KONTEKSTUALISASI
TEOLOGI KEADILAN
DALAM HUKUM QISAS
Oleh Muh.
Shaleh Suratmin
Abstract
Justice in al-Qur'an in
general can be classification in four understanding categories namely, justice
in understanding " same", " balance", " respect to individual
rights with giving of rights to its the owner", and " justice
dinisbatkan at God character". Fourth of the justice values accumulateed
and or implied in applying of law qisas as part of Islamic criminal law and
Islam law in general having ground justice. Based on understanding of
kontekstual to juristic sentences of qisas, hence perceivable that law qisas
implication prevents that man do not make murder and maltreatment.
Keyword: Qisas
implication prevents murder and maltreatment.
ABSTRAK
Keadilan dalam al-Qur’an secara umum dapat diklasifikasi
dalam empat kategori pemahaman yakni, keadilan dalam pengertian “sama”,
“keseimbangan”, “penghormatan terhadap hak-hak individu dengan pemberian hak
kepada pemiliknya”, dan “keadilan yang dinisbatkan pada sifat Tuhan”. Keempat
nilai-nilai keadilan tersebut terakumulasi dan atau terkandung dalam penerapan
hukum qisas sebagai bagian dari hukum pidana Islam dan hukum Islam
secara umum yang berasas keadilan. Berdasar pemahaman kontekstual terhadap
ayat-ayat yang berkenaan dengan hukum qisas, maka dapat dipahami bahwa
hukum qisas berimplikasi pencegahan agar manusia tidak melakukan
pembunuhan dan penganiayaan.
Kata
kunci: Qisas berimplikasi mencegah pembunuhan dan penganiayaan.
PENDAHULUAN
Hukum qisas adalah salah satu bagian dari hukum
pidana Islam, dan
atau dalam diistilah lain disebut fiqh al-jina>yah. Term hukum pidana Islam atau fiqh al-jina>yah
adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal
yang dilakukan oleh manusia khususnya mukallaf.1 Dalam pendekatan fikih, ia merupakan hasil
dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terinci di dalam al-Qur’an dan hadis.2
Tindakan kriminal yang dimaksud
adalah tindakan-tindakan kejahatan yang berimplikasi mengganggu ketentraman
umum, dan di antaranya mengatur tentang hukum qisas.
Hukum pidana Islam merupakan bagian dari syariat Allah swt yang berimplikasi
kemaslahatan bagi kehidupan manusia,
di dunia maupun di akhirat. Dari pendekatan maqa>shid al-syari>’ah,
syariat Islam tersebut secara materil menjadi kewajiban asasi bagi manusia,
yaitu menempatkan Allah (syari’) sebagai pemegang hak mutlak untuk
mengatur manusia, baik untuk dirinya sendiri maupun atas orang lain. Syariat
Allah tersebut dimaksudkan untuk ditunaikan demi kemaslahatan hidup
manusia.
Menurut Ali Hasballah dalam
kitabnya Ushu>l al-Tasyri>’ al-Isla>mi, tujuan ushu>li
(pokok) maqa>shid al-syari>’ah (tujuan syariat) tersebut bermuara
kepada lima kemaslahatan manusia; yaitu agar terpeliharanya agama, jiwa, akal, keturunan/ kehormatan,
dan harta yang merupakan penjabaran atas hak-hak asasi manusia. Hal itu
menunjukkan, bahwa dalam syariat Islam dituntut terlaksananya kewajiban asasi
manusia, baik pada diri sendiri maupun kepada orang lain, agar terwujud hak-hak
asasinya, demikian pula pandangan al-Sa>thibi> dalam berbagai kitabnya.3
Sehubungan dengan itu, Satria Effendi
mengkategorikan
tindak pidana kepada kemafsadatan (kejahatan) terhadap
agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta manusia. Kejahatan atau tindak pidana
tersebut merupakan bentuk perlawanan terhadap maqa>shid al-syari>’ah.
Dalam hal ini, hukum qisas mengandung aturan-aturan berkenaan dengan
kejahatan terhadap jiwa, baik berupa pembunuhan maupun dalam bentuk
penganiayaan beserta penanganannya.4
Zainuddin Ali berpendapat,
lebih dari enam ribu ayat di dalam al-Qur’an, hanya sekitar 30-an ayat yang
konteksnya berbasis kriminologi (hukum pidana) dan hanya beberapa ayat di antaranya
yang mengkaji tentang hukum qisas. Secara umum, ayat-ayat tentang hukum
pidana tersebut merupakan ayat-ayat yang dijelaskan secara rinci, dan sangat
berlebihan apabila menganggap bahwa al-Qur’an adalah kitab sadisme dengan hanya
melihat teks yang tersurat pada ayat-ayat tersebut tanpa mengelaborasi lebih
dalam nilai-nilai keadilan dan kemaslahatan yang terkandung di dalamnya secara
kontekstual.5 Pada sisi yang
lain, puluhan kali Allah swt menyebutkan di dalam al-Qur’an pentingnya berlaku
adil dan menegakkan nilai-nilai keadilan dalam setiap perbuatan dan keputusan,
bahkan term “adil” disebutkan secara beragam yang menunjukkan pentingnya
nilai-nilai keadilan tersebut dalam berbagai dimensi kehidupan, termasuk
perspektif hukum Islam, hukum pidana Islam yang di dalamnya membicarakan
tentang hukum qisas.
