KAJIAN DASAR AQIDAH ISLAM
A.
HUBUNGAN AQIDAH DENGAN AKHLAK
Aqidah merupakan bentuk
keyakinan yang funda-mental yang harus dimiliki oleh seorang muslim, hubu-ngan aqidah
dengan akhlak tidak dapat dipisahkan, karena keduanya bagaikan satu pohon,
aqidah laksana akar, sedangkan batang, ranting, daun dan buah laksana akhlak.[1]
Untuk itu, pohon akan mudah tumbang apabila akarnya rapuh. Secara filosofis
aqidah dan akhlak laksana sebuah bangunan, kokoh
tidaknya suatu ba-ngunan, ditentukan oleh paodasinya, dalam konteks ini,
pondasi laksana aqidah.
Uraian
tersebut menggambarkan, bahwa akhlak ada-lah cerminan aqidah, untuk
itu, semakin baik aqidah se-serang maka akan tergambar pula pada kemuliaan akh-laknya.
Hal itu searah dengan hadis Nabi saw:
Dari Abi Huraerah, Rasulullah saw bersabda, orang muk-min yang sempurna imannya ialah yang terbaik akh-laknya,.. (Riwayat,
At-Tirmidzi)
Hubungan aqidah dengan
akhlak dalam pendekatan sufistik digambarkan oleh Imam Muhammad Al-Gazali bahwa aqidah atau iman yang kuat mewujudkan akh-laqulkarimah,
sedangkan iman yang lemah mewujud-kan akhlak yang jahat dan buruk.[2]
Berdasar uraian di
atas maka dapat dipahami, bah-wa untuk bisa mewujudkan akhlak yang terpuji bagi
se-orang muslim dalam kehidupannya, maka pembinaan aqidah menjadi sangat
penting untuk ditanamkan kepa-da setiap orang sejak masih kanak-kanak. Oleh
sebab itu, setiap bayi yang baru lahir disunnahkan untuk diazankan di arah
telinga kanannya, dan iqamatkan di arah telinga kirinya, hal itu merupakan
bentuk penyen- tuhan aqidah sejak dini.
B.
KAJIAN AQIDAH ISLAM
Secara etimologi
aqidah berasal dari kata al’aqad, bermakna ikatan, pengesahan, penguatan atau
keya-kinan yang kuat, dan pengikatan dengan kuat. Pada pe-ngertian yang lain,
aqidah adalah keyakinan atau pene-tapan.[3]
Berdasarkan rumusan
tersebut, aqidah dapat diarti-kan sebagai ketetapan hati yang tidak ada
keraguan ke-pada orang yang mengambil keputusan, baik benar ma-upun salah.
Istilah aqidah dalam
al-Qur’an maupun dalam ha-dis selalu dikaitkan dengan keimanan atau iman, yang
dalam ajaran Islam keimanan tersebut tercakup dalam rukun iman (arkanul
iman), yaitu, (1) beriman kepada Allah swt, (2) kepada Malaikat-Nya, (3)
kepada Kitab-Nya, (4) kepada Rasul-Nya (5) kepada hari akhirat, dan (6) kepada
takdir baik dan buruk.
Beriman dalam
pendekatan aqidah, bukan hanya dalam bentuk ucapan saja, tetapi harus dengan
keyakin-an yang kuat dalam hati, dan diwujudkan dengan peng-amalan sesuai
dengan petunjuk al-Qur’an dan hadis atau Sunnah Rasulullah saw. Oleh karena
itu, tidaklah seseorang itu dikatakan beriman, kalau hanya sebatas keyakinan
dan ucapan, tanpa diwujudkan dalam bentuk tindakan atau pengamalan yang benar menurut syar’i.
Gambar: 1
DESKRIPSI HAKIKAT IMAN
C.
SUMBER AJARAN AQIDAH ISLAM
Telah diuraikan terdahulu,
bahwa aqidah merupa-kan instrumen yang sangat fundamental dalam kehi-dupan
seorang mukmin, untuk itu, ajaran aqidah meru-pakan doktrin dasar yang
disyariatkan Allah kepada para Nabi dan Rasul sejak nabi Adam as.
