Kajian Pengetahuan dan Ilmu
a.
Kajian Pengetahuan
Berdasarkan
pendekatan aspek
kebahasaan, istilah pengetahuan
tampak lebih orisinil dibanding ilmu dalam konteks
pemikiran di Indonesia. Dari struktur morfologisnya, afiksasi morfem
“pe-an” menandakan secara internal
struktur morfologi Bahasa Indonesia. Di samping itu, secara eksternal tidak
memiliki indikasi berupa kata yang serupa dengan makna yang identik dalam bahasa
asing. Berbeda dengan ilmu akan dijelaskan tersendiri yang memiliki kemiripan dengan bahasa asing dalam hal ini
Bahasa Arab. Sehingga sulit memastikan apakah ‘ilmu’ turut diwariskan bersama
pengetahuan yang lahir dari budaya pemikiran bangsa Indonesia.
Dengan demikian, lebih dapat diterima kalau
dikatakan bahwa sejarah pemikiran bangsa Indonesia adalah sejarah pengetahuan.
Ilmu hanya dapat dipandang sebagai perkembangan pengetahuan selanjutnya.
Terlihat dalam penggunaan istilah ‘ilmu pengetahuan’ yang digunakan dalam
budaya pendidikan Indonesia. Istilah ini merupakan pencirian sebuah jenis
pengetahuan yang besifat ilmiah. Dalam perkembangan selanjutnya, ‘ilmu
pengetahuan’ cenderung lebih diakui dan lebih banyak disebut dari pada
‘pengetahuan biasa’.
Jika
analisa dilakukan dengan pendekatan kebahasaan, dapat disimpulkan bahwa ilmu
tidak dapat berdiri sendiri. Ilmu hanya dapat menjadi sifat dari sebuah
pengetahuan. Meskipun dalam penggunaan kata ilmu tidak bersama dengan
pengetahuan, namun tetap mengindikasikan bahwa yang dimasud adalah pengetahuan.
Pengetahuan didapat dari proses kerja dari ‘tahu’ atau mengetahui. Demikian
juga halnya dengan ilmu. Kecuali jika dalam memperoleh ilmu ada cara lain dari dari proses
mengetahui tadi. Artinya, segala hal yang diperoleh dari kata kerja ‘tahu’
adalah pengetahuan.
Karena itulah menurut Kartanegara, pengetahuan
dipandang lebih umum dan bukan berbeda dengan ilmu. Bahkan terkadang disamakan[1]. Ilmu adalah keturunan
dari pengetahuan dan tidak dapat didefinisikan tanpa pengetahuan. Ilmu hanya
bisa dibedakan dengan ‘pengetahuan lain’ yang bukan pengetahuan ilmiah atau
tidak ditempuh sesuai dengan metodologi ilmiah. Itu akan terlihat dengan jelas
ketika perbedaan yang nyata antara ilmu pengetahuan dengan pengetahuan yang
lain sudah dapat dicirikan dengan jelas pula. Karena tanpa ciri yang nyata,
ilmu akan tampak sebagai kata lain dari pengetahuan.
Pengetahuan diartikan sebagai segala sesuatu yang
diketahui, kepandaian, atau segala sesuatu yang diketahui berkenaan mata
pelajaran.[2] Pengertian ini sangat
umum sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Di samping itu juga memiliki
keidentikan dengan dunia akademik karena berkaitan dengan mata pelajaran yang sarat
dengan muatan ilmiah. Bertolak dari pengertian tersebut,
sulit dibedakan antara pengetahuan ilmiah dengan pengetahuan yang tidak ilmiah.
Sejalan dengan pengertian tersebut, Bagus menulis
dalam ensiklopedinya; Dalam arti luas,
pengetahuan berarti semua kehadiran intensional objek dalam subjek. Tapi dalam
arti sempit dan berbeda dari imajinasi atau pemikiran belaka, pengetahuan hanya
berarti putusan yang benar dan pasti (kebenaran; kepastian). Di sini subjek
sadar akan hubungan-hubungannya sendiri dengan objek dan sadar akan hubungan
objek dengan eksistensi. Pada umumnya, adalah tepat kalau mengatakan
pengetahuan hanya merupakan pengalaman “sadar”. Karena, sangat sulit melihat
bagaimana persisnya suatu pribadi dapat sadar akan suatu eksisten tanpa
kehadiran eksisten itu di dalam dirinya’[3].
