Pages

Jumat, 09 Desember 2016

Kajian Dasar Baik dan Buruk



http://media2.picsearch.com/is?_LewyfA24Q7evrW5OEtTmpYf7ASr_Lq0WyIvV0o96qM&height=255
 

KAJIAN DASAR BAIK DAN BURUK






D.    PENGERTIAN BAIK DAN BURUK
M. Yatimin Abdullah mengurai pengertian baik seba-gai berikut:
1.        Baik berarti sesuatu yang telah mencapai kesempur-naan.
2.        Baik berarti sesuatu yang menimbulkan rasa keha-ruan dan kepuasan, kesenangan persesuaian, dan se-terusnya.
3.        Baik berarti sesuatu yang mempunyai nilai kebenaran atau nilai yang diharapkan dan memberikan kepu-asan.
4.        Baik berarti yang sesuai dengan keinginan.
5.        Baik apabila mendatangkan rahmat, memberikan pe-rasaan senang atau bahagia, bila dihargai secara po-sitif.[1]
Beberapa rumusan baik sebagaimana telah dikemuka-kan oleh Yatimin Abdullah tersebut, dalam hemat penulis secara umum cenderung pada pengertian baik menurut pandangan sekuler. Misalnya, bahwa yang baik berarti sesuai dengan keinginan, atau baik karena adanya  kepu-asan, tentu pernyataan itu tidak sejalan dengan tuntunan al-Qur’an dan hadis, karena sifat keinginan manusia itu tidak terbatas, banyak keinginan manusia terhadap sesu-atu, akan tetapi sesuatu yang diingikan itu ternyata hal yang bertentangan dengan hukum syar’i, di samping itu, sifat kepuasan bagi manusia adalah sesuatu yang relatif, bahkan hakikatnya manusia tidak akan pernah merasa puas, oleh karena itu keinginan, kesenangan dan kepuasan manusia harus selalu sejalan dan terukur dengan tuntunan syar’i.
Adapun perbuatan yang buruk dapat disrtikan sebagai berikut:
a.         Rusak atau tidak baik, jahat, tidak menyenangkan, ti-dak elok, jelek.
b.         Perbuatan yang tidak sopan, kurang ajar, jahat, tidak menyenangkan.
c.         Segala yang tercela, lawan baik, lawan bagus perbu-atan yang bertentangan dengan norma-norma agama, adat istiadat masyarakat yang berlaku.[2]
Beberapa aliran pemikiran tentang Baik dan Buruk.
1.     Hedonisme
Hedonisme berasal dari bahasa Yunani hedone yang berarti nikmat.[3] Hedonisme merupakan sebuah kon-sep moral yang menyamakan antara kebaikan dengan kesenangan, dan kesenangan itu merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia. Menurut paham ini ke-senangan “badani” merupakan hal yang terbaik bagi manusia. Paham ini didasarkan pada pandangan Aristippos yang menyatakan sebuah kesenangan tidak lain hanyalah berupa gerak dalam badan belaka.
Menurutnya gerak dibedakan dalam tiga kemung-kinan, yaitu pertama; “gerak kasar” yang disebut de-ngan “ketidaksenangan” seperti rasa sakit. Kedua “gerak halus” yang disebut “kesenangan” ketiga “ke-tiadaan gerak” disebut sebagai keadaan netral, seperti tidur.[4]
Menurut Aristippos yang baik hanyalah kenikmatan yang ada pada saat ini, bersifat badani, aktual dan individual, bukan kesenangan dari masa lampau dan masa yang akan datang.
Paham ini pertama kali dikemukakan oleh Aristippos dari Kyrene[5] (sekitar 433-355 s.M) seorang murid Sokrates.[6]
2.     Naturalisme
Naturalisme berasal dari bahasa latin “natura” yang   berarti alam, kodrat.[7] Manurut aliran ini sesuatu per-buatan dipandang baik apabila perbuatan itu sesuai dengan natur manusia, baik natur yang bersifat lahir maupun natur yang bersifat batin.

