Pages

Minggu, 07 Desember 2014

Paradigma Sumber Pengetahuan





Paradigma Sumber Pengetahuan (Pandangan Umum)
 
Semua orang mengakui memiliki pengetahuan. Persoalannya dari mana pengetahuan itu diperoleh atau lewat apa pengetahuan itu didapat. Dari situ timbul pertanyaan bagaimana caranya kita memperoleh pengetahuan atau dari mana sumber pengetahuan kita? Pengetahuan yang ada pada kita diperoleh dengan menggunakan berbagai instrument atau alat yang merupakan sumber pengetahuan tersebut. Dalam hal ini ada beberapa pendapat tentang sumber pengetahuan antara lain:
a.    Empirisme
Kata ini berasal dari kata Yunani empeirikos, artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. Dan bila dikembalikan kepada bahasa Yunani, pengalaman yang dimaksud ialah pengalaman inderawi.[1]
Dengan indranya, manusia dapat mengatasi taraf hubungan yang semata-mata fisik dan masuk ke dalam medan intensional, manusia dengan hal-hal konkret-material.
Pengetahuan inderawi bersifat parsial. Itu disebabkan oleh adanya perbedaan antara indera yang satu dengan yang lainnya, berhubungan dengan sifat khas fisiologis indera dan dengan obyek yang dapat ditangkap sesuai dengannya. Masing-masing indera menangkap aspek yang berbeda mengenai barang atau mahluk yang menjadi obyeknya. Jadi pengetahuan inderawi berada menurut perbedaan indera dan terbatas pada sensibilitas organ-organ tertentu.[2]
Hal ini dapat dilihat bila kita memperhatikan pertanyaan seperti: Bagaimana orang mengetahui e situ dingin? Seorang empiris akan mengatakan, karena saya merasakan hal itu, atau karena seorang ilmuan telah merasakan seperti itu. Dalam pertanyaan tersebut ada tiga unsure yang perlu, yang mengetahui (subyek), yang diketahui (obyek), dan cara dia mengetahui bahwa es itu dingin. Bagaimana dia mengetahui e situ dingin? Dengan menyentuh langsung lewat alat peraba. Dengan kata lain, seorang empiris akan mengatakan bahwa pengetahuan itu diperoleh lewat pengalaman-pengalaman inderawi yang sesuai.[3]
John Locke (1632-1704), bapak empiris Britania mengemukakan teori tabula rasa (sejenis buku catatan kosong). Maksud ialah bahwa manusia itu pada mulanya kososng dari pengetahuan, lantas pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu, lantas dia memiliki pengetahuan. Mula-mula tangkapan indera yang masuk itu sederhana, lama-kelamaan menjadi kompleks, lalu tersusunlah pengetahuan berarti. Jadi, bagaimanapun  kompleks pengetahuan manusia, ia selalu dapat dicari ujungnya pada pengalaman indera. Sesuatu yang tidak dapat diamati dengan indera bukanlah pengetahuan yang benar. Jadi pengalaman indera itulah sumber pengetahuan yang benar.[4]
David Hume, salah satu tokoh empirisme mengatakan manusia tidak membawa pengetahuan bawaan dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberi dua hal, yaitu kesan-kesan (impressions) dan kesan-kesan adalah pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman, merasakan tangan terbakar. Yang dimaksud dengan ide gambaran tentang pengamatan yang sama-samar yang dihasilkan dengan merenungkan kembali atau terefleksikan dalam kesan-kesan yang diterima dari pengalaman.[5]
David Hume juga lebih menegaskan pengalaman lebih memberi keyakinan dibandingkan kesimpulan logika atau kemestian sebab akibat. Sebab akibat hanya hubungan yang saling berurutan saja dan secara konstan terjadi, seperti membuat air mendidih, padahal dalam api tidak dapat diamati adanya “daya aktif” yang mendidihkan air. Jadi itu bukalah yang diamati. Bukan hal yang dapat dilihat dengan mata sebagai berada dalam “air” yang direbus.[6] Jadi, gejala-gejala alamiah menurut anggapan kaum empiris adalah bersifat konkret dan dapat dinyatakan lewat pancaindera.
Gejala itu bila ditelaah lebih lanjut mempunyai beberapa karakteristik tertentu umpamanya saja terdapat pola yang teratur mengetnai suatu kejadian tertentu. Seperti langit mendung diikuti dengan turunnya hujan. Di samping itu kita melihat adanya karakteristik lain, yakni adanya kesamaan dan pengulangan, umpamanya saja bermacam-macam logam jika dipanaskan akan memanjang. Hal ini meyakinkan kita untuk melakukan sesuatu generalisasi dari berbagai kasus yang telah terjadi. Dengan menggunakan metode induktif, maka disusun suatu pengetahuan yang berlaku secara umum lewat pengamatan terhadap gejala-gejala fisik yang bersifat individual.[7]
Berdasarkan teori ini, akal hanya mengelola konsep gagasan inderawi. Hal itu dilakukannya dengan menyusun konsep tersebut atau membagi-bagikannya.[8]
Kaum empiris juga menganggap akal sebagai sejenis tempat penampungan yang secara pasif menerima hasil-hasil pengindraan tersebut. Akal berfungsi untuk memastikan hubungan urutan-urutan peristiwa tersebut padahal hubungan yang demikian itu bersifat kemungkinan belaka dan pengetahuan kita tentang hubungan peristiwa tersebut sesungguhnya berasal dari pengalaman. Karena itu, semua ekperimen selajutnya seharusnya berdasarkan pada perkiraan, bukan kepastian bahwa peristiwa yang akan dating kemungkinan cocok dengan yang lewat.
Jadi dalam empirisme, sumber utama untuk memperoleh pengetahuan adalah data empiris yang diperoleh dari pancaindera. Akal tidak berfungsi banyak, kalaupun ada, itu hanya sebatas ide yang kabur.[9]
Kelemahan-kelemahan aliran empirisme, antara lain:[10]
1.  Indera (mata) itu terbatas, benda yang jauh kelihan kecil, apakah ia benar-benar kecil? Ternyata tidak. Keterbatasan indralah menggambarkan seperti itu. Dalam ini terbentuk pengetahuan yang salah.
2.    Indara (lidah) itu menipu, pada orang yang sakit malaria gula rasanya pahit, udara akan terasa dingin. Dalam hal ini akan terbentuk pengetahuan yang salah.
3.  Obyek yang menipu, contohnya fatamorgana dan ilusi. Jadi obyek itu sebenarnya tidak sebagaimana ia ditangkap oleh indera (indra), ia membohongi indera.
4.  Berasal dari indera dan obyek sekaligus. Dalam hal ini, indera (mata) tidak mampu melihat seekor gajah secara keseluruhan, dan gajah itu juga tidak dapat memper-lihatkan badannya secara keseluruhan. Kesimpulannya, empirisme lemah karena keterbatasan indera manusia.
b.   Rasionalisme
Menurut aliran ini, akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia memperoleh pengetahuan melalui kegiatan menangkap obyek. Bagi aliran ini kekeliruan pada aliran empirisme yang disebabkan kelemahan alat indera dapat dikoreksi, seandainya akal digunakan. 
 
