Pages

Minggu, 07 Desember 2014

Kajian Kritis Pengetahuan dan Ilmu


Kajian Pengetahuan dan Ilmu



a.     Kajian Pengetahuan

Berdasarkan pendekatan aspek kebahasaan, istilah pengetahuan tampak lebih orisinil dibanding ilmu dalam konteks pemikiran di Indonesia. Dari struktur morfologisnya, afiksasi morfem “pe-an”  menandakan secara internal struktur morfologi Bahasa Indonesia. Di samping itu, secara eksternal tidak memiliki indikasi berupa kata yang serupa dengan makna yang identik dalam bahasa asing. Berbeda dengan ilmu akan dijelaskan tersendiri yang memiliki kemiripan dengan bahasa asing dalam hal ini Bahasa Arab. Sehingga sulit memastikan apakah ‘ilmu’ turut diwariskan bersama pengetahuan yang lahir dari budaya pemikiran bangsa Indonesia.
Dengan demikian, lebih dapat diterima kalau dikatakan bahwa sejarah pemikiran bangsa Indonesia adalah sejarah pengetahuan. Ilmu hanya dapat dipandang sebagai perkembangan pengetahuan selanjutnya. Terlihat dalam penggunaan istilah ‘ilmu pengetahuan’ yang digunakan dalam budaya pendidikan Indonesia. Istilah ini merupakan pencirian sebuah jenis pengetahuan yang besifat ilmiah. Dalam perkembangan selanjutnya, ‘ilmu pengetahuan’ cenderung lebih diakui dan lebih banyak disebut dari pada ‘pengetahuan biasa’.

Jika analisa dilakukan dengan pendekatan kebahasaan, dapat disimpulkan bahwa ilmu tidak dapat berdiri sendiri. Ilmu hanya dapat menjadi sifat dari sebuah pengetahuan. Meskipun dalam penggunaan kata ilmu tidak bersama dengan pengetahuan, namun tetap mengindikasikan bahwa yang dimasud adalah pengetahuan. Pengetahuan didapat dari proses kerja dari ‘tahu’ atau mengetahui. Demikian juga halnya dengan ilmu. Kecuali jika dalam memperoleh ilmu ada cara lain dari dari proses mengetahui tadi. Artinya, segala hal yang diperoleh dari kata kerja ‘tahu’ adalah pengetahuan.

Karena itulah menurut Kartanegara, pengetahuan dipandang lebih umum dan bukan berbeda dengan ilmu. Bahkan terkadang disamakan[1]. Ilmu adalah keturunan dari pengetahuan dan tidak dapat didefinisikan tanpa pengetahuan. Ilmu hanya bisa dibedakan dengan ‘pengetahuan lain’ yang bukan pengetahuan ilmiah atau tidak ditempuh sesuai dengan metodologi ilmiah. Itu akan terlihat dengan jelas ketika perbedaan yang nyata antara ilmu pengetahuan dengan pengetahuan yang lain sudah dapat dicirikan dengan jelas pula. Karena tanpa ciri yang nyata, ilmu akan tampak sebagai kata lain dari pengetahuan.
 
Pengetahuan diartikan sebagai segala sesuatu yang diketahui, kepandaian, atau segala sesuatu yang diketahui berkenaan mata pelajaran.[2] Pengertian ini sangat umum sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Di samping itu juga memiliki keidentikan dengan dunia akademik karena berkaitan dengan mata pelajaran yang sarat dengan muatan ilmiah. Bertolak dari pengertian tersebut, sulit dibedakan antara pengetahuan ilmiah dengan pengetahuan yang tidak ilmiah.

Sejalan dengan pengertian tersebut, Bagus menulis dalam ensiklopedinya; Dalam arti luas, pengetahuan berarti semua kehadiran intensional objek dalam subjek. Tapi dalam arti sempit dan berbeda dari imajinasi atau pemikiran belaka, pengetahuan hanya berarti putusan yang benar dan pasti (kebenaran; kepastian). Di sini subjek sadar akan hubungan-hubungannya sendiri dengan objek dan sadar akan hubungan objek dengan eksistensi. Pada umumnya, adalah tepat kalau mengatakan pengetahuan hanya merupakan pengalaman “sadar”. Karena, sangat sulit melihat bagaimana persisnya suatu pribadi dapat sadar akan suatu eksisten tanpa kehadiran eksisten itu di dalam dirinya’[3].

