Pages

Jumat, 09 Desember 2016

Kajian Dasar Akhlak




KAJIAN DASAR AKHLAK






A.     MEMAHAMI AKHLAK
Secara etimologi, akhlak berasal dari bahasa Arab, dari kata khuluq (khuluqun), yang berarti budi pekerti, tingkah laku, dan perangai.[1] Juga dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata “akhlak” diartikan sebagai budi pekerti, watak, tabiat.[2]
  M. Syatori, dalam bukunya Ilmu Akhlak mengar-tikan akhlak sebagai:
a.         kumpulan kaidah untuk menempuh jalan yang baik;
b.         jalan yang sesuai menuju Allah;
c.         pandangan akal tentang kebaikan dan keburukan.[3]
Secara terminologi atau istilah, akhlak adalah ilmu yang menentukan batas antara yang baik dan yang buruk tentang perbuatan manusia baik lahir maupun batin.
Untuk memahami akhlak lebih komprehensip, beri-kut dikemukakan beberapa definisi oleh para tokoh, se-bagai berikut:
1.        Ahmad Amin, akhlak adalah ilmu yang menjelas-kan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang se-harusnya dilakukan oleh sebagian manusia kepada yang lainnya.[4]
2.        Imam al-Gazali, akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam per-buatan dengan mudah, tanpa memerlukan pemikir-an dan pertimbangan.[5]
3.        Ibrahim Anis, akhlak adalah sifat yang tertanam da-lam jiwa yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pe-mikiran dan pertimbangan.[6]
4.        Hamzah Ya’kub, akhlak adalah: (1) Ilmu yang me-nentukan batas baik dan buruk, antara yang terpuji dan yang tercela, tentang perkataan atau perbuatan manusia lahir dan batin. (2) Ilmu pengetahuan yang memberikan tentang baik dan buruk, ilmu yang me-ngajarkan manusia dan menyatakan tujuan mereka yang terakhir dari seluruh usaha dan pekerjaan me-reka.[7]
5.        Muhyiddin Ibnu Arabi (1165-1240M), akhlak ada-lah keadaan jiwa seseorang yang mendorong manu-sia untuk berbuat tanpa melalui pertimbangan dan pilihan terlebih dahulu. Keadaan tersebut seseorang boleh jadi merupakan tabiat atau bawaan, dan boleh jadi juga merupakan kebiasaan melalui latihan lati-han dan perjuangan.[8]  
Berdasarkan ragam definisi akhlak yang telah dike-mukakan tersebut, maka dapat diidentifikasi lima karak-teristik atau ciri dari perbuatan akhlak, sebagai berikut:
1.        Akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam da-lam jiwa seseorang sehingga telah menjadi kepriba-diannya.
2.        Akhlak adalah perbuatan yang dilakuakan dengan mudah dan tanpa pemikiran.
3.        Akhlak adalah perbuatan yang timbul di dalam diri orang yang mengerjakannya tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar.
4.        Akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan se-sungguhnya, bukan mainmain atau sandiwara saja.
5.        Akhlak adalah perbuatan yang dilakukan secara ikh-las karena Allah, bukan karena ingin mendapatkan suatu pujian.[9]
Memahami akhlak menurut Muhyiddin Ibnu Arabi, maka penulis sependapat bahwa akhlak itu dapat pula terbentuk karena kebiasaan atau melalui latihan-latihan yang dilakukan secara kontinu dan dengan ada niat agar kebiasaan atau sesuatu yang dilakukan melalui latihan-latihan itu pada akhirnya menjadi suatu karakter yang permanen yang sama sekali tidak mengandung unsur pujian dan pertimbangan pemikiran. Dengan demikian akhlak itu pada awalnya dapat pula di bentuk melalui kebiasaan dan pelatihan. Contoh, membiasakan diri dan melatih bangun di tengah malam untuk shalat tahajjud, maka pada akhirnya akan menjadi karakter (akhlak ter-puji) yang permanen, sehingga setiap tengah malam akan terbangun secara spontan.     
B.   SUMBER AKHLAK
       Prinsip dasar sumber akhlak adalah al-Qur’an dan Hadis atau Sunnah, serta Ra’yu (ijmak dan qi-yas) para ulama’.
1.        Al-Qur’an sebagai sumber akhlak, antara lain (QS. al-Ahzab/33: 21):

ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_ötƒ ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sŒur ©!$# #ZŽÏVx. ÇËÊÈ  
Terjemahnya:
Dan sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (QS. al-Ah-zab/33: 21)

Selanjutnya terdapat pada (QS. al-Qalam/68: 4):
y7¯RÎ)ur 4n?yès9 @,è=äz 5OŠÏàtã ÇÍÈ    
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pe-kerti yang agung (QS. al-Qalam/68: 4).
2.        Hadis sebagai sumber akhlak, antara lain:






Artinya:
Bahwasanya aku diutus, hanya untuk menyempur-nakan akhlak dan budi pekerti yang mulia.
C.   OBYEK KAJIAN ILMU AKHLAK
       Para pakar sepakat bahwa obyek kajian akhlak ada-lah segala tingkah laku manusia dalam upaya menetap-kan nilai baik atau buruk. Atau, penyelidikan tentang ting-kah laku dan sifat manusia baik sebagai individu mau-pun sebagai kelompok masyarakat. Secara umum perbu-atan manusia dapat dibedakan dalam dua kategori: 
1.   Perbuatan yang disengaja.
2.   Perbuatan yang tidak disengaja.
Obyek kajian ilmu akhlak hanya pada perbuatan di-sengaja, sedangkan perbuatan yang tidak disengaja tidak termasuk obyek kajian ilmu akhlak.
       Dengan demikian, kajian ilmu akhlak adalah semua perbuatan manusia yang timbul dari orang yang melak-sanakan dengan; sadar, disengaja, mengetahui waktu me-lakukannya, sadar akan akibat yang ditimbul-kannya.                                    
D.    TUJUAN DAN MANFAAT ILMU AKHLAK
Secara umum tujuan akhlak adalah untuk mencapai kebaikan dan keutamaan manusia. Menurut Imam al-Gazali kebaikan dan keutamaan manusia bersumber em-pat pada:
1.        Kebaikan dan keutamaan jiwa (al-nafs), berasal dari ilmu, kebijaksanaan, kesucian diri, dan keadilan.
2.        Kebaikan dan keutamaan badan (jasmaniah), bisa diperoleh melalui sehat, kuat, tampan, dan panjang usia.
3.        Kebaikan dan keutamaan yang datang dari luar (al-Kharijiah), berasal dari harta, keluarga, pangkat, nama baik atau kehormatan.
4.        Kebaikan dan keutamaan bimbingan (taufiq-hidayah), diperoleh dengan petunjuk, bimbingan, pelurusan, penguatan dari Allah.
       Dengan demikian tujuan akhlak adalah tercapainya kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat melalui pe-tunjuk al-Qur’an dan sunnah Nabi. Sedangkan manfa-atnya, dapat dijadikan panduan atau pedoman dalam melakukan suatu tindakan, sehingga tindakan tersebut tetap berada dalam jalur yang benar, atau dalam konsep Islam secara spesifik untuk mendapat keridhaan dari Allah swt, dalam kehidupan dunia dan akhirat.
E.     TUJUAN AKHLAK
Berdasar urain terdahulu, maka tujuan pokok akhlak adalah agar setiap muslim dapat berbudi pekerti, ber-tingkah laku, berperangai baik sesuai dengan ajaran Islam.
Hal itu dapat dilihat, bahwa semua ibadah sebagai-mana disebutkan arkanul Islam, mulai dari syahadat, sha-lat lima waktu, puasa ramadham, menunaikan zakat dan menunaikan haji, semua ibadah-ibadah tersebut apabila dilakukan secara benar sesuai dengan petunjuk al-Qur’an dan Sunnah, maka terbentuklah kepribadian mus lim yang berakhlakulkarimah baik lahir maupun batin.  
Aktualisasi Akhlak Seorang Muslim
1.      Akhlak kepada Allah;
2.      Akhlak kepada Rasul;
3.      Akhlak kepada s esame manusia;
4.      Akhlak kepada lingkungan.