Rasionalisme tidak mengingkari kegunaan indera dalam memperoleh pengetahuan. Penga-malan indera diperlukan untuk merangsang akal dan memberikan bahan-bahan yang menyebabkan akal dapat bekerja, tetapi sampainya kepada manusia kepada kebenaran adalah semata-mata akal Laporan indera menurut rasionalisme merupakan bahan yang belum jelas, bahkan ini memungkinkan dipertim-bangkan oleh akal dalam pengalaman berpikir. Akan mengatur bahan tersebut sehingga dapatlah terbentuk pengetahuan yang benar. Jadi fungsi pancaindera hanyalah untuk memperoleh data-data dari alam nyata dan akalnya menghubungkan data-data itu satu dengan yang lain.
Dalam penyusunan ini akal menggunakan konsep-konsep rasional atau ide-ide universal. Konsep tersebut mempunyai wujud dalam alam nyata dan bersifat universal, dan yang dimaksud dengan prinsip-prinsip universal adalah abteaksi dari benda-benda konkret, hukum kausalitas atau gambaran umum tentang kursi. Sebaliknya, bagi empirisme hukum tersebut tidak diakui.[11] 
 
Pada penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak dalam ide dan bukunya dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk keapada kenyataan, kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.[12] Akal, selain bekerja karena ada bahan dari indera, juga akal menghasilkan pengetahuan yang tidak berdasarkan bahan inderawi sama sekali, jadi akal juga dapat menghasilkan pengetahuan tentang obyek yang betul-betul abstrak.  
 