Khususnya kalangan ulama
Ahlusunnah Waljamaah mereka sepakat menetapkan tiga sumber ajaran aqidah Islam,
yaitu:
1.
Al-Qur’an
2.
Hadis atau Sunnah
3.
Ijmak
1. Al-Qur’an Sebagai Sumber Aqidah
Di dalam al-Qur’an banyak
ayat-ayat yang secara eksplisit maupun implisit mengandung ajaran aqidah dan
atau ajaran yang bertalian dengan rukun iman. Oleh ka-rena itu para ulama
sepakat, bahwa al-Qur’an adalah sumber aqidah Islam yang utama dan pertama,
seba-gaimana al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam dan sumber hukum
Islam. Di antaranya, firman Allah, (QS. An-Nisa/4: 136).
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#þqãYtB#uä
(#qãYÏB#uä «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur É=»tFÅ3ø9$#ur
Ï%©!$#
tA¨tR 4n?tã ¾Ï&Î!qßu É=»tFÅ6ø9$#ur
üÏ%©!$# tAtRr&
`ÏB
ã@ö6s% 4
`tBur
öàÿõ3t «!$$Î/ ¾ÏmÏFs3Í´¯»n=tBur
¾ÏmÎ7çFä.ur
¾Ï&Î#ßâur
ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# ôs)sù ¨@|Ê Kx»n=|Ê
#´Ïèt/ ÇÊÌÏÈ
Terjemahnya:
Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah
beriman ke-pada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah
turun-kan sebelumnya. Barang siapa yang kafir kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya,
Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, dan hari Kemudian, Maka Sesungguhnya orang
itu telah sesat sejauh-jauhnya. (QS. An-Nisa/4: 136).
Al-Quran
dan Sunnah sebagai sumber aqidah, antara lain tersebut dalam hadis Rasul saw:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ اَمْرَيْنِ مَا
لَنْ تَضِلُّ بَعْدَهُ اِنْ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ كَتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ
رَسُوْلِهِ.
Artinya:
Telah aku tinggalkan kepadamu dua
perkara, kamu tidak akan sesat selama-lamanya, jika kamu tetap berpegang kepada
keduanya yaitu, Kitabullah (al-Qur’an) dan Sun-nah Rasul (hadis). (Riwayat
Bukhari dan Muslim).
2.
Hadis Sebagai Sumber
Aqidah
Hadis
atau Sunnah Rasulullah saw pada hakikat-nya adalah wahyu. Oleh karena itu,
hadis atau Sunnah antara lain berfungsi untuk menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an
yang masih memerlukan keterangan atau penjelasan lebih rinci. Misalnya perintah
shalat (fardhu) lima kali (waktu) sehari semalam, juga hal-hal yang berkenaan
dengan perintah thahara atau bersuci, maka dalam tata cara pelaksanaannya,
umumnya dijelaskan dalam hadis atau sunnah.
3.
Ijmak Sebagai Sumber
Aqidah
Ijmak
adalah segala kesepakatan para ulama dalam menetapkan hukum. Kesepakatan ulama
atau ijmak se-bagai sumber aqidah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
a.
Ijmak, yang dimaksud merupakan hasil
kesepa-katan ulama yang ahli (pakar) pada bidang yang dikaji atau yang disepakati.
b.
Ijmak, atau kesepakatan para ulama tidak
boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip
umum yang ditetapkan al-Qur’an dan hadis atau Sunnah.
c.
Ijmak, atau
kesepakatan para ulama harus berka-itan dengan persoalan syar’i.
Gambar: 2
DISKRIPSI SUMBER AQIDAH ISLAM
D.
TUJUAN
AQIDAH ISLAM
Berdasar pada telaah dan kajian tiga sumber aqidah Islam
yang telah diuraikan, dapat dipahami bahwa aqidah Islam mempunyai peran yang
sangat fundamental bagi seorang muslim dalam beragama.
Toto Suryana dkk, dalam buku teks kajian Pendidikan Agama
Islam mengurai tujuan aqidah Islam secara luas, sebagai
berikut:
1.