1.     Akhlak kepada Allah swt.
Menurut Abuddin Nata, minimal ada empat alasan mengapa manusia harus berakhlak kepada Allah:
a.         Karena manusia itu diciptakan oleh Allah  (lihat QS. al-Thariq/86 :4-7).
b.         Karena Allah telah melengkapi manusia dengan pancaindra dan anggota badan yang kokoh (lihat QS. al-Nahl/16 :78).
c.          Karena Allah telah menganugrahkan berbagai bahan dan sarana yang diperlukan dalam kelang-sungan hidup manusia (lihat QS. al-Jatsiyah/45 :12-13).
d.         Karena Allah telah memuliakan manusia dengan diberikannya kemapuan mengusai darat dan lautan (lihat QS. al-Isra’/17 :70).[10]
Akhlak kepada Allah swt., umumnya para pakar men-deskripsikan sebagai berikut:
a.    Menyembah, dan mentauhidkan Allah
Tauhid adalah pengakuan secara lahir dan batin, bahwa hanya Allah satu-satunya yang memiliki sifat Rububuyah, dan sifat Uluhiyah, serta kesem-purnaan nama dan sifat-sifat-Nya. Untuk itu, me-nyembah Allah adalah wujud akhlak kepada Allah yang mutlak. Adapun tauhid, terbagi tiga yaitu:
Pertama, tauhid rububiyah, yaitu meyakini bahwa Allah satu-satunya Tuhan yang mencipta alam ini. Hanya Allah jua Yang Maha mengatur seluruh makhluknya dalam segala hal, Tuhan yang meng-hidupkan dan mematikan, telaah lebih jelas (lihat QS. az-Zumar/39 :62, QS. Hud/11 :6, QS. as-Saja-dah/32 : 5. QS. Yunus/10 :56, QS. Lukman/31 :25).
Kedua, tauhid uluhiyah, yaitu mengimani Allah swt sebagai satu-satunya Al-Ma’bud (yang disem-bah) telaah lebih jelas (lihat, QS. al-Baqarah/2 :163, QS. Ali ‘Imran/3 :18, QS. al-Hajj/22 :62).
Ketiga, tauhid nama dan sifat, yaitu mengimani setiap penjelasan al-Qur’an tentang nama dan sifat Allah, telaah lebih jelas (lihat QS. al-Ikhlas/ 112:4, QS. asy-Syura/42 :11, QS. an-Nahl/16: 64).[11]
b.    Berbaik Sangka kepada Allah swt.
Berbaik sangka terhadap apa yang telah ditetap-kan Allah merupakan salah satu akhlak yang ter-puji kepada-Nya.
c.    Dzikrullah
Mengingat Allah adalah asas dari setiap ibadah kepada Allah swt dan merupakan amalan amat terpuji kepada Allah.
d.    Tawakkal kepada Allah
Tawakkal atau berserah diri kepada Allah sete-lah manusia berusaha secara maksimal meru-pakan salah satu amalan terpuji kepada Allah swt.
2.     Akhlak kepada Rasul saw.
a.         Membenarkan apa yang disampaikan oleh Rasul, dalam hal ini mempercayai kebenaran hadis atau sunnah Rasul (lihat QS. al-Zumar/39 :33). Orang yang tidak percaya pada sunnah Rasul disebut “inkarussunnah”, ingkar pada sunnah Rasul ber-arti tidak berakhlak kepada Rasul saw.
b.         Mencitai, dan mengikuti syariatnya, barang siapa menaati Rasul-Nya maka sesungguhnya ia telah menaati Allah swt (lihat QS. al_Nisa’/4 :80), oleh karena itu, tidaklah seseorang itu dapat dikatakan cinta dan taat kepada Allah, apabila ia meng-ingkari apa yang disyariatkan Rasul saw.
c.          Memperbanyak shalawat kepada Rasul-Nya, se-sunggunya Allah dan para Malaikat-Nya bersha-lawat untuk Nabi (lihat QS. al-Ahzab/33 :56), karena itu perbanyaklah shalawat kepada Nabi saw.
3.     Akhlak kepada sesama manusia
Akhlak kepada sesama manusia antara lain:
a.         Akhlak kepada diri sendiri;
b.         Akhlak kepada kedua orang tua;
c.          Akhlak kepada keluarga;
d.         Akhlak kepada dosen atau guru;
e.          Akhlak kepada teman sejawat;
f.           Akhlak kepada orang yang lebih tua;
g.         Akhlak kepada orang yang lebih muda;
h.         Akhla k kepada orang yang belum dikenal;
i.           Akhlak kepada tetangga;
j.           Akhlak kepada tamu;
k.         akhlak dalam majlis/berdiskusi;
l.           Akhlak kepada non muslim;
m.       Akhlak menjenguk orang sakit.
4.        Akhlak kepada lingkungan
       Akhlak kepada lingkungan meliputi:
a.         Akhlak kepada binatang;
b.         Akhlak kepada tumbuh-tumbuhan;
c.          Akhlak kepada benda-benda tidak bernyawa.
Di antara akhlak mahmudah (akhlak terpuji) adalah:
a.         sabar;
b.         amanah;
c.         benar;
d.         adil;
e.         hemat;
f.          kasih sayang;
g.         malu;
h.        rendah hati;
i.           pemaaf;
j.           hormat;
k.         syukur;
l.           tawadhu’; 
m.      qanaah;
n.        sopan dalam ucapan dan perbuatan;
o.         taat beribadah dan memperbanyak doa;
Di antara akhlak mazmumah (akhlak tercela) adalah:
a.         ghibah; bersifat menggunjing.
b.         hianat; bersifat tidak amanah.
c.         hasad; bersifat dengki.
d.         su’uzhan; berprasangka buruk.
e.         dusta; bersifat tidak jujur.
f.          zhalim; bersifat menganiaya.
g.         tamak; bersifat rakus.
h.        pengecut; tidak bertanggung jawab.
i.           sombong; bersifat angkuh.
j.           curang; bersifat tidak adil.
k.         bahil; bersifat kikir.
l.           riya; bersifat ingin dikata.
m.      dendam; bersifat tidak pemaaf.
n.        putus asa; bersifat tidak istiqamah.
o.         boros; bersifat berlebihan.