Descartes, seorang pelopor rasionalisme berusaha menemukan kebenaran itu, menurutnya ia tidak ragu bahwa ia ragu. Ia yakin kebenaran-kebenaran semacam itu ada dan kebenaran tersebut dikenal dengan cahaya yang terang dari akal budi sebagai hal-hal yang tidak dapat diragukan. Dengan demikian akal budi dipahamkan sebagai sejenis perantara suatu teknik deduktif yang dengan memakai teknik tersebut dapat ditemukan kebenaran, artinya dengan melakukan penalaran yang akhirnya tersusunlah pengetahuan.[13]
   
Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide-ide yang menurut anggapannya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukanlah ciptaan manusia. Prinsip itu sudah jauh sebelum manusia berusaha memikirkannya. Fungsi pikiran manusia di sini hanya untuk mengenali prinsip-prinsip tersebut kemudian menjadi pengetahuannya. Prinsip itu sendiri adah ada dan bersifat a priori dan dapat diketahui oleh manusia lewat kemampuan berpikir rasionalnya dan dengan mengetahui prinsip itulah maka kita dapat mengerti kejadian-kejadian yang berlaku dalam alam sekitar kita.[14]

Spinoza memberikan penjelasan yang lebih mudah dengan mnyusun sistem rasionalisme atas dasar ilmu ukur. Menurutnya dalil ilmu ukur merupakan dalil kebenaran yang tidak perlu dibuktikan lagi. Artinya, Spinoza yakin jika memehami makna yang terkandung oleh pernyataan, “sebuah garis lurus merupakan jarak terdekat di antara dua buah titik”. Maka seseorang mau tidak mau mengakui kebenaran pernyataan itu. Menurutnya tidak perlu ada bukti-bukti yang lain kecuali makna yang terkandung kata-kata yang digunakan.[15]
Teori rasionalisme juga mempunyai kelemahan, seperti mengenai criteria untuk mengetahui akan kebenaran dari suatu ide yang memenurut seseorang adalah jelas dan dapat dipercaya tetapi menurut orang lain tidak. Jadi masalah utama yang dihadapi kaum rasionalisme adalah evaluasi dari kebenaran premis-premis ini semuanya bersumber pada penalaran induktif, karena premis-premis ini semuanya bersumber pada penalaran rasional yang bersifat abstrak. Terbatas dari pengalaman maka evaluasi semacam ini tidak dapat dilakukan.[16]
 
Dari dua aliran empirisme dan rasionalisme terlahirlah metode ilmiah atau pengetahuan sains. Dalam hal ini pancaindera mengumpulkan data-data, sedangkan akal menyimpulkan berdasarkan pada prinsip-prinsip  universal, yang kemudian disebut universal. Tapi kebenaran yang model ini bukan kebenaran mutlak, tapi kebenaran yang dekat pada hakikat, yaitu menurut kesanggupan tertinggi dari akal dalam mendekati hakikat itu.
 



Namun teori ini pun mengalami kesulitan, karena data-data yang ada di alam tidak semuanya dapat dikumpulkan karena alam tersebut terlalu besar, dan yang dapat disimpulkan hanya sebagian dari data-data yang ada dan itupun yang telah terjadi. Oleh karena itu, pengetahuan yang diperoleh belum sempurna, karena data-data yang dikumpulkan tidak sempurna.[17]

Adanya problem pada empirisme dan rasionalisme yang mengahsilkan metode ilmiah melahirkan aliran positivisme oleh Agust Comte dan Imanuel Kant. Agust Comte berpendapat bahwa indera itu amat penting dalam memperoleh ilmu pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan ekperimen.

Kekeliruan indera dapat dikoreksi lewat ekperimen dan ekperimen itu sendiri memerlukan ukuran-ukuran yang jelas seperti panas diukur dengan derajat panas, jauh diukur dengan meteran, dan lain sebagainya. Kita tidak cukup mengatakan api itu panas atau matahari panas, kita juga tidak cukup mengatakan panas sekali, panas, dan tidak panas. Kita memerlukan ukuran yang teliti. Dari sinilsh kemajuan sains benar-benar dimulai. Kebenaran diperoleh dengan akal dengan didukung bukti-bukti empiris yang terukur.

