Pages

Sabtu, 19 September 2015

Memahami lingkup kajian filsafat ilmu







MEMAHAMI LINGKUP KAJIAN FILSAFAT ILMU



A.  ILMU SEBAGAI OBJEK KAJIAN FILSAFAT
Pada dasarnya, setiap ilmu memiliki dua macam objek, yaitu objek material dan objek formal. Objek material adalah sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, seperti tubuh manusia adalah objek material ilmu kedokteran. Adapun objek formalnya adalah metode untuk memahami objek material tersebut, seperti pendekatan induktif dan deduktif. Filsafat sebagai proses berpikir yang sistematis dan radikal juga memiliki objek material dan objek formal. Objek material filsafat adalah segala yang ada. Segala yang ada mencakup (1) ada yang tampak dan (2) ada yang tidak tampak. Ada yang tampak adalah dunia empiris, sedangkan ada yang tidak tampak adalah alam metafisika.[1]
Sebagian filosof membagi objek material filsafat atas tiga bagian, yaitu: (1) yang ada dalam alam empiris, (2) yang ada dalam pikiran, dan (3) yang ada dalam kemungkinan.

Gambar 1
DESKRIPSI OBYEK MATERIAL FILSAFAT  
 


















Adapun objek formal filsafat adalah sudut pandang yang (1) menyeluruh,  (2) radikal, dan (3) rasional tentang segala yang ada.
Selanjutnya Jujun menjelaskan, bahwa cakupan objek filsafat lebih luas dibandingkan dengan ilmu karena ilmu hanya terbatas pada persoalan yang empiris saja, sedangkan filsafat mencakup yang empiris dan yang non-empiris. Objek ilmu terkait dengan filsafat pada objek empiris. Di samping itu, secara historis ilmu berasal dari kajian filsafat karena awalnya filsafatlah yang melakukan pembahasan tentang segala yang ada ini secara sistematis, rasional, dan logis, termasuk hal yang empiris.
Gambar 2
DESKRIPSI OBYEK FORMAL FILSAFAT  


 
                           


 









Setelah berjalan beberapa lama kajian yang terkait dengan hal yang empiris semakin bercabang dan berkembang, sehingga menimbulkan spesialisasi dan menampakkan kegunaan yang praktis. Inilah proses terbentuknya ilmu secara berkesinambungan. Will Durant mengibaratkan filsafat bagaikan pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri. Pasukan infanteri ini adalah sebagai pengetahuan yang di antaranya adalah ilmu. Filsafatlah yang menyediakan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan. Setelah itu, ilmu berkembang sesuai dengan spesialisasi masing-masing, sehingga ilmulah secara praktis membelah gunung dan merambah hutan. Setelah itu, filsafat kembali ke laut lepas untuk berspekulasi dan melakukan eksplorasi lebih jauh.[2]
Karena itu, filsafat oleh para filosof disebut sebagai induk ilmu. Sebab, dari filsafatlah, ilmu-ilmu modern dan kontemporer berkembang, sehingga manusia dapat menikmati ilmu dan sekaligus buahnya, yaitu teknologi. Awalnya, filsafat terbagi pada teoretis dan praktis. Filsafat teoretis mencakup metafisika, fisika, matematika, dan logika, sedangkan filsafat praktis adalah ekonomi, politik, hukum, dan etika. Setiap bidang ilmu ini kemudian berkembang dan menspesia-lisasi, seperti fisika berkembang menjadi biologi, biologi berkembang menjadi anatomi, kedokteran, dan kedokteran pun terspesialisasi menjadi beberapa bagian. Perkembangan ini dapat diibaratkan sebuah pohon dengan cabang dan ranting yang semakin lama semakin rindang.
Bahkan dalam perkembangan berikutnya, filsafat tidak hanya dipandang sebagai induk dan sumber ilmu, tetapi sudah merupakan bagian dari ilmu itu sendiri, yang juga mengalami spesialisasi. Dalam taraf peralihan ini filsafat tidak mencakup keseluruhan, tetapi sudah menjadi sektoral. Contohnya, filsafat agama, filsafat hukum, dan filsafat ilmu adalah bagian dari perkembangan filsafat yang sudah menjadi sektoral dan terkotak dalam satu bidang tertentu.[3]
Filsafat ilmu yang sedang dibahas ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dari tuntutan tersebut karena filsafat tidak dapat hanya berada pada laut lepas, tetapi diharuskan juga dapat membimbing ilmu. Di sisi lain, perkembangan ilmu yang sangat cepat tidak saja membuat ilmu semakin jauh dari induknya, tetapi juga mendorong munculnya arogansi dan bahkan komparte-mentalisasi yang tidak sehat antara satu bidang ilmu dengan yang lain. Tugas filsafat di antaranya adalah menyatukan visi keilmuan itu sendiri agar tidak terjadi bentrokan antara berbagai kepentingan. Dalam konteks inilah kemudian ilmu sebagai kajian filsafat sangat relevan untuk dikaji dan didalami.[4]
Pada akhirnya Amsal Bakhtiar berargumentasi, bahwa ilmu sebagai objek kajian filsafat sepatutnya mengikuti alur filsafat, yaitu objek material yang didekati lewat pendekatan radikal, menyeluruh, dan rasional. Begitu juga sifat pendekatan spekulatif dalam filsafat sepatutnya merupakan bagian dari ilmu karenanya ilmu dilihat pada posisi yang tidak mutlak, sehingga masih ada ruang untuk berspekulasi demi pengembangan ilmu itu sendiri.