Menjadi hal yang menarik ketika ingin mengunggkap
kontekstualisasi keadilan yang terkandung dalam aturan-aturan qisas.
Apalagi dengan meninjau, bahwa salah satu asas terkandung di dalam hukum Islam
secara umum adalah asas keadilan. Dengan
demikian hukum tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai keadilan,
bahkan aturan-aturan hukum seharusnya dibuat atas dasar asas keadilan.
Berdasarkan uraian pendahuluan, hal yang menarik
untuk dirumuskan adalah “Bagaimana kontektualisasi teologi keadilan dalam hukum
qisas”, selanjutnya rumusan tersebut dideskripsikan konsep keadilan
perspektif Islam, hukum qisas perspektif Islam dan kontektualisasi
keadilan dalam hukum qisas.
1.
Konsep
Keadilan Perspektif
Islam
Menurut M. Qurais Shihab, istilah
adil berasal dari bahasa Arab yaitu al-‘adl yang dikonotasikan dengan
kata al-qist dan al-miza>n.6 Kedua istilah tersebut di dalam bahasa
Arab juga mengandung pengertian adil.7 Kalaupun dibedakan, term al-‘adl lebih
dekat kepada pengertian dasar al-sawiyah (keadilan yang sama rata).
Menurut Al-Ra>gib al-Asfahani dalam
kitabnya ia mempersamakan antara term ‘adl dengan taqsid
atau qist.7 Sedang term al-qist memiliki
persamaan kata dengan al-istiqa>mah (keadilan dengan berbuat lurus),
lihat pula Asad M. Alkalili,
sedang kata al-miza>n dari kata wazn yang berarti
timbangan atau alat untuk menimbang sehingga dengannya ditemukan ukuran dan
hasil yang betul-betul sesuai (adil). Dari pengertian tersebut berarti sifat
adil mengandung pengertian sama rata (tidak diskriminatif), perbuatan lurus
(tidak condong pada kepentingan pihak tertentu), serta sebagai sebuah proses
untuk mendapatkan suatu ukuran yang tepat dan sesuai (proforsional). Asad M. Alkalili, memiliki beberapa
pengertian, yaitu: (1) tidak memihak (tidak berat sebelah), (2) berpihak kepada
kebenaran, dan (3) berbuat sepatutnya dan tidak sewenang-wenang.
Sayyi>d Mujtabah Musawi dalam bukunya Dira>sat
fi> Ushu>l al-Isla>m,
melengkapi term adil itu pada
pengertian; meletakkan sesuatu pada tempatnya, tidak berlaku zalim,
memperhatikan hak orang lain, tidak melakukan suatu perbuatan yang bertentangan
dengan hikmah dan kemaslahatan.8
Bertolak dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa
adil perspektif bahasa adalah kata yang mengandung dimensi persamaan, lurus,
ketidak berpihakan, tidak berbuat zalim dan perbuatan yang mengandung
kemaslahatan.
Menurut Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi dalam kitabnya al-Mu’jam al-Mufahras li al-faz al-Qur’a>n
al-Kari>m, pengertian
adil di dalam Islam dapat dipahami dari kata-kata adil di dalam al-Qur’an yang
terulang sebanyak 29 kali. Fu’ad ‘Abd al-Baqi
Term al-qist yang berulang sebanyak 25 kali, dan beberapa kali di dalamnya menyebutkan kata
al-mizan, walaupun tidak semua berkonotasi pada pengertian “adil”.9
Apabila dielaborasi secara dalam ayat demi ayat tersebut dengan seksama,
maka akan didapati pengertian adil sekurang-kurangnya ada empat, yaitu:
1.
Adil
dalam pengertian “sama-rata”. Seperti firman Allah Surat al-Nisa> (4): 58):
Terjemahnya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
melihat”
Para Mufassir pada umumnya memberi penjelasan pengertian al-’adl
dengan al-inha>f wa al-wasi>yah (berada di pertengahan dan
memper-samakan). Bahkan Sayyid Qutub sebagaimana dikutib oleh Abd. Muin Salim
dalam bukunya Fiqh Siyasah; Konsepsi
Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an, menegaskan bahwa dasar persamaan itu adalah sifat
kemanusiaan yang dimiliki oleh setiap orang, dan bahwa manusia memiliki hak
yang sama (untuk diperlakukan dan dihargai) karena mereka diciptakan sama-sama
sebagai manusia.10
Ayat tersebut menuntut perlunya berlaku adil dengan menyampaikan atau
menunaikan setiap amanah kepada yang berhak, dan agar seorang hakim menempatkan
semua pihak yang bersengketa pada posisi yang sama, misalnya dalam hal tempat
duduk, penyebutan nama, keceriaan wajah, kesungguhan mendengarkan dan
memikirkan ucapan mereka, dan lainnya dalam proses pengambilan keputusan.11
Meskipun demikian, tidak ada keharusan untuk
mempersamakan kedua belah pihak dalam putusan pengadilan, malah pada umumnya
mesti berbeda antara pihak yang benar dan salah. Mempersamakan dalam putusan
pengadilan sesuatu yang seharusnya berbeda bertentangan dengan nilai-nilai
keadilan yang seharusnya, karena hal itu akan menjerumuskan kepada tindakan
zalim (menganiaya pihak yang berhak).
