KAJIAN DASAR BAIK
DAN BURUK
D. PENGERTIAN
BAIK DAN BURUK
M.
Yatimin Abdullah mengurai pengertian baik seba-gai berikut:
1.
Baik berarti sesuatu yang telah
mencapai kesempur-naan.
2.
Baik berarti sesuatu yang
menimbulkan rasa keha-ruan dan kepuasan, kesenangan persesuaian, dan se-terusnya.
3.
Baik berarti sesuatu yang
mempunyai nilai kebenaran atau nilai yang diharapkan dan memberikan kepu-asan.
4.
Baik berarti yang sesuai dengan
keinginan.
5.
Baik apabila mendatangkan
rahmat, memberikan pe-rasaan senang atau bahagia, bila dihargai secara po-sitif.[1]
Beberapa rumusan baik sebagaimana telah dikemuka-kan
oleh Yatimin Abdullah tersebut, dalam hemat penulis secara umum cenderung pada
pengertian baik menurut pandangan sekuler. Misalnya, bahwa yang baik berarti
sesuai dengan keinginan, atau baik karena adanya kepu-asan, tentu pernyataan itu tidak sejalan
dengan tuntunan al-Qur’an dan hadis, karena sifat keinginan manusia itu tidak
terbatas, banyak keinginan manusia terhadap sesu-atu, akan tetapi sesuatu yang
diingikan itu ternyata hal yang bertentangan dengan hukum syar’i, di samping
itu, sifat kepuasan bagi manusia adalah sesuatu yang relatif, bahkan hakikatnya
manusia tidak akan pernah merasa puas, oleh karena itu keinginan, kesenangan
dan kepuasan manusia harus selalu sejalan dan terukur dengan tuntunan syar’i.
Adapun
perbuatan yang buruk dapat disrtikan sebagai berikut:
a.
Rusak atau tidak baik, jahat,
tidak menyenangkan, ti-dak elok, jelek.
b.
Perbuatan yang tidak sopan,
kurang ajar, jahat, tidak menyenangkan.
c.
Segala yang tercela, lawan
baik, lawan bagus perbu-atan yang bertentangan dengan norma-norma agama, adat
istiadat masyarakat yang berlaku.[2]
Beberapa aliran pemikiran tentang Baik dan Buruk.
1. Hedonisme
Hedonisme berasal dari bahasa Yunani hedone
yang berarti nikmat.[3] Hedonisme merupakan sebuah
kon-sep moral yang menyamakan antara kebaikan dengan kesenangan, dan kesenangan
itu merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia. Menurut paham ini ke-senangan
“badani” merupakan hal yang terbaik bagi manusia. Paham ini didasarkan pada
pandangan Aristippos yang menyatakan sebuah kesenangan tidak lain hanyalah
berupa gerak dalam badan belaka.
Menurutnya gerak dibedakan dalam tiga kemung-kinan,
yaitu pertama; “gerak kasar” yang disebut de-ngan “ketidaksenangan” seperti
rasa sakit. Kedua “gerak halus” yang disebut “kesenangan” ketiga “ke-tiadaan
gerak” disebut sebagai keadaan netral, seperti tidur.[4]
Menurut Aristippos yang baik
hanyalah kenikmatan yang ada pada saat ini, bersifat badani, aktual dan
individual, bukan kesenangan dari masa lampau dan masa yang akan datang.
Paham ini pertama kali
dikemukakan oleh Aristippos dari Kyrene[5] (sekitar 433-355 s.M) seorang
murid Sokrates.[6]
2. Naturalisme
Naturalisme berasal dari bahasa latin “natura”
yang berarti alam, kodrat.[7] Manurut aliran ini sesuatu
per-buatan dipandang baik apabila perbuatan itu sesuai dengan natur manusia,
baik natur yang bersifat lahir maupun natur yang bersifat batin.
3. Vitalisme
Vitalisme atau vitalism (Inggris), kata ini
berasal dari bahasa latin yang berarti “hidup atau kehidupan”.[8] Menurut aliran ini, sesuatu
dipandang baik apabila mencerminkan kekuatan dalam hidup manusia.[9]
Menurut
Sidi Gazalba, aliran ini yang bertanggungja-wab dalam perjalanan sejarah umat
manusia atas tin-dakan penindasan dan ekploitasi terhadap manusia lain dalam
bentuk feodalisme, kolonialisme, dictator, dan imprialisme.[10]
Menurut
aliran vitaisme, manusia yang kuat atau ber-kuasa dipandang sebagai manusia
yang baik, sekali-pun kekuatan dan kekuasaannya itu dipergunakan untuk
menaklukan orang yang lemah.