Dapat dipahami, bahwa dengan mengikuti pengertian pengetahuan di atas, pengertian ilmu menjadi tidak memililki makna secara signifikan. Ketika objek telah hadir dalam subjek dan merupakan putusan yang benar dan pasti, maka semua itu adalah pengetahuan. Tidak ada pemisahan yang jelas posisi objek dari pengetahuan dan objek dari ilmu dalam diri subjek. Pengertian ini juga secara gamblang menegaskan pengertian yang dilekatkan kepada pengetahuan biasa sebagai sesuatu yang mengandung dugaan. Seseorang tidak semestinya berkata; “saya mengetahui” jika didalamnya mengandung dugaan. Jauh lebih jelas jika dia berkata; “saya menduga”.

Jadi, kata kunci yang harus dipegang dalam memahami pengetahuan adalah kehadiran objek dalam diri subjek dan berarti sebuah keputusan yang benar dan pasti, atau dalam bahasa Al-Attas sampainya makna sesuatu kepada diri atau sampainya diri kepada makna sesuatu.[4] Ketika metodologi ilmiah dirancang untuk mendapatkan kepastian dan kebenaran, maka sudah sangat jelas bahwa antara ilmu dan pengetahuan tidak terdapat perbedaan yang signifikan kecuali hanya perbedaan antar genus dalam satu spesies.

