Pages

Senin, 05 Oktober 2015

Membuka tabir problem sosial




MEMBEDAH TABIR PROBLEM SOSIAL KEMANUSIAAN

MELALUI PEMBERDAYAAN WAKAF PRODUKTIF


H. Muh. Shaleh Suratmin[1]

ABSTRAK
Bahwa dengan pemberdayaan wakaf produktif terdapat peluang ekonomi yang sangat dahsyat untuk kesejahteraan umat serta dapat meminimalisir problem sosial kemanusiaan. Peluang besar itu akan dapat terwujud, apabila ada paradigma pemikiran baru dari internal umat Islam, dari berpikir konvensional menjadi berpikir madani berdasarkan konsep ekonomi Islam yang di atur dalam al-Qur’an dan hadis serta per-Undang-Undangan  yang berlaku.  Syarat fundamental untuk mengelola wakaf secara produktif, harus profesional dan amanah, dan/atau menerapkan sistem “otonomi berkehor- matan dan berkebajikan” agar terhindar dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Kata Kunci: Wakaf produktif meminimalisir problem sosial.

      I.  PENDAHULUAN
Eksistensi wakaf perspektif  ajaran Islam berada dalam ranah dimensi sosial, yaitu amaliah dari seorang muslim yang memberi dan/atau menyerahkan harta bendanya untuk kepentingan ibadah bernuansa sosial. Orang yang menyerahkan hartanya untuk diwakafkan disebut wakif dan harta yang diwakafkan disebut mauqu>f bih dan/atau benda wakaf, penerima wakaf sesuai tujuan disebut Mauqu>f ’alaih,  sedangkan pengelola wakaf disebut nazir.
Bagaimana membedah tabir problem sosial kemanusiaan melalui pember-dayaan wakaf produktif. Mungkinkah hal itu akan menjadi kewujudan di bumi Republik Indonesia yang memiliki tanah wakaf seluas 5 kali Negara Singapura, sementara tarap hidup sebagian besar penduduk Indonesia masih dalam garis kemiskinan yang berimplikasi membuminya problem social. 

