Paradigma Sumber
Pengetahuan (Pandangan Umum)
Semua orang mengakui memiliki pengetahuan.
Persoalannya dari mana pengetahuan itu diperoleh atau lewat apa pengetahuan itu
didapat. Dari situ timbul pertanyaan bagaimana caranya kita memperoleh
pengetahuan atau dari mana sumber pengetahuan kita? Pengetahuan yang ada pada
kita diperoleh dengan menggunakan berbagai instrument atau alat yang merupakan
sumber pengetahuan tersebut. Dalam hal ini ada beberapa pendapat tentang sumber
pengetahuan antara lain:
a.
Empirisme
Kata ini
berasal dari kata Yunani empeirikos, artinya pengalaman. Menurut aliran ini
manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. Dan bila dikembalikan
kepada bahasa Yunani, pengalaman yang dimaksud ialah pengalaman inderawi.[1]
Dengan
indranya, manusia dapat mengatasi taraf hubungan yang semata-mata fisik dan
masuk ke dalam medan intensional, manusia dengan hal-hal konkret-material.
Pengetahuan
inderawi bersifat parsial. Itu disebabkan oleh adanya perbedaan antara indera
yang satu dengan yang lainnya, berhubungan dengan sifat khas fisiologis indera
dan dengan obyek yang dapat ditangkap sesuai dengannya. Masing-masing indera
menangkap aspek yang berbeda mengenai barang atau mahluk yang menjadi obyeknya.
Jadi pengetahuan inderawi berada menurut perbedaan indera dan terbatas pada
sensibilitas organ-organ tertentu.[2]
Hal ini
dapat dilihat bila kita memperhatikan pertanyaan seperti: Bagaimana orang
mengetahui e situ dingin? Seorang empiris akan mengatakan, karena saya
merasakan hal itu, atau karena seorang ilmuan telah merasakan seperti itu.
Dalam pertanyaan tersebut ada tiga unsure yang perlu, yang mengetahui (subyek),
yang diketahui (obyek), dan cara dia mengetahui bahwa es itu dingin. Bagaimana
dia mengetahui e situ dingin? Dengan menyentuh langsung lewat alat peraba.
Dengan kata lain, seorang empiris akan mengatakan bahwa pengetahuan itu
diperoleh lewat pengalaman-pengalaman inderawi yang sesuai.[3]
John Locke (1632-1704), bapak empiris
Britania mengemukakan teori tabula rasa (sejenis buku catatan kosong). Maksud
ialah bahwa manusia itu pada mulanya kososng dari pengetahuan, lantas
pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu, lantas dia memiliki pengetahuan.
Mula-mula tangkapan indera yang masuk itu sederhana, lama-kelamaan menjadi
kompleks, lalu tersusunlah pengetahuan berarti. Jadi, bagaimanapun kompleks pengetahuan manusia, ia selalu dapat
dicari ujungnya pada pengalaman indera. Sesuatu yang tidak dapat diamati dengan
indera bukanlah pengetahuan yang benar. Jadi pengalaman indera itulah sumber
pengetahuan yang benar.[4]
David Hume, salah satu tokoh
empirisme mengatakan manusia tidak membawa pengetahuan bawaan dalam hidupnya.
Sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberi dua hal, yaitu
kesan-kesan (impressions) dan
kesan-kesan adalah pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman, merasakan
tangan terbakar. Yang dimaksud dengan ide
gambaran tentang pengamatan yang sama-samar yang dihasilkan dengan merenungkan
kembali atau terefleksikan dalam kesan-kesan yang diterima dari pengalaman.[5]
David Hume juga lebih menegaskan
pengalaman lebih memberi keyakinan dibandingkan kesimpulan logika atau
kemestian sebab akibat. Sebab akibat hanya hubungan yang saling berurutan saja
dan secara konstan terjadi, seperti membuat air mendidih, padahal dalam api
tidak dapat diamati adanya “daya aktif” yang mendidihkan air. Jadi itu bukalah
yang diamati. Bukan hal yang dapat dilihat dengan mata sebagai berada dalam
“air” yang direbus.[6]
Jadi, gejala-gejala alamiah menurut anggapan kaum empiris adalah bersifat
konkret dan dapat dinyatakan lewat pancaindera.