Dalam hal ini Kant juga menekankan pentingnya meneliti lebih lanjut terhadap apa yang telah dihasilkan oleh indera dengan datanya dan dilanjutkan oleh akal dengan melakukan penelitian yang lebih mendalam. Ia mencotohkan bagaimana kita dapat menyimpulkan kalau kuman tikus menyebabkan demam tipus tanpa penelitian yang mendalam dan ekperimen. Dari penelitian tersebut seseorang dapat mengambil kesimpulan bahwa ada hubungan sebab akibat antara kuman tipus dan demam tipus.Pada dasarnya aliran ini (yang diuraikan oleh  Agust Comte dan Imanuel Kant) bukanlah suatu aliran khas yang berdiri sendiri, tetapi ia hanya menyempurnakan empirisme dan rasionalisme yang bekerja sama dengan memasukkan perlunya ekperimen dan ukuran-ukuran.
c.    Intuisi
Menurut Henry Bergson intuisi adalah hasil dari evolusi pemahaman yang tertinggi. Kemampuan ini mirip dengan insting, tetapi berbeda dengan kesadaran dan kebebasannya. Pengembangan kemampuan intuisi memerlukan suatu usaha.[18] Ia juga mengatakan bahwa intuisi adalah suatu pengetahuan yang langsung, yang mutlak dan bukan dan bukan pengetahuan yang nisbi.[19]
Menurutnya, intuisi mengatasi sifat lahiriyah pengetahuan simpbolis, yang ada dasarnya bersifat analisis, menyeluruh, mutlak, dan tanpa dibantu oleh penggambaran secara simbolis. Karena itu, in.tuisi adalah sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Analisis atau pengetahuan yang diperoleh lewat pelukisan tidak dapat menggantikan hasil pengenalan intuisi.[20]
Intuisi berasal dari personal dan tidak bisa diramalkan. Sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan secara teratur, intuisi tidak dapat diandalkan.[21]
Pengetahuan intuisi dapat dipergunakan sebagai hipotesa bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar tidaknya pernyataan yang dikemukakan. Kegiatan intuisi dan analisis bisa bekerja saling membantu dalam menemukan kebenaran. Bagi Nietzchen intuisi merupakan “intlegensi yang paling tinggi” dan bagi Maslow intuisi merupakan “pengalaman puncak” (peak experience).[22]
Ada sebuah isme lagi yang barangkali mirip dengan intiusionisme, yaitu iluminasionisme. Aliran ini berkem-bang di kalangan tokoh agama, yang di dalam agama Islam disebut Ma’rifat, yaitu pengetahuan yang datang dari Tuhan melalui pencerahan dan penyinaran.[23] Pengetahuan tersebut akan diperoleh oleh orang yang hatinya telah bersih, telah siap, dan sanggup menerima pengetahuan tersebut.
Pengetahuan menerima pengetahuan secara langsung itu diperoleh dengan cara latihan, yang dalam Islam disebut Riyadhah. Metode ini secara umum dipakai dalam thariqat atau tasawuf. Konon, kemampuan orang-orang itu sampai bisa melihat Tuhan, berbincang dengan Tuhan, melihat surge, neraka, dan alam gaib lainnya. Dari kemampuan ini dapat dipahami bahwa mereka tentu mempunyai pengetahuan tingkat tinggi yang banyak sekali dan meyakinkan pengetahuan itu diperoleh bukan lewat indera dan bukan lewat akal, melainkan lewat hati.[24]
Menurut ajaran tasawuf, manusia itu dipengaruhi (ditutupi) oleh hal-hal material, dipengaruhi oleh nafsunya. Bila nafsu dikendalikan, dan penghalang material (hijab) dapat disingkirkan, kekuatan rasa itu mampu bekerja, mampu menengkap obyek-obyek gaib. Di dalam tasawuf ini digambarkan sebagai dalam keadaan fana, jiwa mampu melihat alam gaib, dari situlah diperoleh pengetahuan.
Adapun perbedaan antara intuisi dalam filsafat Barat dengan ma’rifat dalam Islam adalah kalau intuisi diperoleh lewat perenungan dan pemikiran yang konsisten, sedang-kan dalam Islam ma’rifat diperoleh lewat perenungan dan penyinaran dari Tuhan.[25]
Pengetahuan dengan pencerahan ini dapat dianggap sebagai sumber pengetahuan. Sebab, jika pengetahuan korespondensi melibatkan obyek di luar dirinya, maka pengetahuan dengan pencerahan menyadarkan bahwa pengetahuan yang di luar harus didahului dengan pengeta-huan tentang dirinya sendiri.
d.    Wahyu     
Wahyu adalah pengetahuan yang disampaikan oleh Allah kepada manusia lewat perantaraan para Nabi. Para Nabi memperoleh pengetahuan dari Tuhan tanpa upaya, tanpa bersusah payah, tanpa memerlukan waktu untuk memperolehnya. Pengetahuan mereka terjadi atas kehendak Tuhan semesta. Tuhan mensucikan jiwa mereka dan diterangkan-Nya pula jiwa mereka untuk memperoleh kebenaran dengan jalan wahyu.
Pengetahuan dengan jalan wahyu merupkan kekhu- susan para Nabi. Hal ini yang membedakan mereka dengan manusia-manusia lainnya. Akal meyakinkan bahwa kebenaran pengetahuan mereka berasal dari Tuhan, karena pengetahuan itu memeng ada pada saat manusia biasa tidak mampu nmengusahakannya, karena hal itu memeng di luar kemempuan manusia. Bagi manusia tidak jalan lain kecuali menerima dan membenarkan semua yang berasal dari Nabi.[26]
Wahyu Allah (agama) berisikan pengetahuan, baik mengeanai kehidupan seseorang yang terjangkau oleh pengalaman, maupun yang mencakup masalah transe-dental, seperti latar belakang dan tujuan penciptaan manusia, dunia, dan segenap isinya serta kehidupan di akhirat nanti.[27]
Kepercayaan inilah yang merupakan titik tolak dalam agama lewat pengkajian selanjutnya dapat meningkatkan atau menurunkan kepercayaan itu. Sedangkan ilmu pengetahuan sebaliknya, yaitu dimulai mengkaji dengan riset, pengalaman, dan percobaan untuk sampai kepada kebenaran yang faktual.
Apabila mencermati secara mendalam tentang sumber ilmu sebagaimana telah diuraikan pada Bab ini, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa sumber pengetahuan ada dua pandangan, yaitu: (1) ada yang menyatakan sumber pengetahuan adalah manusia, dan (2) ada yang menyatakan, satu-satunya sumber pengetahuan adalah Tuhan (Allah). Pandangan pertama dikategorikan sebagai berpikir sekuler, sedangkan pandangan kedua dikate-gorikan sebagai berpikir Islami, hal itu didasarkan pada identifikasi karakteristik atau cirri-ciri berpikirnya.