4. Utilitarisme
Utilitarisme
berasal dari kata utilis yang berarti “ber-guna”. Jika kata ini
dinisbahkan atau diberlakukan pada perorangan maka disebut “individual”, tetapi
jika dinisbahkan atau berlaku pada masyarakat atau Ne-gara maka disebut
“social”. Menurut aliran ini sesuatu dapat dinya-takan baik apabila sesuatu itu
mempu-nyai “nilai guna”, jika tidak mempunyai nilai guna berarti sesuatu itu
dinyatakan buruk, teori utilitarisme dikembangkan oleh Robert C. Solomon
pemikir Barat yang menulis tentang etika yang berpandangan bah-wa teori dasar
pembenaran moralitas yang paling berpengaruh dalam beberapa abad yang lalu adalah
teori utilitarisme.
Teori utilitarisme menekankan bahwa kenikmatan atau
kebahagiaan adalah tujuan akhir yang ingin dan memang pantas diinginkan semua
tindakan manusia. Maka untuk mendapatkan kebahagiaan sebanyak dan \sebesar
mungkin, maka manusia harus berikhtiar pula kebaikan terbesar buat sebanyak
mungkin manusia.[11]
Gambar: 28
E.
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI AKHLAK
Banyak faktor yang dapat
berpengaruh terhadap per-kembangan akhlak, hal itu karena manusia sebagai
mak-hluk sosial, faktor-faktor itu antara lain:
1. Faktor
Insting
Insting adalah karakter manusia yang dibawa sejak
lahir, oleh sebahagian ahli mengedentikkan dengan naluri, tabiat atau watak,
insting ini dapat berpeng-aruh pada kehendak atau keinginan manusia dalam
hidupnya.
Insting dalam bahasa Arab dapat diidentikkan dengan fitrah pembawaan
dasar manusia sejak lahir. Insting atau naluri adalah karakter manusia yang
dapat me-nimbulkan suatu perbuatan secara spontan tanpa ter-pikir lebih dahulu
kearah tujuan perbuatan itu.[12]
Dalam berbagai kamus populer insting secara jelas
di-samakan dengan naluri, menurut Lorens Bagus ada lima pengertian
insting atau naluri, yaitu:
a.
Dorongan bawaan serta bersifat
otomatis dalam diri manusia dan binatang untuk memuaskan ke-butuhan-kebutuhan
biologis dasar yang meng-antar kepada prilaku yang bertujuan dan terarah.
b.
Dorongan alamiah untuk
bertindak dengan cara-cara tertentu.
c.
Kecondongan yang tidak bebas
dan tidak masuk akal yang melekat untuk bertindak atau untuk menjalankan suatu
tindakan tertentu di bawah kendali khusus di bawah rangsangan internal dan
eksternal.
d.
Kegemaran, kesukaan alamiah
(bawaan, spontan) dan atau berurat berakar untuk melakukan se-suatu.
e.
Bentuk kegiatan psikis, tipe
dari tingkah laku.[13]
Telaah terhadap uraian Lorens Bagus dapat
dipahami bahwa insting atau naluri adalah potensi bawaan sejak lahir manusia
dan atau binatang yang dalam karakternya cenderung bersifat spontan tanpa
disadari. Misalnya, insting atau naluri makan, seksual, berjuang, bertempat
tinggal, berkumpul, dan naluri ber-Tuhan.
2. Faktor
Adat
Adat merupakan faktor yang
sangat berpengaruh ter-hadap terbentuknya akhlak. Dalam konteks adat, da-pat dibedakan
dalam dua macam, yaitu: Pertama, adat dalam arti adat-istiadat yang lazimnya
mengan-dung sanksi. Contoh, dikalangan masyarakat bugis, apabila seseorang
hendak melintas di hadapan orang yang lebih tua, atau melintas di depan
sekelompok orang, maka kita harus sedikit menundukkan badan dan kepala yang
dibarengi dengan mengarahkan tangan kanan ke bawah bagian depan sambil berucap
“tabe”. Apabila kebiasaan itu kita tidak lakukan, maka kita dapat dipandang
sebagai seorang yang kurang dan atau tidak beradat.
Kedua, adat dalam arti kebiasaan atau prilaku kese-harian
manusia atau seseorang yang lazimnya tidak mengandung sanksi. Contoh,
“merokok”, seorang yang telah dipandang sebagai “perokok”, hal itu merupakan
kebiasaan yang pada awalnya tidak menyenangkan, namun karena merokok itu dilakukan
berlang-ulang maka lambat laun kebiasaan itu menjadi sangat me-nyenangkan.
Adat dalam bahasa Inggris disebut custom.