Persamaan perlakuan dan penghargaan (dalam pengertian
umum) tentu diharapkan oleh setiap
manusia, khususnya di hadapan hukum. Hal tersebut telah menjadi salah
satu asas umum dalam hukum, yaitu Asas Kesamaan di depan hukum, dalam
pengertian diperlakukan sama dalam proses peradilan.
2.
Adil dalam
pengertian ”seimbang”.
Pengertian ini antara lain terdapat dalam QS. al-Infitar, (82): 6-7):
Terjemahnya: ”Wahai manusia, apakah yang telah
memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Yang
telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan
tubuh) kamu seimbang”.
Term adil dalam ayat tersebut dipahami dengan pengertian ”seimbang”, karena
ayat tersebut menginformasikan kepada menusia untuk memahami nilai-nilai ”adil”
seperti keseimbangan dalam penciptaan tubuhnya.12 Selanjutnya
dinyatakan, bahwa tubuhnya secara keseluruhan telah diciptakan dengan susunan
menurut prinsip-prinsip keseimbangan, agar ia dapat berdiri dengan tegap dan
berjalan kepada tujuan yang ingin dicapainya. Tanpa keseimbangan itu, ia pasti
akan terjatuh dan tidak dapat berdiri tegak.
Sejalan itu, M. Quraish Shihab menyatakan,
bahwa keseimbangan baru dapat terjadi apabila bagian-bagian dalam suatu badan,
kelompok, masyarakat dan lainnya berjalan pada satu tujuan yang sama dengan
syarat dan kadar tertentu yang terpenuhi oleh setiap bagian tersebut.13 Lebih lanjut M. Quraish Shihab menjelaskan, bahwa prinsip
keseimbangan yang dimaksudkan di sini tidak mengharuskan adanya persamaan dalam
segala hal, tidak harus sama kadar dan syarat bagi semua unit terkait. Bisa
jadi untuk keseimbangan tersebut, satu bagian mesti lebih kecil atau lebih besar
dari yang lainnya. Sedang besar atau kecilnya kadar sangat ditentukan oleh
fungsi yang diharapkan padanya.14
Suatu hal yang pasti, bahwa dengan hilangnya keseimbangan
dalam badan apapun, maka akan terjadi ketimpangan dan sulit untuk sampai pada
tujuan yang ingin dicapai. Setiap unit dengan perbedaan kadar dan fungsinya
harus tetap sejalan pada satu tujuan bersama, sebagaimana telah dicontohkan
Allah pada bangunan atau tubuh manusia yang seimbang, sehingga mampu mencapai
tujuan bersama dengan baik.
Keseimbangan tersebut dapat juga dipahami kepada
keseimbangan antara hak dan kewajiban setiap manusia; setiap orang mendapatkan
apa yang ia usahakan, yang benar dibenarkan dan yang salah dihukum salah, dan
tidak sebaliknya, sehingga roda masyarakat berjalan dengan ke arah tujuan yang
diinginkan bersama dengan keadilan.
3.
Adil dalam
pengertian ”penghormatan terhadap hak-hak individu dan pemberian hak kepada
pemiliknya”, seperti firman Allah QS. al-Nahl (16): 90):
Terjemahnya: ”Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku
adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang
dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.
Larangan berbuat keji dan mungkar sebagai bentuk pelanggaran terhadap hukum
atau aturan dalam ayat tersebut disebabkan karena hal itu berakibat kepada
kerugian pada diri sendiri dan orang lain. Keduanya merupakan bentuk kezaliman
atau ketidakadilan.15
Pengertian adil merupakan lawan kata dari semua bentuk
kezaliman. Penghormatan terhadap hak-hak individu dan pemberian hak kepada
pemiliknya merupakan bentuk penerapan keadilan, sedang mengabaikannya berarti
telah berbuat kezaliman baik terhadap diri sendiri maupun kepada orang lain.
4. Adil yang dinisbatkan dalam sifat Allah. Adil di sini merupakan sifat
Allah yang mengandung pengertian bahwa rahmat Allah dapat diperoleh oleh
makhluk sejauh ia dapat meraihnya, karena setiap wujud tidak memiliki hak untuk
mengatur Allah, sehingga keadilan-Nya merupakan rahmat dan kebaikan yang
berasal dari-Nya.
M. Qurais Shihab berpendapat, bahwa keadilan Allah telah memberi hak kepada setiap
makhluk termasuk manusia untuk meraih rahmat-Nya, tanpa pandang bulu. Keadilan
Allah juga melahirkan keseimbangan antara hak dan kewajiban, sehingga setiap
taklif yang diberikan kepada manusia bertujuan untuk kemaslahatan hidup manusia
itu sendiri.16
Adil adalah sifat yang melekat pada Allah swt., yang
berarti bahwa setiap manusia, khususnya para pelaksana dan penegak keadilan
seharusnya menyadari bahwa apa yang mereka lakukan tidak terlepas dari sifat
Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Mengetahui. Ketika mereka melakukan kontrak
kerja, yang dilakukannya itu bukan hanya perjanjian dengan atasannya atau
manusia yang lain, tetapi juga merupakan sebuah kontrak kerja yang nyata dengan
Zat Yang Maha Adil.
