di sekitarnya dan dunia yang ada dalam
dirinya, melainkan juga membicarakan perbuatan berfikir itu sendiri[28]. Ia tidak
hanya ingin mengetahui hakikat kenyataan dan ukuran-ukuran untuk melakukan
verifikasi terhadap pernyataan-pernyataan mengenai segala sesuatu, melainkan ia
berusaha menemukan kaidah-kaidah berpikir itu sendiri. Kapankah suatu pemikiran
itu membawa kita kepada kesimpulan yang sah, dan bagaimana metodenya, serta
mengapa membawa kita kepada kesimpulan yang sah?
Pernyataan Louis tersebut alurnya senada dengan
pandangan Jujun Suryasumantri,
beliau memilah karakteristik berfikir filsafati dalam tiga ciri, yaitu 1)
berpikir menyeluruh 2) berfikir mendasar dan 3) berfikir spekulatif.[29]
1.
Berpikir menyeluruh.
Karakteristik berfilsafat dapat diumpamakan
seperti seorang yang berpijak di bumi sedang tengadah ke bintang-bintang. Dia ingin
mengetahui hakikat dirinya dalam kesemestaan galaksi. Atau seorang, yang
berdiri di puncak tinggi, memandang ke ngarai dan lembah di bawahnya. Dia ingin menyimak
kehadirannya dengan kesemestaan yang ditatapnya. Karakteristik berpikir filsafat yang pertama adalah
berpikir menyeluruh.
2.
Berpikir mendasar.
Seorang ilmuwan tidak puas
mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat
hakikat ilmu dalam konstelasi pengetahuan
yang lainnya. Dia ingin tahu
kaitan ilmu dengan moral. Kaitan ilmu dengan agama. Dia ingin yakin apakah ilmu itu membawa kebahagiaan kepada dirinya.
Sering kita melihat seorang
ilmuwan yang picik. Ahli fisika nuklir memandang rendah kepada ahli ilmu sosial.
Lulusan IPA merasa lebih tinggi dari lulusan IPS. Atau lebih sedih iagi, seorang
ilmuwan memandang rendah
terhadap pengetahuan lain. Mereka meremehkan moral, agama dan nilai estetika. Mereka, para ahli yang berada di bawah tempurung disiplin keilmuannya masing-masing,
sebaiknya tengadah ke bintang-bintang
dan tercengang: Lho, kok masih ada langit lain di luar tempurung kita. Dan kita pun kemudian menyadari
kebodohan kita sendiri.
Ketika Sokrates menyatakan
dirinya bahwa saya tak tahu apa-apa! Kerendahhatian
Sokrates ini bukanlah verbalisme yang sekadar basa-basi, namun itulah bahagian wujud berpikir filsafati. Seorang yang
berpikir filsafati selain tengadah ke bintang-bintang, juga membongkar tempat berpijak
secara fundamental. Inilah karakteristik berpikir filsafati, yakni berpikir mendasar.
3. Berpikir
spekulatif.
Dia tidak
lagi percaya begitu saja bahwa ilmu itu benar. Mengapa ilmu dapat disebut benar? Bagaimana
proses penilaian berdasarkan kriteria tersebut dilakukan? Apakah
kriteria itu sendiri benar? Selanjutnya
benar sendiri itu apa? Seperti sebuah lingkaran maka pertanyaan itu
melingkar, dan menyusur sebuah lingkaran, kita harus mulai dari satu titik,
yang awal dan sekaligus yang akhir. Kemudian
bagaimana menentukan titik awal yang benar? Maka berpikir filsafati
seperti itu adalah spekulatif.
Gambar
7
DESKRIPSI KARAKTERISTIK
BERPIKIR FILSAFATI
4.