      II.  PROBLEM SOSIAL KEMANUSIAAN
Mencermati fenomena kehidupan bermasyarakat kontemporer, nampak adanya kecenderungan terjadinya polarisasi dan/atau perbedaan yang semakin tajam, khususnya dalam status sosial ekonomi masyarakat, sehingga jurang pemisah antara orang kaya dengan orang miskin semakin jauh. Belum lagi perangai egoisme sebagian orang kaya yang justru cenderung semakin  pelit untuk bersedekah membantu orang-orang yang miskin, bahkan berfoya-foya dengan hartanya untuk kepentingan subh}at, memenuhi syahwat dunia guna meraih popularitas pribadi dengan semakin menyuburkan gaya hidup snobisme.[2]
Fenomena tersebut, tentu semakin mengusik rasa ketidakadilan ekonomi bagi masyarakat miskin pada umumnya. Sementara doktrin Islam menuntut adanya rasa keadilan dalam berbagai aspek, termasuk keadilan ekonomi atau kesejahteraan dalam masyarakat. Kendati konsep keadilan sosial ekonomi menurut Islam, tidak menuntut agar semua orang mesti menempati strata sosial ekonomi yang sama, namun naluri orisinalitas manusia cenderung berintres untuk dapat hidup bermartabat dan terpandang dalam status sosial ekonomi.
Akan tetapi kecenderungan itu, dapat disadari melalui komitmen dan doktrin Islam, bahwa perbedaan itu terjadi, antara lain karena fitrah dan potensi setiap orang juga berbeda. Pada sisi lain dalam perbedaan status itu, ternyata ada hikmah dari ke-Mahakuasaan Allah yang justru merupakan akibat hukum dapat terwujudnya rasa kebahagiaan pada setiap individu manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, termasuk perbedaan strata dalam hal memperoleh rezki, seperti pada teks firman Allah:
!$#ur Ÿ@žÒsù ö/ä3ŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ Îû É-øÌh9$# ... ÇÐÊÈ
Terjemahnya:
Dan Allah melebihkan  sebahagian  kamu  atas  sebagian  yang lain dalam hal rezki. ...QS. Al-Anah}l/16:71.[3]
Ahmad M. Saefuddin mengelaborasi makna ayat tersebut, bahwa perbedaan dalam potensi kemampuan serta perbedaan dalam kesempatan dapat diduga sebagai sebab musabab dari perbedaan dalam rezki yang mungkin diterima oleh seseorang. Akibat lebih lanjut adalah lahirnya golongan kaya dan golongan miskin dalam masyarakat.[4]
Penulis cenderung tolerans terhadap pandangan tersebut, karena dalam kenyataannya doktrin Islam sebagaimana makna surah al-Nah}l ayat 71 secara utuh.
Dari ayat tersebut dipahami konteksnya, bahwa sekalipun rezki manusia tidak sama, namun sekiranya orang-orang kaya bersifat amanah mengeluarkan sebagian hartanya untuk hak-hak orang miskin, maka niscaya orang yang miskinpun dapat merasakan kebahagiaan dari akibat hukum bantuan harta orang-orang kaya itu.
III.  WAKAF PERSPEKTIF AL-QUR’AN
            Dalam al-Qur’an terdapat beberapa petunjuk atau pedoman bagi seseorang untuk membelanjakan hartanya, baik untuk kepentingan dirinya, maupun untuk kemaslahatan umum dan orang lain, seperti dalam firman Allah:
ÏN#uäur #sŒ 4n1öà)ø9$# ¼çm¤)ym tûüÅ3ó¡ÏJø9$#ur tûøó$#ur È@Î6¡¡9$# Ÿwur öÉjt7è? #·ƒÉö7s? ÇËÏÈ
Terjemahnya:
Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan hartamu secara boros QS. Al-Isra>’/17:26.[5]
      Di samping itu, dalam ajaran Islam ada beberapa lembaga yang dapat dipergunakan untuk mendistribusikan sebagian harta seseorang untuk kepentingan sosial atau kemaslahatan umat. Salah satu lembaga yang sangat potensial adalah ”wakaf”.
Wakaf adalah salah satu lembaga yang sangat dianjurkan oleh ajaran Islam untuk dipergunakan seseorang sebagai sarana penyaluran rezki yang dikaruniakan Allah kepadanya. Meskipun wakaf tidak secara tekstual disebutkan dalam al-Qur’an, namun sejumlah ayat yang memerintahkan manusia untuk berbuat baik khususnya dalam membelanjakan harta untuk kemaslahatan umat, oleh para ahli memandangnya sebagai dasar hukum perwakafan.  Seperti dalam firman Allah:
`s9 (#qä9$oYs? §ŽÉ9ø9$# 4Ó®Lym (#qà)ÏÿZè? $£JÏB šcq6ÏtéB4 ÒÇÒËÈ
Terjemahnya:
Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. ... QS. ’Ali ’Imra>n/3:92.[6]
Wakaf adalah salah satu lembaga Islam yang mendapat pengaturan secara khusus dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dengan demikian wakaf merupakan salah satu pranata hukum Islam yang diatur secara konkrit dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Wakaf adalah salah satu lembaga Islam yang bersifat sosial kemasyarakatan, bernilai ibadah dan sebagai pengabdian yang tulus kepada Allah swt.
IV.  PERAN WAKAF DI TIMUR TENGAH
Bertolak dari uraian terdahulu dan fokus kajian tentang bagaimana membedah tabir problem sosial kemanusiaan melalui pemberdayaan wakaf produktif,  adalah sesuatu yang logis apabila ditelusuri dari berbagai pendekatan. Walaupun wakaf merupakan lembaga Islam yang hukumnya sunah, namun lembaga ini dapat berkembang sangat baik di beberapa negara antara lain seperti Mesir, Saudi Arabia, dan Yordania. Hal itu dapat diduga kuat karena lembaga wakaf di tiga negara tersebut telah dikelola dengan manajemen yang baik dan produktif sehingga manfaatnya sangat dirasakan oleh mustahik. Selain dapat memperciut kesenjangan sosial, maka wakaf produktif dapat menggratiskan biaya kuliah ribuan mahasiswa setiap tahunnya.
Dilihat dari segi bentuknya, wakaf kontemporer dapat dipahami dalam dua kategori, yaitu wakaf benda tidak bergerak, dan wakaf benda bergerak[7]. Di beberapa negara khususnya di Timur Tengah, wakaf telah berkontribusi sangat signifikan, bukan hanya untuk pengembangan dimensi ibadah dan pendidikan, tetapi juga dapat memacu mercusuar kemaslahatan umum seperti lahan pertanian, perkebunan, uang, saham, real estate dan sebagainya, yang semuanya telah dikembangkan secara produktif.
Dengan mencermati beberapa hasil studi perwakafan menunjukkan, bahwa salah satu faktor yang mendasari lembaga wakaf dapat tumbuh pesat di beberapa negara khususnya di Mesir, Saudi Arabia, dan Yordania, hal itu disebabkan karena lembaga wakaf dapat berkontribusi secara signifikan dan sangat dirasakan manfaatnya untuk kesejahteraan umat. Di samping itu, faktor kebajikan manajemen pengelolaan dan landasan hukum yang valid, akan sangat berpengaruh signifikan terhadap pengembangan wakaf secara produktif. Kevalidan pengelolaan wakaf secara produktif di beberapa negara di Timur Tengah, juga merupakan implikasi adanya struktur lembaga Departemen dan Kementrian Perwakafan. Kedahsyatan ekonomi perwakafan produktif baik di Mesir maupun di Saudi Arabia, karena dana wakaf sewaktu-waktu dapat menjadi dana talangan untuk keuangan negara.[8]
Dalam lintas sejarah yang panjang menunjukkan, bahwa kontribusi wakaf khususnya terhadap operasional pendidikan di Universitas Al-Azhar di Kairo Mesir telah berusia lebih dari 1.000 tahun. Sejak didirikan hingga kini, Al-Azhar merekrut mahasiswa dari 98 negara lebih di dunia dengan jumlah mahasiswa sekitar 450 ribu orang ditopang oleh pendanaan dari perputaran aset wakaf yang dimiliki. Bukan hanya wakaf tanah, gedung dan lahan pertanian, tetapi juga wakaf tunai.[9]