Pengertian adil sebagaimana telah diuraikan, setidaknya
telah mendeskrip-sikan pengertian adil di dalam al-Qur’an yang dapat dijabarkan
dalam konteks keislaman sesuai dengan kondisi manusia dan umat Islam saat ini.
Penulis tidak mengemukakan semua ayat-ayat yang memuat term al-’adl,
karena menganggap keempat poin tersebut dapat mewakili dan menjadi dasar serta
penjabaran dari pengertian adil yang ada di dalam al-Qur’an.
2.
Hukum Qisas
dalam
Islam
Hukum qisas adalah salah satu dari sekian macam
aturan hukuman hudud (yang jelas aturan dan batasannya) dalam hukum pidana
Islam. Sebagai sebuah aturan dalam hukum public, ia menjadi bagian dari
tulang punggung terwujudnya ketentraman di dalam
masyarakat, sebagaimana aturan-aturan hukum pidana atau hukum public
lainnya. Sebaliknya, apabila ia tidak berjalan efektif, maka masyarakat akan
merasa tidak tenteram dalam kehidupannya.
Secara bahasa, kata qisas berarti al-musawa wa al-ta’addul
(sama dan seimbang), juga dipahami dalam pengertian qata’a (memangkas
atau memotong) Ibrahim Hosen,
“Jenis-jenis Hukuman dalam Hukum Pidana Islam dan Perbedaan Ijtihad Ulama dalam
Penerapannya.17
Dari pengertian kebahasaannya, qisas memiliki
persamaan pengertian dengan istilah “adil” sebelumnya, yaitu sama dan seimbang.
Yang berarti bahwa qisas adalah hukuman yang sama atau seimbang dengan
kejahatan yang diperbuat oleh pelaku tindak pidana, juga untuk memangkas atau
memotong tindak kejahatan tertentu agar tidak berulang-ulang, dan karena dalam
aturannya terdapat pemotongan kehidupan (hukuman mati) pelaku kejahatan yang
terbuti bersalah.
Ruang lingkup hukum qisas dibatasi oleh para
fuqaha hanya pada tindak pidana atau kejahatan yang berhubungan dengan jiwa
(pembunuhan) dan badan (penganiayaan), atau biasa diistilahkan dengan al-nafs
wa al-jarahah (nyawa dan luka).
Umumnya fuqaha membagi tindak pidana pembunuhan kepada tiga bagian: (1)
Pembunuhan sengaja, (2) pembunuhan semi sengaja, dan (3) Pembunuhan tidak
sengaja. Mereka juga membagi tidak pidana penganiayaan menjadi dua bagian;
yaitu: (1) Penganiayaan sengaja, dan (2) penganiayaan tidak sengaja.18
Ayat-ayat yang berkenaan dengan hukum qisas di
dalam al-Qur’an terdapat kurang dari sepuluh ayat dan pada umumnya selalu
berkaitan dengan aturan diyat. Mungkin dari situlah kemudian para fuqaha
umumnya membahas hukum qisas secara bersamaan dengan hukum diyat.
Secara umum, hukum qisas-diyat disebutkan antara lain dalam Q.S.
al-Baqarah (2): 178-179, 194, al-Nisa>
(4): 92, QS. Al-Ma>idah (5): 32 dan
45, al-Isra>
(17): 33. Di dalam QS. Al-Baqarah (2): 178-179 dikemukakan perintah untuk
melaksanakan qisas:
Terjemahnya:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba
dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu
pema`afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema`afkan) mengikuti dengan cara
yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma`af) membayar (diat) kepada yang
memberi ma`af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu
keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas
sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam qishaash itu ada
(jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu
bertakwa”.
Ayat 178 tersebut berkenaan dengan perintah melaksanakan
hukuman qisas berkenaan dengan pembunuhan. Dari memahami perintah
tersebut, para ulama mengartikannya sebagai sebuah kewajiban yang harus
dilaksanakan, sedang pembunuhan yang dimaksud menurut para mufassir adalah
tindak pembunuhun dengan sengaja, dan harus dilakukan oleh pihak berwenang
dengan asas keadilan. Ayat tersebut diturunkan untuk meluruskan ketidakadilan
hukuman qisas pada masa jahiliyah (sebelum Islam), karena merasa bahwa
mereka adalah suku yang kuat dan besar, maka apabila suku kecil yang membunuh
anggota suku mereka, mereka bersumpah membalasnya dengan yang lebih berat;
kalau yang terbunuh budak, maka gantinya adalah orang merdeka, kalau yang
terbunuh perempuan maka gantinya adalah laki-laki, walaupun yang digantikan itu
bukan yang melakukan pembunuhan.19
Hal tersebut berkenaan dengan tujuan qisas pada
ayat 179 berikutnya adalah untuk memberi jaminan kelangsungan“kehidupan” yang
nyata bagi manusia.