Prinsip dasar karakteristik akhlak, sebagai berikut:
a.         Akhlak mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku yang baik dan menjauhkan dari tingkah laku yang buruk.
b.         Akhlak bersifat universal dan komprensif dapat dijadikan petunjuk dan pedoman bagi seluruh umat manusia kapan dan dimanapun.
c.         Akhlak menetapkan bahwa yang menjadi sumber atau ukuran baik dan buruk adalah al-Qur’an dan sunnah.
d.         Akhlak mengatur dan mengarahkan fitrah manusia kejenjang akhlak luhur dan meluruskan perbuatan manusia.[12]





















F.      PENGERTIAN BAIK DAN BURUK
M. Yatimin Abdullah mengurai pengertian baik seba-gai berikut:
1.        Baik berarti sesuatu yang telah mencapai kesempur-naan.
2.        Baik berarti sesuatu yang menimbulkan rasa keha-ruan dan kepuasan, kesenangan persesuaian, dan se-terusnya.
3.        Baik berarti sesuatu yang mempunyai nilai kebenaran atau nilai yang diharapkan dan memberikan kepu-asan.
4.        Baik berarti yang sesuai dengan keinginan.
5.        Baik apabila mendatangkan rahmat, memberikan pe-rasaan senang atau bahagia, bila dihargai secara po-sitif.[13]
Beberapa rumusan baik sebagaimana telah dikemuka-kan oleh Yatimin Abdullah tersebut, dalam hemat penulis secara umum cenderung pada pengertian baik menurut pandangan sekuler. Misalnya, bahwa yang baik berarti sesuai dengan keinginan, atau baik karena adanya  kepu-asan, tentu pernyataan itu tidak sejalan dengan tuntunan al-Qur’an dan hadis, karena sifat keinginan manusia itu tidak terbatas, banyak keinginan manusia terhadap sesu-atu, akan tetapi sesuatu yang diingikan itu ternyata hal yang bertentangan dengan hukum syar’i, di samping itu, sifat kepuasan bagi manusia adalah sesuatu yang relatif, bahkan hakikatnya manusia tidak akan pernah merasa puas, oleh karena itu keinginan, kesenangan dan kepuasan manusia harus selalu sejalan dan terukur dengan tuntunan syar’i.
Adapun perbuatan yang buruk dapat disrtikan sebagai berikut:
a.         Rusak atau tidak baik, jahat, tidak menyenangkan, ti-dak elok, jelek.
b.         Perbuatan yang tidak sopan, kurang ajar, jahat, tidak menyenangkan.
c.         Segala yang tercela, lawan baik, lawan bagus perbu-atan yang bertentangan dengan norma-norma agama, adat istiadat masyarakat yang berlaku.[14]
Beberapa aliran pemikiran tentang Baik dan Buruk.
1.     Hedonisme
Hedonisme berasal dari bahasa Yunani hedone yang berarti nikmat.[15] Hedonisme merupakan sebuah kon-sep moral yang menyamakan antara kebaikan dengan kesenangan, dan kesenangan itu merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia. Menurut paham ini ke-senangan “badani” merupakan hal yang terbaik bagi manusia. Paham ini didasarkan pada pandangan Aristippos yang menyatakan sebuah kesenangan tidak lain hanyalah berupa gerak dalam badan belaka.
Menurutnya gerak dibedakan dalam tiga kemung-kinan, yaitu pertama; “gerak kasar” yang disebut de-ngan “ketidaksenangan” seperti rasa sakit. Kedua “gerak halus” yang disebut “kesenangan” ketiga “ke-tiadaan gerak” disebut sebagai keadaan netral, seperti tidur.[16]
Menurut Aristippos yang baik hanyalah kenikmatan yang ada pada saat ini, bersifat badani, aktual dan individual, bukan kesenangan dari masa lampau dan masa yang akan datang.
Paham ini pertama kali dikemukakan oleh Aristippos dari Kyrene[17] (sekitar 433-355 s.M) seorang murid Sokrates.[18]
2.     Naturalisme
Naturalisme berasal dari bahasa latin “natura” yang   berarti alam, kodrat.[19] Manurut aliran ini sesuatu per-buatan dipandang baik apabila perbuatan itu sesuai dengan natur manusia, baik natur yang bersifat lahir maupun natur yang bersifat batin.