Menuntun dan mengembangkan dasar ketuhanan yang
dimiliki manusia. Sejak lahir, manusia telah me-miliki potensi keberagamaan
(fitrah) sehingga sepan-jang hidupnya membutuhkan agama untuk mencari keyakinan
terhadap Tuhan. Aqidah Islam berperan memenuhi kebutuhan fitrah manusia,
menuntun dan mengarahkan manusia pada keyakinan yang benar tentang Tuhan, tidak
menduga-duga atau mengira-ngira, tetapi menunjukkan Tuhan yang sebenarnya.
2.
Memberi ketenangan dan ketentraman jiwa. Agama
sebagai kebutuhan fitrah manusia akan senantiasa menuntut dan mendorongnya
untuk terus mencari-nya. Aqidah memberikan jawaban yang pasti sehingga
kebutuhan rohaninya dapat terpenuhi sehingga mem-peroleh ketenangan dan
ketentraman jiwa yang di-perlukannya, dan terhindar dari kecemasan, selain itu,
aqidah akan menghubungkan orang mukmin de-ngan pencipta-Nya.
3.
Memberikan pedoman hidup yang pasti. Keyakinan
kepada Tuhan memberikan arahan dan pedoman yang pasti, sebab aqidah menunjukkan
kebenaran dan keyakinan yang sesungguhnya. Aqidah meberikan pe-ngetahuan
tentang asal manusia datang, untuk apa hidup dan arah manusia akan pergi
sehingga kehi-dupan manusia akan lebih jelas dan bermakna.
4.
Membebaskan akal dan pikiran dari kekeliruan yang
timbul karena jiwa yang kosong dari aqidah. Orang yang jiwanya kosong dari
aqidah kadang-kadang terjatuh pada berbagai kesesatan dan khurafat.[4]
Dari
uraian di atas dapat dipahami bahwa prinsip da-sar tujuan aqidah Islam adalah untuk
membentuk keya-kinan beragama yang kokoh dan istiqamah,[5]
tidak ada ke-raguan sedikitpun dalam bertauhid dan dalam mewu-judkan iman,
Islam dan ikhsan.
Gambar: 3
DESKRIPSI TUJUAN
AQIDAH ISLAM
M
Dengan demikian aqidah Islam akan sangat berpe-ngaruh terhadap
kehidupan seorang muslim. Menurut Abu A’la Al-Maududi, pengruh positif dari
aqidah yang baik (istiqamah), diuraikan sebagai berikut:
1.
Menjauhkan manusia dari
pandangan yang sempit dan picik.
2.
Menanamkan kepercayaan terhadap
diri sendiri dan mengetahui harga diri.
3.
Menumbuhkan sifat rendah hati
dan khidmat.
4.
Membnetuk manusia menjadi jujur
dan adil.
5.
Menghilangkan sifat murung dan putus asa dalam menghadapi setiap persoalan dan situasi.
6.
Membentuk pendirian yang teguh,
kesabaran, keta-bahan, dan optimisme.
7.
Menanamkan sifat kesatria,
semangat dan berani, ti-dak gentar menghadapi resiko, bahkan tidak takut pada
maut.
8.
Menciptakan sikap damai dan
ridha.
9.
Membentuk manusia menjadi patuh,
taat dan disiplin menjalankan perintah Allah swt.[6]
E.
OBYEK KAJIAN AQIDAH ISLAM.
Prinsip
dasar obyek kajian aqidah Islam meliputi po-kok-pokok keyakinan yang terangkum
dalam rukun iman dan merupakan azas ajaran Islam, yaitu:
1.
keyakinan kepada Allah swt;
2.
keyakinan kepada
Malaikat-Malaikat-Nya;
3.
keyakinan kepada
Kitab-Kitab-Nya;
4.
keyakinan kepada Nabi dan
Rasul-Nya;
5.
keyakinan kepada hari akhirat;
6.
keyakinan kepada qada dan
qadar-Nya.