Dengan dana wakaf yang super besar, Al-Azhar mampu membiayai operasional pendidikan selama berabad-abad. Untuk bidang ilmu-ilmu agama Al-Azhar tidak memungut biaya studi, bahkan di bidang ilmu umum seperti Kedokteran, Farmasi, Perdagangan dan sebagainya juga mendapat subsidi dari dana wakaf yang relatif besar. Di samping itu Al-Azhar juga mengelola ratusan sekolah dan perguruan tinggi yang menyebar di wilayah Mesir, dan beberapa cabang di luar negeri berupa puluhan rumah sakit, panti sosial, dan penyewaan lahan bisnis.[10] 
Pengkajian lembaga wakaf yang ada di Mesir sebagaimana telah diuraikan, memberi gambaran yang jelas bahwa wakaf di Mesir dikelola secara produktif dan telah memberikan kontribusi yang besar terhadap kemaslahatan umat dibidang sosial, agama, pendidikan dan kebudayaan serta ekonomi. Pemanfaatan wakaf di Mesir telah mendiskripsikan, bahwa wakaf telah berkontribusi secara dahsyat, terutama kontribusinya di bidang pendidikan, pertanian dan kesehatan.
V.  PARADIGMA WAKAF DI INDONESIA
Dengan mencermati beberapa hasil studi perwakafan menunjukkan, bahwa pengelolaan wakaf produktif di Indonesia belum signifikan, bahkan secara empiris tanah wakaf Indonesia sebagian besar masih memprihatinkan. Namun demikian selama 10 tahun terakhir embrio wakaf produktif di Indonesia yang berskala internasinal mulai dapat diidentifikasi, antara lain Yayasan Wakaf Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar dan Yayasan Wakaf Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Pemilihan sampel kedua yayasan tersebut sangat beralasan apabila menggunakan parameter  laju perkembangan pendidikan dan kemaslahatan umat yang sudah dicapai.
Berdasarkan validitas data yang dilakukan Direktorat Pemberdayaan Wakaf tahun 2007, bahwa dari kuantitas lokasi tanah wakaf di Indonesia tahun 2006 sebesar 403.845 lokasi, turun menjadi 366.595 lokasi, berarti penurunannya 37.250 lokasi (9,22%). Tetapi dari aspek luasnya mengalami kemajuan yang sangat pesat, yakni dari luas tanah 1.566.672.406 m2 menjadi seluas 2.686.536.656, 68 m2  dan/atau naik 1.119.864.250, 68 m2 (71.48%), atau 2.686, 536 km2 dan/atau 268.653, 66 Ha[11]. 
Data luas tanah wakaf di Indonesia tersebut, apabila diasumsikan dengan luas wilayah DKI Jakarta = 656 km2, maka luas tanah wakaf Indonesia = + 4 kali luas wilayah DKI Jakarta, atau mendekati 5 kali luas negara Singapura = 633 km2.
Berdasarkan uraian kuantitatif tersebut dan dengan mengidentifikasi pengelolaan tanah wakaf secara empiris di lapangan, maka suatu kenyataan yang tidak bisa dibantah, bahwa wakaf yang ada di Indonesia pada umumnya berupa masjid, mushallah, madrasah, sekolahan, pekuburan, rumah yatim piatu dan Iain-lain. Dilihat dari segi sosial dan ekonomi, wakaf yang ada ternyata belum dapat berperan dalam menanggulangi permaslahatan umat. Hal ini dapat dimaklumi karena kebanyakan wakaf yang ada kurang maksimal dalam pengelolaannya. Dengan demikian jika wakaf dikelola secara produktif tentu akan berkontribusi terhadap pembangunan secara signifikan, baik di bidang ekonomi, agama, sosial budaya, politik, maupun pertahanan dan keamanan. Menurut Rachmat Djatnika, dalam bidang ekonomi, wakaf memegang  peranan  semacam pershockbreaker  dalam  keseimbangan kehidupan  masyarakat karena dapat menutupi kebutuhan masyarakat yang vital.[12]
Menurut hemat penulis, setidaknya ada tiga konsep dasar dalam mengelola wakaf secara produktif di Indonesia agar dapat berkembang signifikan. Pertama, perlunya optimalisasi penerapan sistem perwakafan, dengan mengoptimalkan pengelolaan tanah wakaf dan atau wakaf benda tidak bergerak secara produktif.  Kedua, memberdayakan wakaf benda bergerak dan wakaf tunai, sebagai langkah antisipasi kurangnya minat masyarakat untuk berwakaf tanah, dengan dalih harga tanah semakin tinggi. Ketiga, menganut struktur lembaga Departemen dan Kementrian Perwakafan yang bertanggung jawab secara independen.
Apabila ketiga konsep tersebut dapat diimplementasikan secara signifikan, maka wakaf produktif sangat dimungkinkan menjadi alternatif sumber ekonomi yang dahsyat di Indonesia. Contoh dengan asumsi sederhana, kalau semua lokasi pekuburan yang umumnya menempati tanah berstatus wakaf, kemudian setiap lokasi pekuburan dapat dikelola secara produktif, maka hal itu dapat dibuktikan secara empiris bahwa para pengelola pekuburan pun akan dapat hidup sejahtera dan/atau layak. Karena setidaknya pengelolaan itu dapat memancarkan sedekah yang signifikan bagi para penziarah kubur sebagai salah satu sumber kesejateraan.
VI.  PENUTUP
Gambaran nyata sebagaimana telah diuraikan, sebaiknya dapat menjadi acuan pengelolaan wakaf secara produktif di Indonesia, mengingat potensi tanah wakaf  di Indonesia sangat besar, juga merupakan negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia. Oleh karena itu sistem pengelolaan wakaf secara produktif seharusnya menjadi perhatian prioritas pemerintah Indonesia, mengingat sebagian besar kehidupan masyarakat Indonesia masih dalam garis kemiskinan yang berimplikasi kesenjangan sosial.
            Dalam sistem perwakafan terdapat peluang ekonomi produktif yang sangat dahsyat untuk kesejahteraan umat. Namun peluang besar itu baru dapat terwujud, apabila ada paradigma pemikiran baru dari internal umat Islam, dari berpikir konvensional menjadi berpikir madani berdasarkan konsep ekonomi Islam yang di atur dalam al-Qur’an dan hadis serta per-Undang-Undangan yang berlaku. Syarat fundamental untuk mengelola wakaf secara produktif dari seluruh lini, harus profesional dan amanah, agar terhindar dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), dengan menerapkan sistem “otonomi berkehormatan dan berkebajikan” suatu sistem implementasi perwujudan penerimaan amanah bagi dosen dan karyawan yang telah diterapkan di Universitas Muslim Indonesia.
VII  DAFTAR PUSTAKA
’Abdul Mannan, Mohammad. Cash Waqf Certificate, An Innovation in Islamic Finansial Instrument. (Sertifikat Wakaf Tunai, Sebuah Inovasi Instrumen Keuangan Islam), Alih bahasa Tjasmijanto Rozidyanti (ed.) Muatafa E. Nasution Sunarsip, Pen. CIBER/PKTTI-UI, Depok: 2001.
                   .Teori dan Praktik Ekonomi Islam. diterjemahkan oleh M. Nastangin, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993.
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Karya Toha Putra, 2002. 
                    .Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaannya. Ditjen Bimas Islam, Jakarta:  2007.
                    .Model Pengembangan Wakaf Produktif, Direktorat Jenderal Ditjen Bimas Islam Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Jakarta: 2007.
Djatnika, Rachmat. Wakaf Tanah. Surabaya: Al-Ikhlas,t.t
Harahap, Sumuran. “Kebijakan Pemerintah dalam Pengelolaan Wakaf”. Makalah, disampaikan pada Acara Kagiatan Temu Konsultasi Pejabat Teknis Perwakafan dengan Lembaga Keuangan Syari’ah di Hotel Alia Cikini, Jakarta: pada tanggal 27 Agustus 2008.
John M. Echols dan H}assan S}adily, Kamus Inggris-Indonesia Cornell University Press, Ithaca and London (Jakarta: Pen. Gramedia Pustaka Utama), t.th.
Saefuddin, M. Ahmad. Ekonomi dan Masyarakat Dalam Perspektif Islam Jakarta: Rajawali Press, 1987.
Syalabi, Muhammad Mus}t}afa>.Muha>darat al-Waqf wa al-Wasiyat. Iskandariyah: Dal at-Ta’lif, 1957.