Secara harfiah adat berarti praktek-praktek yang berdasar-kan kebiasaan,
baik perorangan maupun kelompok.[14]
Adat juga diartikan kebiasaan atau tradisi masyarakat yang telah
dilakukan berulangkali secara turun-me-nurun.[15]
Beberapa cara untuk merubah kebiasaan yang buruk
menurut Hamzah Ya’kub, sebagai berikut:
a.
Berniat dengan sungguh-sungguh
tanpa keragu-an dan bertekad kuat untuk merubah kebiasaan buruk itu.
b.
Tanamkan dalam diri pengertian
dan kesadaran yang mendalam perlunya kebiasaan buruk itu di-hilangkan.
c.
Niat untuk merubah kebiasaan
buruk itu tidak boleh goyah harus sesuai dengan yang diniatkan.
d.
Segera disusul dengan kebiasaan
yang baik, sete-lah kebiasaan buruk itu hilang.
e.
Cari waktu yang baik dan tepat
agar apa yang ki-ta niatkan dapat terlaksana dengan baik secara sempurna.
f.
Pelihara potensi niat yang kuat
untuk merubah kebiasaan buruk agar tumbuh berkembang da-lam diri secara baik.[16]
Bersarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa adat (istiadat) sangat
berpengaruh dalam pembentukan akhlak seseorang. Dalam ajaran akhlak, Rasulullah
saw mengajarkan kepada umatnya agar yang muda menghormati yang tua, yang
berjalan menghormati yang duduk, kelompok yang sedikit menghormati ke-lompok
yang lebih banyak dan seterusnya. Demi-kian pula dengan meninggalkan
kebiasaan-kebiasaan yang tidak berguna seperti kebiasaan merokok, kebiasaan
begadang (tidak tidur larut malam tanpa tujuan), hal itu merupakan perbuatan
(akhlak) yang ter-puji.
3. Faktor
Lingkungan
Menurut
pandangan empirime faktor lingkungan sangat berpengaruh pada prilaku manusia,
baik ling-kungan geografis atau alam maupun lingkungan sosial atau manusia.
Sebagai contoh, karakter atau cara berpakaian orang atau masyarakat yang
tinggal di desa berbeda dengan orang atau masyarakat yang tinggal di kota, hal
itu karena dipengaruhi oleh fak-tor lingkungan alam dan lingkungan sosial.
Dalam
pandangan Islam lingkungan cenderung dapat berpengaruh dalam pembentukan akhlak
seseorang. Dalam perspektif hadis, setiap bayi yang lahir dalam keadaan fitrah,
bersih dan suci. Namun lingkungan yang terdekat akan sangat berpengaruh, yaitu
kedua orang tuanya, kalau orang tuanya dari kalangan kaum Yahudi, atau Nasrani,
atau Majusi, maka akhlak bayi yang dilahirkan akan terbentuk sesuai agama yang
dianut oleh orang tuanya atau bapak dan ibunya.
“Setiap manusia yang
dilahirkan ibunya di atas fit-rah. Kedua orang tuanya yang menjadikannya Ya-hudi,
Nasrani, atau Majusi”. (Muttaqun Alaih).
4. Faktor
Pendidikan
Faktor pendidikan akan sangat berpengaruh
terhadap pembentukan akhlak manusia. Menurut pandangan Islam manusia lahir
dalam keadaan fitrah atau suci.
Maknah
fitrah bagi seorang bayi yang baru
lahir, bu-kan berarti hanya suci dari segala kesalahan dan dosa, tetapi juga
fitrah dalam arti, manusia lahir tanpa di-sertai harta benda dan ilmu
pengetahuan, oleh ka-rena itu Islam mengajarkan bahwa ilmu pengeta- huan dan
atau pendidikan mempunyai peranan yang amat penting dalam pembentukan akhlak,
dan pendi-dikan akhlak itu harus di
bentuk sejak manusia dila-hirkan.
Pendidikan akhlak yang paling fundamental dalam
Islam adalah akhlak rububiyyah atau akhlak kepada Allah dan Rasul-Nya, karenanya
setiap bayi yang la-hir, sesegera mungkin di azankan di telinga kanan-nya dan
di iqamatkan di telinga kirinya, hal ini adalah salah satu bentuk pendidikan
Islam yang diajarkan oleh Rasul saw.
Bahkan lebih jauh, Rasulullah saw mengajarkan agar
mulai dari hubungan biologis antara suami-istri hen-daklah diawali dengan
berdoa kepada Allah agar dia-nugrahi keturunan yang berakhlakulkarimah.