Pengrtian Ilmu
Ilmu berasal dari
bahasa Arab: ‘alima, ya’lamu, 'ilman, dengan wazan (timbangan) fa’ila, yaf’alu,
yang berarti: mengerti, memahami benar-benar. seperti ungkapan:.."Asmu’i telah
memahami pelajaran filsafat".[30]
Dalam bahasa
Inggris disebut science; dari bahasa Latin scientia (pengetahuan) scire (mengetahui). Sinonim yang paling dekat
dengan bahasa Yunani adalah episteme.[31]
Jadi pengertian ilmu yang terdapat dalam kamus bahasa Indonesia adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan
untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di
bidang (pengetahuan) itu.[32]
Mulyadhi Kartanegara mengatakan bahwa ilmu adalah any organized knowledge. Ilmu
dan sains menurutnya tidak berbeda, terutama sebelum abad ke-19, tetapi
setelah itu sains lebih terbatas pada
bidang-bidang fisik atau inderawi,
sedangkan ilmu melampauinya
pada bidang-bidang nonfisik, seperti metafisika. [33]
Adapun beberapa
ciri-ciri utama ilmu menurut terminologi, antara lain:
1.
Ilmu adalah sebagian
pengetahuan bersifat koheren, empiris, sistematis, dapat diukur, dan dibuktikan.
Berbeda dengan iman, yaitu
pengetahuan didasarkan atas keyakinan
kepada yang gaib dan penghayatan serta pengalaman pribadi.
2.
Berbeda dengan pengetahuan, ilmu tidak
pernah mengartikan kepingan pengetahuan satu putusan tersendiri, sebaliknya ilmu
menandakan seluruh kesatuan ide yang mengacu ke objek (atau alam objek) yang sama
dan saling berkaitan secara logis. Karena itu, koherensi
sistematik adalah hakikat ilmu.
Prinsip-prinsip objek dan hubungan-hubungannya yang tercermin dalam
kaitan-kaitan logis yang dapat
dilihat dengan jelas. Bahwa prinsip-prinsip metafisis objek menyingkapkan dirinya sendiri kepada kita dalam prosedur
ilmu secara lamban, didasarkan pada sifat khusus intelek kita yang tidak dapat dicirikan oleh visi ruhahi terhadap
realitas tetapi oleh berpikir.
3.
Ilmu tidak memerlukan kepastian
lengkap berkenaan dengan masing-masing penalaran perorangan, sebab ilmu dapat memuat di dalamnya
dirinya sendiri hipotesis-hipotesis dan teori-teori yang belum sepenuhnya
dimantapkan.
4.
Di pihak lain, yang seringkali
berkaitan dengan konsep ilmu (pengetahuan ilmiah) adalah ide bahwa metode-metode yang berhasil dan
hasil-hasil yang terbukti pada dasarnya harus terbuka kepada semua pencari ilmu.
Kendati demikian, rupanya baik untuk tidak memasukkan persyaratan ini dalam definisi ilmu,
karena objektivitas ilmu dan kesamaan hakiki daya persyaratan ini pada umumnya
terjamin.
5.
Ciri hakiki lainnya dari ilmu ialah metodologi, sebab kaitan logis yang dicari
ilmu tidak dicapai dengan penggabungan tidak teratur dan tidak terarah dari banyak
pengamatan dan ide yang terpisah-pisah. Sebaliknya, ilmu menuntut pengamatan dan berpikir metodis,
tertata rapi. Alat bantu metodologis yang penting adalah terminologi ilmiah. Yang disebut belakangan ini mencoba konsep-konsep ilmu.
6.
Kesatuan setiap ilmu bersumber di
dalam kesatuan objeknya. Teori skolastik
mengenai ilmu membuat pembedaan antara objek material dan objek formal. Yang
terdahulu adalah
objek konkret yang disimak ilmu. Sedangkan yang belakangan adalah aspek khusus atau
sudut pandang terhadap objek material. Yang mencirikan setiap ilmu adalah objek
formalnya. Sementara objek material yang sama dapat dikaji oleh banyak ilmu lain.
Pembagian objek studi
mengantar ke spesialisasi ilmu yang terus bertambah.