[1]H. Muh. Shaleh Suratmin, Lahir di Tomoni Luwu Timur Sulawesi Selatan Indonesia, Tamat Sekolah Dasar 1968 di Tomoni, Tamat SMP Negeri 1971 (Filial Malili) di Maleku Luwu Timur, Tamat SP IAIN 1972 di Palopo, Serjana Muda IAIN 1977 di Palopo, Serjana (S1) IAIN Jurusan Dakwah  1985 di Makassar, Magister Hukum (S2) Konesntrasi Hukum Islam pada PPs UMI  1997 di Makassar, Serjana Hukum (S1) Jurusan Perdata Islam Universitas Satria 2009 di Makassar, Program Doktor (S3) Hukum Islam pada PPs UIN Alauddin 2009 di Makassar. Dosen Tetap  Yayasan Wakaf Universitas Muslim Indonesia Makassar sejak 1994 sampai sekarang.
             [2]Lihat John M. Echols dan H}assan S}adily, Kamus Inggris-Indonesia Cornell University Press, Ithaca and London (Jakarta: Pen. Gramedia Pustaka Utama), t.th. h. 536. Snobisme, akar kata dari Snob, yaitu orang yang suka membanggakan diri, atau menonjolkan kemewahan. 
                [3]Lihat Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Karya Toha Putra, 2002), h. 374.  
4Lihat Ahmad M. Saefuddin, Ekonomi dan Masyarakat Dalam Perspektif Islam (Jakarta: Rajawali Press, 1987), h. 48.
5Departemen Agama RI, op. cit., h. 388.

