Pages

Senin, 05 Oktober 2015

Kontekstualisasi Teologi Keadilan dalam Hukum Qisas






KONTEKSTUALISASI TEOLOGI KEADILAN
DALAM HUKUM QISAS
Oleh Muh. Shaleh Suratmin

Abstract
Justice in al-Qur'an in general can be classification in four understanding categories namely, justice in understanding " same", " balance", " respect to individual rights with giving of rights to its the owner", and " justice dinisbatkan at God character". Fourth of the justice values accumulateed and or implied in applying of law qisas as part of Islamic criminal law and Islam law in general having ground justice. Based on understanding of kontekstual to juristic sentences of qisas, hence perceivable that law qisas implication prevents that man do not make murder and maltreatment.
     Keyword: Qisas implication prevents murder and maltreatment.

ABSTRAK
Keadilan dalam al-Qur’an secara umum dapat diklasifikasi dalam empat kategori pemahaman yakni, keadilan dalam pengertian “sama”, “keseimbangan”, “penghormatan terhadap hak-hak individu dengan pemberian hak kepada pemiliknya”, dan “keadilan yang dinisbatkan pada sifat Tuhan”. Keempat nilai-nilai keadilan tersebut terakumulasi dan atau terkandung dalam penerapan hukum qisas sebagai bagian dari hukum pidana Islam dan hukum Islam secara umum yang berasas keadilan. Berdasar pemahaman kontekstual terhadap ayat-ayat yang berkenaan dengan hukum qisas, maka dapat dipahami bahwa hukum qisas berimplikasi pencegahan agar manusia tidak melakukan pembunuhan dan penganiayaan.
Kata kunci: Qisas berimplikasi mencegah pembunuhan dan penganiayaan.

PENDAHULUAN

 Hukum qisas adalah salah satu bagian dari hukum pidana Islam, dan atau dalam  diistilah lain disebut fiqh al-jina>yah. Term hukum pidana Islam atau fiqh al-jina>yah adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh manusia khususnya mukallaf.1  Dalam pendekatan fikih, ia merupakan hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terinci di dalam al-Qur’an dan hadis.2  Tindakan kriminal yang dimaksud adalah tindakan-tindakan kejahatan yang berimplikasi mengganggu ketentraman umum, dan di antaranya mengatur tentang hukum qisas.
Hukum pidana Islam merupakan bagian dari syariat Allah swt yang berimplikasi kemaslahatan bagi kehidupan manusia, di dunia maupun di akhirat. Dari pendekatan maqa>shid al-syari>’ah, syariat Islam tersebut secara materil menjadi kewajiban asasi bagi manusia, yaitu menempatkan Allah (syari’) sebagai pemegang hak mutlak untuk mengatur manusia, baik untuk dirinya sendiri maupun atas orang lain. Syariat Allah tersebut dimaksudkan untuk ditunaikan demi kemaslahatan hidup manusia.
Menurut Ali Hasballah dalam kitabnya Ushu>l al-Tasyri>’ al-Isla>mi, tujuan ushu>li (pokok) maqa>shid al-syari>’ah (tujuan syariat) tersebut bermuara kepada lima kemaslahatan manusia; yaitu agar terpeliharanya agama, jiwa, akal, keturunan/ kehormatan, dan harta yang merupakan penjabaran atas hak-hak asasi manusia. Hal itu menunjukkan, bahwa dalam syariat Islam dituntut terlaksananya kewajiban asasi manusia, baik pada diri sendiri maupun kepada orang lain, agar terwujud hak-hak asasinya, demikian pula pandangan al-Sa>thibi> dalam berbagai kitabnya.3
Sehubungan dengan itu, Satria Effendi  mengkategorikan tindak pidana kepada kemafsadatan (kejahatan) terhadap agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta manusia. Kejahatan atau tindak pidana tersebut merupakan bentuk perlawanan terhadap maqa>shid al-syari>’ah. Dalam hal ini, hukum qisas mengandung aturan-aturan berkenaan dengan kejahatan terhadap jiwa, baik berupa pembunuhan maupun dalam bentuk penganiayaan beserta penanganannya.4 
Zainuddin Ali berpendapat, lebih dari enam ribu ayat di dalam al-Qur’an, hanya sekitar 30-an ayat yang konteksnya berbasis kriminologi (hukum pidana) dan hanya beberapa ayat di antaranya yang mengkaji tentang hukum qisas. Secara umum, ayat-ayat tentang hukum pidana tersebut merupakan ayat-ayat yang dijelaskan secara rinci, dan sangat berlebihan apabila menganggap bahwa al-Qur’an adalah kitab sadisme dengan hanya melihat teks yang tersurat pada ayat-ayat tersebut tanpa mengelaborasi lebih dalam nilai-nilai keadilan dan kemaslahatan yang terkandung di dalamnya secara kontekstual.5  Pada sisi yang lain, puluhan kali Allah swt menyebutkan di dalam al-Qur’an pentingnya berlaku adil dan menegakkan nilai-nilai keadilan dalam setiap perbuatan dan keputusan, bahkan term “adil” disebutkan secara beragam yang menunjukkan pentingnya nilai-nilai keadilan tersebut dalam berbagai dimensi kehidupan, termasuk perspektif hukum Islam, hukum pidana Islam yang di dalamnya membicarakan tentang hukum qisas.
Menjadi hal yang menarik ketika ingin mengunggkap kontekstualisasi keadilan yang terkandung dalam aturan-aturan qisas. Apalagi dengan meninjau, bahwa salah satu asas terkandung di dalam hukum Islam secara umum adalah asas keadilan. Dengan demikian hukum tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai keadilan, bahkan aturan-aturan hukum seharusnya dibuat atas dasar asas keadilan.
Berdasarkan uraian pendahuluan, hal yang menarik untuk dirumuskan adalah “Bagaimana kontektualisasi teologi keadilan dalam hukum qisas”, selanjutnya rumusan tersebut dideskripsikan konsep keadilan perspektif Islam, hukum qisas perspektif Islam dan kontektualisasi keadilan dalam hukum qisas.

1.     Konsep Keadilan Perspektif Islam
Menurut M. Qurais Shihab, istilah adil berasal dari bahasa Arab yaitu al-‘adl yang dikonotasikan dengan kata al-qist dan al-miza>n.6  Kedua istilah tersebut di dalam bahasa Arab juga mengandung pengertian adil.7  Kalaupun dibedakan, term al-‘adl lebih dekat kepada pengertian dasar al-sawiyah (keadilan yang sama rata). Menurut Al-Ra>gib al-Asfahani dalam kitabnya ia mempersamakan antara term ‘adl dengan taqsid atau qist.7 Sedang term al-qist memiliki persamaan kata dengan al-istiqa>mah (keadilan dengan berbuat lurus), lihat pula Asad M. Alkalili, sedang kata al-miza>n dari kata wazn yang berarti timbangan atau alat untuk menimbang sehingga dengannya ditemukan ukuran dan hasil yang betul-betul sesuai (adil). Dari pengertian tersebut berarti sifat adil mengandung pengertian sama rata (tidak diskriminatif), perbuatan lurus (tidak condong pada kepentingan pihak tertentu), serta sebagai sebuah proses untuk mendapatkan suatu ukuran yang tepat dan sesuai (proforsional). Asad M. Alkalili, memiliki beberapa pengertian, yaitu: (1) tidak memihak (tidak berat sebelah), (2) berpihak kepada kebenaran, dan (3) berbuat sepatutnya dan tidak sewenang-wenang.
Sayyi>d Mujtabah Musawi dalam bukunya Dira>sat fi> Ushu>l al-Isla>m, melengkapi  term adil itu pada pengertian; meletakkan sesuatu pada tempatnya, tidak berlaku zalim, memperhatikan hak orang lain, tidak melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hikmah dan kemaslahatan.8 
Bertolak dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa adil perspektif bahasa adalah kata yang mengandung dimensi persamaan, lurus, ketidak berpihakan, tidak berbuat zalim dan perbuatan yang mengandung kemaslahatan.
Menurut Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi dalam kitabnya al-Mu’jam al-Mufahras li al-faz al-Qur’a>n al-Kari>m, pengertian adil di dalam Islam dapat dipahami dari kata-kata adil di dalam al-Qur’an yang terulang sebanyak 29 kali. Fu’ad ‘Abd al-Baqi   
Term al-qist yang berulang sebanyak 25 kali, dan  beberapa kali di dalamnya menyebutkan kata al-mizan, walaupun tidak semua berkonotasi pada pengertian “adil”.9 Apabila dielaborasi secara dalam ayat demi ayat tersebut dengan seksama, maka akan didapati pengertian adil sekurang-kurangnya ada empat, yaitu:
1.               Adil dalam pengertian “sama-rata”. Seperti firman Allah Surat al-Nisa> (4): 58):

Terjemahnya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha melihat”

Para Mufassir pada umumnya memberi penjelasan pengertian al-’adl dengan al-inha>f wa al-wasi>yah (berada di pertengahan dan memper-samakan). Bahkan Sayyid Qutub sebagaimana dikutib oleh Abd. Muin Salim dalam bukunya Fiqh Siyasah; Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an, menegaskan bahwa dasar persamaan itu adalah sifat kemanusiaan yang dimiliki oleh setiap orang, dan bahwa manusia memiliki hak yang sama (untuk diperlakukan dan dihargai) karena mereka diciptakan sama-sama sebagai manusia.10 
Ayat tersebut menuntut perlunya berlaku adil dengan menyampaikan atau menunaikan setiap amanah kepada yang berhak, dan agar seorang hakim menempatkan semua pihak yang bersengketa pada posisi yang sama, misalnya dalam hal tempat duduk, penyebutan nama, keceriaan wajah, kesungguhan mendengarkan dan memikirkan ucapan mereka, dan lainnya dalam proses pengambilan keputusan.11 
Meskipun demikian, tidak ada keharusan untuk mempersamakan kedua belah pihak dalam putusan pengadilan, malah pada umumnya mesti berbeda antara pihak yang benar dan salah. Mempersamakan dalam putusan pengadilan sesuatu yang seharusnya berbeda bertentangan dengan nilai-nilai keadilan yang seharusnya, karena hal itu akan menjerumuskan kepada tindakan zalim (menganiaya pihak yang berhak).
Persamaan perlakuan dan penghargaan (dalam pengertian umum) tentu diharapkan oleh setiap  manusia, khususnya di hadapan hukum. Hal tersebut telah menjadi salah satu asas umum dalam hukum, yaitu Asas Kesamaan di depan hukum, dalam pengertian diperlakukan sama dalam proses peradilan.
2.              Adil dalam pengertian ”seimbang”. Pengertian ini antara lain terdapat dalam QS. al-Infitar, (82): 6-7):

Terjemahnya: ”Wahai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh) kamu seimbang”.

Term adil dalam ayat tersebut dipahami dengan pengertian ”seimbang”, karena ayat tersebut menginformasikan kepada menusia untuk memahami nilai-nilai ”adil” seperti keseimbangan dalam penciptaan tubuhnya.12   Selanjutnya dinyatakan, bahwa tubuhnya secara keseluruhan telah diciptakan dengan susunan menurut prinsip-prinsip keseimbangan, agar ia dapat berdiri dengan tegap dan berjalan kepada tujuan yang ingin dicapainya. Tanpa keseimbangan itu, ia pasti akan terjatuh dan tidak dapat berdiri tegak.
Sejalan itu, M. Quraish Shihab menyatakan, bahwa keseimbangan baru dapat terjadi apabila bagian-bagian dalam suatu badan, kelompok, masyarakat dan lainnya berjalan pada satu tujuan yang sama dengan syarat dan kadar tertentu yang terpenuhi oleh setiap bagian tersebut.13  Lebih lanjut M. Quraish Shihab menjelaskan, bahwa prinsip keseimbangan yang dimaksudkan di sini tidak mengharuskan adanya persamaan dalam segala hal, tidak harus sama kadar dan syarat bagi semua unit terkait. Bisa jadi untuk keseimbangan tersebut, satu bagian mesti lebih kecil atau lebih besar dari yang lainnya. Sedang besar atau kecilnya kadar sangat ditentukan oleh fungsi yang diharapkan padanya.14
Suatu hal yang pasti, bahwa dengan hilangnya keseimbangan dalam badan apapun, maka akan terjadi ketimpangan dan sulit untuk sampai pada tujuan yang ingin dicapai. Setiap unit dengan perbedaan kadar dan fungsinya harus tetap sejalan pada satu tujuan bersama, sebagaimana telah dicontohkan Allah pada bangunan atau tubuh manusia yang seimbang, sehingga mampu mencapai tujuan bersama dengan baik.
Keseimbangan tersebut dapat juga dipahami kepada keseimbangan antara hak dan kewajiban setiap manusia; setiap orang mendapatkan apa yang ia usahakan, yang benar dibenarkan dan yang salah dihukum salah, dan tidak sebaliknya, sehingga roda masyarakat berjalan dengan ke arah tujuan yang diinginkan bersama dengan keadilan.
3.         Adil dalam pengertian ”penghormatan terhadap hak-hak individu dan pemberian hak kepada pemiliknya”, seperti firman Allah QS. al-Nahl (16): 90):

Terjemahnya: ”Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.

Larangan berbuat keji dan mungkar sebagai bentuk pelanggaran terhadap hukum atau aturan dalam ayat tersebut disebabkan karena hal itu berakibat kepada kerugian pada diri sendiri dan orang lain. Keduanya merupakan bentuk kezaliman atau ketidakadilan.15 
Pengertian adil merupakan lawan kata dari semua bentuk kezaliman. Penghormatan terhadap hak-hak individu dan pemberian hak kepada pemiliknya merupakan bentuk penerapan keadilan, sedang mengabaikannya berarti telah berbuat kezaliman baik terhadap diri sendiri maupun kepada orang lain.
4. Adil yang dinisbatkan dalam sifat Allah. Adil di sini merupakan sifat Allah yang mengandung pengertian bahwa rahmat Allah dapat diperoleh oleh makhluk sejauh ia dapat meraihnya, karena setiap wujud tidak memiliki hak untuk mengatur Allah, sehingga keadilan-Nya merupakan rahmat dan kebaikan yang berasal dari-Nya.
M. Qurais Shihab berpendapat, bahwa keadilan Allah telah memberi hak kepada setiap makhluk termasuk manusia untuk meraih rahmat-Nya, tanpa pandang bulu. Keadilan Allah juga melahirkan keseimbangan antara hak dan kewajiban, sehingga setiap taklif yang diberikan kepada manusia bertujuan untuk kemaslahatan hidup manusia itu sendiri.16 
Adil adalah sifat yang melekat pada Allah swt., yang berarti bahwa setiap manusia, khususnya para pelaksana dan penegak keadilan seharusnya menyadari bahwa apa yang mereka lakukan tidak terlepas dari sifat Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Mengetahui. Ketika mereka melakukan kontrak kerja, yang dilakukannya itu bukan hanya perjanjian dengan atasannya atau manusia yang lain, tetapi juga merupakan sebuah kontrak kerja yang nyata dengan Zat Yang Maha Adil. 
Pengertian adil sebagaimana telah diuraikan, setidaknya telah mendeskrip-sikan pengertian adil di dalam al-Qur’an yang dapat dijabarkan dalam konteks keislaman sesuai dengan kondisi manusia dan umat Islam saat ini. Penulis tidak mengemukakan semua ayat-ayat yang memuat term al-’adl, karena menganggap keempat poin tersebut dapat mewakili dan menjadi dasar serta penjabaran dari pengertian adil yang ada di dalam al-Qur’an.

2.     Hukum Qisas dalam Islam
Hukum qisas adalah salah satu dari sekian macam aturan hukuman hudud (yang jelas aturan dan batasannya) dalam hukum pidana Islam. Sebagai sebuah aturan dalam hukum public, ia menjadi bagian dari tulang punggung terwujudnya ketentraman di dalam masyarakat, sebagaimana aturan-aturan hukum pidana atau hukum public lainnya. Sebaliknya, apabila ia tidak berjalan efektif, maka masyarakat akan merasa tidak tenteram dalam kehidupannya.
Secara bahasa, kata qisas berarti al-musawa wa al-ta’addul (sama dan seimbang), juga dipahami dalam pengertian qata’a (memangkas atau memotong) Ibrahim Hosen, “Jenis-jenis Hukuman dalam Hukum Pidana Islam dan Perbedaan Ijtihad Ulama dalam Penerapannya.17  
Dari pengertian kebahasaannya, qisas memiliki persamaan pengertian dengan istilah “adil” sebelumnya, yaitu sama dan seimbang. Yang berarti bahwa qisas adalah hukuman yang sama atau seimbang dengan kejahatan yang diperbuat oleh pelaku tindak pidana, juga untuk memangkas atau memotong tindak kejahatan tertentu agar tidak berulang-ulang, dan karena dalam aturannya terdapat pemotongan kehidupan (hukuman mati) pelaku kejahatan yang terbuti bersalah.
Ruang lingkup hukum qisas dibatasi oleh para fuqaha hanya pada tindak pidana atau kejahatan yang berhubungan dengan jiwa (pembunuhan) dan badan (penganiayaan), atau biasa diistilahkan dengan al-nafs wa al-jarahah (nyawa dan luka).
Umumnya fuqaha membagi tindak pidana pembunuhan kepada tiga bagian: (1) Pembunuhan sengaja, (2) pembunuhan semi sengaja, dan (3) Pembunuhan tidak sengaja. Mereka juga membagi tidak pidana penganiayaan menjadi dua bagian; yaitu: (1) Penganiayaan sengaja, dan (2) penganiayaan tidak sengaja.18 
Ayat-ayat yang berkenaan dengan hukum qisas di dalam al-Qur’an terdapat kurang dari sepuluh ayat dan pada umumnya selalu berkaitan dengan aturan diyat. Mungkin dari situlah kemudian para fuqaha umumnya membahas hukum qisas secara bersamaan dengan hukum diyat. Secara umum, hukum qisas-diyat disebutkan antara lain dalam Q.S. al-Baqarah (2): 178-179, 194, al-Nisa> (4): 92, QS. Al-Ma>idah (5): 32 dan 45, al-Isra> (17): 33. Di dalam QS. Al-Baqarah (2): 178-179 dikemukakan perintah untuk melaksanakan qisas:

Terjemahnya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema`afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema`afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma`af) membayar (diat) kepada yang memberi ma`af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa”.

    Ayat 178 tersebut berkenaan dengan perintah melaksanakan hukuman qisas berkenaan dengan pembunuhan. Dari memahami perintah tersebut, para ulama mengartikannya sebagai sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan, sedang pembunuhan yang dimaksud menurut para mufassir adalah tindak pembunuhun dengan sengaja, dan harus dilakukan oleh pihak berwenang dengan asas keadilan. Ayat tersebut diturunkan untuk meluruskan ketidakadilan hukuman qisas pada masa jahiliyah (sebelum Islam), karena merasa bahwa mereka adalah suku yang kuat dan besar, maka apabila suku kecil yang membunuh anggota suku mereka, mereka bersumpah membalasnya dengan yang lebih berat; kalau yang terbunuh budak, maka gantinya adalah orang merdeka, kalau yang terbunuh perempuan maka gantinya adalah laki-laki, walaupun yang digantikan itu bukan yang melakukan pembunuhan.19  
Hal tersebut berkenaan dengan tujuan qisas pada ayat 179 berikutnya adalah untuk memberi jaminan kelangsungan“kehidupan” yang nyata bagi manusia.
Ayat tersebut dikuatkan oleh keterangan ayat yang lain seperti dalam firman Allah QS. Al-Isra> (17): 33).:

Terjemahnya: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan”.
Penulis memahami bahwa “kehidupan” dimaksud dalam ayat di atas bukan hanya pada kesempatan hidup bagi pembunuh karena adanya alternatif hukuman diyat apabila keluarga korban memaaf-kannya. Tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah “kehidupan” bagi masyarakat banyak yang terlindungi dari rasa ketakutan akan “kehilangan kehidupan”, dan “kehidupan” keluarga korban yang ditinggal mati orang yang menjadi tulang punggung keluarga lewat pembayaran diyat.
Ketentuan qisas dan diyat juga telah dijelaskan dan dikuatkan secara rinci dalam beberapa ayat lainnya, seperti penjelasan di dalam QS. Al-Nisa> (4): 92 dan QS. Al-Ma>idah (5): 45:

Terjemahnya: “Dan tidak layak bagi seorang mu'min membunuh seorang mu'min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mu’min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mu'min, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba-sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

Terjemahnya: “Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”.

Hal tersebut sangat sesuai dengan tujuan pemidanaan dalam Islam yaitu untuk retribution (pembalasan), deterence ((pencegahan), dan reformation (perbaikan).20  Menurut  Satria Efendi  secara fsikologi, hukuman pidana Islam, termasuk di dalamnya hukum qisas mengandung tujuan al-tahzi>b (sifat mendidik). Dikatakan sebagai retribution (pembalasan yang setimpal) karena dalam hukum qisas, hukuman bunuh atau penganiayaan hanya dilakukan atas orang-orang yang telah melakukan perbuatan dari keduanya dengan sengaja. Hal itu bertujuan untuk memberi pembalasan orang-orang yang telah melakukan suatu perbuatan melampaui batas karena sedemikian mudahnya telah menghilangkan nyawa atau melukai orang lain yang telah dilarang dengan tegas dan bertentangan dengan tujuan diturunkannya nas (maqa>shid al-syari’ah).21  
Disebut sebagai deterence (pencegahan yang kuat) dalam hukum qisas, karena dengan menghukum bunuh orang yang telah membunuh orang lain dengan sewenang-wenang akan memutuskan perbuatan kriminal tersebut agar tidak berulang terus menerus, menjadi contoh yang sangat berharga bagi setiap orang untuk tidak mudah melakukan pembunuhan. Setidaknya, memberi perasaan aman kepada masyarakat karena selama pihak pembunuh (sengaja) masih hidup, maka masih dimungkinkan perbuatan tersebut akan berulang.
Sebagai reformation (perbaikan) dapat dipahami, bahwa dalam aturan qisas tersebut terdapat kemungkinan adanya pemaafan dari pihak keluarga, apabila merasa bahwa anggota keluarganya yang terbunuh adalah masih “wajar” apabila terbunuh, karena mungkin perbuatannya selama hidup membuat orang lain mempunyai niat untuk membunuhnya. Sehingga pemaafan tersebut semakin memperbaiki keadaan sebagai “kehidupan” bagi orang yang dimaafkan, dan kondisi keluarga korban juga tetap terjamin dengan adanya pembayaran diyat dari pelaku dan keluarganya.
Para  pakar Islam pada umumnya menyatukan bahasan qisas dengan diyat, karena secara lebih luas, tidak semua tindak kejahatan terhadap jiwa dan badan berujung pada qisas. Bahkan hanya dua dari lima klasifikasi kejahatan tersebut yang dapat berujung pada qisas, yaitu pada tindak pidana pembunuhan yang disengaja, dan tindak penganiayaan yang disengaja. Sedang tiga tindak pidana qisas selainnya, umumnya ulama sependapat hanya dijatuhi hukuman diyat sesuai ketentuannya di dalam hukum pidana Islam, termasuk juga dalam hal ini pembunuhan sengaja yang dimaafkan keluarga korban.22 Dari pendapat tersebut kemudian memunculkan pendapat yang berkembang kemudian, bahwa hukuman mati atau qisas, merupakan hukuman maksimal yang tidak mesti dijatuhkan atas setiap peristiwa pembunuhan dan penganiayaan.
Tidak dapat disangkal bahwa hukum qisas yang merupakan bagian dari hukum pidana Islam dan hukum Islam secara menyeluruh berpegang pada asas umum yang telah menjadi satu kesatuan dengannya, yaitu asas keadilan yang mendasari proses pemeriksaan serta sasaran yang akan dicapainya dari proses peradilan yang adil tersebut.23  
Pengertian adil dengan “sama rata” dan “seimbang” jelas tergambar di dalam hukum qisas, dan di dalam pelaksanaannya dengan tujuan untuk menghormati setiap hak individu, terutama dalam hal ini hak untuk terjamin jiwanya dan dihormati sebagai manusia lainnya. Dalam hukum qisas tersebut, terdapat hak Allah yang wajib dilaksanakan (tidak dapat diganggu gugat oleh manusia) apabila telah memenuhi semua syarat-syarat penghukuman, yaitu apabila dalam tindakan tersebut “terbukti secara meyakinkan melakukan pembunuhan (menghilangkan nyawa) atau penganiayaan orang lain secara sengaja”.

3.  Kontekstualisasi Keadilan dalam Hukum Qisas
Pada masa Rasulullah saw. dan para sahabatnya, hukum qisas (dalam pengertian hukuman balas dalam pembunuhan dan penganiayaan) sangat jarang dilaksanakan, karena hukuman tersebut dilakukan dengan sangat hati-hati, dan tidak semua dalam kasus tersebut harus berakhir dengan hukum bunuh. Hukuman tersebut hanya dijatuhkan apabila tidak ada maaf dari kaluarga korban dan terbukti secara meyakinkan dengan berbagai indikasi (bukti) yang sangat kuat, apalagi penghukuman qisas akan gugur dengan adanya keraguan (syubhat) di dalamnya. Hal ini dijelaskan dalam salah satu asas hukum pidana Islam, yaitu:
تدار الحدود بالشبهات
Lihat Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr al-Suyuti, dalam kitab al-Asybah wa al-Nazai.24 Asas tersebut sesuai dengan hadis Nabi saw. Yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas: إدرأوا الحدود بالشبهات  (Tinggalkannya/ hindarilah penghukuman (hudud) karena adanya syubhat (hal yang meragukan)). 25 
Hukuman harus dihindari dengan adanya hal-hal yang meragukan. Kehati-hatian di dalam menjatuhkan hukuman Qisas ataupun hudud sangat diperlukan, karena hanya ada dua alternatif dalam kepastian hukum tersebut; di satu sisi dapat menegakkan keadilan dengan sebenar-benarnya, atau kesalahan sedikit dalam penghukuman akan berakibat fatal dan aniayah baik kepada terhukum maupun kepada keluarganya dan orang lain, seperti salah satu kaedah usul:
لأن يخطئ الإمام فى العفو خير من أن يخطئ فى العقوبة

“Seorang pemimpin/hakim lebih baik salah dalam memaafkan, daripada salah dalam menghukum (karena suatu syubhat)”.26
Kedua kaedah tersebut menunjukkan pentingnya kehati-hatian di dalam menjatuhkan hukuman, baik dalam hukum qisas maupun dalam aturan hukum pidana secara umum sesuai kaedah-kaedah pokok yang berlaku. Hukum qisas baru berjalan efektif apabila pemberlakuannya sesuai dengan kaedah-kaedah hukum yang ada.
Pada masa kontemporer dewasa ini,  masih ada beberapa (dalam jumlah kecil) negara Islam yang memberlakukan hukum qisas  secara berlebih dan berkurang antara satu dengan yang lain, serta disesuaikan dengan kondisi masyarakatnya dan kebijakan politik negaranya. Artinya tidak semua diberlakukan secara tekstual yaitu dengan dibunuh atau sebagaimana pelaku membunuh atau menganiaya, tetapi dengan hukuman mati lainnya seperti digantung, dieksekusi tembak, atau dipancung oleh algojo yang telah disiapkan.
Kebanyakan dari negara Islam atau mayoritas penduduknya muslim yang lebih memilih memberlakukan hukum pidana dari barat, seperti halnya di Indonesia pada umumnya. Satu-satunya daerah di Indonesia saat ini yang memungkinkan pemberlakuan hukum qisas (secara tekstual dan utuh) adalah daerah yang memiliki otonomi khusus seperti Propinsi Nanggru Aceh Darussalam (NAD). Sedang negara dan daerah lainnya lebih memahami dan melaksanakan hukum qisas secara umum dalam bentuk hukuman mati, itupun hanya berlaku atas tindak pidana pembunuhan berat atau sadis (seperti dalam tindak pembunuhan brutal atau tindak pembunuhan seperti multilasi).
Pemberlakuan hukum Islam, termasuk hukum pidana Islam dan hukum qisas di Aceh bisa menjadi langkah awal sekaligus barometer diterapkannya hukum pidana Islam di Indonesia. Setidaknya, apabila hukum pidana Islam di Aceh berjalan dengan baik dan efektif sehingga terasa hasilnya dalam kehidupan masyarakat Aceh, maka hal itu akan menjadi masukan yang berharga bagi bangsa Indonesia secara umum.
Meskipun demikian, di dalam fikih Islam sebenarnya dibedakan antara hukum qisas dengan eksekusi mati. Hukuman qisas hanya diperuntukkan secara khusus untuk tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan sengaja, sedang eksekusi mati di dalam fikih Islam pada umumnya diperuntukkan untuk tindak pidana berat lainnya, seperti had zina muhsan dengan rajam, atau had al-riddah (tindak pidana (murtad), al-bagy (pemberontakan) dan al-hirabah (perampokan atau gangguan keamanan) yang disertai pembunuhan dengan dieksekusi mati di depan algojo atau disalib, sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah dijelaskan sebelumnya.
Teori “batas” sebagaimana yang dikemukakan oleh Muhammad Syahrur di dalam hukum Islam, menjadi salah satu pemikiran kontenporer dalam mengkontekstualisasikan nilai-nilai keadilan di dalam hukum pidana Islam, dalam hal ini mencakup hukum qisas. Di dalam teorinya, dinyatakan bahwa ketentuan qisas dalam pengertian hukum bunuh atau eksekusi mati adalah ketentuan hukuman maksimal dalam hukum pidana Islam (termasuk hukum qisas). Karena tidak semua tindak pidana yang termasuk kategori hukum qisas harus berakhir (divonis) dengan hukuman bunuh atau eksekusi mati, misalnya karena di dalam proses pembuktiannya terdapat syubhat  termasuk dalam hal ini, karena adanya maaf dari pihak kelurga. 27 Hal tersebut mengindikasikan bahwa ketentuan hukuman di dalam hukum pidana Islam (termasuk hukum qisas) bertingkat-tingkat sesuai dengan beratnya kejahatan yang dilakukan dan indikasi hukum yang mengarah kepada penjatuhan vonis hakim, serta kondisi sang pelaku yang mempengaruhi keyakinan hakim di dalam memutuskan suatu perkara. Hal ini menjadi bagian dari fleksibilitas hukum Islam dalam menanggulangi semua kejahatan yang terjadi dan berkembang hingga saat ini.
Apabila teori “batas” tersebut diperpegangi, maka pada dasarnya semua aturan pidana saat ini yang mengatur tentang pembunuhan dapat dikategorikan sebagai bagian dari hukum qisas dan diyat, karena pasti akan masuk ke dalam ketentuan hukum qisas di antara hukuman maksimal dengan hukuman minimalnya, atau hukuman yang ada di antara kedua batas tersebut.
Meskipun demikian, Syahrur tetap menyetujui, bahwa hukuman alternatif di atas hanya berlaku apabila hakim meyakini ada syubhat di dalam proses persidangan. Namun apabila terbukti secara meyakinkan bahwa tindakan pembunuhan masuk dalam kategori perbuatan yang harus dihukum bunuh, maka hukuman qisas dalam arti maksimal harus tetap dilaksanakan.28 Hal tersebut disebabkan karena ketentuan dalam hukum qisas dan beberapa aturan dalam hukum pidana Islam sifatnya sangat jelas (qat’i).
M. Quraish Shihab mengilustrasikan, bahwa ketika seseorang diamputasi (dipotong) kakinya, maka orang lain yang melihat akan merasa kasihan dan menganggap pemotongan itu adalah perbuatan yang biadab, tetapi ketika mereka mengetahui bahwa yang memotong kaki tersebut adalah seorang dokter ahli, maka tentu mereka malah bersyukur dan berterima kasih, karena kalau tidak dipotong akan membahayakan jiwa pasien tersebut.29
Dalam beberapa kajian dipahami bahwa ketentuan hukuman atau delik di dalam hukum pidana barat (termasuk dalam hal ini KUHP) sepadan dengan ketentuan jarimah ta’zir di dalam hukum pidana Islam, sebagai ketentuan hukum alternatif apabila kejahatan yang dilakukan belum memenuhi syarat ketentuan pidana yang telah ditetapkan. Sedang jarimah hudud dan qisas-diyat lebih bersifat dogmatis (yang harus diterima apa adanya), karena di dalamnya terdapat hak Allah (syari’) yang tidak boleh dilanggar. Hal ini berbeda dengan delik pidana yang sifatnya dapat diubah, dikurangi, dihapuskan, dan diperbaharui sesuai dengan kepentingan hukum dan masyarakat yang terus tumbuh dan berkembang.30
Jika suatu negara sepenuhnya mendasarkan hukum negaranya pada syariat Islam, hal itu tidak menjadi masalah untuk menerapkan materi dan subtansi hukum pidana Islam yang menjadi bagian hukum negaranya, baik mengenai norma maupun sanksinya. Hal tersebut tentunya berbeda dengan negara yang bukan berasaskan Islam, seperti halnya Indonesia, maka peluang terbesar untuk menerapkan hukum Islam akan lebih mudah dalam bentuk subtansinya atau nilai-nilai yang terkandung dalam hukum Islam, atau norma-norma Islam yang hidup di tengah masyarakat sebagai hukum adat.

PENUTUP
Hukum qisas adalah salah satu bagian dari hukum pidana Islam. Keadilan dalam al-Qur’an secara umum dapat diklasifikasi dalam empat kategori pemahaman yakni, keadilan dalam pengertian “sama”, “keseimbangan”, “penghormatan terhadap hak-hak individu dengan pemberian hak kepada pemiliknya”, dan “keadilan yang dinisbatkan pada sifat Tuhan”.
Ketentuan hukum qisas dalam al-Qur’an tentang hukum bunuh jumlahnya relatif sedikit, dan umumnya penjelasannya dikompilasi dengan penjelasan hukum diyat (denda) sebagai bentuk hukum alternatif. Berdasar pemahaman kontekstual terhadap ayat-ayat yang berkenaan dengan hukum qisas, maka dapat dipahami bahwa hukum qisas berimplikasi pencegahan agar manusia tidak melakukan pembunuhan dan penganiayaan.
Teori batas yang dikemukakan oleh Muhammad Syahrur menjadi sebuah pemikiran kontenporer di dalam mengkontekstualisasikan dan mengaktualisasikan hukum pidana Islam termasuk di dalamnya hukum qisas dalam hukum nasional saat ini.

CATATAN KAKI

1 Zainuddin Ali, Ali, Hukum Pidana Islam, cet. 1 (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm 1.
2 Dede Rosdaya, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, 1992), hlm 86.
3 Ali Hasballah, Ushu>l al-Tasyri’ al-Isla>mi,  (Bairut: Dar al-fikr al-Arabi, 1982), hlm 334.
4 Ali> Hasballah, Ushu>l al-Tasyri’ al-Isla>mi,  hlm 35.
5 Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam,  hlm 18.
6 M. Qurais Shihab, Wawasan al-Qur’an, Edisi Baru, cet. 2  (Bandung: Mizan, 2007), hlm 148.
7 Lois Ma’luf, al-Munji>d fi> al-Lugah,  cet. 20 (Bairut: Dar al-Masyriq, 1977), hlm 491 dan 628.
7 Al-Ra>gib al-Asfahani, Mufra>dat al-Fazh al-Qur’a>n, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), hlm 551-552.
8 Sayyi>d Mujtabah Musawi, Dirasat fi Usul al-Islam, diterjemahkan dengan judul Teologi Islam Syi’ah, cet. 1 (Jakarta: al-Huda, 2004), hlm 47.
9 Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi,  al-Mu’ja>m al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-Karim, (Bairut: Dar al-Fikr , 1992), hlm 691-692.
10 Abd. Muin Salim, Fiqh Siyasah; Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an, cet. 1 (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), hlm 213.
11 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, 2007), hlm 152.
12 (M. Dawam Raharjo, Ensiklopedia Al-Qur’an; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep kunci. cet. 1 (Jakarta: Paramadina, 1996),  hlm 373.
13 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an,  hlm 153.
14 Ibid,  hlm 154).
15  M. Dawam Raharjo, Ensiklopedia Al-Qur’an; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep kunci. hlm 387.
16 M. Qurais Shihab, Wawasan al-Qur’an,  hlm 116.
17 Mimbar Hukum, nomor 20, tahun VI (Jakarta: Al-Hikmah, 1995), hlm 8.
18 Ibrahim Husen, “Jenis-jenis Hukuman dalam Hukum Pidana Islam dan Perbedaan Ijtihad Ulama dalam Penerapannya, dalam Mimbar Hukum, nomor 20, tahun VI, (Jakarta: Al-Hikmah, 1995), hlm 8-9.
19 Wahbah zuhaili, Ensiklopedia al-Qur’an, Cet. 1 (Jakarta: Gema Insani, 2007), hlm 28.
20 Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, penerapan Syariat Islam dalam Konteks Modernitas, cet. 1 (Bandung: asy Syaamil Press, 2000, hlm 140).
21 Satria Effendi M. Zein,, “Prinsip-prinsip Dasar Hukum Jinayat dan Permasalahan Penerapannya Masa Kini” dalam Mimbar Hukum, nomor 20, tahun VI, Jakarta: al-Hikmah, 1995 hlm 37.
22 Ibrahim Hosen, Mimbar Hukum, hlm 9.
23 Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, hlm 3.
24 al-Suyu>ti, Jalaluddi>n Abdurrahma>n bin Abi> Bakr, al-Asybah wa al-Nazair, (Mesir: Maktabah Nur Asiyah, t.th), hlm 246.
25 Abu Yusuf, al-Rad ‘ala Syi’ar al-Ahza’i, (Mesir: Lajnah Ihya’ al-Ma’arif al-Nu’maniyah, 1357), hlm 50.
26 Fath Ridwan, Min Falsafah al-Tasyri’ al-Islami, Cet. 2 (Dar al-Kitab al-Libnan, 1975), hlm 177.
27 Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’asirah, diterjemahkan oleh Sahiron Syamsuddin, dengan judul: Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontenporer, Cet. 2 (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2007), hlm 212.
28 Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’asirah, hlm  212.
29 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, hlm162.
30 Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Cet. 1 (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm 158.

0 komentar:

Posting Komentar