Dapat dipahami, bahwa dengan mengikuti pengertian
pengetahuan di atas, pengertian ilmu menjadi tidak memililki makna secara
signifikan. Ketika objek telah hadir dalam subjek dan merupakan putusan yang
benar dan pasti, maka semua itu adalah pengetahuan. Tidak ada pemisahan yang
jelas posisi objek dari pengetahuan dan objek dari ilmu dalam diri subjek.
Pengertian ini juga secara gamblang menegaskan pengertian yang dilekatkan
kepada pengetahuan biasa sebagai sesuatu yang mengandung dugaan. Seseorang tidak semestinya berkata; “saya mengetahui” jika didalamnya mengandung dugaan. Jauh lebih
jelas jika dia berkata; “saya menduga”.
Jadi, kata kunci yang harus dipegang dalam
memahami pengetahuan adalah kehadiran objek dalam diri subjek dan berarti
sebuah keputusan yang benar dan pasti, atau dalam bahasa Al-Attas sampainya
makna sesuatu kepada diri atau sampainya diri kepada makna sesuatu.[4] Ketika metodologi ilmiah
dirancang untuk mendapatkan kepastian dan kebenaran, maka sudah sangat jelas
bahwa antara ilmu dan pengetahuan tidak terdapat perbedaan yang signifikan
kecuali hanya perbedaan antar genus dalam satu spesies.
Al-Attas dalam bukunya Islam dan Filsafat Sains
mengurai panjang lebar tentang penerjemahan kata knowledge dan
science.
Mana yang berarti pengetahuan dan
mana yang berarti ilmu. Ia
mengkritisi usulan Suryasumantri agar science diterjemahkan dengan ilmu dan knowledge dengan
pengetahuan. Usulan ini kemudian menjadi umum digunakan. Secara semantik, knowledge
memang lebih tepat diterjemahkan sebagai ilmu
apalagi jika dikaitkan dengan asal kata ilmu yang identik dengan kata ‘ilmun
yang sebagai istilah generik dalam bahasa Arab, memang memiliki nuansa yang
serupa dengan knowledge. Sementara
science
yang merupakan spesies ilmu, mesti diterjemahkan menjadi ilmu pengetahuan,
karena pengetahuan memang merupakan semacam spesies dari ilmu.[5]
b.
Kajian Ilmu
Berbeda dengan pengetahuan, ilmu memiliki indikasi
eksternal berupa kata yang secara fonologis dan morfologis sama dengan bahasa
lain. Kata ‘ilmu dalam Bahasa Arab memiliki kesamaan dengan kata ilmu
dalam Bahasa Indonesia dan memiliki arti yang identik, yaitu pengetahuan.
Secara morfologis dapat dilihat ketika kata ilmu dibentuk menjadi kata sifat
‘ilmiah’. Penambahan akhiran ‘ah’ dengan terlebih dahulu merubah fonem /u/
menjadi /i/, adalah proses pengimbuhan yang bertujuan untuk memberi arti sifat.
Proses pengimbuhan ini tidak umum dalam Bahasa Indonesia. Bentuk morfologi
seperti ini justru lebih dikenal dalam Bahasa Arab. Penambahan ‘ya’(ي) pada kata ‘ilmun’ (علم)
menjadi ‘ilmiyyatun’ (علمية) dilakukan
untuk memberi kandungan sifat pada kata tersebut. Dengan demikian, kesesuaian
tidak hanya dalam tataran fonologi dan morfologi, tapi juga tentunya dalam
tataran semantik, sehingga sangat kuat mengindikasikan bahwa kata ilmu
merupakan serapan dari Bahasa Arab.