3.     Vitalisme
Vitalisme atau vitalism (Inggris), kata ini berasal dari bahasa latin yang berarti “hidup atau kehidupan”.[8] Menurut aliran ini, sesuatu dipandang baik apabila mencerminkan kekuatan dalam hidup manusia.[9]
       Menurut Sidi Gazalba, aliran ini yang bertanggungja-wab dalam perjalanan sejarah umat manusia atas tin-dakan penindasan dan ekploitasi terhadap manusia lain dalam bentuk feodalisme, kolonialisme, dictator, dan imprialisme.[10]
       Menurut aliran vitaisme, manusia yang kuat atau ber-kuasa dipandang sebagai manusia yang baik, sekali-pun kekuatan dan kekuasaannya itu dipergunakan untuk menaklukan orang yang lemah.
4.     Utilitarisme
Utilitarisme berasal dari kata utilis yang berarti “ber-guna”. Jika kata ini dinisbahkan atau diberlakukan pada perorangan maka disebut “individual”, tetapi jika dinisbahkan atau berlaku pada masyarakat atau Ne-gara maka disebut “social”. Menurut aliran ini sesuatu dapat dinya-takan baik apabila sesuatu itu mempu-nyai “nilai guna”, jika tidak mempunyai nilai guna berarti sesuatu itu dinyatakan buruk, teori utilitarisme dikembangkan oleh Robert C. Solomon pemikir Barat yang menulis tentang etika yang berpandangan bah-wa teori dasar pembenaran moralitas yang paling berpengaruh dalam beberapa abad yang lalu adalah teori utilitarisme. 
Teori utilitarisme menekankan bahwa kenikmatan atau kebahagiaan adalah tujuan akhir yang ingin dan memang pantas diinginkan semua tindakan manusia. Maka untuk mendapatkan kebahagiaan sebanyak dan \sebesar mungkin, maka manusia harus berikhtiar pula kebaikan terbesar buat sebanyak mungkin manusia.[11]
Gambar: 28
 



 








