MEMBEDAH TABIR PROBLEM SOSIAL KEMANUSIAAN
MELALUI
PEMBERDAYAAN WAKAF PRODUKTIF
H. Muh. Shaleh Suratmin[1]
ABSTRAK
Bahwa
dengan pemberdayaan wakaf produktif terdapat peluang ekonomi yang sangat
dahsyat untuk kesejahteraan umat serta dapat meminimalisir problem sosial
kemanusiaan. Peluang besar itu akan dapat terwujud, apabila ada paradigma
pemikiran baru dari internal umat Islam, dari berpikir konvensional menjadi
berpikir madani berdasarkan konsep ekonomi Islam yang di atur dalam al-Qur’an
dan hadis serta per-Undang-Undangan yang
berlaku. Syarat fundamental untuk mengelola wakaf secara
produktif, harus profesional dan amanah, dan/atau menerapkan sistem “otonomi
berkehor- matan dan berkebajikan” agar terhindar dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme.
Kata Kunci: Wakaf produktif meminimalisir problem sosial.
I.
PENDAHULUAN
Eksistensi wakaf perspektif ajaran Islam berada dalam ranah dimensi
sosial, yaitu amaliah dari seorang muslim yang memberi dan/atau menyerahkan
harta bendanya untuk kepentingan ibadah bernuansa sosial. Orang yang
menyerahkan hartanya untuk diwakafkan disebut
wakif dan harta yang diwakafkan disebut mauqu>f bih dan/atau benda wakaf, penerima
wakaf sesuai tujuan disebut Mauqu>f ’alaih, sedangkan pengelola wakaf disebut nazir.
Bagaimana membedah tabir problem sosial kemanusiaan
melalui pember-dayaan wakaf produktif. Mungkinkah hal itu akan menjadi kewujudan di bumi Republik
Indonesia yang memiliki tanah wakaf seluas 5 kali Negara Singapura, sementara
tarap hidup sebagian besar penduduk Indonesia masih dalam garis kemiskinan yang
berimplikasi membuminya problem social.
II. PROBLEM SOSIAL KEMANUSIAAN
Mencermati
fenomena kehidupan bermasyarakat kontemporer, nampak adanya kecenderungan
terjadinya polarisasi dan/atau perbedaan yang semakin tajam, khususnya dalam
status sosial ekonomi masyarakat, sehingga jurang pemisah antara orang kaya
dengan orang miskin semakin jauh. Belum lagi perangai egoisme sebagian orang
kaya yang justru cenderung semakin pelit
untuk bersedekah membantu orang-orang yang miskin, bahkan berfoya-foya dengan hartanya untuk kepentingan subh}at, memenuhi
syahwat dunia guna meraih popularitas pribadi dengan semakin menyuburkan gaya
hidup snobisme.[2]
Fenomena
tersebut, tentu semakin mengusik rasa ketidakadilan ekonomi bagi masyarakat
miskin pada umumnya. Sementara doktrin Islam menuntut adanya rasa keadilan
dalam berbagai aspek, termasuk keadilan ekonomi atau kesejahteraan dalam
masyarakat. Kendati konsep keadilan sosial ekonomi menurut Islam, tidak
menuntut agar semua orang mesti menempati strata sosial ekonomi yang sama,
namun naluri orisinalitas manusia cenderung berintres untuk dapat hidup
bermartabat dan terpandang dalam status sosial ekonomi.
Akan
tetapi kecenderungan itu, dapat disadari melalui komitmen dan doktrin Islam,
bahwa perbedaan itu terjadi, antara lain karena fitrah dan potensi setiap orang
juga berbeda. Pada sisi lain dalam perbedaan status itu, ternyata ada hikmah
dari ke-Mahakuasaan Allah yang justru merupakan akibat hukum dapat terwujudnya
rasa kebahagiaan pada setiap individu manusia dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, termasuk perbedaan strata dalam hal memperoleh rezki,
seperti pada teks firman Allah:
!$#ur
@Òsù ö/ä3Ò÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ Îû É-øÌh9$# ... ÇÐÊÈ
Terjemahnya:
Dan Allah melebihkan sebahagian
kamu atas sebagian
yang lain dalam hal rezki. ...QS. Al-Anah}l/16:71.[3]
Ahmad
M. Saefuddin mengelaborasi makna ayat tersebut, bahwa perbedaan dalam potensi
kemampuan serta perbedaan dalam kesempatan dapat diduga sebagai sebab musabab
dari perbedaan dalam rezki yang mungkin diterima oleh seseorang. Akibat lebih
lanjut adalah lahirnya golongan kaya dan golongan miskin dalam masyarakat.[4]
Penulis
cenderung tolerans terhadap pandangan tersebut, karena dalam kenyataannya
doktrin Islam sebagaimana makna surah al-Nah}l ayat 71 secara utuh.