B.   FILSAFAT ILMU
1.   Pengertian Filsafat
Filsafat dalam bahasa Inggris, yaitu: philosophy, istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani: philosophia.  Philos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada) dan sophos (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi). Jadi, secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran/hikmah (love of wisdom). Orangnya disebut filosof, dalam bahasa Arab disebut failasuf.[5]


Gambar 3
DESKRIPSI FILSAFAT MENURUT BAHASA
















 













Gambar 5
DESKRIPSI SEBUTAN AHLI FILSAFAT








 











Harun Nasution mengatakan bahwa kata filsafat berasal dari bahasa Arab falsafa dengan wazan (timbangan) fa’lala, fa’lalah dan fi’lal. Dengan demikian, menurut Harun Nasution, kata benda dari falsafa seharusnya falsafah dan filsaf. Menurutnya, dalam bahasa Indonesia banyak terpakai kata filsafat, padahal bukan berasal dari kata Arab falsafah dan bukan dari kata Inggris philosophy. Harun Nasution memperta-nyakan apakah kata fil berasal dari bahasa Inggris dan safah diambil dari kata Arab, sehingga terjadilah gabungan keduanya, yang kemudian menimbulkan kata filsafat?[6]
Menurut Harun Nasution istilah filsafat berasal dari bahasa Arab karena orang Arab lebih dulu datang dan sekaligus mempengaruhi bahasa Indonesia daripada orang dan bahasa Inggris. Oleh karena itu, dia konsisten menggunakan kata falsafat, bukan filsafat. Buku-bukunya mengenai “filsafat” ditulis dengan falsafat, seperti Falsafat Agama dan Falsafat dan Mistisisme dalam Islam.[7]
Kendati istilah filsafat yang lebih tepat adalah falsafat yang berasal dari bahasa Arab, kata filsafat sebenarnya bisa diterima dalam bahasa Indonesia. Sebab, sebagian kata Arab yang diindonesiakan mengalami perubahan dalam huruf vokalnya, seperti masjid menjadi mesjid dan karamah menjadi keramat. Karena itu, perubahan huruf a menjadi i dalam kata falsafah bisa ditolelir. Lagi pula, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata filsafat menunjukkan pengertian yang dimaksud, yaitu pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya.[8]
       Dalam arti tradisional, filsafat merupakan istilah teknis dari kegitan berpikir secara rasional. Ia adalah induk dari seluruh induk ilmu-ilmu rasional. Sehingga seorang filosof adalah seseorang yang menguasai secara penuh semua sains rasional, seperti teologi, matematika, ilmu-ilmu kealaman, politik, etika, dan ekonomi domestik.[9]
Beberapa pengertian ushuli (pokok) tentang filsafat menurut kalangan filosof  adalah:
1.                Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas.
2.                Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir dan dasar serta nyata.
3.        Upaya untuk menentukan batas-batas dan wilayah ataupun jangkauan pengetahuan meliputi sumbernya, hakikatnya, keabsahannya, dan nilainya.
4.       Penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan.
5.                  Disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu anda melihat apa yang anda katakan dan untuk mengatakan apa yang anda lihat.[10]
 Pengertian filsafat secara terminologi sangat beragam, baik dalam ungkapan maupun titik tekanannya. Bahkan, Moh. Hatta dan Langeveld mengatakan bahwa definisi filsafat tidak perlu diberikan karena setiap orang memiliki titik tekan sendiri dalam definisinya. Oleh karena itu, biarkan saja seseorang meneliti filsafat terlebih dahulu kemudian menyimpulkan sendiri.[11]
Mengeraborasi pendapat Moh. Hatta dan Langeveld tersebut ada benarnya, sebab intisari berfilsafat itu terdapat dalam pembahasan bukan pada definisi. Namun demikian, definisi filsafat untuk dijadikan patokan awal diperlukan untuk memberi arah dan cakupan objek yang dibahas, terutama yang terkait dengan filsafat ilmu. Karena itu, berikut dikemukakan beberapa definisi para filosof terkemuka yang cukup reprensentatif, baik dari segi zaman maupun kualitas pemikiran.