Kartanegara juga menulis bahwa ilmu berasal dari Bahasa
Arab. Kata ‘ilmu berasal dari kata ‘alima yang berarti
mengetahui. Jadi secara harfiah kata ilmu tidak berbeda dengan science yang
berasal dari bahasa Yunani (sciere) yang berarti mengetahui.[6]
Koherensi sistematik adalah hakikat ilmu. Demikian
menurut Bagus dalam mencirikan ilmu sehingga berbeda dengan pengetahuan. Ilmu
menandakan kesatuan ide yang mengacu ke objek yang sama dan saling berkaitan
secara logis, lanjutnya.[7] Tapi jika kesatuan ide yang
berkaitan secara logis tersebut dalam hal kehadirannya dalam diri subjek, apa
bedanya dengan pengetahuan. Adalah keliru jika Bagus berpendapat bahwa
kehadiran setiap objek dalam diri subjek mungkin tanpa keterkaitan logis atau koherensi
sistematis bagian-bagian objek. Dan supaya tidak terjadi kontradiksi antara
pengertian ilmu dan pengetahuan yang dikemukakan Bagus, harus ada penjelasan lebih rinci tentang maksud ‘kehadiran’tersebut. Karena
jika seseorang tidak mampu menjelaskan sebuah objek, itu artinya objek itu
belum hadir dalam diri subjek, dan berarti juga sang subjek tidak mengetahui.
Kartanegara dalam Pengantar Epistemologi Islam
mencirikan ilmu sebagai pengetahuan sesuatu sebagaimana adanya. Berbeda dari
pengetahuan biasa karena pengetahuan biasa dapat saja mengetahui tentang
sesuatu tidak sebagaimana adanya, melainkan hanya pengetahuan umum yang
didasarkan pada opini atau kesan keliru dari tangkapan indera.[8] Dari pengertian ini
dipahami bahwa ilmu sesungguhnya tidak berbeda dengan pengetahuan. Ilmu hanya
berbeda dengan pengetahuan biasa atau umum, di mana ilmu telah terbukti
kebenarannya, sementara pengetahuan biasa belum terbukti benar, atau baru
berupa anggapan atau asumsi. Ketika dalam pembuktian asumsi tersebut ternyata
tidak benar maka asumsi tersebut bukan saja tidak mengalami peningkatan status
menjadi pengetahuan ilmiah, tapi malah kehilangan predikat sebagai pengetahuan
biasa.
Dengan demikian, jika seluruh pengetahuan biasa
atau umum yang berdasar dari opini dan asumsi dibawa ke medan pembuktian apa
pun bentuknya, maka yang terjadi sesungguhnya adalah seleksi pengetahuan.
Pengetahuan yang ternyata terbukti kebenarannya menjadi pengetahuan ilmiah,
sementara yang tidak terbukti, gugur sebagai pengetahuan bahkan sebagai
pengetahuan biasa sekalipun, karena tidak ada faedahnya menganggapnya sebagai
pengetahuan setelah secara nyata terbukti bahwa itu tidak benar. Pada akhirnya,
ilmu dan pengetahuan tidak lagi bisa dibedakan, karena yang namanya pengetahuan
biasa atau umum telah dieliminasi dalam arena pembuktian.
Dari beberapa pencirian sebelumnya, yaitu
pencirian dengan koherensi yang sistematis dan hubungan logis bagian-bagian
objek serta pengetahuan sebagaimana adanya yang diperoleh dengan langkah
pembuktian, tidak secara pasti membedakan antara pengetahuan dan ilmu. Hal yang
jelas dapat dibedakan adalah antara ilmu dengan pengetahuan biasa atau umum
bukan dengan pengetahuan. Hanya saja rujukan referensial dari istilah
pengetahuan biasa atau umum juga tidak jelas dan dapat menimbulkan bias. Sama
biasnya dengan istilah, misalnya “emas palsu”, karena “emas palsu” sudah pasti
bukan emas. Bandingkan dengan “pengetahuan asumtif”!
Demikian pula jika dikatakan bahwa hubungan antara
ilmu dan pengetahuan adalah hubungan genetif di mana pengetahuan adalah gen dan
ilmu adalah spesiesnya. Pernyataan ini jika didasarkan pada kedua pencirian
tersebut di atas, juga meperlihatkan adanya kerancuan. Jika ilmu mensyaratkan
koherensi logis sistematis untuk menjadi spesies khusus dari pengetahuan, maka
syarat itu haruslah ada dalam gen pengetahuan itu. Karena jika syarat itu tidak
ada maka tidak bisa dikatakan kalau spesies ilmu berasal dari gen pengetahuan.
Jika rasionalisasi ini diterima, maka pertanyaan adalah; dapatkah sesuatu yang logis bisa tinggal bersama atau melahirkan sesuatu yang
tidak logis? Dapatkah gen pengetahuan yang
salah satu unsurnya adalah logis sitematis menerima dan melahirkan sesuatu yang
tidak logis dan sistematis?