3.     Vitalisme
Vitalisme atau vitalism (Inggris), kata ini berasal dari bahasa latin yang berarti “hidup atau kehidupan”.[20] Menurut aliran ini, sesuatu dipandang baik apabila mencerminkan kekuatan dalam hidup manusia.[21]
       Menurut Sidi Gazalba, aliran ini yang bertanggungja-wab dalam perjalanan sejarah umat manusia atas tin-dakan penindasan dan ekploitasi terhadap manusia lain dalam bentuk feodalisme, kolonialisme, dictator, dan imprialisme.[22]
       Menurut aliran vitaisme, manusia yang kuat atau ber-kuasa dipandang sebagai manusia yang baik, sekali-pun kekuatan dan kekuasaannya itu dipergunakan untuk menaklukan orang yang lemah.
4.     Utilitarisme
Utilitarisme berasal dari kata utilis yang berarti “ber-guna”. Jika kata ini dinisbahkan atau diberlakukan pada perorangan maka disebut “individual”, tetapi jika dinisbahkan atau berlaku pada masyarakat atau Ne-gara maka disebut “social”. Menurut aliran ini sesuatu dapat dinya-takan baik apabila sesuatu itu mempu-nyai “nilai guna”, jika tidak mempunyai nilai guna berarti sesuatu itu dinyatakan buruk, teori utilitarisme dikembangkan oleh Robert C. Solomon pemikir Barat yang menulis tentang etika yang berpandangan bah-wa teori dasar pembenaran moralitas yang paling berpengaruh dalam beberapa abad yang lalu adalah teori utilitarisme. 
Teori utilitarisme menekankan bahwa kenikmatan atau kebahagiaan adalah tujuan akhir yang ingin dan memang pantas diinginkan semua tindakan manusia. Maka untuk mendapatkan kebahagiaan sebanyak dan \sebesar mungkin, maka manusia harus berikhtiar pula kebaikan terbesar buat sebanyak mungkin manusia.[23]
Gambar: 28
 



 