Pythagoras (572-497 SM) adalah filosof yang pertama kali menggunakan kata filsafat, dia mengemukakan bahwa manusia dapat dibagi ke dalam tiga tipe: mereka yang mencintai kesenangan, mereka yang mencintai kegiatan, dan mereka yang mencintai kebijaksanaan, tujuan kebijaksanaan dalam pandangannya menyangkut kemajuan menuju keselamatan dalam hal keagamaan.[12] Shopia mengandung arti yang lebih luas daripada kebijaksanaan, yaitu: (1) Kerajinan, (2) Kebenaran pertama, (3) Pengetahuan yang luas, (4). Kebajikan intelektual, (5) Pertimbangan yang sehat, (6). Kecerdikan dalam memutuskan hal-hal praktis. Dengan demikian asal mula kata filsafat itu sangat umum, yang intinya adalah mencari keutamaan mental (the pursuit of mental excellence).[13]
Plato (427-347 SM) mengatakan bahwa objek filsafat adalah penemuan kenyataan atau kebenaran absolut (keduanya sama dalam pandangannya), lewat "dialektika".[14]
Aristoteles (384-332 SM), tokoh utama filosof klasik, mengatakan bahwa filsafat menyelidiki sebab dan asas segala terdalam dari wujud. Karena itu, ia menamakan filsafat dengan "teologi" atau "filsafat pertama". Aristoteles sampai pada kesimpulan bahwa setiap gerak di alam ini digerakkan oleh yang lain. Karena itu, perlu menetapkan satu penggerak pertama yang menyebabkan gerak itu, sedangkan dirinya sendiri tidak bergerak. Penggerak pertama ini sama sekali terlepas dari materi; sebab kalau ia materi, maka ia juga mempunyai potensi gerak. Allah, demikian Aristoteles, sebagai penggerak Pertama adalah Aktus Murni. Aristoteles adalah salah seorang filosof Yunani kuno yang mengatakan bahwa filsafat memperhatikan seluruh pengetahuan, dan kadang-kadang disamakan dengan pengetahuan tentang wujud (ontologi).
Al-Farabi (W.950M), seorang filosof Muslim terbesar sebelum Ibnu Sina berkata, "Filsafat ialah ilmu tentang alam yang maujud dan bertujuan menyelidiki hakikatnya yang sebenarnya".[15]
Ibnu Rusyd (1126-1198 M), berpendapat bahwa filsafat atau hikmah merupakan pengetahuan "otonom" yang perlu dikaji oleh manusia karena dia dikaruniai akal. Al-Qur’an mewajibkan manusia berfilsafat untuk menambah dan memperkuat keimanan kepada Tuhan.[16]
Immanuel Kant (1724-1804 M), mengatakan bahwa: filsafat itu ilmu dasar segala pengetahuan, yang mencakup di dalamnya empat persoalan, yaitu:
1.        Apakah yang dapat kita ketahui? (Dijawab oleh metafisika).
2.        Apakah yang boleh kita kerjakan? (Dijawab oleh etika/norma).
3.        Sampai di manakah pengharapan kita? (Dijawab oleh agama).
4.        Apakah yang dinamakan manusia? (Dijawab oleh antropolog).[17]
Sutan Takdir Alisjahbana berpendapat bahwa filsafat adalah berpikir dengan insaf., yang dimaksud dengan insaf adalah berpikir dengan teliti, menurut aturan yang pasti.[18] Sementara itu, Deng Fung Yu Lan, seorang filosof dari dunia Timur, mendefinisikan filsafat adalah pikiran yang sistematis dan refleksi tentang hidup.[19]
Filsafat juga didefinisikan oleh Hamersama sebagai pengetahuan metodis, sistematis, dan koheren (bertalian) tentang seluruh kenyataan[20] Sedangkan Harun Nasution mengatakan bahwa filsafat adalah berpikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma, dan agama) dan dengan sedalam-dalamnya, sehingga sampai ke dasar-dasar persoalan.[21]
Pandangan Sidi Gazalba filsafat adalah berpikir secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti atau hakikat mengenai segala sesuatu yang ada.[22]
Pendapat Sidi Gazalba tersebut memperlihatkan adanya tiga ciri pokok dalam filsafat, yaitu:16
1.        Adanya unsur berpikir yang dalam hal ini menggu-nakan akal.
2.               Adanya unsur tujuan yang ingin dicapai melalui berpikir tersebut.
3.       Adanya unsur ciri yang terdapat dalam pikiran tersebut, yaitu berpikir mendalam.
Uraian di atas menunjukkan dengan jelas ciri dan karakteristik berpikir secara filosofis. Intinya adalah upaya secara sungguh-sungguh dengan menggunakan akal pikiran sebagai alat utamanya untuk menemukan hakikat segala sesuatu yang berhubungan dengan ilmu.