[6]Ibid., h. 77
            [7]Lihat Uswatun Hasanah. Manajemen Kelembagaan Wakaf “Makalah” Workshop Internasional, Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Wakaf Produktif, Batam: Departemen Agama RI. (Jakarta: Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggara Haji Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, Januari, 2004), h. 123.
[8]Lihat Muhammad Abdul Mannan. Cash Waqf Certificate, An Innovation in Islamic Finansial Instrument. (Sertifikat Wakaf Tunai, Sebuah Inovasi Instrumen Keuangan Islam), Alih bahasa Tjasmijanto Rozidyanti (ed.) Mustafa E. Nasution Sunarsip, (Depok: Pen. CIBER/PKTTI-UI, 2001), h. 51.
[9]Achmad Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar. Menuju Era Wakaf Produktif Sebuah Usaha Progresif untuk Kesejahteraan Umat. Cet. ke-2; Jakarta: Mitra Abadi Press, 2005.
[10]Ibid. Lihat pula Departemen Agama RI, Strategi Pengamanan Tanah Wakaf  (Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggara Haji, tahun 2004), h. 18.
  [11]Lihat Sumuran Harahap, “Kebijakan Pemerintah Dalam Pengelolaan Wakaf”, Makalah di sampaikan pada Acara Kagiatan Temu Konsultasi Pejabat Teknis Perwakafan dengan Lembaga Keuangan Syari’ah di Hotel Alia Cikini, (Jakarta: pada tanggal 27 Agustus 2008), h. 4.
  [12]Rachmat Djatnika, Wakaf Tanah (Surabaya: Al  Ikhlas, t.t.), h. 78.



0 komentar:

Posting Komentar