Al-Attas dalam bukunya Islam dan Filsafat Sains mengurai panjang lebar tentang penerjemahan kata knowledge dan science. Mana yang berarti pengetahuan dan mana yang berarti ilmu. Ia mengkritisi usulan Suryasumantri agar science diterjemahkan dengan ilmu dan knowledge dengan pengetahuan. Usulan ini kemudian menjadi umum digunakan. Secara semantik, knowledge memang lebih tepat diterjemahkan sebagai ilmu apalagi jika dikaitkan dengan asal kata ilmu yang identik dengan kata ‘ilmun yang sebagai istilah generik dalam bahasa Arab, memang memiliki nuansa yang serupa dengan knowledge. Sementara science yang merupakan spesies ilmu, mesti diterjemahkan menjadi ilmu pengetahuan, karena pengetahuan memang merupakan semacam spesies dari ilmu.[5]
b.     Kajian Ilmu
Berbeda dengan pengetahuan, ilmu memiliki indikasi eksternal berupa kata yang secara fonologis dan morfologis sama dengan bahasa lain. Kata ‘ilmu dalam Bahasa Arab memiliki kesamaan dengan kata ilmu dalam Bahasa Indonesia dan memiliki arti yang identik, yaitu pengetahuan. Secara morfologis dapat dilihat ketika kata ilmu dibentuk menjadi kata sifat ‘ilmiah’. Penambahan akhiran ‘ah’ dengan terlebih dahulu merubah fonem /u/ menjadi /i/, adalah proses pengimbuhan yang bertujuan untuk memberi arti sifat. Proses pengimbuhan ini tidak umum dalam Bahasa Indonesia. Bentuk morfologi seperti ini justru lebih dikenal dalam Bahasa Arab. Penambahan ‘ya’(ي) pada kata ‘ilmun’ (علم) menjadi ‘ilmiyyatun’ (علمية) dilakukan untuk memberi kandungan sifat pada kata tersebut. Dengan demikian, kesesuaian tidak hanya dalam tataran fonologi dan morfologi, tapi juga tentunya dalam tataran semantik, sehingga sangat kuat mengindikasikan bahwa kata ilmu merupakan serapan dari Bahasa Arab.
Kartanegara juga menulis bahwa ilmu berasal dari Bahasa Arab. Kata ‘ilmu berasal dari kata ‘alima yang berarti mengetahui. Jadi secara harfiah kata ilmu tidak berbeda dengan science yang berasal dari bahasa Yunani (sciere) yang berarti mengetahui.[6]
Koherensi sistematik adalah hakikat ilmu. Demikian menurut Bagus dalam mencirikan ilmu sehingga berbeda dengan pengetahuan. Ilmu menandakan kesatuan ide yang mengacu ke objek yang sama dan saling berkaitan secara logis, lanjutnya.[7] Tapi jika kesatuan ide yang berkaitan secara logis tersebut dalam hal kehadirannya dalam diri subjek, apa bedanya dengan pengetahuan. Adalah keliru jika Bagus berpendapat bahwa kehadiran setiap objek dalam diri subjek mungkin tanpa keterkaitan logis atau koherensi sistematis bagian-bagian objek. Dan supaya tidak terjadi kontradiksi antara pengertian ilmu dan pengetahuan yang dikemukakan Bagus, harus ada penjelasan lebih rinci tentang maksud ‘kehadiran’tersebut. Karena jika seseorang tidak mampu menjelaskan sebuah objek, itu artinya objek itu belum hadir dalam diri subjek, dan berarti juga sang subjek tidak mengetahui.
Kartanegara dalam Pengantar Epistemologi Islam mencirikan ilmu sebagai pengetahuan sesuatu sebagaimana adanya. Berbeda dari pengetahuan biasa karena pengetahuan biasa dapat saja mengetahui tentang sesuatu tidak sebagaimana adanya, melainkan hanya pengetahuan umum yang didasarkan pada opini atau kesan keliru dari tangkapan indera.[8] Dari pengertian ini dipahami bahwa ilmu sesungguhnya tidak berbeda dengan pengetahuan. Ilmu hanya berbeda dengan pengetahuan biasa atau umum, di mana ilmu telah terbukti kebenarannya, sementara pengetahuan biasa belum terbukti benar, atau baru berupa anggapan atau asumsi. Ketika dalam pembuktian asumsi tersebut ternyata tidak benar maka asumsi tersebut bukan saja tidak mengalami peningkatan status menjadi pengetahuan ilmiah, tapi malah kehilangan predikat sebagai pengetahuan biasa.
Dengan demikian, jika seluruh pengetahuan biasa atau umum yang berdasar dari opini dan asumsi dibawa ke medan pembuktian apa pun bentuknya, maka yang terjadi sesungguhnya adalah seleksi pengetahuan. Pengetahuan yang ternyata terbukti kebenarannya menjadi pengetahuan ilmiah, sementara yang tidak terbukti, gugur sebagai pengetahuan bahkan sebagai pengetahuan biasa sekalipun, karena tidak ada faedahnya menganggapnya sebagai pengetahuan setelah secara nyata terbukti bahwa itu tidak benar. Pada akhirnya, ilmu dan pengetahuan tidak lagi bisa dibedakan, karena yang namanya pengetahuan biasa atau umum telah dieliminasi dalam arena pembuktian.
Dari beberapa pencirian sebelumnya, yaitu pencirian dengan koherensi yang sistematis dan hubungan logis bagian-bagian objek serta pengetahuan sebagaimana adanya yang diperoleh dengan langkah pembuktian, tidak secara pasti membedakan antara pengetahuan dan ilmu. Hal yang jelas dapat dibedakan adalah antara ilmu dengan pengetahuan biasa atau umum bukan dengan pengetahuan. Hanya saja rujukan referensial dari istilah pengetahuan biasa atau umum juga tidak jelas dan dapat menimbulkan bias. Sama biasnya dengan istilah, misalnya “emas palsu”, karena “emas palsu” sudah pasti bukan emas. Bandingkan dengan “pengetahuan asumtif”!