Karena itulah, pemakaian kata ‘ilmu’ dan
‘pengetahuan’ sering dipertukarkan dan kadangkala dipadukan dalam penggunaan.
Dalam pertukaran atau pemaduan kedua kata tersebut ternyata tidak menimbulkan
kesalahan semantis. Itu
berarti bahwa memang tidak terdapat perbedaan konseptual antara kedua kata
tersebut. Jika alasannya adalah tergantung konteks, maka perbedaan keduanya
bukalah perbedaan yang ada secara internal masing-masing istilah melainkan ada
secara eksternal.
Hal yang berbeda terjadi antara istilah ‘ilmu’
dengan ‘sains’. Adanya perbedaan dapat dipahami karena keduanya berasal dari
dua budaya pemikiran yang berbeda, ilmu dari Timur dan sains dari Barat. Budaya
pemikiran Timur Tengah misalnya yang sangat ditopang dengan Islam memiliki
cakupan ilmu yang luas. Kaitan antara pemikiran dan ideologi Islam menjadi
sangat kuat karena ditopang oleh idiologi tokoh-tokoh ilmuan Islam. Pergulatan
pemikiran dari berbagai aliran menjadi salah satu media pematangan proses
berpikir di dunia Islam. Tidak demikian di dunia Barat. Zaman kegelapan yang
terjadi di abad-abad pertengahan menimbulkan efek tersendiri terhadap pemikiran
di Barat. Otoritas gereja yang begitu kuat dan sangat menekan dinamika
pemikiran terutama berbagai kesimpulan ilmiah yang mengancam posisinya. Pada
akhirnya ilmuan sains modern sangat tidak tertarik untuk berbicara hal-hal yang
bersifat metafisik.
Persamaan dapat ditemui dalam kedua istilah
tersebut (sains dan ilmu), misalnya keduanya mencirikan pemikiran logis
sistematis. Namun dalam perkembangan selanjutnya terkadang masing-masing
memiliki kecenderungan yang berbeda. Hal yang paling menonjol adalah ruang
lingkup dari keduanya. Sains hanya dibatasi pada bidang-bidang empiris positif,
sementara ilmu selain membahas masalah empiris juga menyangkut masalah
nonempiris, seperti matematika dan metafisika.[9]
Dari aspek peristilahan keduanya hanya penting
dikemukakan dalam dunia pemikiran Indonesia. Pentingnya mencari makna kedua
istilah tersebut secara referensial karena keduanya terkadang dipakai secara
tidak konsisten. Kadang disamakan,
tetapi di saat lain dibedakan. Hal ini menuntut pentingnya ilmuan yang ada di
Indonesia menemukan penjelasan pasti mengenai keduanya.
Latar belakang pemikiran para tokoh pemikiran
Indonesia menjadi salah satu penyebab digunakan istilah tersebut secara
berbeda. Mereka yang belajar di Barat akan akrab dengan istilah sains,
sementara mereka yang memiliki kiblat pemikiran di Timur tentu lebih akrab
dengan istilah ilmu.
Jika pertemuan pemikiran yang mengakibatkan
terjadinya interaksi bahasa pemikiran adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari,
maka hal yang perlu dicermati adalah seleksi peristilahan, terutama sekali
dalam hal menyerap bahasa asing. Kata ilmu dan sains yang diserap dari bahasa
asing misalnya, harus dilihat kesepadanannya dalam bahasa Indonesia. Ini juga
akan memberikan pertimbangan urgensi sebuah bahasa yang akan diserap, karena
kepentingan untuk menyerap sebuah kata atau istilah dari bahasa asing biasanya
disebabkan tidak adanya rujukan tersebut di mana bahasa yang menyerap
digunakan. Tetapi ketika rujukan konsep tersebut ada dan sudah sejak lama
dikenal maka tentu saja telah ada kata sebagai simbol rujukan tersebut.