Gerakan ini diiringi
bahaya pandangan sempit atas bidang penelitian yang terbatas. Sementara penangkapan yang luas terhadap saling
keterkaitan seluruh realitas lenyap dari pandangan.[34]
Adapun beberapa
definisi ilmu menurut para ahli, antara lain:
Mohammad Hatta, mendefinisikan ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang
pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun
menurut kedudukannya
tampak dari luar, maupun menurut bangunannya dari dalam.[35]
Ralph Ross dan
Ernest Van Den Haag, mengatakan ilmu adalah yang empiris, rasional, umum
dan sistematik, dan keempatnya serentak.[36]
Karl Pearson, mengatakan ilmu adalah lukisan atau keterangan yang
komprehensif dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sederhana.[37]
Ashley Montagu, Guru Besar Antropolog di Rutgers University menyimpulkan bahwa
ilmu adalah pengetahuan yang disusun dalam satu sistem yang berasal dari pengamatan, studi dan
percobaan untuk menentukan hakikat prinsip tentang hal yang sedang dikaji.[38]
Harsojo, Guru besar antropolog di Universitas
Pajajaran,
menerangkan
bahwa ilmu adalah:
1.
Merupakan akumulasi pengetahuan yang disiste-masikan.
2.
Suatu pendekatan atau metode pendekatan
terhadap
seluruh
dunia empiris, yaitu dunia yang terikat oleh faktor ruang dan waktu, dunia yang
pada prinsipnya dapat diamati oleh pancaindera manusia.
3.
Suatu cara menganalisis yang
mengizinkan kepada ahli-ahlinya untuk menyatakan sesuatu proposisi dalam bentuk:
"Jika..., maka...".[39]
Afanasyef, seorang pemikir marxist bangsa Rusia mendefinisikan ilmu
adalah pengetahuan manusia tentang alam, masyarakat, dan pikiran. la mencerminkan
alam dan konsep-konsep, kategori dan hukum-hukum, yang ketetapannya serta kebenarannya diuji dengan pengalaman praktis.[40]
Telaah terhadap
keterangan para ahli tentang ilmu di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa
ilmu adalah sebagian pengetahuan yang mempunyai ciri, tanda, syarat tertentu,
yaitu sistematik, rasional, empiris, universal, objektif, dapat diukur, terbuka, dan kumulatif (bersusun timbun).
Mulyadhi Kartanegara berpendapat bahwa objek ilmu tidak mesti selalu empiris karena realitas itu tidak hanya yang empiris
bahkan yang tidak empiris lebih luas dan dalam
dibandingkan dengan yang empiris. Karena itu, dia memasukkan teologi adalah ilmu, yang sama dengan
ilmu-ilmu lainnya.[41]
Adapun perbedaan
antara ilmu dan pengetahuan ilmu adalah bagian dari pengetahuan yang terklasifikasi, tersistem dan terukur
serta dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris. Pengetahuan adalah
keseluruhan pengetahuan yang belum tersusun, baik mengenai metafisik
maupun fisik.
Dapat juga dikatakan pengetahuan adalah informasi
yang berupa common sense, sedangkan
ilmu sudah merupakan bagian yang lebih tinggi
dari itu karena memiliki metode dan mekanisme tertentu. Ilmu bagaikan
sapu lidi, yakni sebagian lidi yang sudah diraut dan dipotong ujung dan pangkalnya kemudian diikat, sehingga menjadi sapu lidi, sedangkan pengetahuan adalah
lidi-lidi yang masih berserakan di pohon kelapa, di pasar, dan di tempat
lain yang belum tersusun dengan baik.[42]
Setelah dipahami
pengertian filsafat, ilmu, dan pengetahuan, maka dapat disimpulkan bahwa filsafat ilmu
merupakan kajian secara mendalam tentang dasar-dasar ilmu, sehingga filsafat ilmu perlu menjawab
beberapa persoalan berikut:
1. Pertanyaan landasan ontologis:
Objek apa yang ditelaah?
Bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut?
Bagaimana korelasi antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti
berpikir, merasa, dan mengindera) yang menghasilkan ilmu?
Bertolak dari landasan ontologis ini adalah dasar
untuk mengklasifikasi pengetahuan dan sekaligus bidang-bidang ilmu.
2. Pertanyaan landasan epistemologis:
Bagaimana proses pengetahuan yang masih
berserakan
dan tidak teratur itu menjadi
ilmu?