Gambar 6
DESKRIPSI KARAKTERISTIK FILSAFAT
 








Dengan demikian, berpikir menyeluruh, sistematis, koheren, dan logis adalah pengertian umum yang dapat disimpulkan dari berbagai definisi tentang filsafat. Pengertian ini mengandung arti metode berpikir yang digunakan untuk mengetahui sesuatu secara menyeluruh, sistematis, koheren, dan logis yang hasilnya adalah pengetahuan. Pada konteks ini dapat dilihat bahwa filsafat adalah instrument dan/atau alat pengetahuan.

2.       Pengertian Hikmah
Telah disebut terdahulu bahwa salah satu makna filsafat adalah mengutamakan dan mencintai hikmah. Fuad Iframi al-Bustant mengartikan hikmah dalam kitab monumentalnya Munjid al-Thullab, secara etimologi yaitu al-‘adl (memposisikan sesuatu pada porosnya), al-hilm (akal baligh/pemikiran yang sempurna), al-falsafah (filsafat), dan secara terminologi yaitu: “Ungkapan atau pemikiran yang sesuai dengan kebenaran suatu pendapat yang valid”.[23]
Ibnu Mundzir, penulis kamus standar dalam bahasa Arab, Lisan al-‘Arabi, menjelaskan bahwa istilah hikmah berarti terhindar dari kerusakan dan kezaliman, karena hikmah adalah ilmu yang sempurna dan manfaat.[24]
Berbeda dengan al-Jurja>ni dalam mendefinisikan kata hikmah ialah: "Ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang ada menurut kadar kemampuan manusia."
Ibn Sina mengartikan kata hikmah dalam al-Thabl’iyyat adalah: "Hikmah ialah mencari kesempurnaan diri manusia dengan menggambarkan segala urusan dan membenarkan segala hakikat baik yang bersifat teori maupun praktik menurut kadar kemampuan manusia."[25]
       Rumusan tersebut mengisyaratkan bahwa hikmah sebagai paradigma keilmuan yang mempunyai tiga unsur utama, yaitu: 1) Masalah, 2) Fakta dan data, 3) Analisis ilmuwan dengan teori.[26] Al-Syaybani mengatakan bahwa fiisafat bukanlah hikmah itu sendiri, melainkan cinta terhadap hikmah dan berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan mencari sikap positif terhadapnya. Selanjutnya ia menambahkan bahwa filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat serta berusaha menginterpretasikan pengalaman-pengalaman manusia.[27]
3.       Karakteristik Berpikir Filsafati
Menurut Louis O. Kattsoff, seorang filsuf tidak hanya membicarakan dunia yang ada di sekitarnya dan dunia yang ada dalam dirinya, melainkan juga membicarakan perbuatan berfikir itu sendiri[28]. Ia tidak hanya ingin mengetahui hakikat kenyataan dan ukuran-ukuran untuk melakukan verifikasi terhadap pernyataan-pernyataan mengenai segala sesuatu, melainkan ia berusaha menemukan kaidah-kaidah berpikir itu sendiri. Kapankah suatu pemikiran itu membawa kita kepada kesimpulan yang sah, dan bagaimana metodenya, serta mengapa membawa kita kepada kesimpulan yang sah?
Pernyataan Louis tersebut alurnya senada dengan pandangan Jujun Suryasumantri, beliau memilah karakteristik berfikir filsafati dalam tiga ciri, yaitu 1) berpikir menyeluruh 2) berfikir mendasar dan 3) berfikir spekulatif.[29] 
1. Berpikir menyeluruh.
 Karakteristik berfilsafat dapat diumpamakan seperti seorang yang berpijak di bumi sedang tengadah ke bintang-bintang. Dia ingin mengetahui hakikat dirinya dalam kesemestaan galaksi. Atau seorang, yang berdiri di puncak tinggi, memandang ke ngarai dan lembah di bawahnya. Dia ingin menyimak kehadirannya dengan kesemestaan yang ditatapnya. Karakteristik berpikir filsafat yang pertama adalah berpikir menyeluruh.
2.   Berpikir mendasar.
    Seorang ilmuwan tidak puas mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat hakikat ilmu dalam konstelasi penge­tahuan yang lainnya. Dia ingin tahu kaitan ilmu dengan moral. Kaitan ilmu dengan agama. Dia ingin yakin apakah ilmu itu membawa kebahagiaan kepada dirinya.
    Sering kita melihat seorang ilmuwan yang picik. Ahli fisika nuklir memandang rendah kepada ahli ilmu sosial. Lulusan IPA merasa lebih tinggi dari lulusan IPS. Atau lebih sedih iagi, seorang ilmuwan memandang rendah terhadap pengetahuan lain. Mereka meremehkan moral, agama dan nilai estetika. Mereka, para ahli yang berada di bawah tempurung disiplin keilmuannya masing-masing, sebaiknya tengadah ke bintang-bintang dan tercengang: Lho, kok masih ada langit lain di luar tempurung kita. Dan kita pun kemudian menyadari kebodohan kita sendiri.
    Ketika Sokrates menyatakan dirinya bahwa saya tak tahu apa-apa! Kerendahhatian Sokrates ini bukanlah verbalisme yang sekadar basa-basi, namun itulah bahagian wujud berpikir filsafati. Seorang yang berpikir filsafati selain tengadah ke bintang-bintang, juga membongkar tempat berpijak secara fundamental. Inilah karakteristik berpikir filsafati, yakni berpikir mendasar.
3.  Berpikir spekulatif.
      Dia tidak lagi percaya begitu saja bahwa ilmu itu benar. Mengapa ilmu dapat disebut benar? Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria tersebut dilakukan? Apakah kriteria itu sendiri benar? Selanjutnya  benar sendiri itu apa? Seperti sebuah lingkaran maka pertanyaan itu melingkar, dan menyusur sebuah lingkaran, kita harus mulai dari satu titik, yang awal dan sekaligus yang akhir. Kemudian  bagaimana menentukan titik awal yang benar? Maka berpikir filsafati seperti itu adalah spekulatif.