Atas dasar
rukun iman tersebut muhammad Yusry merangkun obyek kajian aqidah Islam dalam tiga pokok kajian, yaitu
kajian tentang Dzat Allah swt, kajian ten-tang nubuwat, dan kajian tentang
hal-hal yang gaib.[7]
Menurut
Muhammad Daud Ali, rukun yang pertama, yaitu mentauhidkan Allah merupakan prima
causa, arti-nya rukun-rukun yang lain hanyalah akibat logis (masuk akal)
penerimaan tauhid tersebut. Jika seseorang bahwa Allah swt mempunyai kehendak,
sebagai bagian dari sifat-Nya, kita yakin pula adanya para Malaikat yang
diciptakan Allah untuk meleksanakan dan menyampaikan kehendak Allah swt.[8]
Dari
uraian di atas dapat dipahami, bahwa beriman kepada Allah swt atau mentauhidkan
Allah disebut sebagai prima causa.[9] Artinya,
seorang yang sepenuhnya ber-iman kepada Allah, maka secara otomatis ia telah me-ngimani
ruku n iman yang lainnya tanpa keraguan.
F.
SIFAT-SIFAT ALLAH SWT.
Menurut
Muhammad Daud Ali, kemahaesaan Allah dalam sifat-sifat-Nya
tidak ada yang menyamai-Nya. Sifat-sifat Allah banyak dan tidak
dapat diperkirakan. Meskipun demikian dari al-Qur’an dapat diketahui 99 nama
sifat Allah yang disebut Asma’ul Husna.[10]
Pada
kajian ini, para ulama membagi sifat-sifat Allah dalam tiga sifat, yaitu:
1.
Sifat wajib bagi Allah
2.
Sifat mustahil bagi Allah
3.
Sifat jaiz bagi
Allah
1.
Sifat wajib bagi Allah.
Sifat
wajib pada Allah, adalah sifat-sifat yang mesti
ada pada Dzat Allah sebagai kemahasempurnaan bagi-Nya secara mutlak. A.
zainuddin dan Jamhari mengurai-kan, bahwa sifat wajib, adalah sifat yang harus
ada pada Dzat Allahsebagai kesempurnaan bagi-Nya. Sifat-sifat wa-jib Allah tidak
dapat diserupakan dengan sifat-sifat mah-luk-Nya. Sifat Allah wajib diyakini
dengan akal (wajib akli) dan berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah Rasul
(wajib nakli).[11]
2. Sifat mustahil bagi Allah.
Sifat mustahil merupakan
lawan atau kebalikan dari sifat wajib bagi Allah swt. Oleh karena itu, sifat
mustahil adalah sifat yang tidak mungkin ada pada Allah swt.
Berikut 13
sifat wajib bagi Allah dan 13 sifat mustahil bagi Allah, sebagai berikut:
a.
Allah itu WUJUD, artinya ADA,
mustahil Allah itu ber-sifat ADAM, artinya TIDAK ADA.
b.
Allah itu QIDAM, artinya DAHULU,
mustahil Allah itu bersifat HUDUTS, artinya BAHARU.
c.
Allah itu BAQA’, artinya KEKAL,
mustahil Allah itu bersifat FANA’, artinya MUSNAH.
d.
Allah itu MUKHALAWATU LI AL-HAWADITS, artinya
BERBEDA DENGAN SEMUA MAHLUK-NYA, mustahil Allah itu bersifat MUMATSALATU LI
AL-HAWADITS, artinya MENYERUPAI YANG BAHARU (MAkHLUK-NYA)
e.
Allah itu QIYAMUHU BINAFSIHI, artinya BERDIRI
SENDIRI, mustahil Allah itu bersifat IHTIYAJU ILA GHAIRIHI, artinya
Allah itu MEMBUTUHKAN PERTO-LONGAN.
f.
Allah itu WAHDANIYAH, artinya
ESA, mustahil Allah bersifat TA’ADDUD, artinya BERBILANG.
g.
Allah itu QUDRAT, artinya
MAHAKUASA, mustahil Allah itu bersifat AJZUN, artinya LEMAH.
h.