Dari
ayat tersebut dipahami konteksnya, bahwa sekalipun rezki manusia tidak sama,
namun sekiranya orang-orang kaya bersifat amanah mengeluarkan sebagian hartanya
untuk hak-hak orang miskin, maka niscaya orang yang miskinpun dapat merasakan
kebahagiaan dari akibat hukum bantuan harta orang-orang kaya itu.
III.
WAKAF PERSPEKTIF AL-QUR’AN
Dalam
al-Qur’an terdapat beberapa petunjuk atau pedoman bagi seseorang untuk
membelanjakan hartanya, baik untuk kepentingan dirinya, maupun untuk
kemaslahatan umum dan orang lain, seperti dalam firman Allah:
ÏN#uäur
#s 4n1öà)ø9$# ¼çm¤)ym tûüÅ3ó¡ÏJø9$#ur tûøó$#ur È@Î6¡¡9$# wur öÉjt7è? #·Éö7s? ÇËÏÈ
Terjemahnya:
Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada
orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan hartamu secara boros QS. Al-Isra>’/17:26.[5]
Di samping
itu, dalam ajaran Islam ada beberapa lembaga yang dapat dipergunakan untuk
mendistribusikan sebagian harta seseorang untuk kepentingan sosial atau
kemaslahatan umat. Salah satu lembaga yang sangat potensial adalah ”wakaf”.
Wakaf
adalah salah satu lembaga yang sangat dianjurkan oleh ajaran Islam untuk
dipergunakan seseorang sebagai sarana penyaluran rezki yang dikaruniakan Allah
kepadanya. Meskipun wakaf tidak secara tekstual disebutkan dalam al-Qur’an,
namun sejumlah ayat yang memerintahkan manusia untuk berbuat baik khususnya
dalam membelanjakan harta untuk kemaslahatan umat, oleh para ahli memandangnya sebagai
dasar hukum perwakafan. Seperti dalam
firman Allah:
`s9
(#qä9$oYs? §É9ø9$# 4Ó®Lym (#qà)ÏÿZè? $£JÏB cq6ÏtéB4 … ÒÇÒËÈ
Terjemahnya:
Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu
menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. ... QS. ’Ali ’Imra>n/3:92.[6]
Wakaf
adalah salah satu lembaga Islam yang mendapat pengaturan secara khusus dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dengan demikian wakaf
merupakan salah satu pranata hukum Islam yang diatur secara konkrit dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Wakaf adalah salah satu
lembaga Islam yang bersifat sosial kemasyarakatan, bernilai ibadah dan sebagai
pengabdian yang tulus kepada Allah swt.
IV. PERAN WAKAF DI TIMUR TENGAH
Bertolak dari uraian terdahulu dan fokus kajian tentang bagaimana
membedah tabir problem sosial
kemanusiaan melalui pemberdayaan wakaf produktif, adalah sesuatu yang logis apabila ditelusuri
dari berbagai pendekatan. Walaupun
wakaf merupakan lembaga Islam yang hukumnya sunah, namun lembaga ini dapat
berkembang sangat baik di beberapa negara antara lain seperti Mesir, Saudi
Arabia, dan Yordania. Hal itu dapat diduga kuat karena lembaga wakaf di tiga
negara tersebut telah dikelola dengan manajemen yang baik dan produktif sehingga
manfaatnya sangat dirasakan oleh mustahik. Selain dapat memperciut
kesenjangan sosial, maka wakaf produktif dapat menggratiskan biaya kuliah
ribuan mahasiswa setiap tahunnya.
Dilihat dari segi bentuknya, wakaf kontemporer dapat
dipahami dalam dua kategori, yaitu wakaf benda tidak bergerak, dan wakaf benda
bergerak[7].