Gambar 7
DESKRIPSI KARAKTERISTIK BERPIKIR FILSAFATI


 
















4.   Pengrtian Ilmu
Ilmu berasal dari bahasa Arab: ‘alima, ya’lamu, 'ilman, dengan wazan (timbangan) fa’ila, yaf’alu, yang berarti: mengerti, memahami benar-benar. seperti ungkapan:.."Asmu’i telah memahami pelajaran filsafat".[30] Dalam bahasa Inggris disebut science; dari bahasa Latin scientia (pengetahuan) scire (mengetahui). Sinonim yang paling dekat dengan bahasa Yunani adalah episteme.[31] Jadi pengertian ilmu yang terdapat dalam kamus bahasa Indonesia adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu.[32] Mulyadhi Kartanegara mengatakan bahwa ilmu adalah any organized knowledge. Ilmu dan sains menurutnya tidak berbeda, terutama sebelum abad ke-19, tetapi setelah itu sains lebih terbatas pada bidang-bidang fisik atau inderawi, sedangkan ilmu melampauinya pada bidang-bidang nonfisik, seperti metafisika. [33]
Adapun beberapa ciri-ciri utama ilmu menurut terminologi, antara lain:
1.       Ilmu adalah sebagian  pengetahuan bersifat koheren, empiris, sistematis, dapat diukur, dan dibuktikan. Berbeda dengan iman, yaitu pengetahuan didasarkan atas keyakinan kepada yang gaib dan penghayatan serta pengalaman pribadi.
2.       Berbeda dengan pengetahuan, ilmu tidak pernah mengartikan kepingan pengetahuan satu putusan tersendiri, sebaliknya ilmu menandakan seluruh kesatuan ide yang mengacu ke objek (atau alam objek) yang sama dan saling berkaitan secara logis. Karena itu, koherensi sistematik adalah hakikat ilmu. Prinsip-prinsip objek dan hubungan-hubungannya yang tercermin dalam kaitan-kaitan logis yang dapat dilihat dengan jelas. Bahwa prinsip-prinsip metafisis objek menyingkapkan dirinya sendiri kepada kita dalam prosedur ilmu secara lamban, didasarkan pada sifat khusus intelek kita yang tidak dapat dicirikan oleh visi ruhahi terhadap realitas tetapi oleh berpikir.
3.       Ilmu tidak memerlukan kepastian lengkap berkenaan dengan masing-masing penalaran perorangan, sebab ilmu dapat memuat di dalamnya dirinya sendiri hipotesis-hipotesis dan teori-teori yang belum sepenuhnya dimantapkan.
4.       Di pihak lain, yang seringkali berkaitan dengan konsep ilmu (pengetahuan ilmiah) adalah ide bahwa metode-metode yang berhasil dan hasil-hasil yang terbukti pada dasarnya harus terbuka kepada semua pencari ilmu. Kendati demikian, rupanya baik untuk tidak memasukkan persyaratan ini dalam definisi ilmu, karena objektivitas ilmu dan kesamaan hakiki daya persyaratan ini pada umumnya terjamin.
5.       Ciri hakiki lainnya dari ilmu ialah metodologi, sebab kaitan logis yang dicari ilmu tidak dicapai dengan penggabungan tidak teratur dan tidak terarah dari banyak pengamatan dan ide yang terpisah-pisah. Sebaliknya, ilmu menuntut pengamatan dan berpikir metodis, tertata rapi. Alat bantu metodologis yang penting adalah terminologi ilmiah. Yang disebut belakangan ini mencoba konsep-konsep ilmu.
6.       Kesatuan setiap ilmu bersumber di dalam kesatuan objeknya. Teori skolastik mengenai ilmu membuat pembedaan antara objek material dan objek formal. Yang terdahulu adalah objek konkret yang disimak ilmu. Sedangkan yang belakangan adalah aspek khusus atau sudut pandang terhadap objek material. Yang mencirikan setiap ilmu adalah objek formalnya. Sementara objek material yang sama dapat dikaji oleh banyak ilmu lain. Pembagian objek studi mengantar ke spesialisasi ilmu yang terus bertambah.
Gerakan ini diiringi bahaya pandangan sempit atas bidang penelitian yang terbatas. Sementara penangkapan yang luas terhadap saling keterkaitan seluruh realitas lenyap dari pandangan.[34]