Ayat tersebut dikuatkan oleh keterangan ayat yang lain
seperti dalam firman
Allah QS. Al-Isra> (17): 33).:
Terjemahnya:
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya),
melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara
zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya,
tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia
adalah orang yang mendapat pertolongan”.
Penulis memahami bahwa “kehidupan” dimaksud dalam ayat di
atas bukan hanya pada kesempatan hidup bagi pembunuh karena adanya alternatif
hukuman diyat apabila keluarga korban memaaf-kannya. Tetapi yang tidak
kalah pentingnya adalah “kehidupan” bagi masyarakat banyak yang terlindungi
dari rasa ketakutan akan “kehilangan kehidupan”, dan “kehidupan” keluarga
korban yang ditinggal mati orang yang menjadi tulang punggung keluarga lewat
pembayaran diyat.
Ketentuan qisas dan diyat juga telah
dijelaskan dan dikuatkan secara rinci dalam beberapa ayat lainnya, seperti
penjelasan di dalam QS. Al-Nisa>
(4): 92 dan QS. Al-Ma>idah
(5): 45:
Terjemahnya: “Dan tidak layak bagi seorang mu'min membunuh seorang
mu'min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa
membunuh seorang mu’min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang
beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh
itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh)
dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mu'min, maka (hendaklah si pembunuh)
memerdekakan hamba-sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum
(kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah
si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh)
serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak
memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan
berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Terjemahnya:
“Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya
jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga
dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa
yang melepaskan (hak kisas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa
baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”.
Hal tersebut sangat sesuai dengan tujuan pemidanaan dalam Islam yaitu untuk
retribution (pembalasan), deterence ((pencegahan), dan reformation
(perbaikan).20 Menurut Satria
Efendi secara fsikologi, hukuman pidana Islam, termasuk di
dalamnya hukum qisas mengandung tujuan al-tahzi>b (sifat mendidik). Dikatakan sebagai retribution (pembalasan yang
setimpal) karena dalam hukum qisas, hukuman bunuh atau penganiayaan
hanya dilakukan atas orang-orang yang telah melakukan perbuatan dari keduanya
dengan sengaja. Hal itu bertujuan untuk memberi pembalasan orang-orang yang
telah melakukan suatu perbuatan melampaui batas karena sedemikian mudahnya
telah menghilangkan nyawa atau melukai orang lain yang telah dilarang dengan
tegas dan bertentangan dengan tujuan diturunkannya nas (maqa>shid
al-syari’ah).21
Disebut sebagai deterence (pencegahan yang kuat)
dalam hukum qisas, karena dengan menghukum bunuh orang yang telah
membunuh orang lain dengan sewenang-wenang akan memutuskan perbuatan kriminal
tersebut agar tidak berulang terus menerus, menjadi contoh yang sangat berharga
bagi setiap orang untuk tidak mudah melakukan pembunuhan. Setidaknya, memberi
perasaan aman kepada masyarakat karena selama pihak pembunuh (sengaja) masih
hidup, maka masih dimungkinkan perbuatan tersebut akan berulang.
Sebagai reformation (perbaikan) dapat dipahami,
bahwa dalam aturan qisas tersebut terdapat kemungkinan adanya pemaafan
dari pihak keluarga, apabila merasa bahwa anggota keluarganya yang terbunuh
adalah masih “wajar” apabila terbunuh, karena mungkin perbuatannya selama hidup
membuat orang lain mempunyai niat untuk membunuhnya. Sehingga pemaafan tersebut
semakin memperbaiki keadaan sebagai “kehidupan” bagi orang yang dimaafkan, dan
kondisi keluarga korban juga tetap terjamin dengan adanya pembayaran diyat
dari pelaku dan keluarganya.
Para pakar Islam pada umumnya
menyatukan bahasan qisas dengan diyat, karena secara lebih luas,
tidak semua tindak kejahatan terhadap jiwa dan badan berujung pada qisas.
Bahkan hanya dua dari lima klasifikasi kejahatan tersebut yang dapat berujung
pada qisas, yaitu pada tindak pidana pembunuhan yang disengaja, dan
tindak penganiayaan yang disengaja. Sedang tiga tindak pidana qisas
selainnya, umumnya ulama sependapat hanya dijatuhi hukuman diyat sesuai
ketentuannya di dalam hukum pidana Islam, termasuk juga dalam hal ini
pembunuhan sengaja yang dimaafkan keluarga korban.22 Dari pendapat
tersebut kemudian memunculkan pendapat yang berkembang kemudian, bahwa hukuman
mati atau qisas, merupakan hukuman maksimal yang tidak mesti dijatuhkan
atas setiap peristiwa pembunuhan dan penganiayaan.