Allah itu IRADAT, artinya MAHA BERKEHENDAK,
mus-tahil Allah itu bersifat KARAHAH, artinya TERPAKSA.
i.
Allah itu ILMU, artinya
MENGETAHUI, mustahil Allah bersifat JAHLUN artinya BODOH.
j.
Allah itu HAYAT, artinya HIDUP,
mustahil Allah itu MAUT artinya MATI.
k.
Allah itu SAMA’, artinya
MENDENGAR, mustahil Allah bersifat SHAMMAMUN, artinya, TULI.
l.
Allah itu BASHAR, artinya
MELIHAT, mustahil Allah bersifat UMYUN, artinya BUTA.
m.
Allah itu KALAM, artinya
BERFIRMAN, mustahil Allah itu bersifat BUKMUN, artinya BISU.
3.
Sifat jaiz bagi Allah.
Jaiz
secara etimologi berarti “boleh”. Sifat Jaiz Allah adalah sifat-sifat yang
boleh ada, dan boleh tidak ada pada Allah. Sifat Jaiz Allah adalah Fi’lu kulli mukminin au tar-kuhu, artinya, memperbuat sesuatu yang
mungkin terjadi atau tidak memperbuatnya. Artinya, Allah itu berwenang untuk
menciptakan dan berbuat sesuatu atau tidak sesuai dengan kehendak-Nya.[12]
Jadi Sifat Jaiz adalah sifat “prerogatif” Allah swt, arti-nya
Allah Maha memiliki kebebasan mutlak dalam ber-kehendak, tidak sama dengan
ciptaan-Nya atau makhluk-Nya yang serba terbatas.
Gambar: 4
DESKRIPSI PEMBAGIAN SIFAT
ALLAH
Baca sifat wajib, sifat mustahil dan sifat jaiz bagi Allah
sebagaimana telah dijelaskan terdahulu. Namun yang penting untuk diketahui,
bahwa sifat Allah itu tidak sama dengan dengan sifat-sifat makhluknya.
Contohnya Allah itu Maha Mendengar lagi Maha Melihat, kata Maha mendengar dan
melihat bagi Allah, artinya pendengaran dan penglihatan Allah itu tidak sama dengan
pendengaran dan penglihatan makhluknya, demikian pula dengan segala sifat-sifat
Allah lainnya tidak sama dengan segala sifat-sifat makhluknya, karena sifat makhluknya
mem-punyai keterbatasan.
[1] Lihat lebih lengkap, dalam (QS. Ibrahim/14:
24-25),
[2]
Lihat Muhammad Al-Gazali, Al-Aqidah
Islam, Kuwait: Dar Al-Bayan,1970, hlm.
17.
[3] Lihat
Ibnu Manzhur, Lisan Al-‘Arab, Jilid
IX, Beirut: Dar Al-Shadr, t.t, hlm. 311.
[4] Toto
Suryana dkk., Pendidikan Agama Islam
untuk Perguruan Tinggi, (Bandung: Tiga Mutiara, 1996, hlm. 69.
[5] Istiqamah, artinya orang yang teguh
pedirian dalam ketaatan pada perintah dan larangan Allah, seperti antara lain
pada (QS. Fushshilat/41: 30)
[6] Dikutip
oleh Toto Suryana dkk., dalam, Pendidikan
Agama Islam untuk Perguruan
Tinggi, hlm. 69.
[7]
Lihat Muhammad Yusry, Silsilah Ilm
At-Tauhid, hlm. 106.
[8]
Muhammad Daud Ali, Pendidikan
Agama Islam, hlm. 199-200.
[9] Prima
Causa dalam Kamus Populer, adalah
sebuah kalimat bahasa Latin yang berarti penyebab atau faktor utama tanpa
diawali oleh faktor lain. Prima artinya pertama atau yang utama, causa artinya
penyebab atau faktor dari sesuatu, hlm. 386.
[10] Mohammad
Daud Ali, Pendidikan Agama Islam,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 203.
[11]
A. zainuddin dan Jamhari, Al-Islam
I, hlm. 78.
0 komentar:
Posting Komentar