E.     FAKTOR YANG MEMPENGARUHI AKHLAK
       Banyak faktor yang dapat berpengaruh terhadap per-kembangan akhlak, hal itu karena manusia sebagai mak-hluk sosial, faktor-faktor itu antara lain:
1.     Faktor Insting
Insting adalah karakter manusia yang dibawa sejak lahir, oleh sebahagian ahli mengedentikkan dengan naluri, tabiat atau watak, insting ini dapat berpeng-aruh pada kehendak atau keinginan manusia dalam hidupnya.
Insting dalam bahasa Arab dapat diidentikkan dengan fitrah pembawaan dasar manusia sejak lahir. Insting atau naluri adalah karakter manusia yang dapat me-nimbulkan suatu perbuatan secara spontan tanpa ter-pikir lebih dahulu kearah tujuan perbuatan itu.[12]
Dalam berbagai kamus populer insting secara jelas di-samakan dengan naluri, menurut Lorens Bagus ada lima pengertian insting atau naluri, yaitu:
a.         Dorongan bawaan serta bersifat otomatis dalam diri manusia dan binatang untuk memuaskan ke-butuhan-kebutuhan biologis dasar yang meng-antar kepada prilaku yang bertujuan dan terarah.
b.         Dorongan alamiah untuk bertindak dengan cara-cara tertentu.
c.          Kecondongan yang tidak bebas dan tidak masuk akal yang melekat untuk bertindak atau untuk menjalankan suatu tindakan tertentu di bawah kendali khusus di bawah rangsangan internal dan eksternal.
d.         Kegemaran, kesukaan alamiah (bawaan, spontan) dan atau berurat berakar untuk melakukan se-suatu.
e.          Bentuk kegiatan psikis, tipe dari tingkah laku.[13]
Telaah terhadap uraian Lorens Bagus dapat dipahami bahwa insting atau naluri adalah potensi bawaan sejak lahir manusia dan atau binatang yang dalam karakternya cenderung bersifat spontan tanpa disadari. Misalnya, insting atau naluri makan, seksual, berjuang, bertempat tinggal, berkumpul, dan naluri ber-Tuhan.
2.     Faktor Adat
Adat merupakan faktor yang sangat berpengaruh ter-hadap terbentuknya akhlak. Dalam konteks adat, da-pat dibedakan dalam dua macam, yaitu: Pertama, adat dalam arti adat-istiadat yang lazimnya mengan-dung sanksi. Contoh, dikalangan masyarakat bugis, apabila seseorang hendak melintas di hadapan orang yang lebih tua, atau melintas di depan sekelompok orang, maka kita harus sedikit menundukkan badan dan kepala yang dibarengi dengan mengarahkan tangan kanan ke bawah bagian depan sambil berucap “tabe”. Apabila kebiasaan itu kita tidak lakukan, maka kita dapat dipandang sebagai seorang yang kurang dan atau tidak beradat. 
Kedua, adat dalam arti kebiasaan atau prilaku kese-harian manusia atau seseorang yang lazimnya tidak mengandung sanksi. Contoh, “merokok”, seorang yang telah dipandang sebagai “perokok”, hal itu merupakan kebiasaan yang pada awalnya tidak menyenangkan, namun karena merokok itu dilakukan berlang-ulang maka lambat laun kebiasaan itu menjadi sangat me-nyenangkan.
Adat dalam bahasa Inggris disebut custom. Secara harfiah adat berarti praktek-praktek yang berdasar-kan kebiasaan, baik perorangan maupun kelompok.[14]
Adat juga diartikan kebiasaan atau tradisi masyarakat yang telah dilakukan berulangkali secara turun-me-nurun.[15]
Beberapa cara untuk merubah kebiasaan yang buruk menurut Hamzah Ya’kub, sebagai berikut:
a.         Berniat dengan sungguh-sungguh tanpa keragu-an dan bertekad kuat untuk merubah kebiasaan buruk itu.
b.         Tanamkan dalam diri pengertian dan kesadaran yang mendalam perlunya kebiasaan buruk itu di-hilangkan.
c.          Niat untuk merubah kebiasaan buruk itu tidak boleh goyah harus sesuai dengan yang diniatkan.
d.         Segera disusul dengan kebiasaan yang baik, sete-lah kebiasaan buruk itu hilang.
e.          Cari waktu yang baik dan tepat agar apa yang ki-ta niatkan dapat terlaksana dengan baik secara sempurna.
f.           Pelihara potensi niat yang kuat untuk merubah kebiasaan buruk agar tumbuh berkembang da-lam diri secara baik.[16]
Bersarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa adat (istiadat) sangat berpengaruh dalam pembentukan akhlak seseorang. Dalam ajaran akhlak, Rasulullah saw mengajarkan kepada umatnya agar yang muda menghormati yang tua, yang berjalan menghormati yang duduk, kelompok yang sedikit menghormati ke-lompok yang lebih banyak dan seterusnya. Demi-kian pula dengan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang tidak berguna seperti kebiasaan merokok, kebiasaan begadang (tidak tidur larut malam tanpa tujuan), hal itu merupakan perbuatan (akhlak) yang ter-puji.
3.     Faktor Lingkungan
Menurut pandangan empirime faktor lingkungan sangat berpengaruh pada prilaku manusia, baik ling-kungan geografis atau alam maupun lingkungan sosial atau manusia. Sebagai contoh, karakter atau cara berpakaian orang atau masyarakat yang tinggal di desa berbeda dengan orang atau masyarakat yang tinggal di kota, hal itu karena dipengaruhi oleh fak-tor lingkungan alam dan lingkungan sosial.
Dalam pandangan Islam lingkungan cenderung dapat berpengaruh dalam pembentukan akhlak seseorang. Dalam perspektif hadis, setiap bayi yang lahir dalam keadaan fitrah, bersih dan suci. Namun lingkungan yang terdekat akan sangat berpengaruh, yaitu kedua orang tuanya, kalau orang tuanya dari kalangan kaum Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi, maka akhlak bayi yang dilahirkan akan terbentuk sesuai agama yang dianut oleh orang tuanya atau bapak dan ibunya.
“Setiap manusia yang dilahirkan ibunya di atas fit-rah. Kedua orang tuanya yang menjadikannya Ya-hudi, Nasrani, atau Majusi”. (Muttaqun Alaih).
4.     Faktor Pendidikan
        Faktor pendidikan akan sangat berpengaruh terhadap pembentukan akhlak manusia. Menurut pandangan Islam manusia lahir dalam keadaan fitrah atau suci.
       Maknah fitrah bagi  seorang bayi yang baru lahir, bu-kan berarti hanya suci dari segala kesalahan dan dosa, tetapi juga fitrah dalam arti, manusia lahir tanpa di-sertai harta benda dan ilmu pengetahuan, oleh ka-rena itu Islam mengajarkan bahwa ilmu pengeta- huan dan atau pendidikan mempunyai peranan yang amat penting dalam pembentukan akhlak, dan  pendi-dikan akhlak itu harus di bentuk sejak manusia dila-hirkan.
Pendidikan akhlak yang paling fundamental dalam Islam adalah akhlak rububiyyah atau akhlak kepada Allah dan Rasul-Nya, karenanya setiap bayi yang la-hir, sesegera mungkin di azankan di telinga kanan-nya dan di iqamatkan di telinga kirinya, hal ini adalah salah satu bentuk pendidikan Islam yang diajarkan oleh Rasul saw.
Bahkan lebih jauh, Rasulullah saw mengajarkan agar mulai dari hubungan biologis antara suami-istri hen-daklah diawali dengan berdoa kepada Allah agar dia-nugrahi keturunan yang berakhlakulkarimah.
Dalam kehidupan modern, pendidikan sangat berpe-ngaruh terhadap prilaku atau akhlak manusia, untuk itu pendidikan yang cenderung sekuler akan sangat berbahaya bagi perilaku dan kehidupan manusia. Karena itu, untuk membentuk dan mewujudkan ge-nerasi yang berakhlak mulia, maka kunci dasarnya adalah pendidikan yang Islami, yaitu pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai al-Qur’an dan hadis, ka-rena menurut pandangan Islam, al-Qur’an dan hadis harus dijadikan prinsip dasar untuk mengukur, apa-kah sesuatu itu baik atau buruk.