Dalam kehidupan modern, pendidikan sangat
berpe-ngaruh terhadap prilaku atau akhlak manusia, untuk itu pendidikan yang
cenderung sekuler akan sangat berbahaya bagi perilaku dan kehidupan manusia.
Karena itu, untuk membentuk dan mewujudkan ge-nerasi yang berakhlak mulia, maka
kunci dasarnya adalah pendidikan yang Islami, yaitu pendidikan yang didasarkan
pada nilai-nilai al-Qur’an dan hadis, ka-rena menurut pandangan Islam,
al-Qur’an dan hadis harus dijadikan prinsip dasar untuk mengukur, apa-kah
sesuatu itu baik atau buruk.
Gambar: 28
F. Macam-macam
Nafsu Menurut Islam
Prinsip dasar nafsu pada diri manusia ada dua ma-cam yaitu nafsu yang
mendorong manusia melakukan kebaikan, dan nafsu yang mendorong manusia melaku-kan
keburukan. Namun jika dilihat dari segi karakter si-fatnya para ulama membagi
nafsu manusia menjadi de-lapan macam yaitu:
a. Nafsu
Amarah
Prinsip dasar kata amarah sebenarnya sudah men-jadi bahasa Indonesia, amarah adalah salah satu naf-su yang
tercela. Ciri utamanya, yaitu adanya karak-ter
jiwa yang cenderung melanggar norma dan akh-lak karena hilangnya
kesadaran berpikir Islami.
Suatu ketika
seorang sahabat bertanya kepada Rasul tentang amalan apa yang mesti aku lakukan
(seba-gai syarat utama) agar aku kelak
menjadi penghuni surga? Rasulullah menjawab La>
Tagdhab, artinya jangan marah, sahabat itu tetap
bertanya (selain itu ya Rasulullah), tiga kali pertanyaan jawabannya sa-ma,
La> Tagdhab, sesudah tiga kali,
baru Rasul me-nyatakan amalan yang lain, dan
berbaktilah engkau kepada kedua orang tua. Riwayat ini menggambar-kan
bahwa tidak mungkin seseorang bisa berbuat baik dengan sempurna kepada kedua
orang tuanya, kalau ia selalu dikuasai oleh nafsu amarahnya.
b.
Nafsu Lawwamah
Nafsu Lawwamah juga nafsu yang tercela, ciri uta-manya adanya karakter jiwa yang
cenderung sera-kah, mudah melakukan kejahatan, namun sesudah manusia melakukan kejahatan
timbul penyesalan, tetapi rasa penyesalan itu tidak membuat dirinya jerah
melakukan kejahatan.
c.
Nafsu Musawwalah
Nafsu
Musawwalah juga tergolong nafsu yang ter-cela, ciri utamanya adanya karakter
jiwa yang cen-derung malu melakukan kejahatan kalau diketa-hui orang, karenanya
ia dengan sadar melakukan kejahatan dengan sembunyi-sembunyi.
d.
Nafsu Mutmainnah
Nafsu Mutmainnah adalah nafsu yang mulia, ciri
uatamanya adanya karakter jiwa yang cenderung untuk melakukan kebaikan dan
melarang berbuat kemungkaran, membuat jiwa tenang, damai dan melahirkan
perasaan Islami.
e.
Nafsu Malhamah
Nafsu Malhamah adalah nafsu mulia, ciri utamanya
adanya karakter jiwa yang merasakan adanya suatu ilham dari Allah, jiwa yang darinya melahirkan
sifat kesabaran, kesyukuran dan keuletan.
f.
Nafsu Radhiah
Nafsu Radhiah adalah nafsu yang
mendapatkan ri-dha Allah, ciri utamanya
adanya karakter jiwa yang berderajat
syukur sangat tinggi terhadap segala nik-mat yang dianugerahkan
kepadanya.
g.
Nafsu Mardhiah
Nafsu Mardhiah
adalah nafsu yang terlimpah keri-dhaan Allah swt, ciri utamanya adanya karakter jiwa yang penuh
dengan kemuliaan berupa kemu-rahan dan keikhlasan yang berderajat zikirpikir.
h.
Nafsu Kamilah
Nafsu Kamilah adalah nafsu yang dipandang me-miliki kesempurnaan, ciri
utamanya adanya karak-ter jiwa yang telah memperoleh ilmu-ilmu “La-Dunni”
dari Allah swt. Jiwa yang setiap saat telah siap kembali kehadirat Allah swt.