Tidak dapat disangkal bahwa hukum qisas yang merupakan bagian dari
hukum pidana Islam dan hukum Islam secara menyeluruh berpegang pada asas umum
yang telah menjadi satu kesatuan dengannya, yaitu asas keadilan yang mendasari
proses pemeriksaan serta sasaran yang akan dicapainya dari proses peradilan
yang adil tersebut.23
Pengertian adil dengan “sama rata” dan “seimbang” jelas
tergambar di dalam hukum qisas, dan di dalam pelaksanaannya dengan
tujuan untuk menghormati setiap hak individu, terutama dalam hal ini hak untuk
terjamin jiwanya dan dihormati sebagai manusia lainnya. Dalam hukum qisas
tersebut, terdapat hak Allah yang wajib dilaksanakan (tidak dapat diganggu
gugat oleh manusia) apabila telah memenuhi semua syarat-syarat penghukuman,
yaitu apabila dalam tindakan tersebut “terbukti secara meyakinkan melakukan
pembunuhan (menghilangkan nyawa) atau penganiayaan orang lain secara sengaja”.
3. Kontekstualisasi Keadilan dalam Hukum Qisas
Pada masa Rasulullah saw. dan para sahabatnya, hukum qisas
(dalam pengertian hukuman balas dalam pembunuhan dan penganiayaan) sangat
jarang dilaksanakan, karena hukuman tersebut dilakukan dengan sangat hati-hati,
dan tidak semua dalam kasus tersebut harus berakhir dengan hukum bunuh. Hukuman
tersebut hanya dijatuhkan apabila tidak ada maaf dari kaluarga korban dan
terbukti secara meyakinkan dengan berbagai indikasi (bukti) yang sangat kuat,
apalagi penghukuman qisas akan gugur dengan adanya keraguan (syubhat) di
dalamnya. Hal ini dijelaskan dalam salah satu asas hukum pidana Islam, yaitu:
تدار الحدود بالشبهات
Lihat Jalaluddin Abdurrahman bin Abi
Bakr al-Suyuti, dalam kitab al-Asybah wa al-Nazai.24 Asas tersebut sesuai dengan hadis Nabi saw. Yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas: إدرأوا الحدود بالشبهات
(Tinggalkannya/ hindarilah penghukuman (hudud) karena
adanya syubhat (hal yang meragukan)). 25
Hukuman harus dihindari dengan adanya hal-hal yang
meragukan. Kehati-hatian di dalam menjatuhkan hukuman Qisas
ataupun hudud sangat diperlukan, karena hanya ada dua alternatif dalam
kepastian hukum tersebut; di satu sisi dapat menegakkan keadilan dengan
sebenar-benarnya, atau kesalahan sedikit dalam penghukuman akan berakibat fatal
dan aniayah baik kepada terhukum maupun kepada
keluarganya dan orang lain, seperti salah satu kaedah usul:
لأن يخطئ الإمام فى العفو خير من أن يخطئ فى العقوبة
“Seorang
pemimpin/hakim lebih baik salah dalam memaafkan, daripada salah dalam menghukum
(karena suatu syubhat)”.26
Kedua kaedah tersebut menunjukkan pentingnya
kehati-hatian di dalam menjatuhkan hukuman, baik dalam hukum qisas
maupun dalam aturan hukum pidana secara umum sesuai kaedah-kaedah pokok yang
berlaku. Hukum qisas baru berjalan efektif apabila pemberlakuannya sesuai
dengan kaedah-kaedah hukum yang ada.
Pada masa kontemporer dewasa ini, masih ada beberapa (dalam jumlah kecil)
negara Islam yang memberlakukan hukum qisas secara berlebih dan berkurang antara satu
dengan yang lain, serta disesuaikan dengan kondisi masyarakatnya dan kebijakan
politik negaranya. Artinya tidak semua diberlakukan secara tekstual yaitu
dengan dibunuh atau sebagaimana pelaku membunuh atau menganiaya, tetapi dengan
hukuman mati lainnya seperti digantung, dieksekusi tembak, atau dipancung oleh
algojo yang telah disiapkan.
Kebanyakan dari negara Islam atau mayoritas penduduknya
muslim yang lebih memilih memberlakukan hukum pidana dari barat, seperti halnya
di Indonesia pada umumnya. Satu-satunya daerah di Indonesia saat ini yang
memungkinkan pemberlakuan hukum qisas (secara tekstual dan utuh) adalah
daerah yang memiliki otonomi khusus seperti Propinsi Nanggru Aceh Darussalam
(NAD). Sedang negara dan daerah lainnya lebih memahami dan melaksanakan hukum qisas
secara umum dalam bentuk hukuman mati, itupun hanya berlaku atas tindak pidana
pembunuhan berat atau sadis (seperti dalam tindak pembunuhan brutal atau tindak
pembunuhan seperti multilasi).
Pemberlakuan hukum Islam, termasuk hukum pidana Islam dan
hukum qisas di Aceh bisa menjadi langkah awal sekaligus barometer
diterapkannya hukum pidana Islam di Indonesia. Setidaknya, apabila hukum pidana
Islam di Aceh berjalan dengan baik dan efektif sehingga terasa hasilnya dalam
kehidupan masyarakat Aceh, maka hal itu akan menjadi masukan yang berharga bagi
bangsa Indonesia secara umum.
Meskipun demikian, di dalam fikih Islam sebenarnya
dibedakan antara hukum qisas dengan eksekusi mati. Hukuman qisas
hanya diperuntukkan secara khusus untuk tindak pidana pembunuhan dan
penganiayaan sengaja, sedang eksekusi mati di dalam fikih Islam pada umumnya
diperuntukkan untuk tindak pidana berat lainnya, seperti had zina
muhsan dengan rajam, atau had al-riddah (tindak pidana (murtad), al-bagy
(pemberontakan) dan al-hirabah (perampokan atau gangguan keamanan) yang
disertai pembunuhan dengan dieksekusi mati di depan algojo atau disalib, sesuai
dengan ketentuan-ketentuan yang telah dijelaskan sebelumnya.
Teori “batas” sebagaimana yang dikemukakan oleh Muhammad
Syahrur di dalam hukum Islam, menjadi salah satu pemikiran kontenporer dalam
mengkontekstualisasikan nilai-nilai keadilan di dalam hukum pidana Islam, dalam
hal ini mencakup hukum qisas. Di dalam teorinya, dinyatakan bahwa
ketentuan qisas dalam pengertian hukum bunuh atau eksekusi mati adalah
ketentuan hukuman maksimal dalam hukum pidana Islam (termasuk hukum qisas).
Karena tidak semua tindak pidana yang termasuk kategori hukum qisas
harus berakhir (divonis) dengan hukuman bunuh atau eksekusi mati, misalnya
karena di dalam proses pembuktiannya terdapat syubhat termasuk dalam hal ini, karena adanya maaf
dari pihak kelurga. 27 Hal tersebut mengindikasikan bahwa
ketentuan hukuman di dalam hukum pidana Islam (termasuk hukum qisas)
bertingkat-tingkat sesuai dengan beratnya kejahatan yang dilakukan dan indikasi
hukum yang mengarah kepada penjatuhan vonis hakim, serta kondisi sang pelaku
yang mempengaruhi keyakinan hakim di dalam memutuskan suatu perkara. Hal ini
menjadi bagian dari fleksibilitas hukum Islam dalam menanggulangi semua
kejahatan yang terjadi dan berkembang hingga saat ini.
Apabila teori “batas” tersebut diperpegangi, maka pada
dasarnya semua aturan pidana saat ini yang mengatur tentang pembunuhan dapat
dikategorikan sebagai bagian dari hukum qisas dan diyat, karena
pasti akan masuk ke dalam ketentuan hukum qisas di antara hukuman
maksimal dengan hukuman minimalnya, atau hukuman yang ada di antara kedua batas
tersebut.
Meskipun demikian, Syahrur tetap menyetujui, bahwa hukuman alternatif di
atas hanya berlaku apabila hakim meyakini ada syubhat di dalam proses
persidangan. Namun apabila terbukti secara meyakinkan bahwa tindakan pembunuhan
masuk dalam kategori perbuatan yang harus dihukum bunuh, maka hukuman qisas
dalam arti maksimal harus tetap dilaksanakan.28 Hal tersebut
disebabkan karena ketentuan dalam hukum qisas dan beberapa aturan dalam
hukum pidana Islam sifatnya sangat jelas (qat’i).
M. Quraish Shihab mengilustrasikan, bahwa ketika
seseorang diamputasi (dipotong) kakinya, maka orang lain yang melihat akan
merasa kasihan dan menganggap pemotongan itu adalah perbuatan yang biadab,
tetapi ketika mereka mengetahui bahwa yang memotong kaki tersebut adalah
seorang dokter ahli, maka tentu mereka malah bersyukur dan berterima kasih,
karena kalau tidak dipotong akan membahayakan jiwa pasien tersebut.29
Dalam beberapa kajian dipahami bahwa ketentuan hukuman atau delik di dalam
hukum pidana barat (termasuk dalam hal ini KUHP) sepadan dengan ketentuan jarimah
ta’zir di dalam hukum pidana Islam, sebagai ketentuan hukum alternatif
apabila kejahatan yang dilakukan belum memenuhi syarat ketentuan pidana yang
telah ditetapkan. Sedang jarimah hudud dan qisas-diyat
lebih bersifat dogmatis (yang harus diterima apa adanya), karena di dalamnya
terdapat hak Allah (syari’) yang tidak boleh dilanggar. Hal ini berbeda
dengan delik pidana yang sifatnya dapat diubah, dikurangi, dihapuskan, dan
diperbaharui sesuai dengan kepentingan hukum dan masyarakat yang terus tumbuh
dan berkembang.30
Jika suatu negara sepenuhnya mendasarkan hukum negaranya
pada syariat Islam, hal itu tidak menjadi masalah untuk menerapkan materi dan
subtansi hukum pidana Islam yang menjadi bagian hukum negaranya, baik mengenai
norma maupun sanksinya. Hal tersebut tentunya berbeda dengan negara yang bukan
berasaskan Islam, seperti halnya Indonesia, maka peluang terbesar untuk
menerapkan hukum Islam akan lebih mudah dalam bentuk subtansinya atau
nilai-nilai yang terkandung dalam hukum Islam, atau norma-norma Islam yang
hidup di tengah masyarakat sebagai hukum adat.
PENUTUP
Hukum qisas adalah salah satu bagian dari hukum
pidana Islam. Keadilan dalam al-Qur’an secara umum dapat diklasifikasi dalam
empat kategori pemahaman yakni, keadilan dalam pengertian “sama”,
“keseimbangan”, “penghormatan terhadap hak-hak individu dengan pemberian hak
kepada pemiliknya”, dan “keadilan yang dinisbatkan pada sifat Tuhan”.
Ketentuan hukum qisas dalam al-Qur’an tentang
hukum bunuh jumlahnya relatif sedikit, dan umumnya penjelasannya dikompilasi
dengan penjelasan hukum diyat (denda) sebagai bentuk hukum
alternatif. Berdasar pemahaman kontekstual terhadap ayat-ayat yang berkenaan
dengan hukum qisas, maka dapat dipahami bahwa hukum qisas
berimplikasi pencegahan agar manusia tidak melakukan pembunuhan dan
penganiayaan.
Teori batas yang dikemukakan oleh Muhammad Syahrur
menjadi sebuah pemikiran kontenporer di dalam mengkontekstualisasikan dan
mengaktualisasikan hukum pidana Islam termasuk di dalamnya hukum qisas
dalam hukum nasional saat ini.
CATATAN
KAKI
1 Zainuddin Ali, Ali, Hukum Pidana Islam, cet. 1 (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm 1.
2 Dede Rosdaya, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, 1992), hlm 86.
3 Ali Hasballah, Ushu>l al-Tasyri’ al-Isla>mi, (Bairut: Dar al-fikr al-Arabi, 1982), hlm 334.
4 Ali> Hasballah,
Ushu>l al-Tasyri’ al-Isla>mi, hlm 35.
5 Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, hlm 18.
6 M.
Qurais Shihab, Wawasan al-Qur’an, Edisi
Baru, cet. 2
(Bandung:
Mizan, 2007), hlm 148.
7 Lois Ma’luf, al-Munji>d fi> al-Lugah, cet. 20 (Bairut: Dar al-Masyriq, 1977), hlm 491 dan 628.
7 Al-Ra>gib al-Asfahani, Mufra>dat al-Fazh al-Qur’a>n, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992),
hlm 551-552.
8 Sayyi>d Mujtabah Musawi, Dirasat fi Usul al-Islam, diterjemahkan dengan judul Teologi Islam Syi’ah, cet. 1 (Jakarta: al-Huda, 2004), hlm 47.
9 Muhammad Fu’ad ‘Abd
al-Baqi, al-Mu’ja>m al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-Karim, (Bairut: Dar al-Fikr , 1992), hlm 691-692.
10 Abd. Muin Salim, Fiqh Siyasah; Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an, cet. 1 (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1994), hlm 213.
11 M.
Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, 2007), hlm 152.
12 (M.
Dawam Raharjo, Ensiklopedia Al-Qur’an; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep kunci. cet. 1 (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm 373.
13 M. Quraish
Shihab, Wawasan al-Qur’an, hlm 153.
14 Ibid, hlm 154).
15 M. Dawam Raharjo, Ensiklopedia Al-Qur’an; Tafsir Sosial Berdasarkan
Konsep-konsep kunci. hlm 387.
16 M. Qurais Shihab, Wawasan al-Qur’an, hlm 116.
17 Mimbar
Hukum, nomor 20, tahun VI (Jakarta:
Al-Hikmah, 1995), hlm 8.
18 Ibrahim Husen, “Jenis-jenis Hukuman dalam Hukum Pidana Islam dan
Perbedaan Ijtihad Ulama dalam Penerapannya, dalam Mimbar Hukum, nomor
20, tahun VI, (Jakarta: Al-Hikmah, 1995), hlm 8-9.
19 Wahbah zuhaili, Ensiklopedia al-Qur’an, Cet. 1 (Jakarta: Gema Insani, 2007),
hlm 28.
20 Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, penerapan Syariat Islam
dalam Konteks Modernitas, cet. 1 (Bandung: asy Syaamil Press, 2000, hlm 140).
21
Satria Effendi M. Zein,, “Prinsip-prinsip Dasar Hukum
Jinayat dan Permasalahan Penerapannya Masa Kini” dalam Mimbar Hukum,
nomor 20, tahun VI, Jakarta: al-Hikmah, 1995 hlm 37.
22 Ibrahim Hosen, Mimbar Hukum, hlm 9.
23 Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, hlm 3.
24 al-Suyu>ti, Jalaluddi>n Abdurrahma>n bin Abi>
Bakr, al-Asybah wa al-Nazair, (Mesir: Maktabah Nur Asiyah, t.th), hlm 246.
25 Abu Yusuf, al-Rad ‘ala
Syi’ar al-Ahza’i, (Mesir: Lajnah Ihya’ al-Ma’arif
al-Nu’maniyah, 1357), hlm 50.
26 Fath Ridwan, Min Falsafah al-Tasyri’ al-Islami, Cet. 2 (Dar al-Kitab al-Libnan, 1975), hlm 177.
27 Muhammad Syahrur, al-Kitab
wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’asirah, diterjemahkan oleh Sahiron
Syamsuddin, dengan judul: Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam
Kontenporer, Cet. 2 (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2007), hlm 212.
28 Muhammad
Syahrur, al-Kitab wa
al-Qur’an: Qira’ah Mu’asirah, hlm 212.
29 M.
Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, hlm162.
30 Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Cet. 1 (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm 158.
0 komentar:
Posting Komentar