Bagaimana prosedur dan mekanismenya?
Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar?
Apa yang disebut kebenaran itu sendiri, dan Apakah kriterianya?
Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?
3. Pertanyaan landasan aksiologis:
Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu
diper-gunakan?
Bagaimana kaitan antara cara penggunaan
tersebut dengan
kaidah-kaidah moral?
Bagaimana penentuan objek dan metode yang
ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?
Bagaimana korelasi antara teknik prosedural ang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan
norma- norma moral?[43]
3. Persamaan dan Perbedaan Filsafat dengan Ilmu
a. Persamaan
Filsafat dengan Ilmu, yaitu:
1)
Keduanya mencari rumusan yang
sebaik-baiknya menyelidiki objek selengkap-lengkapnya sampai ke akar-akarnya.
2)
Keduanya memberikan pengertian mengenai
hubungan
atau koheren yang ada antara kejadian-kejadian yang kita alami dan mencoba menunjuk- kan sebab-sebabnya.
3)
Keduanya hendak memberikan sintesis,
yaitu suatu pandangan yang bergandengan.
4)
Keduanya mempunyai metode dan sistem.
5)
Keduanya hendak memberikan penjelasan
tentang kenyataan seluruhnya timbul dari hasrat manusia (objektivitas), akan pengetahuan yang
lebih mendasar.[44]
b.
Perbedaan filsafat dengan ilmu, yaitu:
1)
Objek material (lapangan) filsafat itu
bersifat universal umum), yaitu segala sesuatu yang ada (realita) sedangkan objek material ilmu
(pengetahuan ilmiah) itu bersifat khusus dan empiris. Artinya, ilmu hanya terfokus
pada disiplin bidang masing-masing secara kaku dan terkotak-kotak, sedangkan kajian filsafat
tidak terkotak-kotak dalam disiplin tertentu.
2)
Objek formal (sudut pandangan)
filsafat itu bersifat non-fragmentaris, karena mencari pengertian dari segala sesuatu yang ada itu
secara luas, mendalam dan mendasar. Sedangkan ilmu bersifat fragmentaris,
spesifik, dan intensif.
Di samping itu, objek formal ilmu itu bersifat teknik, yang berarti bahwa cara ide-ide manusia itu mengadakan penyatuan diri dengan realita.
Di samping itu, objek formal ilmu itu bersifat teknik, yang berarti bahwa cara ide-ide manusia itu mengadakan penyatuan diri dengan realita.
3)
Filsafat dilaksanakan dalam suatu
suasana pengetahuan yang menonjolkan daya spekulasi, kritis, dan pengawasan, sedangkan ilmu
haruslah diadakan riset lewat pendekatan trial and error. Oleh karena itu,
nilai ilmu terletak pada kegunaan pragmatis, sedang kegunaan filsafat timbul dari nilainya.
4)
Filsafat memuat pertanyaan lebih jauh
dan lebih mendalam berdasarkan pada pengalaman realitas sehari-hari, sedangkan ilmu
bersifat diskursif, yaitu menguraikan secara logis, yang dimulai dari tidak tahu
menjadi tahu.
5)
Filsafat memberikan penjelasan yang terakhir, yang mutlak,
dan mendalam sampai primary
cause) sedangkan ilmu menunjukkan sebab-sebab yang tidak begitu mendalam, yang lebih dekat, yang sekunder(secondary cause).
C. TUJUAN KAJIAN FILSAFAT ILMU
1. Tujuan Umum
a.
Mendalami unsur-unsur pokok ilmu, sehingga
secara menyeluruh kita dapat memahami sumber, hakikat dan tujuan ilmu.
b.
Memahami sejarah pertumbuhan, perkembangan,
dan kemajuan ilmu di berbagai bidang, sehingga kita mendapat gambaran tentang
proses ilmu kontem-porer secara historis.
c.
Menjadi pedoman bagi para dosen dan mahasiswa
dalam mendalami studi di perguruan tinggi,
terutama untuk membedakan persoalan yang ilmiah dan nonilmiah.
d.