G.    FAKTOR YANG MEMPENGARUHI AKHLAK
       Banyak faktor yang dapat berpengaruh terhadap per-kembangan akhlak, hal itu karena manusia sebagai mak-hluk sosial, faktor-faktor itu antara lain:
1.     Faktor Insting
Insting adalah karakter manusia yang dibawa sejak lahir, oleh sebahagian ahli mengedentikkan dengan naluri, tabiat atau watak, insting ini dapat berpeng-aruh pada kehendak atau keinginan manusia dalam hidupnya.
Insting dalam bahasa Arab dapat diidentikkan dengan fitrah pembawaan dasar manusia sejak lahir. Insting atau naluri adalah karakter manusia yang dapat me-nimbulkan suatu perbuatan secara spontan tanpa ter-pikir lebih dahulu kearah tujuan perbuatan itu.[24]
Dalam berbagai kamus populer insting secara jelas di-samakan dengan naluri, menurut Lorens Bagus ada lima pengertian insting atau naluri, yaitu:
a.         Dorongan bawaan serta bersifat otomatis dalam diri manusia dan binatang untuk memuaskan ke-butuhan-kebutuhan biologis dasar yang meng-antar kepada prilaku yang bertujuan dan terarah.
b.         Dorongan alamiah untuk bertindak dengan cara-cara tertentu.
c.          Kecondongan yang tidak bebas dan tidak masuk akal yang melekat untuk bertindak atau untuk menjalankan suatu tindakan tertentu di bawah kendali khusus di bawah rangsangan internal dan eksternal.
d.         Kegemaran, kesukaan alamiah (bawaan, spontan) dan atau berurat berakar untuk melakukan se-suatu.
e.          Bentuk kegiatan psikis, tipe dari tingkah laku.[25]
Telaah terhadap uraian Lorens Bagus dapat dipahami bahwa insting atau naluri adalah potensi bawaan sejak lahir manusia dan atau binatang yang dalam karakternya cenderung bersifat spontan tanpa disadari. Misalnya, insting atau naluri makan, seksual, berjuang, bertempat tinggal, berkumpul, dan naluri ber-Tuhan.
2.     Faktor Adat
Adat merupakan faktor yang sangat berpengaruh ter-hadap terbentuknya akhlak. Dalam konteks adat, da-pat dibedakan dalam dua macam, yaitu: Pertama, adat dalam arti adat-istiadat yang lazimnya mengan-dung sanksi. Contoh, dikalangan masyarakat bugis, apabila seseorang hendak melintas di hadapan orang yang lebih tua, atau melintas di depan sekelompok orang, maka kita harus sedikit menundukkan badan dan kepala yang dibarengi dengan mengarahkan tangan kanan ke bawah bagian depan sambil berucap “tabe”. Apabila kebiasaan itu kita tidak lakukan, maka kita dapat dipandang sebagai seorang yang kurang dan atau tidak beradat. 
Kedua, adat dalam arti kebiasaan atau prilaku kese-harian manusia atau seseorang yang lazimnya tidak mengandung sanksi. Contoh, “merokok”, seorang yang telah dipandang sebagai “perokok”, hal itu merupakan kebiasaan yang pada awalnya tidak menyenangkan, namun karena merokok itu dilakukan berlang-ulang maka lambat laun kebiasaan itu menjadi sangat me-nyenangkan.
Adat dalam bahasa Inggris disebut custom. Secara harfiah adat berarti praktek-praktek yang berdasar-kan kebiasaan, baik perorangan maupun kelompok.[26]
Adat juga diartikan kebiasaan atau tradisi masyarakat yang telah dilakukan berulangkali secara turun-me-nurun.[27]
Beberapa cara untuk merubah kebiasaan yang buruk menurut Hamzah Ya’kub, sebagai berikut:
a.         Berniat dengan sungguh-sungguh tanpa keragu-an dan bertekad kuat untuk merubah kebiasaan buruk itu.
b.         Tanamkan dalam diri pengertian dan kesadaran yang mendalam perlunya kebiasaan buruk itu di-hilangkan.
c.          Niat untuk merubah kebiasaan buruk itu tidak boleh goyah harus sesuai dengan yang diniatkan.
d.         Segera disusul dengan kebiasaan yang baik, sete-lah kebiasaan buruk itu hilang.
e.          Cari waktu yang baik dan tepat agar apa yang ki-ta niatkan dapat terlaksana dengan baik secara sempurna.
f.           Pelihara potensi niat yang kuat untuk merubah kebiasaan buruk agar tumbuh berkembang da-lam diri secara baik.[28]
Bersarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa adat (istiadat) sangat berpengaruh dalam pembentukan akhlak seseorang. Dalam ajaran akhlak, Rasulullah saw mengajarkan kepada umatnya agar yang muda menghormati yang tua, yang berjalan menghormati yang duduk, kelompok yang sedikit menghormati ke-lompok yang lebih banyak dan seterusnya. Demi-kian pula dengan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang tidak berguna seperti kebiasaan merokok, kebiasaan begadang (tidak tidur larut malam tanpa tujuan), hal itu merupakan perbuatan (akhlak) yang ter-puji.
3.     Faktor Lingkungan
Menurut pandangan empirime faktor lingkungan sangat berpengaruh pada prilaku manusia, baik ling-kungan geografis atau alam maupun lingkungan sosial atau manusia. Sebagai contoh, karakter atau cara berpakaian orang atau masyarakat yang tinggal di desa berbeda dengan orang atau masyarakat yang tinggal di kota, hal itu karena dipengaruhi oleh fak-tor lingkungan alam dan lingkungan sosial.
Dalam pandangan Islam lingkungan cenderung dapat berpengaruh dalam pembentukan akhlak seseorang. Dalam perspektif hadis, setiap bayi yang lahir dalam keadaan fitrah, bersih dan suci. Namun lingkungan yang terdekat akan sangat berpengaruh, yaitu kedua orang tuanya, kalau orang tuanya dari kalangan kaum Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi, maka akhlak bayi yang dilahirkan akan terbentuk sesuai agama yang dianut oleh orang tuanya atau bapak dan ibunya.
“Setiap manusia yang dilahirkan ibunya di atas fit-rah. Kedua orang tuanya yang menjadikannya Ya-hudi, Nasrani, atau Majusi”. (Muttaqun Alaih).
4.     Faktor Pendidikan
        Faktor pendidikan akan sangat berpengaruh terhadap pembentukan akhlak manusia. Menurut pandangan Islam manusia lahir dalam keadaan fitrah atau suci.
       Maknah fitrah bagi  seorang bayi yang baru lahir, bu-kan berarti hanya suci dari segala kesalahan dan dosa, tetapi juga fitrah dalam arti, manusia lahir tanpa di-sertai harta benda dan ilmu pengetahuan, oleh ka-rena itu Islam mengajarkan bahwa ilmu pengeta- huan dan atau pendidikan mempunyai peranan yang amat penting dalam pembentukan akhlak, dan  pendi-dikan akhlak itu harus di bentuk sejak manusia dila-hirkan.
Pendidikan akhlak yang paling fundamental dalam Islam adalah akhlak rububiyyah atau akhlak kepada Allah dan Rasul-Nya, karenanya setiap bayi yang la-hir, sesegera mungkin di azankan di telinga kanan-nya dan di iqamatkan di telinga kirinya, hal ini adalah salah satu bentuk pendidikan Islam yang diajarkan oleh Rasul saw.
Bahkan lebih jauh, Rasulullah saw mengajarkan agar mulai dari hubungan biologis antara suami-istri hen-daklah diawali dengan berdoa kepada Allah agar dia-nugrahi keturunan yang berakhlakulkarimah.
Dalam kehidupan modern, pendidikan sangat berpe-ngaruh terhadap prilaku atau akhlak manusia, untuk itu pendidikan yang cenderung sekuler akan sangat berbahaya bagi perilaku dan kehidupan manusia. Karena itu, untuk membentuk dan mewujudkan ge-nerasi yang berakhlak mulia, maka kunci dasarnya adalah pendidikan yang Islami, yaitu pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai al-Qur’an dan hadis, ka-rena menurut pandangan Islam, al-Qur’an dan hadis harus dijadikan prinsip dasar untuk mengukur, apa-kah sesuatu itu baik atau buruk.
Gambar: 28
 