Adapun beberapa definisi ilmu menurut para ahli, antara lain:
Mohammad Hatta, mendefinisikan ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut bangunannya dari dalam.[35]
Ralph Ross dan Ernest Van Den Haag, mengatakan ilmu adalah yang empiris, rasional, umum dan sistematik, dan keempatnya serentak.[36]
Karl Pearson, mengatakan ilmu adalah lukisan atau keterangan yang komprehensif dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sederhana.[37]
Ashley Montagu, Guru Besar Antropolog di Rutgers Uni­versity menyimpulkan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang disusun dalam satu sistem yang berasal dari pengamatan, studi dan percobaan untuk menentukan hakikat prinsip tentang hal yang sedang dikaji.[38]
Harsojo, Guru besar antropolog di Universitas Pajajaran, menerangkan bahwa ilmu adalah:
1.                  Merupakan akumulasi pengetahuan yang disiste-masikan.
2.        Suatu pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris, yaitu dunia yang terikat oleh faktor ruang dan waktu, dunia yang pada prinsipnya dapat diamati oleh pancaindera manusia.
3.        Suatu cara menganalisis yang mengizinkan kepada ahli-ahlinya untuk menyatakan sesuatu proposisi dalam bentuk: "Jika..., maka...".[39]
Afanasyef, seorang pemikir marxist bangsa Rusia mendefinisikan ilmu adalah pengetahuan manusia tentang alam, masyarakat, dan pikiran. la mencerminkan alam dan konsep-konsep, kategori dan hukum-hukum, yang ketetapannya serta kebenarannya diuji dengan pengalaman praktis.[40]
Telaah terhadap keterangan para ahli tentang ilmu di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa ilmu adalah sebagian pengetahuan yang mempunyai ciri, tanda, syarat tertentu, yaitu sistematik, rasional, empiris, universal, objektif, dapat diukur, terbuka, dan kumulatif (bersusun timbun).
Mulyadhi Kartanegara berpendapat bahwa objek ilmu tidak mesti selalu empiris karena realitas itu tidak hanya yang empiris bahkan yang tidak empiris lebih luas dan dalam dibandingkan dengan yang empiris. Karena itu, dia memasukkan teologi adalah ilmu, yang sama dengan ilmu-ilmu lainnya.[41]
Adapun perbedaan antara ilmu dan pengetahuan ilmu adalah bagian dari pengetahuan yang terklasifikasi, tersistem dan terukur serta dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris. Pengetahuan adalah keseluruhan pengetahuan yang belum tersusun, baik mengenai metafisik maupun fisik.
Dapat juga dikatakan pengetahuan adalah informasi yang berupa common sense, sedangkan ilmu sudah merupakan bagian yang lebih tinggi dari itu karena memiliki metode dan mekanisme tertentu. Ilmu bagaikan sapu lidi, yakni sebagian lidi yang sudah diraut dan dipotong ujung dan pangkalnya kemudian diikat, sehingga menjadi sapu lidi, sedangkan pengetahuan adalah lidi-lidi yang masih berserakan di pohon kelapa, di pasar, dan di tempat lain yang belum tersusun dengan baik.[42]
Setelah dipahami pengertian filsafat, ilmu, dan pengetahuan, maka dapat disimpulkan bahwa filsafat ilmu merupakan kajian secara mendalam tentang dasar-dasar ilmu, sehingga filsafat ilmu perlu menjawab beberapa persoalan berikut:
1.    Pertanyaan landasan ontologis:
Objek apa yang ditelaah?
Bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut? Bagaimana korelasi antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindera) yang menghasilkan ilmu?
Bertolak dari landasan onto­logis ini adalah dasar untuk mengklasifikasi pengetahuan dan sekaligus bidang-bidang ilmu.
2.    Pertanyaan landasan epistemologis:
Bagaimana proses pengetahuan yang masih berserakan dan tidak teratur itu menjadi ilmu?