Di beberapa negara khususnya di Timur Tengah, wakaf telah berkontribusi sangat
signifikan, bukan hanya untuk pengembangan dimensi ibadah dan pendidikan,
tetapi juga dapat memacu mercusuar kemaslahatan umum seperti lahan pertanian,
perkebunan, uang, saham, real estate dan sebagainya, yang semuanya telah
dikembangkan secara produktif.
Dengan mencermati beberapa hasil
studi perwakafan menunjukkan, bahwa salah satu faktor yang mendasari lembaga
wakaf dapat tumbuh pesat di beberapa negara khususnya di Mesir, Saudi Arabia,
dan Yordania, hal itu disebabkan karena lembaga wakaf dapat berkontribusi
secara signifikan dan sangat dirasakan manfaatnya untuk kesejahteraan umat. Di
samping itu, faktor kebajikan manajemen pengelolaan dan landasan hukum yang
valid, akan sangat berpengaruh signifikan terhadap pengembangan wakaf secara
produktif. Kevalidan pengelolaan wakaf secara produktif di beberapa negara di
Timur Tengah, juga merupakan implikasi adanya struktur lembaga Departemen dan
Kementrian Perwakafan. Kedahsyatan ekonomi perwakafan produktif baik di Mesir
maupun di Saudi Arabia, karena dana wakaf sewaktu-waktu dapat menjadi dana
talangan untuk keuangan negara.[8]
Dalam lintas sejarah yang panjang menunjukkan, bahwa kontribusi
wakaf khususnya terhadap operasional pendidikan di Universitas Al-Azhar di
Kairo Mesir telah berusia lebih dari 1.000 tahun. Sejak didirikan hingga kini,
Al-Azhar merekrut mahasiswa dari 98 negara lebih di dunia dengan jumlah
mahasiswa sekitar 450 ribu orang ditopang oleh pendanaan dari perputaran aset
wakaf yang dimiliki. Bukan hanya wakaf tanah, gedung dan lahan pertanian,
tetapi juga wakaf tunai.[9]
Dengan dana wakaf yang super besar, Al-Azhar mampu
membiayai operasional pendidikan selama berabad-abad. Untuk bidang ilmu-ilmu
agama Al-Azhar tidak memungut biaya studi, bahkan di bidang ilmu umum seperti
Kedokteran, Farmasi, Perdagangan dan sebagainya juga mendapat subsidi dari dana
wakaf yang relatif besar. Di samping itu Al-Azhar juga mengelola ratusan
sekolah dan perguruan tinggi yang menyebar di wilayah Mesir, dan beberapa
cabang di luar negeri berupa puluhan rumah sakit, panti sosial, dan penyewaan
lahan bisnis.[10]
Pengkajian lembaga wakaf yang ada di
Mesir sebagaimana telah diuraikan, memberi gambaran yang jelas bahwa wakaf di
Mesir dikelola secara produktif dan telah memberikan kontribusi yang besar
terhadap kemaslahatan umat dibidang sosial, agama, pendidikan dan kebudayaan
serta ekonomi. Pemanfaatan wakaf di Mesir telah mendiskripsikan, bahwa wakaf
telah berkontribusi secara dahsyat, terutama kontribusinya di bidang
pendidikan, pertanian dan kesehatan.
V. PARADIGMA WAKAF
DI INDONESIA
Dengan mencermati beberapa hasil studi perwakafan
menunjukkan, bahwa pengelolaan wakaf produktif di Indonesia belum signifikan,
bahkan secara empiris tanah wakaf Indonesia sebagian besar masih memprihatinkan.
Namun demikian selama 10 tahun terakhir embrio wakaf produktif di Indonesia
yang berskala internasinal mulai dapat diidentifikasi, antara lain Yayasan
Wakaf Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar dan Yayasan Wakaf Universitas
Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Pemilihan sampel kedua yayasan tersebut
sangat beralasan apabila menggunakan parameter laju perkembangan pendidikan dan kemaslahatan
umat yang sudah dicapai.
Berdasarkan validitas data yang dilakukan Direktorat
Pemberdayaan Wakaf tahun 2007, bahwa dari kuantitas lokasi tanah wakaf di
Indonesia tahun 2006 sebesar 403.845 lokasi, turun menjadi 366.595 lokasi,
berarti penurunannya 37.250 lokasi (9,22%). Tetapi dari aspek luasnya mengalami
kemajuan yang sangat pesat, yakni dari luas tanah 1.566.672.406 m2
menjadi seluas 2.686.536.656, 68 m2 dan/atau naik 1.119.864.250, 68 m2
(71.48%), atau 2.686, 536 km2 dan/atau 268.653, 66 Ha[11].