Apabila kita mencermati secara menyeluruh karak-ter atau sifat-sifat nafsu yang ada pada diri manusia
terda-pat delapan nafsu, lima jenis nafsu
(Mutmainnah, Malha-mah, Radhiah, Mardhiah dan Kamilah), harus
tetap dipelihara dan dikembangkan agar derajatnya semakin tinggi guna mencapai
insan kamil. Kemudian tiga jenis nafsu (Amarah, Lawwamah,
Musawwalah), harus senan-tiasa dikendalikan agar tidak merusak hakikat
kemanu-siaan yang fitrah.
Dengan demikian, ada lima nafsu yang berpengaruh positif pada diri manusia, dan tiga nafsu
berpengaruh negatif. Untuk itu, aqidah mempunyai peran penting dalam kehidupan
manusia. Semakin baik aqidah sese-orang maka akan semakin cenderung untuk
berbuat kebaikan atau akhlak mahmudah, dan apabila aqidah seseorang rapuh, maka
akan semakin cenderung pada perbuatan yang buruk atau akhlak mazmumah.
Gambar: 28
DESKRIPSI MACAM-MACAM NAFSU
Karakter nafsu amarah, lawwamah dan musawwa-lah
senantiasa mendorong jiwa agar melakukan akhlak mazmumah (tercela), antara lain
seperti:
a.
Takabbur, adalah karakter yang cederung melupa-kan
kemahakuasaan Allah, sangat mengagungkan dirinya sendiri, identik dengan sifat
sombong.
b.
al-Hasad, adalah karakter yang cenderung bersifat iri dan
dengki terhadap kelebihan dan keberhasilan orang lain.
c.
Ana>niyah, adalah karakter yang cenderung serba dirinya, atau
sifat egoistis tidak memahami orang lain.
d.
al-Kadzbu,adalah sifat karakter yang cenderung pa-da tipudaya atau sifat dusta/bohong.
Sedangkan karakter nafsu Mutmainnah, Malhamah, Radhiah, Mardhiah dan
Kamilah senantiasa mendorong jiwa untuk melakukan akhlak mahmudah (terpuji), an-tara
lain seperti:
a. al-Amanah,
adalah karakter jiwa yang jujur,
dapat dipercaya untuk mengemban sesuatu amanah seke-cil apapun.
b. al-Shiddiq,
adalah karakter jiwa yang
senantiasa cinta kepada kebenaran sehingga berimplikasi per-kataan dan perbuatan
yang benar.
c. al-Shabr,
adalah sifat karakter jiwa yang senantiasa berlaku dan/atau
bersifat sabar dalam menghadapi ujian hidup.
d. al-Haya’,
adalah sifat karakter jiwa yang senantiasa mencintai rasa malu
kepada diri sendiri, malu ke-pada orang lain dan malu kepada Allah swt.
e. al-Tawadhu’,
adalah karakter jiwa yang
senantiasa bersifat rendah hati, bersih dari sifat sombong dan sangat
menghargai orang lain.
f.
al-Syajaah, adalah karakter jiwa yang bersifat be-rani dalam kebenaran dan takut berbuat kesalahan.
g. al-Qanaah,
adalah karakter jiwa yang
senantiasa merasa cukup sangat mensyukuri segala nikmat yang Allah berikan
kepadanya.
h. al-Ikhlas,
adalah karakter jiwa yang bersifat
tulus karena Allah swt, maka apapun yang dilakukan ti-dak menimbulkan beban yang memberatkan.
[1] M.
Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam
Perspektif al-Qur’-an (Jakarta:
Amzah, 2007), h. 39.
[3] Loren
Bagus, Kamus Populer Filsafat,
(Jakarta: Gramedia Pus-taka Utama, 1996), h. 282.
[4] K.
Bertens, loc. cit.,
[5] Dick Hartoko, Kamus Populer Filsafat,(Jakarta: Rajawali,1986) cet.
Ke-1, h. 36.
[6] K.
Bertens, Etika, (Jkt: Gramedia
Pustaka Utama, 2002), h. 235.
[7] Bagus,
op.cit., h. 688
[8] Loren
Bagus, op. cit., h. 1158
[9] Sidi
Gazalba, op. cit., h. 38.
[10] Sidi
Gazalba, op.cit., h. 38.
[11] Robert
C. Solomon, op, cit., h. 137
[13] Lorens
Bagus, op. cit., h. 354-355
[14] Lorens
Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 8.
[15]
Abdul Azis Dahlan et.al (ed.)., Ensiklopedi
Hukum Islam, (Ja-karta: Ictiar Baru VanHoeve, 1997), Jilid I, hlm. 21.
[16] Hamzah Ya’kub, Etika Islam Pembinaan Akhlaqulkari-mah, Suatu Pengantar, (Bandung:
Diponegoro, 1996), h. 61
I Like it !
BalasHapusFurniture Rotan Sintetis