Bagaimana prosedur dan mekanismenya?
Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar?
Apa yang disebut kebenaran itu sendiri, dan Apakah kriterianya?
Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?
3.    Pertanyaan landasan aksiologis:
Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu diper-gunakan?
Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?
Bagaimana penentuan objek dan metode yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?
Bagaimana korelasi antara teknik prosedural ang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma- norma moral?[43]
3.   Persamaan dan Perbedaan Filsafat dengan Ilmu
       a.    Persamaan Filsafat dengan Ilmu, yaitu:
1)             Keduanya mencari rumusan yang sebaik-baiknya menyelidiki objek selengkap-lengkapnya sampai ke akar-akarnya.
2)             Keduanya memberikan pengertian mengenai hubungan atau koheren yang ada antara kejadian-kejadian yang kita alami dan mencoba menunjuk- kan sebab-sebabnya.
3)             Keduanya hendak memberikan sintesis, yaitu suatu pandangan yang bergandengan.
4)      Keduanya mempunyai metode dan sistem.
5)      Keduanya hendak memberikan penjelasan tentang kenyataan seluruhnya timbul dari hasrat manusia (objektivitas), akan pengetahuan yang lebih mendasar.[44]
      b.  Perbedaan filsafat dengan ilmu, yaitu:
1)      Objek material (lapangan) filsafat itu bersifat universal umum), yaitu segala sesuatu yang ada (realita) sedangkan objek material ilmu (pengetahuan ilmiah) itu bersifat khusus dan empiris. Artinya, ilmu hanya terfokus pada disiplin bidang masing-masing secara kaku dan terkotak-kotak, sedangkan kajian filsafat tidak terkotak-kotak dalam disiplin tertentu.
2)      Objek formal (sudut pandangan) filsafat itu bersifat non-fragmentaris, karena mencari pengertian dari segala sesuatu yang ada itu secara luas, mendalam dan mendasar. Sedangkan ilmu bersifat fragmentaris, spesifik, dan intensif.
Di samping itu, objek formal ilmu itu bersifat teknik, yang berarti bahwa cara ide-ide manusia itu mengadakan penyatuan diri dengan realita.
3)      Filsafat dilaksanakan dalam suatu suasana pengetahuan yang menonjolkan daya spekulasi, kritis, dan pengawasan, sedangkan ilmu haruslah diadakan riset lewat pendekatan trial and error. Oleh karena itu, nilai ilmu terletak pada kegunaan pragmatis, sedang kegunaan filsafat timbul dari nilainya.
4)      Filsafat memuat pertanyaan lebih jauh dan lebih mendalam berdasarkan pada pengalaman realitas sehari-hari, sedangkan ilmu bersifat diskursif, yaitu menguraikan secara logis, yang dimulai dari tidak tahu menjadi tahu.
5)      Filsafat memberikan penjelasan yang terakhir, yang mutlak, dan mendalam sampai primary  cause) sedangkan ilmu menunjukkan sebab-sebab yang tidak begitu mendalam, yang lebih dekat, yang sekunder(secondary cause).
C.  TUJUAN KAJIAN FILSAFAT ILMU
1.   Tujuan Umum
a.         Mendalami unsur-unsur pokok ilmu, sehingga secara menyeluruh kita dapat memahami sumber, hakikat dan tujuan ilmu.
b.        Memahami sejarah pertumbuhan, perkembangan, dan kemajuan ilmu di berbagai bidang, sehingga kita mendapat gambaran tentang proses ilmu kontem-porer secara historis.
c.         Menjadi pedoman bagi para dosen dan mahasiswa dalam mendalami studi di perguruan tinggi, terutama untuk membedakan persoalan yang ilmiah dan nonilmiah.
d.        Mendorong pada calon ilmuan dan ilmuan untuk konsisten dalam mendalami ilmu dan mengembang-kannya.
e.         Mempertegas bahwa dalam persoalan sumber dan tujuan antara ilmu dan agama tidak ada perten-tangan.[45]