Data luas tanah wakaf di Indonesia tersebut, apabila
diasumsikan dengan luas wilayah DKI Jakarta = 656 km2, maka luas
tanah wakaf Indonesia = + 4 kali luas wilayah DKI Jakarta, atau
mendekati 5 kali luas negara Singapura = 633 km2.
Berdasarkan uraian kuantitatif tersebut dan dengan
mengidentifikasi pengelolaan tanah wakaf secara empiris di lapangan, maka suatu
kenyataan yang tidak bisa dibantah, bahwa wakaf yang ada di Indonesia pada
umumnya berupa masjid, mushallah, madrasah, sekolahan, pekuburan, rumah yatim
piatu dan Iain-lain. Dilihat dari segi sosial dan ekonomi, wakaf yang ada
ternyata belum dapat berperan dalam menanggulangi permaslahatan umat. Hal ini
dapat dimaklumi karena kebanyakan wakaf yang ada kurang maksimal dalam
pengelolaannya. Dengan demikian jika wakaf dikelola secara produktif tentu akan
berkontribusi terhadap pembangunan secara signifikan, baik di bidang ekonomi,
agama, sosial budaya, politik, maupun pertahanan dan keamanan. Menurut Rachmat
Djatnika, dalam bidang ekonomi, wakaf memegang
peranan semacam pershockbreaker dalam
keseimbangan kehidupan masyarakat
karena dapat menutupi kebutuhan masyarakat yang vital.[12]
Menurut
hemat penulis, setidaknya ada tiga konsep dasar dalam mengelola wakaf secara
produktif di Indonesia agar dapat berkembang signifikan. Pertama, perlunya optimalisasi penerapan sistem perwakafan, dengan
mengoptimalkan pengelolaan tanah wakaf dan atau wakaf benda tidak bergerak
secara produktif. Kedua, memberdayakan wakaf benda bergerak dan wakaf tunai, sebagai
langkah antisipasi kurangnya minat masyarakat untuk berwakaf tanah, dengan
dalih harga tanah semakin tinggi. Ketiga,
menganut struktur lembaga Departemen
dan Kementrian Perwakafan yang bertanggung jawab secara independen.
Apabila
ketiga konsep tersebut dapat diimplementasikan secara signifikan, maka wakaf
produktif sangat dimungkinkan menjadi alternatif sumber ekonomi yang dahsyat di
Indonesia. Contoh dengan asumsi sederhana, kalau semua lokasi pekuburan yang
umumnya menempati tanah berstatus wakaf, kemudian setiap lokasi pekuburan dapat
dikelola secara produktif, maka hal itu dapat dibuktikan secara empiris bahwa
para pengelola pekuburan pun akan dapat hidup sejahtera dan/atau layak. Karena
setidaknya pengelolaan itu dapat memancarkan sedekah yang signifikan bagi para
penziarah kubur sebagai salah satu sumber kesejateraan.
VI. PENUTUP
Gambaran nyata sebagaimana telah
diuraikan, sebaiknya dapat menjadi acuan pengelolaan wakaf secara produktif di
Indonesia, mengingat potensi tanah wakaf di Indonesia sangat besar, juga merupakan
negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia. Oleh karena itu sistem
pengelolaan wakaf secara produktif seharusnya menjadi perhatian prioritas
pemerintah Indonesia, mengingat sebagian besar kehidupan masyarakat Indonesia
masih dalam garis kemiskinan yang berimplikasi kesenjangan sosial.
Dalam sistem perwakafan terdapat peluang ekonomi
produktif yang sangat dahsyat untuk kesejahteraan umat. Namun peluang besar itu
baru dapat terwujud, apabila ada paradigma pemikiran baru dari internal umat
Islam, dari berpikir konvensional menjadi berpikir madani berdasarkan konsep
ekonomi Islam yang di atur dalam al-Qur’an dan hadis serta per-Undang-Undangan
yang berlaku. Syarat fundamental untuk mengelola wakaf secara produktif dari
seluruh lini, harus profesional dan amanah, agar terhindar dari Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme (KKN), dengan menerapkan sistem “otonomi berkehormatan dan
berkebajikan” suatu sistem implementasi perwujudan penerimaan amanah bagi dosen
dan karyawan yang telah diterapkan di Universitas Muslim Indonesia.