Gejala itu
bila ditelaah lebih lanjut mempunyai beberapa karakteristik tertentu umpamanya
saja terdapat pola yang teratur mengetnai suatu kejadian tertentu. Seperti
langit mendung diikuti dengan turunnya hujan. Di samping itu kita melihat
adanya karakteristik lain, yakni adanya kesamaan dan pengulangan, umpamanya
saja bermacam-macam logam jika dipanaskan akan memanjang. Hal ini meyakinkan
kita untuk melakukan sesuatu generalisasi dari berbagai kasus yang telah
terjadi. Dengan menggunakan metode induktif, maka disusun suatu pengetahuan
yang berlaku secara umum lewat pengamatan terhadap gejala-gejala fisik yang
bersifat individual.[7]
Berdasarkan
teori ini, akal hanya mengelola konsep gagasan inderawi. Hal itu dilakukannya
dengan menyusun konsep tersebut atau membagi-bagikannya.[8]
Kaum
empiris juga menganggap akal sebagai sejenis tempat penampungan yang secara
pasif menerima hasil-hasil pengindraan tersebut. Akal berfungsi untuk
memastikan hubungan urutan-urutan peristiwa tersebut padahal hubungan yang
demikian itu bersifat kemungkinan belaka dan pengetahuan kita tentang hubungan
peristiwa tersebut sesungguhnya berasal dari pengalaman. Karena itu, semua
ekperimen selajutnya seharusnya berdasarkan pada perkiraan, bukan kepastian
bahwa peristiwa yang akan dating kemungkinan cocok dengan yang lewat.
Jadi dalam
empirisme, sumber utama untuk memperoleh pengetahuan adalah data empiris yang
diperoleh dari pancaindera. Akal tidak berfungsi banyak, kalaupun ada, itu
hanya sebatas ide yang kabur.[9]
Kelemahan-kelemahan
aliran empirisme, antara lain:[10]
1. Indera (mata) itu terbatas,
benda yang jauh kelihan kecil, apakah ia benar-benar kecil? Ternyata tidak.
Keterbatasan indralah menggambarkan seperti itu. Dalam ini terbentuk
pengetahuan yang salah.
2.
Indara (lidah) itu menipu,
pada orang yang sakit malaria gula rasanya pahit, udara akan terasa dingin.
Dalam hal ini akan terbentuk pengetahuan yang salah.
3. Obyek yang menipu, contohnya fatamorgana dan ilusi. Jadi obyek itu sebenarnya
tidak sebagaimana ia ditangkap oleh indera (indra), ia membohongi indera.
4. Berasal dari indera dan obyek sekaligus. Dalam hal ini, indera
(mata) tidak mampu melihat seekor gajah secara keseluruhan, dan gajah itu juga
tidak dapat memper-lihatkan badannya secara keseluruhan. Kesimpulannya,
empirisme lemah karena keterbatasan indera manusia.
b.
Rasionalisme
Menurut
aliran ini, akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar
diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia memperoleh pengetahuan melalui
kegiatan menangkap obyek. Bagi aliran ini kekeliruan pada aliran
empirisme yang disebabkan kelemahan alat indera dapat dikoreksi, seandainya
akal digunakan.
Rasionalisme tidak mengingkari kegunaan indera dalam memperoleh
pengetahuan. Penga-malan indera diperlukan untuk merangsang akal dan memberikan
bahan-bahan yang menyebabkan akal dapat bekerja, tetapi sampainya kepada
manusia kepada kebenaran adalah semata-mata akal Laporan indera menurut rasionalisme merupakan
bahan yang belum jelas, bahkan ini memungkinkan dipertim-bangkan oleh akal
dalam pengalaman berpikir. Akan mengatur bahan tersebut sehingga dapatlah
terbentuk pengetahuan yang benar. Jadi fungsi pancaindera hanyalah untuk
memperoleh data-data dari alam nyata dan akalnya menghubungkan data-data itu
satu dengan yang lain.