         [1]Ahmad Tafsir, Filsafat, h. 24.
         [2]Anton Bakker, Ahmad Chrris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), cet. IV, h.22.
         [3]Amsal Bakhtiar, Filsafat, h. 42.
         [4] Ahmad Tafsir, op. cit., h. 24.
         [5]Amsal Bakhtiar, op. cit., h. 43
         [6]Ibid.
         [7]Ibid.
[8]Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, (Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1998, cet.II, h. 52.
[9]Amsal Bakhtiar, op. cit., h. 44.
         [10]Ahmad Tafsir, op. cit., h. 24.
         [11]Harun Nasution, Filsafat Agama, h. 15.
         [12]Lois O. Kattsoft, Pengantar Filsafat, (Yokyakarta: Tiara Wicana Yogyakarta, 1996), h. 139.
         [13]Ibid.
         [14]Jujun S. Suriasumantri, op. cit., h. 51.
         [15]Amsal Bakhtiar, op. cit., h. 46.
         [16]Jujun S. Suriasumantri, op. cit., h. 51
         [17]Harun Nasution, op. cit., h. 16.
         [18]Ahmad Tafsir, op. cit., h. 27.
         [19]Lihat Kattsoft, op. cit., 146.
         [20]Ibid.
         [21]Jujun S. Suriasumantri, op. cit., 53.
         [22]Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), cet. III, h. 131.
         [23]Amsal Bakhtiar, op. cit., h. 50.
         [24]Ahmad Tafsir, op. cit., h. 58.
         [25]Burhanuddin Salam, op. cit., h. 132.
         [26]A. Mustafa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), cet. I, h. 106.
         [27]Jujun S. Suriasumantri, op. cit., h. 54.

0 komentar:

Posting Komentar