H.    Macam-macam Nafsu Menurut Islam
Prinsip dasar nafsu pada diri manusia ada dua ma-cam yaitu nafsu yang mendorong manusia melakukan kebaikan, dan nafsu yang mendorong manusia melaku-kan keburukan. Namun jika dilihat dari segi karakter si-fatnya para ulama membagi nafsu manusia menjadi de-lapan macam yaitu:
a.     Nafsu Amarah
Prinsip dasar kata amarah sebenarnya sudah men-jadi bahasa Indonesia, amarah adalah salah satu naf-su yang tercela. Ciri utamanya, yaitu adanya karak-ter jiwa yang cenderung melanggar norma dan akh-lak karena hilangnya kesadaran berpikir Islami.
Suatu ketika seorang sahabat bertanya kepada Rasul tentang amalan apa yang mesti aku lakukan (seba-gai syarat utama) agar aku kelak menjadi penghuni surga? Rasulullah menjawab La> Tagdhab, artinya jangan marah, sahabat itu tetap bertanya (selain itu ya Rasulullah), tiga kali pertanyaan jawabannya sa-ma, La> Tagdhab, sesudah tiga kali, baru Rasul me-nyatakan amalan yang lain, dan berbaktilah engkau kepada kedua orang tua. Riwayat ini menggambar-kan bahwa tidak mungkin seseorang bisa berbuat baik dengan sempurna kepada kedua orang tuanya, kalau ia selalu dikuasai oleh nafsu amarahnya.
b.    Nafsu Lawwamah
Nafsu Lawwamah juga nafsu yang tercela, ciri uta-manya adanya karakter jiwa yang cenderung sera-kah, mudah melakukan kejahatan, namun sesudah manusia melakukan kejahatan timbul penyesalan, tetapi rasa penyesalan itu tidak membuat dirinya jerah melakukan kejahatan.
c.    Nafsu Musawwalah
Nafsu Musawwalah juga tergolong nafsu yang ter-cela, ciri utamanya adanya karakter jiwa yang cen-derung malu melakukan kejahatan kalau diketa-hui orang, karenanya ia dengan sadar melakukan kejahatan dengan sembunyi-sembunyi.
d.     Nafsu Mutmainnah
Nafsu Mutmainnah adalah nafsu yang mulia, ciri uatamanya adanya karakter jiwa yang cenderung untuk melakukan kebaikan dan melarang berbuat kemungkaran, membuat jiwa tenang, damai dan melahirkan perasaan Islami.
e.      Nafsu Malhamah
Nafsu Malhamah adalah nafsu mulia, ciri utamanya adanya karakter jiwa yang merasakan adanya suatu  ilham dari Allah, jiwa yang darinya melahirkan sifat kesabaran, kesyukuran dan keuletan.
f.      Nafsu Radhiah
Nafsu Radhiah adalah nafsu yang mendapatkan ri-dha Allah, ciri utamanya adanya karakter jiwa yang berderajat syukur sangat tinggi terhadap segala nik-mat yang dianugerahkan kepadanya.
g.    Nafsu Mardhiah
Nafsu Mardhiah adalah nafsu yang terlimpah keri-dhaan Allah swt, ciri utamanya adanya karakter jiwa yang penuh dengan kemuliaan berupa kemu-rahan dan keikhlasan yang berderajat zikirpikir.
h.     Nafsu Kamilah
Nafsu Kamilah adalah nafsu yang dipandang me-miliki kesempurnaan, ciri utamanya adanya karak-ter jiwa yang telah memperoleh ilmu-ilmu “La-Dunni” dari Allah swt. Jiwa yang setiap saat telah siap kembali kehadirat Allah swt.
Apabila kita mencermati secara menyeluruh karak-ter atau sifat-sifat nafsu yang ada pada diri manusia terda-pat delapan nafsu, lima jenis nafsu (Mutmainnah, Malha-mah, Radhiah, Mardhiah dan Kamilah), harus tetap dipelihara dan dikembangkan agar derajatnya semakin tinggi guna mencapai insan kamil. Kemudian  tiga jenis nafsu (Amarah, Lawwamah, Musawwalah), harus senan-tiasa dikendalikan agar tidak merusak hakikat kemanu-siaan yang fitrah.
Dengan demikian, ada lima nafsu yang berpengaruh positif pada diri manusia, dan tiga nafsu berpengaruh negatif. Untuk itu, aqidah mempunyai peran penting dalam kehidupan manusia. Semakin baik aqidah sese-orang maka akan semakin cenderung untuk berbuat kebaikan atau akhlak mahmudah, dan apabila aqidah seseorang rapuh, maka akan semakin cenderung pada perbuatan yang buruk atau akhlak mazmumah.



