Mendorong pada calon ilmuan dan ilmuan untuk
konsisten dalam mendalami ilmu dan mengembang-kannya.
e.
Mempertegas bahwa dalam persoalan sumber dan
tujuan antara ilmu dan agama tidak ada perten-tangan.[45]
2. Tujuan
Khusus
a.
Memahami
secara mendalam
karakteristik berfikir filsafati Islami, agar calon
ilmuan dan ilmuan memiliki potensi dasar berfikir Islami dan dapat
mewujudkan karakter Islami.
b.
Memahami
secara holistik perbedaan mendasar karaktersik berfikir Islami dan
karakteristik berfikir non Islami, dalam konteks ini penulis membedakan berpikir
Islami dan berpikir sekuler.
c.
Memahami secara holistik pandangan ontologis,
epistemologis dan aksiologis dalam dimensi pandangan pemikiran sekuler dan pemikiran
Islami.
[1]Jujun S. Suriasumantri, Filsafaf Ilmu, Sebuah
Pengantar Populer, (Jakarta, Sinar Harapan, 1984), h. 23. Lihat pula
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Cet.
IX, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010), h. 1.
[3]Lihat Amsal
Bakhtiar, op. cit., h. 3.
[4]lLihat Amsal
Bakhtiar, op. cip., h. 3.
[5]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2004), h. 4.
6Harun Nasution, Falsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang,
1979), Cet. Ill, h. 9.
[6]Amsal Bakhtiar , Filsafat, h. 7
[9]Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, Cet. III; 1990), h. 242.
[14]Dialektika ialah metode mencapai definisi bagi sebuah
konsep dengan cara menguji ciri-ciri umum yang ditemukan dalam sejumlah contoh
khusus dari konsep itu. Dialektika adalah metode metafisika dan mendatangkan
atau menghasilkan pengetahuan tertinggi. Lihat, Lorens Bagus, Kamus
Filsafat, h. 162-164.
[15]Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, (Surabaya:
PT. Bina Ilmu, 1987), Cet. VII, h. 83.
[17]Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2001), Cet. XV, h. 2.
[18]Bakhtiar, Filsafat Ilmu, h. 8.
[21]Ibid.
[25]Ibrahim Madkur, Al-Mu'jam al-Falsafi, (Kairo: Dar
al-Kutub, 1982), h. 72. Untuk lebih jelasnya lihat juga, Abd al-Mun'im
al-Hafni, Mu'jam al-Falsafi: ‘Arabi,
Injelizi, Faransi, al-Ma>ni>, La>ti>ni>, (Beirut: Dar Ibn Zaidun, 1996), Cet. I, h. 94.
[26]Omar
Muhammad al-Toumy al-Syaibani, Falsafah al-Mariah al-Islamiyah, diterjemahkan oleh: Hasan Langgulung dan A.S. Broto, Falsafah
Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 25-26.
[27]Abuddin
Nata, Filsafat Pendidikan Islam, h. l.
[28]Louis Kattsoff, Pengantar Filsafat, Alih Bahasa, Soejono
Sumargono, Cet. Ke-9, Tiara Wacana Yogya, 2004, h. 7.
[29]Jujun
Suryasumantri, op,cit., h 20
[30]Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawir; Kamus Arab -
Indonesia, (Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta,
1984), him. 1036.
[31]Jujun S.Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar
Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998), Cet.
I, him. 324.
[33] Mulyadhi Kartanegara, Pengantar
Epistemologi Islam, (Bandung: Mizan, 2003), h. 1.
[34]Lorens Bagus, Kamus, h. 307-308.
[35]Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, h. 47.
[36]Ibid.
[37]Ibid.
[39] Ibid., h. 48-49.
[40] Ibid.
[41] Kartanegara, Menyibak, him. 43.
[42]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, op. cit., h. 17
[43]Jujun S.
Suriasumantri, Filsafat Ilmu, h. 33
[44]Burhanuddin
Salam, op. cit., h. 41
[45]Amsal Bakhtiar, op. cit., h. 20.
0 komentar:
Posting Komentar