Gambar: 28
 











F.      Macam-macam Nafsu Menurut Islam
Prinsip dasar nafsu pada diri manusia ada dua ma-cam yaitu nafsu yang mendorong manusia melakukan kebaikan, dan nafsu yang mendorong manusia melaku-kan keburukan. Namun jika dilihat dari segi karakter si-fatnya para ulama membagi nafsu manusia menjadi de-lapan macam yaitu:
a.     Nafsu Amarah
Prinsip dasar kata amarah sebenarnya sudah men-jadi bahasa Indonesia, amarah adalah salah satu naf-su yang tercela. Ciri utamanya, yaitu adanya karak-ter jiwa yang cenderung melanggar norma dan akh-lak karena hilangnya kesadaran berpikir Islami.
Suatu ketika seorang sahabat bertanya kepada Rasul tentang amalan apa yang mesti aku lakukan (seba-gai syarat utama) agar aku kelak menjadi penghuni surga? Rasulullah menjawab La> Tagdhab, artinya jangan marah, sahabat itu tetap bertanya (selain itu ya Rasulullah), tiga kali pertanyaan jawabannya sa-ma, La> Tagdhab, sesudah tiga kali, baru Rasul me-nyatakan amalan yang lain, dan berbaktilah engkau kepada kedua orang tua. Riwayat ini menggambar-kan bahwa tidak mungkin seseorang bisa berbuat baik dengan sempurna kepada kedua orang tuanya, kalau ia selalu dikuasai oleh nafsu amarahnya.
b.    Nafsu Lawwamah
Nafsu Lawwamah juga nafsu yang tercela, ciri uta-manya adanya karakter jiwa yang cenderung sera-kah, mudah melakukan kejahatan, namun sesudah manusia melakukan kejahatan timbul penyesalan, tetapi rasa penyesalan itu tidak membuat dirinya jerah melakukan kejahatan.
c.    Nafsu Musawwalah
Nafsu Musawwalah juga tergolong nafsu yang ter-cela, ciri utamanya adanya karakter jiwa yang cen-derung malu melakukan kejahatan kalau diketa-hui orang, karenanya ia dengan sadar melakukan kejahatan dengan sembunyi-sembunyi.
d.     Nafsu Mutmainnah
Nafsu Mutmainnah adalah nafsu yang mulia, ciri uatamanya adanya karakter jiwa yang cenderung untuk melakukan kebaikan dan melarang berbuat kemungkaran, membuat jiwa tenang, damai dan melahirkan perasaan Islami.
e.      Nafsu Malhamah
Nafsu Malhamah adalah nafsu mulia, ciri utamanya adanya karakter jiwa yang merasakan adanya suatu  ilham dari Allah, jiwa yang darinya melahirkan sifat kesabaran, kesyukuran dan keuletan.
f.      Nafsu Radhiah
Nafsu Radhiah adalah nafsu yang mendapatkan ri-dha Allah, ciri utamanya adanya karakter jiwa yang berderajat syukur sangat tinggi terhadap segala nik-mat yang dianugerahkan kepadanya.
g.    Nafsu Mardhiah
Nafsu Mardhiah adalah nafsu yang terlimpah keri-dhaan Allah swt, ciri utamanya adanya karakter jiwa yang penuh dengan kemuliaan berupa kemu-rahan dan keikhlasan yang berderajat zikirpikir.
h.     Nafsu Kamilah
Nafsu Kamilah adalah nafsu yang dipandang me-miliki kesempurnaan, ciri utamanya adanya karak-ter jiwa yang telah memperoleh ilmu-ilmu “La-Dunni” dari Allah swt. Jiwa yang setiap saat telah siap kembali kehadirat Allah swt.
Apabila kita mencermati secara menyeluruh karak-ter atau sifat-sifat nafsu yang ada pada diri manusia terda-pat delapan nafsu, lima jenis nafsu (Mutmainnah, Malha-mah, Radhiah, Mardhiah dan Kamilah), harus tetap dipelihara dan dikembangkan agar derajatnya semakin tinggi guna mencapai insan kamil. Kemudian  tiga jenis nafsu (Amarah, Lawwamah, Musawwalah), harus senan-tiasa dikendalikan agar tidak merusak hakikat kemanu-siaan yang fitrah.
Dengan demikian, ada lima nafsu yang berpengaruh positif pada diri manusia, dan tiga nafsu berpengaruh negatif. Untuk itu, aqidah mempunyai peran penting dalam kehidupan manusia. Semakin baik aqidah sese-orang maka akan semakin cenderung untuk berbuat kebaikan atau akhlak mahmudah, dan apabila aqidah seseorang rapuh, maka akan semakin cenderung pada perbuatan yang buruk atau akhlak mazmumah.



