Gambar: 28
DESKRIPSI MACAM-MACAM NAFSU




















       Karakter nafsu amarah, lawwamah dan musawwa-lah senantiasa mendorong jiwa agar melakukan akhlak mazmumah (tercela), antara lain seperti:
a.         Takabbur, adalah karakter yang cederung melupa-kan kemahakuasaan Allah, sangat mengagungkan dirinya sendiri, identik dengan sifat sombong.
b.         al-Hasad, adalah karakter yang cenderung bersifat iri dan dengki terhadap kelebihan dan keberhasilan orang lain.
c.         Ana>niyah, adalah karakter yang cenderung serba dirinya, atau sifat egoistis tidak memahami orang lain.
d.         al-Kadzbu,adalah sifat karakter yang cenderung pa-da tipudaya atau sifat dusta/bohong. 
Sedangkan karakter nafsu Mutmainnah, Malhamah, Radhiah, Mardhiah dan Kamilah senantiasa mendorong jiwa untuk melakukan akhlak mahmudah (terpuji), an-tara lain seperti:
a.     al-Amanah, adalah karakter jiwa yang jujur, dapat dipercaya untuk mengemban sesuatu amanah seke-cil apapun.
b.     al-Shiddiq, adalah karakter jiwa yang senantiasa cinta kepada kebenaran sehingga berimplikasi per-kataan dan perbuatan yang benar.
c.      al-Shabr, adalah sifat karakter jiwa yang senantiasa berlaku dan/atau bersifat sabar dalam menghadapi ujian hidup.
d.     al-Haya’, adalah sifat karakter jiwa yang senantiasa mencintai rasa malu kepada diri sendiri, malu ke-pada orang lain dan malu kepada Allah swt.
e.      al-Tawadhu’, adalah karakter jiwa yang senantiasa bersifat rendah hati, bersih dari sifat sombong dan sangat menghargai orang lain.
f.      al-Syajaah, adalah karakter jiwa yang bersifat be-rani dalam kebenaran dan takut berbuat kesalahan.
g.     al-Qanaah, adalah karakter jiwa yang senantiasa merasa cukup sangat mensyukuri segala nikmat yang Allah berikan kepadanya.
h.     al-Ikhlas, adalah karakter jiwa yang bersifat tulus karena Allah swt, maka apapun yang dilakukan ti-dak menimbulkan beban yang memberatkan.



[1]  Tim Prima Pena, Kamus Ilmiah Populer, Edesi Lengkap,  (Su-rabaya: Gitamedia Press, 2006), h. 18
[2]    WJS, Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1985, hlm. 25.
[3]     M. Syatroni, Ilmu Akhlak, Bandung: Lisan, 1987, hlm. 1.
[4]    Ahmad Amin, Kitab Akhlak, (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishri-yah, tt), hlm. 13
[5]  Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Per-sada,2009), hlm. 3
[6]    Ibid., h. 4
[7]  Hamzah Ya’kub, Etika Islam; Pembinaan Akhlaqul Karimah,  (Bandung: Diponegoro, 1996), h. 12               
[8]     M. Syatori, op, cit, hlm. 1.
[9]    Asbuddin  Nata, op., cit., 4-6
[10]    Asbuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persa-da, 2009), hlm. 49-50.
[11]    Lihat Abdul Aziz, Al-Tauhid li al-Nasyi’ah wa al-Mubtadi’in, Arab Saudi: Wisarah yu’un al-Islamiyah wa al-Awqaf wa al-Da’wah wa Irsyad, 1422H, hlm, 11-13.

[12]   Abd. Rahman Assegaf, Studi Islam Kontekstual; Elaborasi Para-digma Baru Muslim Kaffah, Yogyakarta: Gama Media, 2005, hlm. 171. Dalam hal ini Abd. Rahman Assegaf, menyamakan antara akhlak dengan etika Islam.
[13]  M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif  al-Qur’-an (Jakarta: Amzah, 2007), h. 39.
[14]   Ibid., h. 56.
[15]  Loren Bagus, Kamus Populer Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pus-taka Utama, 1996), h. 282.
[16]   K. Bertens, loc. cit.,
[17] Dick Hartoko, Kamus Populer Filsafat,(Jakarta: Rajawali,1986)    cet. Ke-1, h. 36.
[18]   K. Bertens, Etika, (Jkt: Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 235.
[19]   Bagus, op.cit., h. 688
[20]   Loren Bagus, op. cit., h. 1158
[21]   Sidi Gazalba, op. cit., h. 38.
[22]   Sidi Gazalba, op.cit., h. 38.
[23]   Robert C. Solomon, op, cit., h. 137
[24]   Ibid., h. 65
[25]   Lorens Bagus, op. cit., h. 354-355
[26]   Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 8.
[27]  Abdul Azis Dahlan et.al (ed.)., Ensiklopedi Hukum Islam, (Ja-karta: Ictiar Baru VanHoeve, 1997), Jilid I, hlm. 21.
[28] Hamzah Ya’kub, Etika Islam Pembinaan Akhlaqulkari-mah, Suatu Pengantar, (Bandung: Diponegoro, 1996), h. 61

0 komentar:

Posting Komentar