Demikian pula jika dikatakan bahwa hubungan antara ilmu dan pengetahuan adalah hubungan genetif di mana pengetahuan adalah gen dan ilmu adalah spesiesnya. Pernyataan ini jika didasarkan pada kedua pencirian tersebut di atas, juga meperlihatkan adanya kerancuan. Jika ilmu mensyaratkan koherensi logis sistematis untuk menjadi spesies khusus dari pengetahuan, maka syarat itu haruslah ada dalam gen pengetahuan itu. Karena jika syarat itu tidak ada maka tidak bisa dikatakan kalau spesies ilmu berasal dari gen pengetahuan. Jika rasionalisasi ini diterima, maka pertanyaan adalah; dapatkah sesuatu yang logis bisa tinggal bersama atau melahirkan sesuatu yang tidak logis? Dapatkah gen pengetahuan yang salah satu unsurnya adalah logis sitematis menerima dan melahirkan sesuatu yang tidak logis dan sistematis?
Karena itulah, pemakaian kata ‘ilmu’ dan ‘pengetahuan’ sering dipertukarkan dan kadangkala dipadukan dalam penggunaan. Dalam pertukaran atau pemaduan kedua kata tersebut ternyata tidak menimbulkan kesalahan semantis. Itu berarti bahwa memang tidak terdapat perbedaan konseptual antara kedua kata tersebut. Jika alasannya adalah tergantung konteks, maka perbedaan keduanya bukalah perbedaan yang ada secara internal masing-masing istilah melainkan ada secara eksternal.
Hal yang berbeda terjadi antara istilah ‘ilmu’ dengan ‘sains’. Adanya perbedaan dapat dipahami karena keduanya berasal dari dua budaya pemikiran yang berbeda, ilmu dari Timur dan sains dari Barat. Budaya pemikiran Timur Tengah misalnya yang sangat ditopang dengan Islam memiliki cakupan ilmu yang luas. Kaitan antara pemikiran dan ideologi Islam menjadi sangat kuat karena ditopang oleh idiologi tokoh-tokoh ilmuan Islam. Pergulatan pemikiran dari berbagai aliran menjadi salah satu media pematangan proses berpikir di dunia Islam. Tidak demikian di dunia Barat. Zaman kegelapan yang terjadi di abad-abad pertengahan menimbulkan efek tersendiri terhadap pemikiran di Barat. Otoritas gereja yang begitu kuat dan sangat menekan dinamika pemikiran terutama berbagai kesimpulan ilmiah yang mengancam posisinya. Pada akhirnya ilmuan sains modern sangat tidak tertarik untuk berbicara hal-hal yang bersifat metafisik.
Persamaan dapat ditemui dalam kedua istilah tersebut (sains dan ilmu), misalnya keduanya mencirikan pemikiran logis sistematis. Namun dalam perkembangan selanjutnya terkadang masing-masing memiliki kecenderungan yang berbeda. Hal yang paling menonjol adalah ruang lingkup dari keduanya. Sains hanya dibatasi pada bidang-bidang empiris positif, sementara ilmu selain membahas masalah empiris juga menyangkut masalah nonempiris, seperti matematika dan metafisika.[9]
Dari aspek peristilahan keduanya hanya penting dikemukakan dalam dunia pemikiran Indonesia. Pentingnya mencari makna kedua istilah tersebut secara referensial karena keduanya terkadang dipakai secara tidak konsisten.  Kadang disamakan, tetapi di saat lain dibedakan. Hal ini menuntut pentingnya ilmuan yang ada di Indonesia menemukan penjelasan pasti mengenai keduanya.
Latar belakang pemikiran para tokoh pemikiran Indonesia menjadi salah satu penyebab digunakan istilah tersebut secara berbeda. Mereka yang belajar di Barat akan akrab dengan istilah sains, sementara mereka yang memiliki kiblat pemikiran di Timur tentu lebih akrab dengan istilah ilmu.
Jika pertemuan pemikiran yang mengakibatkan terjadinya interaksi bahasa pemikiran adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari, maka hal yang perlu dicermati adalah seleksi peristilahan, terutama sekali dalam hal menyerap bahasa asing. Kata ilmu dan sains yang diserap dari bahasa asing misalnya, harus dilihat kesepadanannya dalam bahasa Indonesia. Ini juga akan memberikan pertimbangan urgensi sebuah bahasa yang akan diserap, karena kepentingan untuk menyerap sebuah kata atau istilah dari bahasa asing biasanya disebabkan tidak adanya rujukan tersebut di mana bahasa yang menyerap digunakan. Tetapi ketika rujukan konsep tersebut ada dan sudah sejak lama dikenal maka tentu saja telah ada kata sebagai simbol rujukan tersebut.
Dengan demikian, ketika ilmu dan sains diserap ke dalam Bahasa Indonesia, maka pertanyaannya adalah: apakah tidak ada kata atau istilah dalam bahasa Indonesia yang sepadan dengan kedua kata istilah tersebut. Kalau memang tidak ada, itu menandakan bahwa budaya pemikiran Indonesia sangat ketinggalan dan memang pantas menyerap keduanya sekalian bersama sistem pemikiran yang dirujukinya, karena sistem pemikiran tersebut tidak terdapat di Indonesia. Tapi jika rujukan kata dan istilah tersebut telah lama dikenal dan memiliki kata sendiri dalam bahasa Indonesia, maka pertanyaannya adalah; apa kata atau istilah tersebut dalam bahasa Indonesia dan untuk apa kedua kata dan istilah asing tersebut diserap? Setelah ditemukan jawabannya barulah berpikir untuk melakukan usaha untuk mempertahankan dan menggunakannya dalam bahasa Indonesia. Tujuan penyerapan itu haruslah termuat dalam muatan kata dan istilah tersebut, sehingga tidak menyeretnya untuk membentuk sebuah arti baru yang sebenarnya tidak ada.