Dalam penyusunan ini akal menggunakan konsep-konsep rasional atau ide-ide universal. Konsep tersebut mempunyai wujud dalam alam nyata dan bersifat universal, dan yang dimaksud dengan prinsip-prinsip universal adalah abteaksi dari benda-benda konkret, hukum kausalitas atau gambaran umum tentang kursi. Sebaliknya, bagi empirisme hukum tersebut tidak diakui.[11]
Dalam penyusunan ini akal menggunakan konsep-konsep rasional atau ide-ide universal. Konsep tersebut mempunyai wujud dalam alam nyata dan bersifat universal, dan yang dimaksud dengan prinsip-prinsip universal adalah abteaksi dari benda-benda konkret, hukum kausalitas atau gambaran umum tentang kursi. Sebaliknya, bagi empirisme hukum tersebut tidak diakui.[11]
Pada penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan
terletak dalam ide dan bukunya dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran
mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk keapada
kenyataan, kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat
diperoleh dengan akal budi saja.[12] Akal, selain bekerja karena ada bahan dari indera, juga akal
menghasilkan pengetahuan yang tidak berdasarkan bahan inderawi sama sekali,
jadi akal juga dapat menghasilkan pengetahuan tentang obyek yang betul-betul
abstrak.
Descartes, seorang
pelopor rasionalisme berusaha menemukan kebenaran itu, menurutnya ia tidak ragu
bahwa ia ragu. Ia yakin kebenaran-kebenaran semacam itu ada dan kebenaran
tersebut dikenal dengan cahaya yang terang dari akal budi sebagai hal-hal yang
tidak dapat diragukan. Dengan demikian akal budi dipahamkan sebagai sejenis
perantara suatu teknik deduktif yang dengan memakai teknik tersebut dapat
ditemukan kebenaran, artinya dengan melakukan penalaran yang akhirnya
tersusunlah pengetahuan.[13]
Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide-ide yang
menurut anggapannya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukanlah
ciptaan manusia. Prinsip itu sudah jauh sebelum manusia berusaha memikirkannya.
Fungsi pikiran manusia di sini hanya untuk mengenali prinsip-prinsip tersebut
kemudian menjadi pengetahuannya. Prinsip itu sendiri adah ada dan bersifat a
priori dan dapat diketahui oleh manusia lewat kemampuan berpikir rasionalnya
dan dengan mengetahui prinsip itulah maka kita dapat mengerti kejadian-kejadian
yang berlaku dalam alam sekitar kita.[14]
Spinoza memberikan penjelasan yang lebih mudah dengan mnyusun sistem rasionalisme atas dasar ilmu ukur. Menurutnya dalil ilmu ukur merupakan dalil kebenaran yang tidak perlu dibuktikan lagi. Artinya, Spinoza yakin jika memehami makna yang terkandung oleh pernyataan, “sebuah garis lurus merupakan jarak terdekat di antara dua buah titik”. Maka seseorang mau tidak mau mengakui kebenaran pernyataan itu. Menurutnya tidak perlu ada bukti-bukti yang lain kecuali makna yang terkandung kata-kata yang digunakan.[15]
Teori
rasionalisme juga mempunyai kelemahan, seperti mengenai criteria untuk
mengetahui akan kebenaran dari suatu ide yang memenurut seseorang adalah jelas
dan dapat dipercaya tetapi menurut orang lain tidak. Jadi masalah utama yang
dihadapi kaum rasionalisme adalah evaluasi dari kebenaran premis-premis ini
semuanya bersumber pada penalaran induktif, karena premis-premis ini semuanya
bersumber pada penalaran rasional yang bersifat abstrak. Terbatas dari
pengalaman maka evaluasi semacam ini tidak dapat dilakukan.[16]
Dari dua aliran empirisme dan rasionalisme terlahirlah metode
ilmiah atau pengetahuan sains. Dalam hal ini pancaindera mengumpulkan
data-data, sedangkan akal menyimpulkan berdasarkan pada prinsip-prinsip universal, yang kemudian disebut universal.
Tapi kebenaran yang model ini bukan kebenaran mutlak, tapi kebenaran yang dekat
pada hakikat, yaitu menurut kesanggupan
tertinggi dari akal dalam mendekati hakikat itu.
Namun teori ini pun mengalami kesulitan, karena data-data yang ada
di alam tidak semuanya dapat dikumpulkan karena alam tersebut terlalu besar,
dan yang dapat disimpulkan hanya sebagian dari data-data yang ada dan itupun
yang telah terjadi. Oleh karena itu, pengetahuan yang diperoleh belum sempurna,
karena data-data yang dikumpulkan tidak sempurna.[17]
Adanya problem pada empirisme dan rasionalisme yang mengahsilkan
metode ilmiah melahirkan aliran positivisme oleh Agust Comte dan Imanuel Kant.
Agust Comte berpendapat bahwa indera itu amat penting dalam memperoleh ilmu
pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan
ekperimen.
Kekeliruan indera dapat dikoreksi lewat ekperimen dan ekperimen itu
sendiri memerlukan ukuran-ukuran yang jelas seperti panas diukur dengan derajat
panas, jauh diukur dengan meteran, dan lain sebagainya. Kita tidak cukup
mengatakan api itu panas atau matahari panas, kita juga tidak cukup mengatakan panas
sekali, panas, dan tidak panas. Kita memerlukan ukuran yang teliti. Dari
sinilsh kemajuan sains benar-benar dimulai. Kebenaran diperoleh dengan akal
dengan didukung bukti-bukti empiris yang terukur.
Dalam hal ini Kant juga menekankan pentingnya meneliti lebih lanjut
terhadap apa yang telah dihasilkan oleh indera dengan datanya dan dilanjutkan
oleh akal dengan melakukan penelitian yang lebih mendalam. Ia mencotohkan
bagaimana kita dapat menyimpulkan kalau kuman tikus menyebabkan demam tipus
tanpa penelitian yang mendalam dan ekperimen. Dari penelitian tersebut
seseorang dapat mengambil kesimpulan bahwa ada hubungan sebab akibat antara
kuman tipus dan demam tipus.Pada dasarnya aliran ini (yang diuraikan oleh Agust Comte dan Imanuel Kant) bukanlah suatu
aliran khas yang berdiri sendiri, tetapi ia hanya menyempurnakan empirisme dan
rasionalisme yang bekerja sama dengan memasukkan perlunya ekperimen dan
ukuran-ukuran.
c.
Intuisi
Menurut Henry Bergson intuisi adalah hasil dari
evolusi pemahaman yang tertinggi. Kemampuan ini mirip dengan insting, tetapi
berbeda dengan kesadaran dan kebebasannya. Pengembangan kemampuan intuisi
memerlukan suatu usaha.[18]
Ia juga mengatakan bahwa intuisi adalah suatu pengetahuan yang langsung, yang
mutlak dan bukan dan bukan pengetahuan yang nisbi.[19]
Menurutnya,
intuisi mengatasi sifat lahiriyah pengetahuan simpbolis, yang ada dasarnya
bersifat analisis, menyeluruh, mutlak, dan tanpa dibantu oleh penggambaran
secara simbolis. Karena itu, in.tuisi adalah sarana untuk mengetahui secara
langsung dan seketika. Analisis atau pengetahuan yang diperoleh lewat pelukisan
tidak dapat menggantikan hasil pengenalan intuisi.[20]
Intuisi
berasal dari personal dan tidak bisa diramalkan. Sebagai dasar untuk menyusun
pengetahuan secara teratur, intuisi tidak dapat diandalkan.[21]
Pengetahuan
intuisi dapat dipergunakan sebagai hipotesa bagi analisis selanjutnya dalam
menentukan benar tidaknya pernyataan yang dikemukakan. Kegiatan intuisi dan
analisis bisa bekerja saling membantu dalam menemukan kebenaran. Bagi Nietzchen intuisi merupakan “intlegensi
yang paling tinggi” dan bagi Maslow
intuisi merupakan “pengalaman puncak” (peak
experience).[22]
Ada sebuah
isme lagi yang barangkali mirip dengan intiusionisme, yaitu iluminasionisme.
Aliran ini berkem-bang di kalangan tokoh agama, yang di dalam agama Islam
disebut Ma’rifat, yaitu pengetahuan
yang datang dari Tuhan melalui pencerahan dan penyinaran.[23]
Pengetahuan tersebut akan diperoleh oleh orang yang hatinya telah bersih, telah
siap, dan sanggup menerima pengetahuan tersebut.
Pengetahuan
menerima pengetahuan secara langsung itu diperoleh dengan cara latihan, yang
dalam Islam disebut Riyadhah. Metode
ini secara umum dipakai dalam thariqat
atau tasawuf. Konon, kemampuan
orang-orang itu sampai bisa melihat Tuhan, berbincang dengan Tuhan, melihat
surge, neraka, dan alam gaib lainnya. Dari kemampuan ini dapat dipahami bahwa
mereka tentu mempunyai pengetahuan tingkat tinggi yang banyak sekali dan
meyakinkan pengetahuan itu diperoleh bukan lewat indera dan bukan lewat akal,
melainkan lewat hati.[24]
Menurut
ajaran tasawuf, manusia itu dipengaruhi (ditutupi) oleh hal-hal material,
dipengaruhi oleh nafsunya. Bila nafsu dikendalikan, dan penghalang material
(hijab) dapat disingkirkan, kekuatan rasa itu mampu bekerja, mampu menengkap
obyek-obyek gaib. Di dalam tasawuf ini digambarkan sebagai dalam keadaan fana,
jiwa mampu melihat alam gaib, dari situlah diperoleh pengetahuan.
Adapun
perbedaan antara intuisi dalam filsafat Barat dengan ma’rifat dalam Islam
adalah kalau intuisi diperoleh lewat perenungan dan pemikiran yang konsisten,
sedang-kan dalam Islam ma’rifat diperoleh lewat perenungan dan penyinaran dari
Tuhan.[25]
Pengetahuan
dengan pencerahan ini dapat dianggap sebagai sumber pengetahuan. Sebab, jika
pengetahuan korespondensi melibatkan obyek di luar dirinya, maka pengetahuan
dengan pencerahan menyadarkan bahwa pengetahuan yang di luar harus didahului
dengan pengeta-huan tentang dirinya sendiri.
d.
Wahyu
Wahyu
adalah pengetahuan yang disampaikan oleh Allah kepada manusia lewat perantaraan
para Nabi. Para Nabi memperoleh pengetahuan dari Tuhan tanpa upaya, tanpa
bersusah payah, tanpa memerlukan waktu untuk memperolehnya. Pengetahuan mereka
terjadi atas kehendak Tuhan semesta. Tuhan mensucikan jiwa mereka dan
diterangkan-Nya pula jiwa mereka untuk memperoleh kebenaran dengan jalan wahyu.
Pengetahuan
dengan jalan wahyu merupkan kekhu- susan para Nabi. Hal ini yang membedakan
mereka dengan manusia-manusia lainnya. Akal meyakinkan bahwa kebenaran
pengetahuan mereka berasal dari Tuhan, karena pengetahuan itu memeng ada pada
saat manusia biasa tidak mampu nmengusahakannya, karena hal itu memeng di luar
kemempuan manusia. Bagi manusia tidak jalan lain kecuali menerima dan
membenarkan semua yang berasal dari Nabi.[26]
Wahyu
Allah (agama) berisikan pengetahuan, baik mengeanai kehidupan seseorang yang
terjangkau oleh pengalaman, maupun yang mencakup masalah transe-dental, seperti
latar belakang dan tujuan penciptaan manusia, dunia, dan segenap isinya serta
kehidupan di akhirat nanti.[27]
Kepercayaan
inilah yang merupakan titik tolak dalam agama lewat pengkajian selanjutnya
dapat meningkatkan atau menurunkan kepercayaan itu. Sedangkan ilmu pengetahuan
sebaliknya, yaitu dimulai mengkaji dengan riset, pengalaman, dan percobaan
untuk sampai kepada kebenaran yang faktual.
Apabila
mencermati secara mendalam tentang sumber ilmu sebagaimana telah diuraikan pada
Bab ini, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa sumber pengetahuan ada dua pandangan,
yaitu: (1) ada yang menyatakan sumber pengetahuan adalah manusia, dan (2) ada
yang menyatakan, satu-satunya sumber pengetahuan adalah Tuhan (Allah). Pandangan
pertama dikategorikan sebagai berpikir sekuler, sedangkan pandangan kedua
dikate-gorikan sebagai berpikir Islami, hal itu didasarkan pada identifikasi
karakteristik atau cirri-ciri berpikirnya.
0 komentar:
Posting Komentar