2.    Tujuan Khusus
a.         Memahami secara mendalam karakteristik berfikir filsafati Islami, agar calon ilmuan dan ilmuan memiliki potensi dasar berfikir Islami dan dapat mewujudkan karakter Islami.
b.        Memahami secara holistik perbedaan mendasar karaktersik berfikir Islami dan karakteristik berfikir non Islami, dalam konteks ini penulis membedakan berpikir Islami dan berpikir sekuler.
c.         Memahami secara holistik pandangan ontologis, epistemologis dan aksiologis dalam dimensi pandangan pemikiran sekuler dan pemikiran Islami.


[1]Jujun S. Suriasumantri, Filsafaf Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta, Sinar Harapan, 1984), h. 23. Lihat pula Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Cet. IX, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010), h. 1.
[2]Jujun S. Suriasumantri, Filsafaf Ilmu, Ibid.,  h. 24.
[3]Lihat Amsal Bakhtiar,  op. cit., h. 3. 
[4]lLihat Amsal Bakhtiar, op. cip., h. 3.
[5]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), h. 4.
6Harun Nasution, Falsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), Cet. Ill, h. 9.
[6]Amsal Bakhtiar , Filsafat, h. 7
8Ibid.
[9]Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia  (Jakarta: Balai Pustaka, Cet. III; 1990), h. 242.
9Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996),  h. 242.
          [11]Bakhtiar, Filsafat, h. 7.
[12]Ali Mudhafar, Filsafat llmu, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1996), Cet. I, h. 2.
[13]Ibid.
[14]Dialektika ialah metode mencapai definisi bagi sebuah konsep dengan cara menguji ciri-ciri umum yang ditemukan dalam sejumlah contoh khusus dari konsep itu. Dialektika adalah metode metafisika dan mendatangkan atau menghasilkan pengetahuan tertinggi. Lihat, Lorens Bagus, Kamus Filsafat, h. 162-164.
[15]Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), Cet. VII, h. 83.
[16]Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1988), Cet. II, h. 56.
[17]Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), Cet. XV, h. 2.
[18]Bakhtiar, Filsafat Ilmu, h. 8.
[19]lbid., h. 9.
         [20]Ibid.
[21]Ibid.
[22]Sidi Gazalba, Asas Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 316.

20Fuad Iframi al-Bustani, Munjid al-Thullab, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1996), Cet. VI. h. 134.
[24]Juhaya S. Praja, Tafsir Hikmah, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), Cet. I, h. 35.
[25]Ibrahim Madkur, Al-Mu'jam al-Falsafi, (Kairo: Dar al-Kutub, 1982), h. 72. Untuk lebih jelasnya lihat juga, Abd al-Mun'im al-Hafni, Mu'jam al-Falsafi: ‘Arabi, Injelizi, Faransi, al-Ma>ni>, La>ti>ni>, (Beirut: Dar Ibn Zaidun, 1996), Cet. I, h. 94.
[26]Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibani, Falsafah al-Mariah al-Islamiyah, diterjemahkan  oleh: Hasan Langgulung dan A.S. Broto, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 25-26.
[27]Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, h. l.
[28]Louis Kattsoff, Pengantar Filsafat, Alih Bahasa, Soejono Sumargono, Cet. Ke-9, Tiara Wacana Yogya, 2004, h. 7.
[29]Jujun Suryasumantri, op,cit., h 20
[30]Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawir; Kamus Arab - Indonesia, (Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta, 1984), him. 1036.
[31]Jujun S.Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998), Cet. I, him. 324.
[32]Wihadi Admojo, et.al, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), Cet. I, him. 324.
[33] Mulyadhi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam, (Bandung: Mizan, 2003), h. 1.
[34]Lorens Bagus, Kamus, h. 307-308.
[35]Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, h. 47.
[36]Ibid.
[37]Ibid.
[38]Ibid., h. 48.
[39] Ibid., h. 48-49.
[40] Ibid.
[41] Kartanegara, Menyibak, him. 43.
[42]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, op. cit., h. 17
[43]Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, h. 33
[44]Burhanuddin Salam, op. cit., h. 41
[45]Amsal Bakhtiar, op. cit., h. 20.

0 komentar:

Posting Komentar