Bila kita merujuk ke acuan Islam, yaitu al-Qur’an, kita akan menemukan suatu kata yang secara etimologi dekat dengan kata ilmu yaitu ‘ilm. Dalam bahasa Arab kata tersebut memiliki banyak derivasi sebagaimana banyak digunakan dalam al-Qur’an. Dengan derivasi beragam, memahami ‘ilm dapat dilakukan dengan melihat misalnya bentuk kata kerjanya yang menunjukkan bahwa ‘ilm adalah hasil dari proses kerja ‘allama. Tidak seperti ilmu dalam bahasa Indonesia yang tidak memiliki kata kerja, sehingga ilmu diperoleh dari sebuah proses kerja dengan menggunakan kata kerja lain.

Dengan melihat penggunaan kata ‘ilm dengan segala derivasinya dalam al-Qur’an, maka akan ditemukan dua maksud. Terkadang mengandung maksud pengetahuan dalam arti umum, dan ada kalanya digunakan untuk menunaikan arti pengetahuan secara lebih khusus, atau terkadang diterjemahkan sebagai pengetahuan ilmiah. Akan tetapi karena al-Qur’an menggunakan keduanya dengan kata ‘ilm, maka keduanya harus diberi predikat ilmiah dalam pengertian mengandung syarat kebenaran dan kepastian.. Menurut Mustansyir dan Munir, ketiga landasan filosofis tersebut juga merupakan objek formal dari filsafat ilmu.[10] 

Ontologi menyangkut hakikat ilmu atau lebih khusus ke hakikat wujud ilmu itu sendiri. Tidak seperti Sumantri yang secara umum melihat ontologi sebagai landasan filosofis menyangkut hakikat wujud dari objek yang ditangkap oleh ilmu, bukan menjadikan ilmu sebagai objek ontologis. Epitemologi menyangkut cara memperoleh ilmu, dan aksiologi menyangkut fungsi ilmu bagi manusia. 

Baqir dan Abidin mengemukakan bahwa sedikitnya ada tiga aspek dalam filsafat ilmu, yaiontologis, epistemologis, dan aksiologis. Aspek ontologis menyangkut teori tentang ada (being) sebagai objek ilmu. Hal ini senada dengan landasan ontologi Jujun. Aspek epistemologis menyangkut fakultas-fakultas manusia (human faculties)[11] sebagai alat untuk mencapai objek. Epistemologi mempelajari sifat-sifat dan cara kerja fakultas-fakultas tersebut. Aspek aksiologis menilai dampak ilmu terhadap lingkungan di mana ilmu tersebut dikembangkan dan diterapkan.[12]



[1]Lihat Mulyadi Kartanegara, Pengantar, op., cit., h. 1.
[2]Lihat kamus besar bahasa Indonesia, op. cit.,  h. 884.
[3]Lorent Bagus, op. cit.,  h. 803-804
[4]Lihat Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Filsafat Sains  (Bandung: Mizan, 1995), h. 60
[5]Ibid., h. 21.
[6]Mulyadi Kartanegara, pengantar, op. cit., h. 4.
[7]Lihat Lorent Bagus, op. cit., h. 307
[8]Lihat  Mulyadi Kartanegara, Pengantar, loc. cit.
[9]Ibid.
[10]Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, op. cit., h. 45.
[11]Sebagai istilah epistemologi, fakultas dimaksudkan sebagai alat atau sarana untuk mencapai objek seperti: fakultas iderawi, fakultas imajinasi, fakultas akal.
[12]Haidar Bagir dan Zainal Abidin, op. cit., h. 7.

0 komentar:

Posting Komentar