Gambar: 28
DESKRIPSI MACAM-MACAM NAFSU




















       Karakter nafsu amarah, lawwamah dan musawwa-lah senantiasa mendorong jiwa agar melakukan akhlak mazmumah (tercela), antara lain seperti:
a.         Takabbur, adalah karakter yang cederung melupa-kan kemahakuasaan Allah, sangat mengagungkan dirinya sendiri, identik dengan sifat sombong.
b.         al-Hasad, adalah karakter yang cenderung bersifat iri dan dengki terhadap kelebihan dan keberhasilan orang lain.
c.         Ana>niyah, adalah karakter yang cenderung serba dirinya, atau sifat egoistis tidak memahami orang lain.
d.         al-Kadzbu,adalah sifat karakter yang cenderung pa-da tipudaya atau sifat dusta/bohong. 
Sedangkan karakter nafsu Mutmainnah, Malhamah, Radhiah, Mardhiah dan Kamilah senantiasa mendorong jiwa untuk melakukan akhlak mahmudah (terpuji), an-tara lain seperti:
a.     al-Amanah, adalah karakter jiwa yang jujur, dapat dipercaya untuk mengemban sesuatu amanah seke-cil apapun.
b.     al-Shiddiq, adalah karakter jiwa yang senantiasa cinta kepada kebenaran sehingga berimplikasi per-kataan dan perbuatan yang benar.
c.      al-Shabr, adalah sifat karakter jiwa yang senantiasa berlaku dan/atau bersifat sabar dalam menghadapi ujian hidup.
d.     al-Haya’, adalah sifat karakter jiwa yang senantiasa mencintai rasa malu kepada diri sendiri, malu ke-pada orang lain dan malu kepada Allah swt.
e.      al-Tawadhu’, adalah karakter jiwa yang senantiasa bersifat rendah hati, bersih dari sifat sombong dan sangat menghargai orang lain.
f.      al-Syajaah, adalah karakter jiwa yang bersifat be-rani dalam kebenaran dan takut berbuat kesalahan.
g.     al-Qanaah, adalah karakter jiwa yang senantiasa merasa cukup sangat mensyukuri segala nikmat yang Allah berikan kepadanya.
h.     al-Ikhlas, adalah karakter jiwa yang bersifat tulus karena Allah swt, maka apapun yang dilakukan ti-dak menimbulkan beban yang memberatkan.


[1]  M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif  al-Qur’-an (Jakarta: Amzah, 2007), h. 39.
[2]   Ibid., h. 56.
[3]  Loren Bagus, Kamus Populer Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pus-taka Utama, 1996), h. 282.
[4]   K. Bertens, loc. cit.,
[5] Dick Hartoko, Kamus Populer Filsafat,(Jakarta: Rajawali,1986)    cet. Ke-1, h. 36.
[6]   K. Bertens, Etika, (Jkt: Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 235.
[7]   Bagus, op.cit., h. 688
[8]   Loren Bagus, op. cit., h. 1158
[9]   Sidi Gazalba, op. cit., h. 38.
[10]   Sidi Gazalba, op.cit., h. 38.
[11]   Robert C. Solomon, op, cit., h. 137
[12]   Ibid., h. 65
[13]   Lorens Bagus, op. cit., h. 354-355
[14]   Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 8.
[15]  Abdul Azis Dahlan et.al (ed.)., Ensiklopedi Hukum Islam, (Ja-karta: Ictiar Baru VanHoeve, 1997), Jilid I, hlm. 21.
[16] Hamzah Ya’kub, Etika Islam Pembinaan Akhlaqulkari-mah, Suatu Pengantar, (Bandung: Diponegoro, 1996), h. 61

1 komentar: