OPTIMALISASI
PENERAPAN SISTEM PERWAKAFAN WAKAF
DALAM MENINGKATKAN
KESEJAHTERAAN UMAT
(Studi Pengelolaan Wakaf di Kota Palopo)
A. Latar Belakang
Masalah
Konsep Islam
sebagai rah}matan li al-’A>lami>n[1]
senantiasa dipandang aktual oleh kalangan umat Islam. Salah satu argumen yang
melegitimasinya, karena al-Qur’an secara tekstual telah merekomendasikan bahwa
umat manusia sebagai satu keluarga, dan setiap manusia sama derajatnya dalam
pandangan Allah swt.[2]
Untuk mewujudkan konteks kekeluargaan dan kebersamaan tersebut, mutlak harus
dilandasi dengan prinsip ta’a>wu>n, yakni bekerja sama dan tolong-menolong.[3]
Mencermati
fenomena kehidupan bermasyarakat kontemporer dewasa ini, nampak adanya
kecenderungan terjadinya polarisasi atau perbedaan yang menyolok, khususnya
dalam status sosial ekonomi masyarakat, sehingga jurang pemisah antara orang
kaya dengan orang miskin terlihat semakin jauh. Belum lagi perangai egoistis
sebagian orang kaya yang justru cenderung semakin pelit untuk bersedekah membantu orang-orang
yang miskin, bahkan mereka berfoya-foya
dengan hartanya untuk kepentingan
yang subh}at, sekedar meraih popularitas pribadi dengan menyuburkan gaya
hidup snobisme.[4]
Fenomena yang
telah diuraikan tersebut, tentu semakin mengusik rasa ketidakadilan ekonomi
bagi masyarakat miskin pada umumnya. Sementara doktrin Islam menuntut adanya
rasa keadilan dalam berbagai aspek, termasuk keadilan ekonomi atau
kesejahteraan dalam masyarakat. Kendati konsep keadilan sosial ekonomi menurut
Islam, tidak menuntut agar semua orang mesti menempati strata sosial ekonomi
yang sama, namun naluri orisinalitas manusia cenderung berkeinginan untuk dapat
hidup bermartabat dan terpandang dalam status sosial ekonomi. Akan tetapi
kecenderungan itu, dapat disadari melalui komitmen dan doktrin Islam, bahwa
perbedaan itu terjadi, antara lain karena fitrah dan potensi setiap orang juga
berbeda. Pada sisi lain dalam perbedaan status itu, ternyata ada hikmah dari
ke-Mahakuasaan Allah yang justru merupakan akibat hukum dapat terwujudnya rasa
kebahagiaan pada setiap individu manusia dalam kehidupan berma-syarakat,
berbangsa dan bernegara, termasuk perbedaan strata dalam hal memperoleh rezki,
seperti pada konteks firman Allah berikut
Terjemahnya: Dan Allah melebihkan sebahagian
kamu atas sebagian
yang lain dalam hal rezki. ...Q.S. Al-Anah}l/16:71.[5]
Adanya perbedaan
dalam potensi kemampuan serta perbedaan dalam kesempatan dapat diduga sebagai
sebab musabab dari perbedaan dalam rezki yang mungkin diterima oleh seseorang.
Akibat lebih lanjut adalah lahirnya golongan kaya dan golongan miskin dalam
masyarakat.[6]
Penulis dapat
memahami dan menerima pandangan ini, karena dalam kenyataannya doktrin Islam
sebagaimana makna surah Al-Nah}l ayat 71. Dari ayat tersebut dipahami konteksnya,
bahwa sekalipun rezki manusia tidak sama, namun sekiranya orang-orang kaya
bersifat amanah mengeluarkan sebagian hartanya untuk hak-hak orang miskin, maka
niscaya orang yang miskinpun dapat merasakan kebahagiaan dari akibat hukum
bantuan harta orang-orang kaya itu.
Dalam
al-Qur’an terdapat petunjuk atau pedoman bagi seseorang untuk membelanjakan
hartanya, baik untuk kepentingan dirinya, maupun untuk kemaslahatan orang lain,
seperti firman Allah berikut:
ÏN#uäur #s 4n1öà)ø9$# ¼çm¤)ym tûüÅ3ó¡ÏJø9$#ur tûøó$#ur È@Î6¡¡9$# wur öÉjt7è? #·Éö7s? ÇËÏÈ
Terjemahnya:
Dan berikanlah
haknya kepada kerabat dekat, juga kepada orang miskin dan orang yang dalam
perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan hartamu secara boros Q.S. Al-Isra>’/17:26.[7]
Di
samping itu, dalam ajaran Islam ada beberapa lembaga yang dapat dipergunakan untuk
mendistribusikan sebagian harta seseorang untuk kepen-
tingan sosial atau kemaslahatan umat. Salah satu lembaga yang dimaksud adalah ”wakaf”.
Wakaf adalah salah satu lembaga Islam yang mendapat pengaturan secara
khusus dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dengan
demikian wakaf merupakan salah satu pranata hukum Islam yang diatur secara
konkrit dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Wakaf
adalah salah satu lembaga Islam yang bersifat sosial kemasyarakatan, bernilai
ibadah dan sebagai pengabdian yang tulus kepada Allah swt.
Wakaf (waqf ) dalam bahasa Arab berasal dari kata Waqafa, Yaqifu, Waqfan[8] yang berarti menghentikan atau
mewakafkan. Menurut istilah, wakaf adalah penahanan harta yang dapat diambil
manfaatnya tanpa musnah seketika dan untuk penggunaan yang mubah serta
dimaksudkan untuk mendapatkan keridhaan Allah.[9] Sehubungan dengan itu, Fyzee
menguraikan lebih detail, bahwa secara harfiah wakaf berarti menahan atau
menguasai. Di dalam hukum Islam wakaf berarti (i) tanah publik (umum) yang
tidak dapat diserahkan kepada siapapun, dipergunakan untuk tujuan
amal kebaikan, (ii) Sumbangan yang bersifat suci. Selanjutnya dijelaskan, pada
umumnya wakaf diartikan sebagai suatu pemberian yang bersifat amal, yang
kepemi1ikannya dianggap bersifat abadi,
walaupun dalam praktiknya sifat keabadian tersebut tunduk pada berbagai
pembatasan-pembatasan.[10]
Wakaf adalah salah satu lembaga yang dianjurkan oleh
ajaran Islam untuk dipergunakan oleh seseorang sebagai sarana penyaluran rezki
yang dikaruniakan Allah kepadanya. Meskipun wakaf tidak jelas dan tegas dise-butkan dalam
al-Qur’an, namun beberapa ayat yang memerintahkan manusia berbuat baik untuk
kemaslahatan umat, oleh para ahli dipandang sebagai landasan perwakafan. Seperti makna ayat dalam firman Allah:
$ygr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä (#qà)ÏÿRr& `ÏB ÏM»t6ÍhsÛ $tB óOçFö;|¡2 !$£JÏBur $oYô_t÷zr& Nä3s9 z`ÏiB ÇÚöF{$# ( wur (#qßJ£Jus? y]Î7yø9$# çm÷ZÏB tbqà)ÏÿYè? ... . ÇËÏÐÈ
Terjemahnya:
Hai orang-orang
yang beriman, infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian
dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu, dan janganlah kamu memilih yang
buruk-buruk lalu kamu keluarkan daripadanya. ...Q.S. Al-Baqarah/2:167[11]
Demikian juga makna
ayat dalam firman Allah berikut:
`s9 (#qä9$oYs? §É9ø9$# 4Ó®Lym (#qà)ÏÿZè? $£JÏB cq6ÏtéB .4
... ÇÒËÈ
Terjemahnya:
Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu mengin-fakkan sebagian
harta yang kamu cintai. ... Q.S. ’Ali ’Imra>n/3:92.[12]
Di samping ayat-ayat tersebut ada
sejumlah hadis yang memerintah-kan manusia berbuat kebajikan kepada sesama
manusia dalam kehidupan bermasyarakat, seperti kasus ‘Umar bin
Khat}t}ab dalam hadis
berikut:
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِىُّ أَخْبَرَنَا سُلَيْمُ بْنُ أَخْضَرَ عَنِ ابْنِ
عَوْنٍ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ أَصَابَ عُمَرُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ فَأَتَى
النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ
إِنِّى أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالاً قَطُّ هُوَ أَنْفَسُ عِنْدِى
مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُنِى بِهِ قَالَ « إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ
بِهَا ». قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لاَ يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلاَ يُبْتَاعُ
وَلاَ يُورَثُ وَلاَ يُوهَبُ. قَالَ فَتَصَدَّقَ عُمَرُ فِى الْفُقَرَاءِ وَفِى الْقُرْبَى
وَفِى الرِّقَابِ وَفِى سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَالضَّيْفِ لاَ جُنَاحَ
عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ أَوْ يُطْعِمَ صَدِيقًا
غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ فِيهِ. قَالَ فَحَدَّثْتُ بِهَذَا الْحَدِيثِ مُحَمَّدًا فَلَمَّا
بَلَغْتُ هَذَا الْمَكَانَ غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ فِيهِ. قَالَ مُحَمَّدٌ غَيْرَ مُتَأَثِّلٍ
مَالاً. قَالَ ابْنُ عَوْنٍ وَأَنْبَأَنِى مَنْ قَرَأَ هَذَا الْكِتَابَ أَنَّ فِيهِ
غَيْرَ مُتَأَثِّلٍ مَالاً.
(رواه مسلم) [13]
Artinya:
Dari
Ibnu ‘Umar ra. berkata: “Bahwa sahabat ‘Umar r.a. Memperoleh sebidang tanah di
Khaibar, kemudian ‘Umar r.a. menghadap Rasulullah saw untuk meminta petunjuk.
‘Umar berkata: “Hai Rasulullah saw., saya mendapat sebidang tanah di Khaibar,
saya belum pernah memperoleh harta yang lebih bagus dari pada itu,maka apakah
yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah saw bersabda: “bila engkau suka,
engkau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya).” “Kemudian
‘Umar menyedekahkan (tanahnya untuk dikelola), tidak dijual, tidak dihibahkan,
dan tidak diwariskan. Ibnu ‘Umar berkata: ‘Umar menye-dekahkannya (hasil
pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya,
sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (naz}ir)
wakaf dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan
orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta”. (Hadis diriwayatkan oleh
Muslim).
Akhlak
‘Umar bin Khat}t}ab menyedekahkan hartanya itu kemudian diikuti oleh para
sahabat, antara lain ‘Usman bin ‘Affan dan Abu>
T}alhah. Selanjutnya jejak para sahabat
itu diikuti oleh umat Islam sampai sekarang di seluruh dunia, terutama di
negara-negara Islam yang penduduknya mayoritas beragama Islam seperti Mesir,
Saudi Arabia, Yordania, Syiria, Pakistan, Turki, Indonesia dan lain-lain.
Wakaf merupakan institusi sosial dan
keagamaan Islam yang telah memainkan peranan penting dalam sejarah masyarakat
muslim dan pengem-bangan negara-negara Islam khususnya negara-negara Timur
Tengah. Wakaf merupakan lembaga Islam
yang pada satu sisi berfungsi sebagai ibadah kepada Allah, sedangkan di sisi
lain wakaf berfungsi sosial
kemasyarakatan.
Wakaf muncul dari suatu pernyataan
dan perasaan iman yang mantap dan solidaritas yang tinggi antara sesama manusia.
Masyarakat di zaman Rasulullah saw (awal kenabian) hanya mengenal beberapa
bentuk wakaf, dan yang populer adalah wakaf tempat peribadatan yang berbentuk
masjid dan mus}alla[14].
Sebagai salah satu lembaga sosial Islam, wakaf erat kaitannya dengan masalah
sosial dan ekonomi masyarakat. Walaupun wakaf merupakan lembaga Islam yang
hukumnya sunah, namun lembaga ini dapat berkembang dengan baik di beberapa
negara misalnya Mesir, Yordania, Saudi Arabia, Bangladesh, Turki dan Iain-lain.
Hal ini dapat diduga karena lembaga wakaf ini dikelola dengan manajemen yang
baik sehingga manfaatnya sangat dirasakan oleh pihak-pihak yang memerlukannya
atau mustahik.
Sepanjang sejarah Islam,[15]
wakaf telah berperan sangat penting dalam pengembangan kegiatan-kegiatan sosial,
ekonomi dan kebudayaan masyarakat Islam dan telah memfasilitasi sarjana dan
mahasiswa dengan sarana dan prasarana yang memadai yang memungkinkan mereka
melakukan berbagai kegiatan seperti riset dan menyelesaikan studi mereka. Cukup
banyak program yang didanai dari hasil wakaf seperti penulisan buku,
penerjemahan dan kegiatan-kegiatan ilmiah dalam berbagai bidang termasuk bidang
kesehatan. Wakaf tidak hanya mendukung pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi
juga menyediakan berbagai fasilitas yang diperlukan mahasiswa maupun
masyarakat, seperti asrama mahasiswa, komputer, kemudian di bidang kesehatan,
lembaga wakaf juga menyediakan fasilitas-fasilitas untuk peningkatan kesehatan
masyarakat dan fasilitas pendidikan, pembangunan rumah sakit, sekolah medis,
pembangunan industri obat-obatan dan lain-lain.
Dilihat dari
segi bentuknya wakaf juga tidak terbatas pada benda tidak bergerak, tetapi juga
benda bergerak[16].
Di beberapa negara yang wakafnya sudah berkembang baik, wakaf selain berupa
sarana dan prasarana ibadah dan pendidikan, juga berupa tanah pertanian,
perkebunan, uang, saham, real estate dan Iain-lain yang semuanya dikelola
secara produktif. Dengan demikian hasilnya benar-benar dapat dipergunakan untuk
mewujudkan kemaslahatan dan kesejahteraan umat.
Di
Indonesia, selama ini pengelolaan wakaf banyak dipengaruhi oleh pendekatan konsepsi fikih wakaf. Yang dimaksud
fikih wakaf adalah konsep pengertian dan pemahaman wakaf hasil ijtiha>d
manusia. Fikih wakaf yang berkembang di Indonesia nampak cukup terbatas, baik
dari mauqu>f bih, mauqu>f ‘alaih maupun naz}irnya.[17]
Dengan demikian wakaf di Indonesia tidak dapat berkembang seperti perwakafan di
negara-negara lain. Sebagai akibat keterbatasan pemahaman tentang hukum wakaf,
maka masyarakat berwakaf hanya berdasar pada tradisi yang ada, baik mengenai
harta yang diwakafkan, peruntukan wakaf dan juga peran atau tugas naz}ir wakaf.
Untuk
pemecahan kasus-kasus seperti dikemukakan pada uraian di atas menurut penulis,
maka perlu adanya pengembangan fikih wakaf agar sejalan dengan
perundang-undangan yang telah ada. Misalnya mengenai harta yang dapat
diwakafkan, seseorang harus memahami dengan benar. Sebaiknya harta yang
diwakafkan jangan hanya benda tidak bergerak saja, tetapi juga benda bergerak.
Dengan demikian pengembangan wakaf di Indonesia setidaknya ada dua klasifikasi
sasaran: Pertama, optimalisasi perwakafan, dalam hal ini mengoptimalkan
pengelolaan wakaf yang sudah ada menjadi produktif. Kedua, memberdayakan wakaf benda bergerak dan
wakaf tunai, hal itu sebagai langkah antisipasi kurangnya minat masyarakat
untuk mewakafkan tanahnya, dengan dalih bahwa harga tanah semakin tinggi. Oleh
karena itu wakaf tunai dan atau wakaf uang sebagai alternatif wakaf produktif,
sangat dimungkinkan untuk dikembangkan.
Menurut
ulama H}anafiyah benda bergerak dapat diwakafkan dalam beberapa hal, yaitu
Pertama, keadaan benda itu benda tidak bergerak. Untuk hal ini ada dua
macam: (1) Barang tersebut mempunyai
hubungan dengan sifat diam di tempat dan tetap, misalnya bangunan dan pohon.
(2) Benda bergerak yang dipergunakan untuk membantu benda tidak bergerak
seperti alat untuk membajak kerbau yang dipergunakan untuk bekerja dan
lain-lain. Kedua, kebolehan wakaf benda bergerak itu berdasarkan asar
yang membolehkan wakaf senjata dan binatang-binatang yang digunakan untuk
berperang. Ketiga, wakaf benda bergerak itu dapat mendatangkan ilmu
pengetahuan, seperti wakaf kitab kitab dan mushaf. Menurut ulama H}anafiyah,
pengetahuan sumber pemahaman dan tidak bertentangan dengan syar’i. Menurut mereka
untuk mengganti yang dihawatirkan tidak kekal adalah memungkinkan kekalnya
manfaat. Sehingga mewakafkan kitab-kitab dan mushaf yang diambil adalah
pengetahuannya, khususnya sama dengan mewakafkan dirham dan dinar. Oleh karena
itu, ulama H}anafiyah membolehkan wakaf uang dan barang-barang yang sudah lazim
dilakukan pada masa lalu seperti air, skop, kampak sebagai alat manusia
bekerja.[18]
Menurut Ima>m al-Zuhri dan sebagian ulama maz\hab Syafi’i juga membolehkan
wakaf dirham dan dinar.[19]
Bertolak
dari pandangan di atas, maka konsep mewakafkan benda-benda bergerak seperti
uang dan saham sangat penting untuk mengem-bangkan benda-benda tidak bergerak.
Untuk itu, perumusan tentang benda yang boleh diwakafkan sangat diperlukan,
terutama di negara-negara yang wakafnya belum berkembang dengan baik seperti di
Indonesia. Selanjutnya hasil perumusan tersebut harus disosialisasikan kepada
umat Islam, sehingga umat Islam dapat memahami masalah perwakafan dengan baik
dan benar. Dengan demikian umat Islam dapat mengembangkan wakaf yang ada secara
produktif dan hasilnya dipergunakan untuk mewujudkan kesejahteraan umat.
Menurut
pengamatan dan telaah penulis, Undang-Undang Perwakafan di Indeonesia telah
diberlakukan selama kurun waktu 5 tahun terakhir, tetapi kenyataannya belum
efektif secara signifikan untuk melakukan berbagai perubahan kearah wakaf
produktif, hal itu ada beberapa alasan yang mendasar. Selain kurangnya
sosialisasi mengenai Perundang-undangan Wakaf kepada masyarakat, juga karena
kurangnya perhatian pemerintah untuk lebih merekomendasikan bahwa wakaf sebagai
salah satu alternatif sumber ekonomi umat yang sangat potensial. Di samping
itu, karena umumnya naz}ir kurang profesional, sehingga pengelolaan wakaf
cenderung konvensional. Juga dimungkinkan kurangnya sentuhan dakwah Islam yang
dapat merangsang masyarakat untuk berwakaf, sementara pemahaman perwakafan yang
melekat pada masyarakat Indonesia cenderung dipengaruhi oleh maz\hab Syafi’,
bahwa harta yang bisa diwakafkan adalah harta benda tidak bergerak seperti tanah
dan bangunan. Oleh karena itu wakaf benda bergerak dan wakaf tunai memerlukan
strategi sosialisasi yang optimal kepada masyarakat.
Dalam
kaitan wakaf uang, Komisi Fatwa Majlis Ulama Indonesia telah menetapkan fatwa
tentang wakaf uang pada tanggal 1 Mei 2002, yang isinya sebagai berikut:
1.
Wakaf
uang (Cash Wakaf/Waqf al-Nuqu>d )
adalah wakaf yang di lakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan
hukum dalam bentuk uang tunai.
2.
Termasuk
ke dalam pengertian uang adalah bentuk surat berharga.
3.
Wakaf
uang hukum jawaz (boleh).
4.
Wakaf
uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan menurut
syara’.
5.
Nilai
pokok uang harus dijamin kelestariannya, dan tidak boleh dijual, dihibahkan
dan/atau diwariskan.[20]
Penjelasan
tersebut memberi gambaran adanya peluang yang luas dan fleksibel untuk
pengembangan perwakafan di Indonesia, sehingga paradigma pengembangan wakaf ke
depan lebih berorientasi pada wakaf produktif, dan atau lebih mengembangkan
wakaf benda bergerak. Apalagi nilai jual tanah yang semakin tinggi, sehingga
hal itu dapat diduga menjadi salah satu penyebab menurunnya minat masyarakat
untuk berwakaf dalam wujud tanah.
Di
samping itu, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang
Wakaf, dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaannya, seyogyanya
dapat menjadi acuan dalam membenahi permasalahan perwakafan di Indonesia, dan
diharapkan dapat memberikan kontribusi dan solusi untuk mencapai salah satu
tujuan disyariatkannya wakaf, yakni untuk mewujudkan kesejahteraan umat. Naz}ir
mempunyai kewajiban dan tanggung jawab memelihara wakaf serta mengembangkannya,
sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan umat. Untuk itu diperlukan
langkah-langkah yang strategis untuk mengembangkan wakaf yang ada dengan
diiringi profesionalitas para na§ir. Dengan demikian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf, dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaannya, harus
tersosialisasi dengan baik dan masih memerlukan beberapa peraturan tambahan
berupa petunjuk teknis (juknis), khususnya yang berhubungan dengan na§ir.
Penulis
berpandangan bahwa naz}ir merupakan “sakaguru” keberhasilan dalam pengelolaan
perwakafan, dan oleh karena itu, syarat na§ir
antara lain harus profesional dan amanah. Apabila para naz}ir tidak memiliki persyaratan
tersebut, maka dampaknya sangat besar terhadap lunturnya kepercayaan masyarakat
untuk berwakaf.
Wakaf
merupakan ajaran agama Islam yang berhubungan dengan penyerahan dan pengelolaan
harta benda untuk kemaslahatan umat dan kesejahteraan sosial pada umumnya.
Menurut Didin Hafidhuddin, hikmah dan manfaat wakaf dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1.
Menunjukkan
kepedulian dan tanggung jawab terhadap kebutuhan masyarakat.
2.
Keuntungan
moril bagi wakif dengan mendapatkan pahala kebajikan yang mengalir terus,
walaupun wakif sudah meninggal dunia.
3.
Memperbanyak
aset yang dapat digunakan untuk kepentingan umum yang sesuai dengan ajaran
Islam.
4.
Merupakan
sumber data potensial bagi kepentingan peningkatan kualitas umat, seperti
pendidikan, kesehatan, kesejahteraan dan sebagainya.[21]
Ajaran ini
sudah dipraktikan sejak zaman Nabi Muhammad saw dan berlangsung terus hingga
pada waktu sekarang. Ajaran ini telah dikenal dan dipraktikan di Indonesia
untuk waktu yang lama. Sejumlah sarana keagamaan dan sosial di tanah air
dibangun dengan dana yang bersumber dari wakaf umat Islam. Sarana tersebut
dapat disaksikan di kawasan perkotaan dan pedesaan. Walaupun demikian,
penerapan ajaran wakaf di Indonesia secara umum belum juga optimal.
Gambaran seperti dikemukakan di atas akan terasa bila pengelolaan wakaf di
Indonesia diamati dengan cermat. Orientasi penyaluran wakaf masih sangat
terbatas, terutama untuk keperluan sarana ibadah dan pendidikan agama. Jumlah
usaha sosial lainnya milik umat Islam masih sedikit dibandingkan dengan potensi
umat yang sedemikian besar. Sebagian dari usaha itu berkembang dengan baik,
namun ada juga di antaranya yang berada dalam kondisi vailit, gersang dan
sangat memprihatinkan. Bahkan ada di antara wakaf tersebut yang berpindah
tangan. Dengan demikian, perkem-bangan wakaf masih kurang, baik dari segi
kualitas maupun kuantitasnya.
Kajian tentang wakaf di kalangan umat masih perlu dikembangkan dari aspek
pemahaman dan penghayatan, serta aspek pengelolaannya. Kondisi wakaf dan
pengelolaannya terkait dengan pandangan masyarakat tentang hal tersebut di
samping pengalaman mereka yang masih terbatas. Sudah sewa-jarnya jika kondisi
itu diupayakan penanggulangannya secara bersama-sama oleh para ulama,
intelektual, pejabat pemerintah, dan pemuka masyarakat. Perlu berbagi
pengalaman untuk mengatasi kelemahan dan kendala yang melilit umat dalam hal
penerapan ajaran agama ini, sehingga bisa lebih berdaya guna untuk
kesejahteraan umat atau masyarakat.
Di Indonesia, wakaf telah dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam sejak
agama Islam masuk di Indonesia. Sebagai suatu lembaga Islam, wakaf telah
menjadi salah satu penunjang perkembangan masyarakat Islam. Sebagian besar
rumah ibadah, perguruan Islam dan lembaga-lembaga keagamaan Islam lainnya
dibangun di atas tanah wakaf.
Menurut
Sumuran Harahap, aset dan potensi wakaf di Indonesia sangat besar, berdasarkan
data Departemen Agama bulan Februari 2003 jumlah tanah wakaf 362.471 lokasi
dengan luas 1.475.580 m2.
potensi tanah wakaf yang sangat besar ini belum dikelola, didayagunakan dan
dikembangkan secara produktif dalam bentuk usaha yang hasilnya dapat
dimanfaatkan bagi pihak-pihak yang memerlukan termasuk fakir miskin.[22]
Pada tahun
2006 lokasi tanah wakaf di Indonesia menjadi 403.845 lokasi dengan luas
1.566.672.406 m2
dan ini masih lebih kecil apabila dibandingkan dengan tanah wakaf yang belum
terdata. Berdasarkan validitas data yang dilakukan Direktorat Pemberdayaan
Wakaf tahun 2007, bahwa dari kuantitas lokasi tanah wakaf di Indonesia tahun
2006 sebesar 403.845 lokasi, turun menjadi 366.595 lokasi turun 37.250 lokasi
(9,22%). Tetapi dari aspek luasnya mengalami kemajuan yang sangat pesat, yakni
dari luas tanah 1.566.672.406 m2
menjadi seluas 2.686.536.656, 68 m2
atau naik 1.119.864.250, 68 m2
(71.48%), atau 2.686, 536 km2 dan
atau 268.653, 66 Ha[23].
Data luas
tanah wakaf di Indonesia tersebut, apabila diasumsikan dengan luas wilayah DKI
Jakarta = 656 km2,
maka luas tanah wakaf Indonesia = + 4 kali luas wilayah DKI Jakarta,
atau mendekati 5 kali luas negara Singapura = 633 km2.
Berdasarkan uraian empiris
kuantitatif di atas, maka suatu kenyataan yang tidak bisa dibantah, bahwa wakaf
yang ada di Indonesia pada umumnya berupa masjid, mushalla, madrasah,
sekolahan, makam, rumah yatim piatu dan Iain-lain. Dilihat dari segi sosial dan
ekonomi, wakaf yang ada memang belum dapat berperan dalam menanggulangi
permaslahatan umat khususnya masalah sosial dan ekonomi. Hal ini dapat
dimaklumi karena kebanyakan wakaf yang ada kurang maksimal dalam
pengelolaannya. Kondisi ini disebabkan oleh keadaan tanah wakaf umumnya relatif
sempit, dan hanya cukup dipergunakan untuk tujuan wakaf yang diikrarkan wakif
seperti untuk mushalla dan masjid tanpa diiringi tanah atau benda yang dapat
dikelola secara produktif. Memang ada tanah wakaf yang cukup luas, tetapi
karena naz}irnya kurang kreatif, tanah yang memungkinkan dikelola secara
produktif tersebut akhirnya tidak dimanfaatkan sama sekali, bahkan untuk
pemeliharaanya pun harus dicarikan sumbangan dari masyarakat. Kasus seperti
inilah, diperlukan alternatif pemecahannya melalui optimalisasi penerapan
sistem perwakafan, agar tanah-tanah wakaf yang terlantar akan menjadi lahan
yang produktif.
Di Indonesia sedikit sekali tanah wakaf yang dikelola secara produktif
dalam bentuk suatu usaha yang hasilnya dapat dimanfaatkan bagi pihak-pihak
yang memerlukan termasuk fakir miskin. Pemanfaatan tersebut dilihat dari segi
sosial khususnya untuk kepentingan keagamaan memang efektif, tetapi dampaknya
kurang berpengaruh positif dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Apabila
peruntukan wakaf hanya terbatas pada hal-hal di atas, tanpa diimbangi dengan
wakaf yang dapat dikelola secara produktif, maka wakaf sebagai salah satu
sarana untuk mewujudkan kesejahteraan umat, tidak akan dapat terealisasi secara
optimal. Padahal wakaf dalam hubungannya dengan pembangunan sangat jelas,
karena yang melaksanakan pembangunan nasional ini adalah masyarakat dan
pemerintah. Masyarakat adalah pelaku utama pembangunan dan pemerintah
berkewajiban untuk mengarahkan, membimbing, serta menciptakan suasana yang
menunjang dan konstruktif. Untuk itu kegiatan masyarakat dan kegiatan
pemerintah harus saling mendukung, saling mengisi, dan saling melengkapi dalam
satu kesatuan langkah menuju tercapainya tujuan pembangunan nasional tersebut.
Wakaf
dalam fungsinya sebagai ibadah, diharapkan menjadi bekal kehidupan wakif di
hari Akhirat. Wakaf adalah suatu bentuk amal yang pahalanya akan terus menerus
mengalir selama harta wakaf itu dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat. Sedangkan
dalam fungsi sosialnya wakaf merupakan
aset yang sangat bernilai dalam pembangunan. Wakaf selain sebagai usaha
pembentukan watak dan kepribadian seorang muslim untuk melepas sebagian
hartanya untuk kepentingan orang lain, juga merupakan investasi pembangunan
yang bernilai tinggi tanpa memperhitungkan jangka waktu dan keuntungan materi
bagi orang yang mewakafkan. Peranannya
dalam pemerataan kesejahteraan di
kalangan umat dan penanggulangan kemiskinan termasuk di antara sekian sasaran wakaf dalam ajaran Islam.[24]
Dengan
demikian jika wakaf dikelola dengan baik tentu sangat menunjang pembangunan,
baik di bidang ekonomi, agama, sosial budaya, politik, maupun pertahanan dan
keamanan. Menurut Rachmat Djatnika, dalam bidang ekonomi, wakaf memegang peranan
semacam pershock-breaker
dalam keseimbangan kehidupan masyarakat karena dapat menutupi kebutuhan
masyarakat yang vital.[25]
Pendapat
di atas dapat diterima karena tanah wakaf yang ada dapat dipergunakan untuk mendirikan
tempat-tempat ibadah seperti, masjid, langgar dan mushalla, untuk pemenuhan
sarana kesehatan seperti Poliklinik, Puskesmas, atau Rumah Sakit, untuk rumah
yatim piatu, madrasah, sekolahan atau pesantren, pasar, pertanian, jalan, pembangunan
kantor dan sebagainya. Untuk pemeliharaannya dapat diambilkan sebagian tanah
wakaf yang mungkin dikelola secara produktif, baik untuk tanah pertanian
maupun untuk mendirikan bangunan-bangunan yang kemudian disewakan sehingga
mengha-silkan dana yang diperlukan untuk pemeliharaan barta wakaf yang lain.
Dengan demikian wakaf tidak hanya mempunyai peranan dan fungsi keagamaan,
tetapi juga mempunyai fungsi sentral sebagai suatu potensi yang dapat
menghasilkan, dan sebagai instrumen untuk keseimbangan sosial ekonomi.
Berdasarkan
uraian di atas penulis tertarik untuk mengkaji pengelolaan wakaf di salah satu
wilayah di Sulawesi Selatan, yakni di wilayah hukum kota Palopo. Wilayah ini
dipilih sebagai obyek utama penelitian, karena merupakan salah satu dari empat
wilayah kabupaten kota yang ada di Luwu Sulawesi Selatan, yang memiliki potensi
tanah wakaf relatif banyak. Berdasarkan hasil observasi awal pada bulan Agustus
2008, penulis memperoleh data tanah wakaf sebanyak 115 lokasi, dengan
klasifikasi: Yayasan Muhammadiyah 7 lokasi, Yayasan Pesantren Datuk Sulaeman 9
lokasi, Yayasan Daru ad-Dakwah wa al-Irsyad 4 lokasi, tanah wakaf perseorangan
dan lain-lain 95 lokasi.[26]
Data tersebut belum termasuk lokasi tanah Yayasan Islamic Centre dan beberapa
lokasi tanah wakaf lain yang diduga belum terdata. Berdasarkan pengamatan dan
observasi awal terhadap pengelolaan dan perkembangan perwakafan di kota Palopo,
diduga banyak terjadi permasalahan wakaf yang beragam.[27]
Mengingat
pentingnya prospek perwakafan di kota Palopo, maka diperlukan alternatif
pemecahan, dan konsep implementasi perwakafan untuk selanjutnya direalisasikan
melalui penerapan pengelolaan wakaf produktif dan wakaf uang tunai dengan
mengacu pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
tersebut. Ide dasar pemikiran tersebut dilatarbekangi dengan beberapa
pertimbangan antara lain, bahwa kota Palopo yang secara geografis menempati
posisi yang strategis, penduduknya 90% beragama Islam, bahkan sebagian pakar
sejarah, mengklaim bahwa Islam masuk di Sulawesi Selatan pertama kali, adalah
di kota Palopo. Salah satu fakta monumental yang menjadi tonggak sejarah dan
syiar Islam di kota Palopo adalah sebuah masjid tua yang sampai saat ini masih
berdiri kokoh, padahal konstruksi bangunan klasik tersebut hanya di topang
dengan satu tiang kayu berdiameter 70 Cm dan berdinding batu cadas setebal
kurang dari satu meter, masjid tersebut dipandang sebagai masjid tertua di
Sulawesi Selatan[28].
Dalam
perkembangan empat tahun terakhir, kota Palopo sebagai ibukota Luwu, telah
diwacanakan untuk dimekarkan menjadi sebuah Propinsi dengan nama ”Propinsi Luwu
Raya”[29].
Dengan demikian, pengembangan kota Palopo dalam satu dasawarsa ke depan dimungkinkan
telah menjadi kota metropolitan yang semakin kompleks dan sarat dengan
permasalahan sosial ekonomi. Atas dasar pemikiran itu, maka alternatif
pemecahan terhadap kesenjangan kesejahteraan sosial ekonomi, maka dipandang perlu
untuk melakukan gerakan optimalisasi perwakafan, khususnya di kota Palopo.
Untuk mengetahui tingkat kesenjangan pengelolaan wakaf yang ada di wilayah kota
Palopo ini, penulis juga melakukan studi tentang sistem pengelolaan Yayasan
Wakaf UMI Makassar untuk dijadikan sampel acuan standardisasi pengelolaan wakaf
produktif yang dimungkinkan dapat dikembangkan di kota Palopo karena
tersedianya lahan tanah wakaf yang signifikan.
Pengelolaan
Wakaf pada Yayasan Wakaf UMI dijadikan pijakan standardisasi penerapan sistem
pengelolaan wakaf, karena Yayasan Wakaf UMI telah terakreditasi dengan status
“Instutusi” berdasarkan Surat Keputusan Mendiknas Nomor 036/BAN-PT/Ak-I/III/2008
tanggal 7 Maret 2008 dan dipandang sebagai mercusuar pengelolaan wakaf produktif
di kawasan Timur Indonesia. Selama kurun waktu 25 tahun terakhir, Yayasan Wakaf
UMI dipandang dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam upaya
meningkatkan kesejahteraan umat, khususnya di Sulawesi Selatan. Kontribusi
dalam bidang pendidikan, tingkat SLTP dan SLTA sejak berdirinya tahun 1973
telah menamatkan lebih dari 6.000 siswa, Strata I (S1) dan Strata II (S2),
sampai dengan periode 2008, telah menghasilkan 45.542 Alumni dari berbagai
disiplin ilmu, sementara mahasiswa aktif berdasarkan evaluasi data semester
akhir Tahun Akademik 2008/2009 sebanyak 10.911, belum termasuk mahasiswa cuti
akademik dan kendala-kendala yang lain. Kontribusi dalam bidang kesejahteraan
tergambar pada rekrutmen dosen dan karyawan yang masih efektif sebanyak 784
orang (belum termasuk dosen DPK 111 orang), dan rekrutmen tersebut berlanjut
secara periodik[30]
Cikal
bakal Yayasan Wakaf UMI bermula dari tanah wakaf keluarga dan tanah wakaf
pembelian Naz}ir Yayasan Wakaf, terletak
di jalan Kakatua No. 27 Makassar (Kampus I UMI) seluas 1,5 Ha.
Selama kurun waktu 54 tahun sejak
berdirinya Yasayan Wakaf hingga saat ini telah memiliki aset tanah wakaf lebih
dari 95 Ha, berupa lokasi kampus Perguruan Tinggi, Sekolahan, Pesantren, Rumah
Sakit, Bait al-Ma>l wa at-Tanwi>l (BMT), dan lahan perkebunan.[31]
Di
samping itu penulis juga mengkaji pengelolaan wakaf di Mesir, Saudi Arabia, dan
Yordania. Pengelolaan wakaf di tiga negara tersebut penulis jadikan bahan
perbandingan, karena pengelolaannya sudah lebih dari 1000 tahun, sehingga dapat
dipastikan bahwa pengalaman dalam hal pengelolaan wakaf signifikan untuk dikaji
sebagai bahan referensi pemba-hasan penelitian diseratasi.
Kota
Palopo adalah salah satu wilayah yang ada di Luwu Sulawesi Selatan. Oleh karena
itu pengelolaan wakaf di kota Palopo tidak bisa dipisahkan dengan kebijaksanaan
pengelolaan wakaf di Sulawesi Selatan dan pengelolaan wakaf di Indonesia pada
umumnya. Berdasarkan observasi empiris di lapangan, terdapat resistensi antara
das sain dan das sollen, lebih 30% tanah wakaf belum bersertifikat, belum ada
data tanah wakaf yang valid, baik dari segi jumlah maupun luasnya Potensi
perwakafan di kota Palopo, sebagaimana telah diuraikan dalam latar belakang
penelitian ini, sangat beralasan untuk dikaji lebih lanjut.
Konsep
dasar latar belakang masalah dengan kronologi pendekatan yuridis, historis dan
sosiologis dalam penelitian ini dapat dideskripsikan seperti dalam struktur
berikut:
B.
Rumusan dan Batasan Masalah
Bertolak dari
latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka pokok masalah yang akan
dikaji adalah: Bagaimana Optimalisasi Penerapan Sistem Perwakafan dalam Meningkatkan
Kesejahteraan Umat di Kota Palopo? Agar kajian ini lebih terarah, maka pokok
masalah tersebut diklasifikasi dalam tiga sub pokok bahasan yaitu:
1.
Bagaimana
gambaran dan efektifitas penerapan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41
Tahun 2004 tentang Wakaf di kota Palopo?
2. Bagaimana optimalisasi
penerapan sistem pengelolaan wakaf dalam meningkatkan kesejahteraan umat di
kota Palopo?
3. Bagaimana peluang
dan tantangan sistem pengelolaan wakaf di kota Palopo berdasarkan analisis SWOT yakni, strenght, weakness, opportunity dan threat?
Untuk menjawab permasalahan pokok di atas perlu pula
dikaji hal-hal yang erat kaitannya dengan permasalahan pokok tersebut, yakni
mengenai ketentuan wakaf perspektif hukum Islam, ketentuan wakaf menurut
Peraturan Perundang-undangan, dan sistem pengelolaannya di beberapa negara yang
telah melembagakan wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan. Sebagai referensi sistem pengelolaan
wakaf, penulis mengkaji pengelolaan wakaf di Mesir, Saudi Arabia dan Yordania
melalui studi perpustakaan. Sebagai gambaran pengelolaan wakaf produktif empiris,
maka penulis melakukan studi/observasi pengelolaan wakaf produktif yang sudah
berkembang di Indonesia, khususnya di Propinsi Sulawesi Selatan, yakni Yayasan
Wakaf Universitas Muslim Indonesia (YW-UMI) Makassar. Pengelolaan Yayasan Wakaf
UMI, dimungkinkan menjadi pijakan standardisasi dalam pengelolaan wakaf
produktif khususnya di kota Palopo dan di wilayah Sulawesi Selatan pada
umumnya.
Konteks menghindari kemungkinan terjadinya kerancuan atau
bias pembahasan disertasi, maka penulis membatasi rumusan masalah untuk
mengkaji hal-hal sebagai berikut:
a.
Bagaimana gambaran dan efektifitas penerapan Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf di kota Palopo. Dalam
konteks ini, penulis ingin mengetahui dan mendeskripsikan sejauhmana sosialisasi
Undang-undang Perwakafan di wilayah hukum kota Palopo, selanjutnya ingin
mengetahui dan mendeskripsikan efektifitas antara das sain dan das
sollen.
b. Bagaimana penerapan sistem
pengelolaan wakaf dalam upaya meningkatkan kesejahteraan umat di kota Palopo.
Dalam konteks ini, penulis ingin membangun suatu konsepsi tentang optimalisasi
penerapan
sistem pengelolaan wakaf di kota Palopo, yakni mengidentifikasi wakaf yang
berpeluang untuk dikelola menjadi wakaf produktif, termasuk mendeskripsikan
konsep dan sosialisasi penerapan wakaf tunai.
c. Bagaimana peluang dan
tantangan sistem pengelolaan wakaf di kota Palopo berdasarkan analisis SWOT. Dalam konteks ini, penulis ingin
mengetahui dan mendeskripsikan opportunity (peluang) dan threat (tantangan) dalam
pengembangan pengelolaan wakaf produktif, wakaf tunai dan atau wakaf uang, di
samping untuk terlebih dahulu ingin mengetahui Strength (kekuatan)
dan weakness (kelemahan). Selanjutnya mengidentifikasi
pengelolaan wakaf produktif yang potensial untuk dikembangkan dengan
standardisasi pengelolaan wakaf pada Yayasan Wakaf UMI (YW-UMI) Makassar. Tantangan yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah hal-hal yang dapat menjadi ancaman negatif maupun ancaman yang bersifat
konstruktif dalam pengelolaan wakaf secara produktif, termasuk wakaf tunai.
C. Definisi Operasional dan Ruang Lingkup Pembahasan
Konteks pemberian definisi operasional dan ruang lingkup
pembahasan dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan terjadinya interpretasi
yang beragam terhadap pengertian judul ”Optimalisasi Penerapan Sistem
Perwakafan dalam Meningkatkan kesejahteraan umat” (Studi Tentang Pengelolaan
Wakaf di Kota Palopo). Maka untuk maksud tersebut, berikut ini dikemukakan arti
beberapa kata penting dalam judul penelitian disertasi, sebagai berikut:
Kata ”optimalisasi” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti upaya untuk
mengoptimalkan atau pengoptimalan.[32] Sedangkan ”penerapan sistem” berarti penerapan metode
atau cara yang teratur untuk melakukan sesuatu.[33]
”Perwakafan” akar katanya adalah Wakaf (per-wakaf-an). Wakaf berasal dari
bahasa Arab al-waqf bentuk masdar
dari Waqafa, Yaqifu, Waqfan yang berarti menahan.[34] Dalam pengertian istilah, ulama
berbeda redaksi dalam memberi rumusan.
Wakaf adalah menahan harta dan memberikan manfaat di jalan Allah.[35]
Dalam Mausu’ah Fiqh ’Umar bin al-Khat}t}ab disebutkan, wakaf adalah menahan asal harta dan menjalankan hasil (buah)nya.[36]
Kata ”wakaf” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti
(1) tanah negara yang tidak
dapat diserahkan kepada siapapun dan digunakan untuk tujuan amal. (2) Benda bergerak
atau tidak bergerak yang disediakan untuk kepentingan umum (Islam) sebagai
pemberian yang ikhlas.[37]
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 1 wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau
badan hukum yang memisahkan sebagaian dari benda miliknya dan melembagakan untuk
selama-lamanya guna kepentingan ibadah
atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.[38]
Dalam Ensiklopedi
Islam dijelaskan, wakaf adalah menghen-tikan perpindahan hak milik atas suatu
harta yang bermanfaat dan tahan lama dengan cara menyerahan
harta itu kepada pengelola, baik perorangan, keluarga maupun lembaga, untuk digunakan
bagi kepentingan umum di jalan Allah swt.[39]
Jumhur ’ulama, termasuk Imam Abu> Yu>suf, Muhammad bin H}}asan
asy-Syaiba>ni mendefinisikan wakaf dengan ”Menahan tindakan hukum orang yang
berwakaf terhadap hartanya yang telah diwakafkan dengan tujuan untuk
dimanfaatkan bagi kepentingan umum dan kebajikan dalam rangka mendekatkan diri
kepada Allah swt sedangkan materinya tetap utuh.”[40]
Dalam disertasi ini,
yang dikehendaki dengan pengertian wakaf itu adalah sumbangan harta benda dengan penahanan
harta yang memungkinkan
dimanfaatkan benda atau hasilnya dengan maksud digunakan untuk kebajikan dan kepentingan
umum dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt.
Wakaf menurut
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf, adalah pebuatan hukum wakif untuk memisahkan dan atau menyerahkan
sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka
waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah ada atau
kesejahteraan umum menurut syariat.[41]
Undang-undang tentang Wakaf tersebut terdiri dari sebelas Bab
dan 71 pasal yang diundangkan Tanggal 27 oktober 2004 melalui Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 159, yang ditindaklanjuti dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaannya. Peraturan Pemerintah tersebut
terdiri dari sebelas Bab
61 pasal yang diberlakukan Tanggal 15 Desember 2006 melalui Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 105.
Kata "Kesejahteraan" berarti hal atau
keadaan sejahtera, keamanan, keselamatan, ketentraman.[42]
Sedangkan kata
"Umat" diartikan sebagai komunitas atau pengikut agama tertentu yakni
umat (masyarakat) Islam. Kesejahteraan
Umat dalam disertasi ini,
adalah (keadaan sejahtera), yakni kesejahteraan ekonomi masyarakat, khususnya
umat Islam.[43]
Studi, berarti penyelidikan atau penelitian.[44] Dalam Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 41 Tahun
2004 Tentang Wakaf Pasal 45 ayat
(3) disebutkan, bahwa pengelolaan dan
pengembangan harta benda wakaf dilakukan oleh Naz}ir.[45] Dalam pengertian ini, pengelolaan yang dimaksud
meliputi, naz}ir dan wakif serta aparat terkait dalam lingkup Departemen
Agama/KUA.
Palopo, adalah Kota Administrasi (KOTIF) yang dijadikan obyek utama
penelitian disertasi, kota Palopo adalah bagian dari wilayah hukum Luwu
Propinsi Sulawesi Selatan[46].
Berdasarkan penjelasan variabel dan beberapa
kata dalam judul disertasi "Optimalisasi Penerapan Sistem Perwakafan Dalam
Meningkatkan Kesejahteraan Umat (Studi tentang Pengelolaan Wakaf di Kota
Palopo)," adalah suatu studi dan
elaborasi mengenai sosialisasi, penerapan dan efektivitas Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 41 tahun
2004 Tentang Wakaf. Selanjutnya mendeskripsikan
konsep optimalisasi penerapan sistem pengelolaan wakaf dalam meningkatkan
kesejahteraan umat, dan mengidentifikasi peluang dan tantangan sistem pengelolaan
wakaf produktif/tunai, di kota Palopo dengan analisis SWOT yakni, strenght, weakness, opportunity dan threat[47].
D.
Kajian Pustaka
Telaah
pustaka atau buku-buku hasil penelitian terdahulu yang digunakan sebagai
rujukan dalam penulisan disertasi ini, antara lain:
Afifi, Muhammad. Al-Auqa>f wa al-Haya>t al-Iqtisadiyyah
fi> Mis}ir fi> ’Asr al-Usma>ny. ...............................................
Abdul
Azis Dahlan. (et. al.), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid VI; Buku
ini secara umum membahas perwakafan sejak zaman Nabi Muhammad saw sampai pada
zaman kontemporer. Term perwakafan dan atau Wakaf, serta landasan hukumnya dari
al-Qur’an maupun hadis. Hal yang spektakuler adalah beragamnya rumusan tentang
syarat-syarat harta benda wakaf, syarat-syarat wakif, dan syarat-syarat ikrar
wakaf serta naz}ir oleh para imam mazhaf
dan ulama fikih yang secara implisit telah membahas tentang wakaf benda
bergerak, dan wakaf uang, namun secara ekplisit belum menyentuh pengkajian
wakaf produktif sesuai Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004
tentang Wakaf, di samping bukan merupakan kajian empiris.
Ahmad Rofiq. Hukum Islam di Indonesia. Fokus pembahsan buku ini mengungkap tentang
ketentuan umum perwakafan, perubahan dan penyelesaian harta wakaf. Penelitian ini
tidak membahas tentang wakaf produktif dan wakaf tunai, dan belum memandang
wakaf sebagai alternatif ekonomi umat yang sangat besar.
Departemen
Agama RI. 2004. Strategi Pengamanan Tanah Wakaf. Proyek Peningkatan
Pemberdayaan Wakaf Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, buku ini
membahas Pengelolaan Wakaf di Dunia Islam, seperti Mesir, Banglades, Pakistan
dan Turki, selanjutnya Pengelolaan dan Kontribusi Wakaf di Indonesia, termasuk kontribusi
dan sistem pengelolaan Wakaf pada Yayasan Wakaf UMI, namun pengkajiannya masih
sangat terbatas.
Departemen
Agama RI. 2004. Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia
Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggara
Haji,. Buku ini membahas Era dan Sosialisasi Wakaf Tunai, Era Pengelolaan Wakaf
Tunai, Regulasi Undang-undang Perwakafan, Sosialisasi Strategis Wakaf Tunai.
Departemen Agama RI. Dalam bukunya Klasifikasi Pemanfaatan Tanah Wakaf
Se Sumatera dan Kalimatan,. Menurut Slamet Rianto Direktur Ditjen Bimas
Islam, belum ada suatu data tersusun yang berisi gambaran mengenai pemanfaatan
tanah wakaf di Indonesia. Hasil penelitian ini menggambarkan, bahwa tanah wakaf
yang belum dikelola di Sumatera dan Kalimantan jumlahnya masih sangat besar.
Sementara tanah wakaf yang sudah dikelolapun, belum dikelola secara produktif.
Departemen Agama RI. 2004, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41
Tahun 2004 Tentang Wakaf, dalam Ketentuan Umum Pasal 1, dirumuskan sebagai
berikut: Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan
hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk
selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai
dengan ajaran Islam. Ketentuan ini,
sebelumnya telah dirumuskan dalam Pasal (1) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun
1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Konteks penjabaran wakaf identik dengan
amal jariyah, dalam pengertian yang lebih luas amal jariyah mencakup segala
macam perbuatan baik, dalam bentuk tenaga, pikiran, uang, benda atau jasa.
Dengan demikian wakaf dalam doktrin Islam merupakan salah satu bentuk ”amal
jariyah”. Untuk itu peraturan tentang wakaf, khususnya Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, dan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaannya, telah menjadi payung
hukum yang mengatur perwakafan di Indonesia. Bahagian yang konstruktif untuk
diaktualkan dan dioptimalkan sekaligus menjadi pranata pengelolaan perwakafan,
adalah pengembangan wakaf produktif dan atau pengembangan wakaf benda bergerak
dan wakaf tunai menurut Undang-undang Perwakafan.
Didin Hafidhuddin. Islam Aplikatif, dan A. Qodri Azizy. Membangun Fondasi Ekonomi Umat. Keduanya membedah permasalahan
kesejahteraan umat dengan pemberdayaan institusi wakaf dan menjelaskan potensi
wakaf tunai yang dipandang masih asing oleh sebagian besar masyarakat, namun
belum menyentuh pengkajian efektitifitas Undang-undang Perwakafan secara
empiris.
Juhaya S. Praja. Perwakafan
di Indonesia; Sejarah Pemikiran, Hukum dan perkembangannya. Fokus pembahasan
buku ini menjelaskan sejarah perwakafan di Indonesia, dasar hukum wakaf serta
perkembangan wakaf di Indonesia sejak masuknya Islam hingga periode akhir
sebelum berlakunya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf. Penelitian ini tidak menyentuh tentang wakaf produktif dan atau wakaf
uang, melainkan fokus pada indentifikasi sejarah tanah wakaf.
Michael Dumper. Islam and Israel; Muslim Religions endowments and the Jewis State. Buku ini membahas
secara komparatif perkembangan wakaf pada masa Nabi saw, sahabat dan masa
Imperium Ottoman dengan perkembangan harta wakaf di wilayah-wilayah yang
dikuasai oleh Israel, dimana sebelumnya merupakan lahan dan benda wakaf milik
masyarakat muslim yang terusir akibat agresi Israel. Bedah penelitian ini hanya
fokus pada identifikasi tanah wakaf yang ada.
Muhammad Daud Ali. Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf.
Fokus pembahasan buku ini menjelaskan tentang wakaf serta ketentuan-ketentuan
naz}ir, penerapan fiqh wakaf di Indonesia serta wakaf dalam konteks peraturan perundang-undangan
di Indonesia, namun belum menyentuh tentang wakaf produktif dan atau wakaf
tunai.
Mundzir
Qahaf. Dalam bukunya Paradigma Baru Wakaf di Indonesia. Fokus pembahasan
buku ini menjelaskan tentang Asas-asas dan Aspek-Aspek Paradigma Baru Wakaf,
kemudian spesialisasi pembahasan paradigma baru tentang manajemen pengelolaan
wakaf produktif, hanya saja belum mengkaji optimalisasi penerapan sistem
perwakafan secara empiris
Suparman
Usman. Hukum Perwakafan di Indonesia.
Fokus pemba-hasan buku ini menjelaskan posisi wakaf dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia, mulai dari sejarahnya hingga kedudukannya yang
diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), namun belum mengiden-titifikasi
tentang wakaf produktif dan wakaf tunai.
Thayyeb
Kaddase. Analisis Yuridis Terhadap Peranan Lembaga Nazir Dalam Pendaftaran
Tanah Wakaf Di Kota Palopo. Fokus
penelitian ini terbatas pada peran aktif lembaga naz}ir dalam upaya pendaftaran
tanah wakaf di kota Palopo dan factor-faktor yang berpengaruh terhadap peran
aktif lembaga naz}ir dalam upaya pendaftaran tanah wakaf di kota Palopo,
penelitian ini sama sekali tidak menyentuh tentang pengelolaan wakaf produktif.
Dengan mencermati telaah kajian
pustaka yang dikemukakan, maka prinsip dasar periodesasi dan pembahasannya
dapat diklasifikasi dalam dua arah pengkajian. Pertama, secara umum referensi atau
hasil-hasil penelitian tersebut mencuat sebelum berlakunya Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, sehingga umumnya masih bersifat
teori dan belum mencerminkan adanya gagasan yang serius untuk mengaktualkan
wakaf sebagai institusi penting dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umat. Kedua,
sebagian referensi atau hasil-hasil penelitian tersebut ditinjau dari segi pembahasannya
sudah mulai sejalan dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004
tentang Wakaf. Karakteristik pembahasannya telah mencerminkan berbagai gagasan
pemikiran yang cerdas untuk mengaktualkan wakaf sebagai salah satu alternatif
sumber ekonomi umat yang dipandang sangat potensial untuk dikembangkan.
Fenomena yang dimaksud terlihat adanya konstruksi pengkajian tentang paradigma
baru wakaf yang sudah mulai menggelindingkan ide dan gagasan untuk mengaktualkan
wakaf produktif dan wakaf tunai.
Bertolak dari telaah kajian
pustaka yang telah dikemukakan, maka pengkajian tentang optimalisasi penerapan
sistem perwakafan dalam meningkatkan kesejahteraan umat, khususnya di kota
Palopo masih bersifat independensi. Kendatipun secara umum terdapat kemiripan
dengan hasil-hasil penelitian terdahulu, namun fokus pengkajiannya sangat
berbeda, karena penelitian kualitatif empiris yang fokus pada optimalisasi
penerapan sistem pengelolaan wakaf belum ada. Oleh karena itu, independensi penelitian
disertasi penulis teridentifikasi sangat jelas dan berbeda dengan
penelitian-penelitian sebelumnya.
Atas dasar itu, maka dengan
segala keterbatasan penulis, penelitian disertasi ini akan fokus untuk meneliti
secara komprehensip dan mendalam tentang pengelolaan wakaf, upaya
mengoptimalkan sistem pengelolaannya serta peluang dan tantangannya, khususnya
di kota Palopo.
E. Kerangka
Teoretis
Hakikat konsep wakaf terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis. Syariat Wakaf
dalam al-Qur’an, secara kontekstual, ada beberapa ayat yang dapat dijadikan
landasan hukum, antara lain Q.S. Al-Isra>/17:26, Q.S. Al-Haj/22:77 dan Q.S.
’Ali ’Imra>n/3:92. Walaupun wakaf tidak disebutkan secara tekstual dalam
ayat-ayat tersebut, namun secara kontekstual, telah menggambarkan adanya
petunjuk cara membelanjakan harta benda menurut syari’at, sekaligus merangsang
seseorang agar dengan keikhlasanya rela mengeluarkan sebagian hartanya kepada mustahik.
Dalam suatu riwayat, ketika sahabat Nabi Muhammad saw yang bernama Abu>
T}alh}ah mendengar ayat tersebut (QS. ’Ali ’Imra>n/3:92), maka spontan
menawarkan harta yang sangat dicintainya, berupa sebidang kebun korma[48].
Syariat Wakaf dalam hadis antara lain terdapat dalam
kitab S}ahih Muslim, Juz III oleh Ima>m Abu> Husein Muslim bin Hajaj, bahwa ’Umar bin Khat}t}ab telah menyerahkan sebidang ladang
kurma di Khaibar untuk dimanfaatkan hasilnya bagi mustahik, dan
selanjutnya diikuti oleh sahabat-sahabat yang lain. Di samping itu, hadis
Riwayat Muslim dari Abu> Hurairah, tentang ”S}adaqah jariyah” bagi
seseorang yang telah wafat, s}adaqah jariyah ditafsirkan identik dengan wakaf.
Wakaf dalam
konteks ijtihad ’ulama, atau dalam pandangan fikih wakaf, para ’ulama mempunyai
pandangan yang beragam. Di Indonesia, pemahaman dan manajemen wakaf selama ini
banyak dipengaruhi oleh maz\haf Sya>fi’i yang membatasi mauqu>f bih
hanya pada harta benda yang tidak bergerak. Hal itu berbeda dengan pandangan
Ima>m Abu> H}anifah yang pada hakikatnya telah merekomendasikan wakaf
benda bergerak dan wakaf tunai, dengan karakteristik pandanganya cenderung
lebih bersifat fleksibel dan kontemporer.
Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah
Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaannya, merupakan payung hukum perwakafan
di Indonesia yang dipandang dapat melengkapi Peraturan Perundang-undangan yang
mengatur tentang wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Tanah
Wakaf Hak Milik. Dalam kenyataannya sistem pengelolaan wakaf di Indonesia pasca
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, belum juga signifikan
bahkan masih jauh dari yang diharapkan. Hal itu tergambar secara empiris terjadinya
resistensi antara das sain dan das sollen diberbagai daerah di Indonesia.
Efektifitas
hukum menurut Soerjono Soekamto melibatkan banyak faktor: (1) faktor hukumnya
sendiri, (2) faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang
menerapkan hukum, (3) faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum,
(4) faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan, dan (5) faktor budaya hukum.[49]
Implementasi
dan sistem pengelolaan wakaf sebagai alternatif sumber kesejahteraan ekonomi
umat di kawasan negara-negara Timur Tengah antara lain Mesir, Arab Saudi dan
Yordania telah terbukti secara dahsyat sejak ribuan tahun yang lalu, termasuk
pengelolaan wakaf tunai atau wakaf uang.[50]
Indonesia memiliki
tanah wakaf terbesar, sampai saat ini sistem pengelolaan wakaf secara umum
belum optimal dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan umat belum signifikan.
Salah satu
sistem pengelolaan wakaf produktif di kawasan Timur Indonesia yang telah
menjadi model pengelolaan wakaf produktif secara nasional adalah Yayasan Wakaf
Universitas Muslim Indonesia (YW-UMI) di Makassar.[51] Model
pengelolaan wakaf Yayasan Wakaf UMI dapat dijadikan salah satu acuan
standardisasi pengelolaan wakaf produktif yang ada di kota Palopo.
Jumlah tanah
wakaf di kota Palopo relatif besar, 70% merupakan tanah setrategis, berpeluang
untuk dioptimalkan pengelolaannya menjadi wakaf produktif, baik di bidang
pengelolaan pendidikan, bisnis perdagangan, maupun pengembangan pengelolaan
wakaf tunai atau wakaf uang[52].
Berdasarkan
kerangka teoretik yang telah dikemukakan, maka secara sederhana dapat disusun
Skema Kerangka Pemikiran untuk memberi pemahaman tentang konsepsi pengkajian
yang akan dilakukan oleh penulis, mulai dari ide dasar pada pemilihan judul
penelitian disertasi, alur pikir pengumpulan data sesuai dengan konseptual
pembahasan atau permasalahan pokok yang akan dikaji, demikian pula gambaran dan
problematika sistem pengelolaan wakaf, peluang dan tantangannya, serta gambaran
metode dan pendekatan yang digunakan, sistematika penulisan disertasi serta
impli-kasinya secara utuh. Berikut Skema Kerangka Pemikiran sebagai gambaran
umum penelitian disertasi ini:
F. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk
menemukan jawaban tiga konseptual rumusan masalah pokok yang telah dikemukakan
yaitu:
a.
Untuk mengidentifikasi gambaran dan efektifitas penerapan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 di wilayah kota Palopo.
b.
Untuk membangun konsepsi yang komprehensip dalam upaya optimalisasi
penerapan sistem pengelolaan wakaf dalam mening-katkan kesejahteraan umat
khususnya di kota Palopo.
Untuk mengetahui dan menganalisis peluang dan tantangan sistem
pengelolaan wakaf di kota Palopo berdasarkan analisis SWOT, yakni strength,
weakness, opportunity dan threat.
2.
Kegunaan
a. Kegunaan ilmiah
Dasar konseptual penelitian ini diharapkan dapat memberi
kontribusi karya ilmiah terhadap kepustakaan ilmu agama Islam, khususnya
tentang wakaf. Di samping itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat
menjadi bahan perbandingan, atau menjadi referensi penelitian empiris tentang
pengelolaan wakaf produktif, baik di wilayah Sulawesi Selatan, maupun di
Indonesia pada umumnya.
b. Kegunaan praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi
pemikiran dan sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dan para naz}ir di
kota Palopo untuk mengoptimalkan pengelolaan wakaf secara produktif. Di samping
itu, hasil penelitian ini merupakan bentuk sosialisasi kepada aparat terkait,
para nazir dan wakif serta masyarakat (umat Islam) di kota Palopo, tentang
perlunya pengembangan wakaf produktif dan wakaf tunai, sebagai alternatif untuk
meningkatkan kesejahteraan umat.
Konsepsi tentang kegunaan praktis penelitian pengelolaan
wakaf di kota Palopo, diharapkan pula untuk mengidentifikasi pengelolaan wakaf produktif yang ada di wilayah kota Palapo,
untuk selanjutnya dapat dijadikan embrio untuk dikembangkan dengan sistem yang
lebih signifikan, dengan mengacu pada standardisasi pengelolaan wakaf Yayasan
Wakaf Universitas Muslim Indonesia (YW-UMI) Makassar.
6Lihat Ahmad M. Saefuddin,
Ekonomi dan Masyarakat Dalam Perspektif Islam (Jakarta: Rajawali Press,
1987), h. 48.
7Departemen Agama RI, op. cit., h. 388.
[8]Lihat Muhammad al-Khat}ib, al-Iqna
(Bairut: Darul Ma’rifah), h. 26. Lihat pula Wahbah Al-Zuh}aili>, Al-Fiqhu al-Isla>mi wa ‘Adillatuhu (Damaskus: Da>r
al-Fikr al-Mu’as}ir, tt.), h. 7599.
[9]Lihat Basyir Azhar dalam
Farid Wadjdy. Wakaf Kesejahteraan Umat (Filatropi Islam yang Hampir
Terlupakan) Cet. ke-1 (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007, h. 29.
[10]Lihat Asaf A. A. Fyzee, Outlines of
Muhammad Law (Delhi: Oxford University Press, 1974), h. 27.
[13]Lihat Ima>m Abu> Husein Muslim bin Hajaj, S}ahih Muslim,
Juz III. Diterjemahkan oleh Adib Bisri Mus}t}afa> dkk dengan judul Terjemahan
Sahih Muslim, Jilaid 3, (Cet. ke-1; Semarang: Asy-Syifa’, 1993), h.
182. Lihat pula S{ahih Muslim, Bab al-Waqaf,
Juz V, (Beirut: Da>r
al-afaq al-Jadidah, t.th,) h. 73.
[14]Lihat Munz\ir Qahaf, Manajemen wakaf
produktif, Penerjermah: Muhyiddin Mas Rida, (Cet. III; Jakarta: Khalifa
(Pustaka Al-Kautsar Grup), 2007), h. xvii. Uraian lebih lanjut dalam Kata Pengantar, bahwa pada zaman
Rasul sedikit sekali ditemukan wakaf kepada fakir miskin yang dilakukan oleh
para pemuka agama. Selain itu juga telah ditemukan bentuk wakaf berupa
perpustakaan yang notabene dilakukan oleh masyarakat Yunani dan Romawi. Perubahan
wakaf yang paling besar pada masa perkembangan Islam di Madinah. Pada saat itu
wakaf bervariatif, baik dari segi tujuan maupun bentuknya dan telah berubah
orientasinya, dari kepentingan agama semata menuju kepentingan masyarakat. Karena
kebutuhan masyarakat terhadap wakaf sudah sangat mendesak, maka pelaku kebaikan
harus rela berkorban untuk mewakafkan hartanya demi kepentingan umat.
[16]Lihat Uswatun Hasanah. Manajemen Kelembagaan Wakaf “Makalah” Workshop Interna-sional, Pemberdayaan Ekonomi
Umat Melalui Pengelolaan Wakaf Produktif,
Batam: Departemen Agama RI. (Jakarta: Ditjen Bimas Islam dan
Penyelenggara Haji Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, Januari, 2004), h. 123.
[17]Lihat pula Uswatun Hasanah, Strategi
Pengelolaan Wakaf Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Umat, Departemen Agama
RI (Jakarta: Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggara Haji Direktorat Pengembangan
Zakat dan Wakaf, 2004), h. 119.
[18]Lihat Muhammad Abu> Zahrah, Muha>darat
fi> al-waqf (Kairo: Da>r al-Fikr al-‘Araby, 1971), h. 103-104
[20]Lihat Departemen Agama Republik Indonesia, Himpunan
Fatwa Majelis ‘Ulama Indonesia. Jakarta: Ditjen Bimas Islam dan
Penyelenggara Haji, 2003, h. 86.
[21]Didin Hafidhuddin, “Wakaf Uang Dalam
Pandangan Syariat Islam” dalam Departeman Agama RI (Jakarta: Ditjen Bimas
Islam dan Penyelenggaraan Haji, Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, 2004),
h. 197.
[22]Departemen Agama RI, Pendahuluan (Jakarta:
Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggara Haji Direktorat Pengembangan Zakat dan
Wakaf, 2004), h. 1.
[24]Lihat Satria Effendi
M. Zein, "Analisis Yurisprudensi: Tentang Perwakafan", Dalam Mimbar Hukum, Nomor
4 Tahun ke-2; 1991, h. 38.
[25]Rachmat
Djatnika, Wakaf Tanah (Surabaya: Al
Ikhlas, t.t.), h. 78.
26Sumber data: Kantor Departemen
Agana kota Palopo, diolah dari data skunder (tahun 2003), Seksi Penyelenggara
Wakaf Departemen Agama kota Palopo, Palopo tanggal 28 Agustus 2008. Lihat pula
\M. Thayyib Kaddase, \”Analisis Yuridis Terhadap Peranan Lembaga Naz}ir Dalam
Pendaftaran Tanah Wakaf”, Tesis, (Makassar: 2003), h.58.
[27]Maksum Rumi, Kepala
Seksi Penyelenggara Zakat dan Wakaf dan Arifin Difinubun, Sekretaris Yayasan
Islamic Centre Palopo, wawancara oleh penulis di Palopo, tanggal 28 Agustus
2008. Menurut kedua sumber tersebut, administrasi perwakafan di kota Palopo
masih rancu.
[28]Lihat Sanusi Dg. Matata.
Luwu Dalam Revolusi (Makassar: Bakti Baru, 1967), h. 236-237.
[29]“DPRD Bahas Propinsi Luwu Raya Usai Pemilu”.
[Berita] Harian Fajar,
Nomor: 70 Tahun ke-27, tanggal 30 Desember 2008, h.29.
Lihat
pula Agenda Rapat Pengurus Pusat Kerukunan Keluarga Luwu (KKL) tahun 2004-2007
tentang rumusan pemekaran dan pembentukan Propinsi Luru Raya, Sekretariat \Jl.
Racing Centre Perumahan UMI Blok AA3 Makassar.
[30]Muh. Nasir Hamzah, Rektor Universitas Muslim
Indonesia (UMI), wawancara oleh penulis di Makassar, tanggal 13 Oktober 2008. Menurut Rektor |UMI, rekrutmen
tenaga pengajar (dosen) di prioritaskan pada Fakultas Kedokteran, Teknologi Industri,
Farmasi dan SKM.
[31]Mochtar Noer Jaya, ketuaYW-UMI, wawancara oleh
penulis di Makassar, tanggal 13 Oktober 2008. Mulai 2009 Saudi Arabia dan Qatar
siap menjadi donatur RS Ibnu Sina YW-UMI.
[32]Lihat Team Pustaka
Phoenix. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Baru (Cet. Ke-2; Jakarta,
2007), h. 621. Lihat pula Kamus Ilmiah Populer, “Optimalisasi adalah
pengoptimalan”, Tim Prima Pena (ed.) Referensi Ilmiah Ideologi, Politik, Hukum,
Ekonomi, Sosial, Budaya, dan Sains, (Cet. ke-1; Gitamedia Press, 2006), h. 348.
[34]Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh
al-Sunnah, Juz III, (Beirut: Da>r al-Fkr, 1983), h. 378.
[37]Lihat Team
Pustaka Phoenix. op. cit., h. 964. Lihat
pula Departemen Pendidikan
Nasional, Kamus
Besar Bahasa Indonesia
Ed. III (Cet. Ke-2; Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 1266.
38Lihat Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia (Cet. ke-1; Jakarta: Akademika Pressindo, 1997), h. 165.
39Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam.
Ensiklopedi Islam. Jilid V; (Cet. ke-9; Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2001), h. 168.
40Lihat Abdul Azis Dahlan (Ed). Ensiklopedi
Hukum Islam. Jilid VI (Cet. ke-4; Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003),
h. 1905.
[41]Lihat Departemen Agama RI, Undang-undang
RI, Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, (Ditjen Bimbinan Masyarakat Islam, 2007), h. 3.
[43]Lihat Ibid., h.
778.
[44]Tim Prima Pena, Kamus
Ilmiah Populer, (ed.) op. cit., h. 448.
[45]Lihat op. cit.,
h. 106.
[46]Sumber Data: Kantor
Walikota Palopo 2005, Luas wilayah hukum kota Palopo 247,52 Km2 terdiri atas 9
Kecamatan dan 48 Kelurahan. Palopo adalah Kota Administrasi (KOTIF) di Luwu
Propinsi Sulawesi Selatan, 360 km dari kota Makassar. Wilayah hukum Luwu saat
meliputi empat kabupaten termasuk kabupaten kota, masing-masing: Kabupaten
Luwu, Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Luwu Timur dan Kota Palopo. Lihat pula
Buku Panduan Dalam Angka 2007, h. 49.
[47]SWOT, adalah singkatan: strenght, weakness, opportunity, dan threat, artinyaa; kekuatan, kelemahan,
peluang dan tantangan. Salah satu metode analisis yang cukup populer dalam
upaya memahami dan mendalami masalah-masalah kemsyarakatan dan hukum. Lihat
Freddy Rangkuti, Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis, sautu
Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 19.
[48]Lihat
Asy-Syauka>ni>. Na>il al-Aut}a>r, (Mesir: Mus}t}}afa>
al-Ba>bi> al_Halabi>. t.t), Jilid IV, h. 198
[49]Lihat Soerjono Soekanto.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum. Cet. ke-5; (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), h.
[51]Lihat Departemen Agama
RI. Model Pengelolaan Wakaf Produktif. (Jakarta: Ditjen Bimas Islam dan
Penyelenggaraan Haji, 2004), h. 13. Lihat pula Sumuran Harahap. op. cit.,
h. 6.
[52]Abu Bakar Abbas. Kasubag
TU Departemen Agama Kota Palopo, Nurul Haq KUA Kecamatan Wara dan Wara Timur,
Mahmud, KUA Kecamatan Wara Utara dan Jabbar Hamseng Ketua Pengurus Muhammadiyah
Kota Palopo/Pengurus Yayasan Wakaf STIE Muhammadiyah Palopo, tanggal 29 Maret
2009.
0 komentar:
Posting Komentar