Dengan demikian, ketika ilmu dan sains diserap ke
dalam Bahasa Indonesia, maka pertanyaannya adalah: apakah tidak ada kata atau istilah dalam bahasa Indonesia
yang sepadan dengan kedua kata istilah tersebut. Kalau memang tidak ada, itu
menandakan bahwa budaya pemikiran Indonesia sangat ketinggalan dan memang
pantas menyerap keduanya sekalian bersama sistem pemikiran yang dirujukinya,
karena sistem pemikiran tersebut tidak terdapat di Indonesia. Tapi jika rujukan
kata dan istilah tersebut telah lama dikenal dan memiliki kata sendiri dalam
bahasa Indonesia, maka pertanyaannya adalah; apa kata atau istilah tersebut
dalam bahasa Indonesia dan untuk apa kedua kata dan istilah asing tersebut
diserap? Setelah ditemukan jawabannya barulah berpikir untuk melakukan usaha
untuk mempertahankan dan menggunakannya dalam bahasa Indonesia. Tujuan
penyerapan itu haruslah termuat dalam muatan kata dan istilah tersebut,
sehingga tidak menyeretnya untuk membentuk sebuah arti baru yang sebenarnya
tidak ada.
Bila kita merujuk ke acuan Islam, yaitu al-Qur’an, kita akan menemukan suatu kata yang secara etimologi
dekat dengan kata ilmu yaitu ‘ilm. Dalam bahasa Arab kata tersebut
memiliki banyak derivasi sebagaimana banyak digunakan dalam al-Qur’an. Dengan derivasi beragam, memahami ‘ilm dapat
dilakukan dengan melihat misalnya bentuk kata kerjanya yang menunjukkan bahwa ‘ilm
adalah hasil dari proses kerja ‘allama. Tidak seperti ilmu dalam
bahasa Indonesia yang tidak memiliki kata kerja, sehingga ilmu diperoleh dari
sebuah proses kerja dengan menggunakan kata kerja lain.
Dengan melihat penggunaan kata ‘ilm dengan
segala derivasinya dalam al-Qur’an, maka akan
ditemukan dua maksud. Terkadang mengandung maksud pengetahuan dalam arti umum,
dan ada kalanya digunakan untuk menunaikan arti pengetahuan secara lebih
khusus, atau terkadang diterjemahkan sebagai pengetahuan ilmiah. Akan tetapi
karena al-Qur’an menggunakan keduanya
dengan kata ‘ilm, maka keduanya harus diberi predikat ilmiah dalam
pengertian mengandung syarat kebenaran dan kepastian.. Menurut
Mustansyir dan Munir, ketiga landasan filosofis tersebut juga merupakan objek
formal dari filsafat ilmu.[10]
Ontologi menyangkut hakikat ilmu atau lebih khusus ke hakikat wujud ilmu itu
sendiri. Tidak seperti Sumantri yang secara umum melihat ontologi sebagai
landasan filosofis menyangkut hakikat wujud dari objek yang ditangkap oleh
ilmu, bukan menjadikan ilmu sebagai objek ontologis. Epitemologi menyangkut
cara memperoleh ilmu, dan aksiologi menyangkut fungsi ilmu bagi manusia.
Baqir
dan Abidin mengemukakan bahwa sedikitnya ada tiga aspek dalam filsafat ilmu,
yaiontologis, epistemologis, dan aksiologis. Aspek ontologis menyangkut
teori tentang ada (being) sebagai objek ilmu. Hal ini senada dengan
landasan ontologi Jujun. Aspek epistemologis menyangkut fakultas-fakultas
manusia (human faculties)[11]
sebagai alat untuk mencapai objek. Epistemologi mempelajari sifat-sifat dan
cara kerja fakultas-fakultas tersebut. Aspek aksiologis menilai dampak ilmu
terhadap lingkungan di mana ilmu tersebut dikembangkan dan diterapkan.[12]
[1]Lihat Mulyadi
Kartanegara, Pengantar, op., cit., h. 1.
[3]Lorent
Bagus, op. cit., h. 803-804
[4]Lihat Syed
Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Filsafat Sains (Bandung: Mizan, 1995), h. 60
[6]Mulyadi
Kartanegara, pengantar, op. cit., h. 4.
[8]Lihat Mulyadi Kartanegara, Pengantar, loc. cit.
[10]Rizal
Mustansyir dan Misnal Munir, op. cit., h. 45.
[11]Sebagai
istilah epistemologi, fakultas dimaksudkan sebagai alat atau sarana untuk
mencapai objek seperti: fakultas iderawi, fakultas imajinasi, fakultas akal.
[12]Haidar
Bagir dan Zainal Abidin, op. cit., h. 7.
0 komentar:
Posting Komentar