VII DAFTAR PUSTAKA
’Abdul Mannan, Mohammad.
Cash Waqf Certificate, An Innovation in Islamic Finansial
Instrument. (Sertifikat Wakaf Tunai, Sebuah Inovasi
Instrumen Keuangan Islam), Alih bahasa Tjasmijanto Rozidyanti (ed.) Muatafa E.
Nasution Sunarsip, Pen. CIBER/PKTTI-UI, Depok: 2001.
.Teori dan
Praktik Ekonomi Islam.
diterjemahkan oleh M. Nastangin, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993.
Departemen
Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Karya Toha Putra,
2002.
.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang
Wakaf, dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang
Pelaksanaannya. Ditjen Bimas Islam, Jakarta: 2007.
.Model
Pengembangan Wakaf Produktif,
Direktorat Jenderal Ditjen Bimas Islam Direktorat
Pemberdayaan Wakaf, Jakarta: 2007.
Djatnika, Rachmat. Wakaf Tanah. Surabaya:
Al-Ikhlas,t.t
Harahap, Sumuran. “Kebijakan Pemerintah dalam Pengelolaan
Wakaf”. Makalah, disampaikan pada Acara
Kagiatan Temu Konsultasi Pejabat Teknis Perwakafan dengan Lembaga Keuangan Syari’ah
di Hotel Alia Cikini, Jakarta: pada tanggal 27 Agustus 2008.
John M. Echols dan H}assan
S}adily, Kamus Inggris-Indonesia Cornell University Press, Ithaca and
London (Jakarta: Pen. Gramedia Pustaka Utama), t.th.
Saefuddin,
M. Ahmad. Ekonomi dan Masyarakat Dalam Perspektif Islam Jakarta:
Rajawali Press, 1987.
Syalabi, Muhammad Mus}t}afa>.Muha>darat al-Waqf wa al-Wasiyat. Iskandariyah: Dal at-Ta’lif, 1957.
[1]H. Muh. Shaleh Suratmin,
Lahir di Tomoni Luwu Timur Sulawesi Selatan Indonesia, Tamat Sekolah Dasar 1968
di Tomoni, Tamat SMP Negeri 1971 (Filial Malili) di Maleku Luwu Timur, Tamat SP
IAIN 1972 di Palopo, Serjana Muda IAIN 1977 di Palopo, Serjana (S1) IAIN
Jurusan Dakwah 1985 di Makassar,
Magister Hukum (S2) Konesntrasi Hukum Islam pada PPs UMI 1997 di Makassar, Serjana Hukum (S1) Jurusan
Perdata Islam Universitas Satria 2009 di Makassar, Program Doktor (S3) Hukum
Islam pada PPs UIN Alauddin 2009 di Makassar. Dosen Tetap Yayasan Wakaf Universitas Muslim Indonesia
Makassar sejak 1994
sampai sekarang.
4Lihat Ahmad M. Saefuddin,
Ekonomi dan Masyarakat Dalam Perspektif Islam (Jakarta: Rajawali Press,
1987), h. 48.
5Departemen Agama RI, op. cit., h. 388.
[8]Lihat Muhammad Abdul
Mannan. Cash Waqf Certificate, An Innovation in Islamic Finansial
Instrument. (Sertifikat Wakaf Tunai, Sebuah Inovasi Instrumen Keuangan Islam), Alih bahasa Tjasmijanto Rozidyanti
(ed.) Mustafa E. Nasution Sunarsip, (Depok: Pen. CIBER/PKTTI-UI,
2001), h. 51.
[9]Achmad Djunaidi
dan Thobieb Al-Asyhar. Menuju Era Wakaf
Produktif Sebuah Usaha Progresif untuk Kesejahteraan Umat. Cet. ke-2; Jakarta: Mitra Abadi
Press, 2005.
[10]Ibid. Lihat pula Departemen
Agama RI, Strategi Pengamanan Tanah Wakaf (Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggara Haji,
tahun 2004), h. 18.
0 komentar:
Posting Komentar