KAJIAN DASAR
AKHLAK
A.
MEMAHAMI AKHLAK
Secara etimologi, akhlak berasal dari bahasa Arab, dari kata khuluq (khuluqun), yang berarti
budi pekerti, tingkah laku, dan perangai.[1] Juga dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata “akhlak” diartikan sebagai
budi pekerti, watak, tabiat.[2]
M.
Syatori, dalam bukunya Ilmu Akhlak mengar-tikan akhlak sebagai:
a.
kumpulan kaidah untuk menempuh
jalan yang baik;
b.
jalan yang sesuai menuju Allah;
c.
pandangan akal tentang kebaikan dan keburukan.[3]
Secara terminologi
atau istilah, akhlak adalah ilmu yang menentukan batas antara yang baik
dan yang buruk tentang perbuatan
manusia baik lahir
maupun batin.
Untuk memahami akhlak
lebih komprehensip, beri-kut dikemukakan beberapa definisi
oleh para tokoh, se-bagai
berikut:
1.
Ahmad Amin, akhlak adalah ilmu yang menjelas-kan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang se-harusnya dilakukan oleh
sebagian
manusia kepada yang lainnya.[4]
2.
Imam al-Gazali, akhlak adalah sifat yang tertanam
dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam per-buatan
dengan mudah, tanpa memerlukan pemikir-an
dan pertimbangan.[5]
3.
Ibrahim Anis, akhlak adalah sifat yang tertanam da-lam jiwa yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau
buruk, tanpa membutuhkan pe-mikiran dan pertimbangan.[6]
4.
Hamzah Ya’kub, akhlak adalah: (1) Ilmu yang me-nentukan
batas baik dan buruk, antara yang terpuji dan yang tercela, tentang perkataan
atau perbuatan manusia lahir dan batin. (2) Ilmu
pengetahuan yang memberikan tentang
baik dan buruk,
ilmu yang me-ngajarkan manusia dan menyatakan tujuan mereka yang
terakhir dari seluruh usaha dan pekerjaan me-reka.[7]
5.
Muhyiddin Ibnu
Arabi (1165-1240M), akhlak ada-lah keadaan jiwa seseorang yang mendorong
manu-sia untuk berbuat tanpa melalui pertimbangan dan pilihan terlebih dahulu.
Keadaan tersebut seseorang boleh jadi merupakan tabiat atau bawaan, dan boleh
jadi juga merupakan kebiasaan melalui latihan lati-han dan perjuangan.[8]
Berdasarkan ragam definisi akhlak yang telah dike-mukakan tersebut, maka dapat diidentifikasi lima karak-teristik atau ciri dari perbuatan akhlak, sebagai berikut:
1.
Akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam da-lam jiwa seseorang sehingga telah menjadi kepriba-diannya.
2.
Akhlak adalah perbuatan yang dilakuakan dengan mudah dan tanpa pemikiran.
3.
Akhlak adalah perbuatan yang timbul di dalam diri orang yang
mengerjakannya tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar.
4.
Akhlak adalah perbuatan yang
dilakukan dengan se-sungguhnya, bukan mainmain atau sandiwara saja.
5.
Akhlak adalah perbuatan yang
dilakukan secara ikh-las karena Allah, bukan karena ingin
mendapatkan suatu pujian.[9]
Memahami akhlak menurut Muhyiddin Ibnu Arabi, maka penulis sependapat
bahwa akhlak itu dapat pula terbentuk karena kebiasaan atau melalui latihan-latihan
yang dilakukan secara kontinu dan dengan ada niat agar kebiasaan atau sesuatu
yang dilakukan melalui latihan-latihan itu pada akhirnya menjadi suatu karakter
yang permanen yang sama sekali tidak mengandung unsur pujian dan pertimbangan
pemikiran. Dengan demikian akhlak itu pada awalnya dapat pula di bentuk melalui
kebiasaan dan pelatihan. Contoh, membiasakan diri dan melatih bangun di tengah
malam untuk shalat tahajjud, maka pada akhirnya akan menjadi karakter (akhlak
ter-puji) yang permanen, sehingga setiap tengah malam akan terbangun secara spontan.
B. SUMBER AKHLAK
Prinsip dasar sumber akhlak adalah al-Qur’an dan
Hadis atau Sunnah, serta Ra’yu (ijmak dan qi-yas) para ulama’.
1.
Al-Qur’an sebagai sumber
akhlak, antara lain (QS. al-Ahzab/33: 21):
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_öt ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sur ©!$# #ZÏVx. ÇËÊÈ
Terjemahnya:
Dan sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan dia banyak menyebut Allah (QS. al-Ah-zab/33: 21)
Selanjutnya terdapat pada (QS. al-Qalam/68:
4):
y7¯RÎ)ur 4n?yès9 @,è=äz 5OÏàtã ÇÍÈ
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pe-kerti yang agung (QS. al-Qalam/68: 4).
2.
Hadis sebagai sumber akhlak, antara lain:
Artinya:
Bahwasanya aku diutus, hanya untuk menyempur-nakan akhlak dan budi pekerti
yang mulia.
C. OBYEK
KAJIAN ILMU AKHLAK
Para pakar sepakat bahwa obyek kajian
akhlak ada-lah segala tingkah laku manusia dalam upaya menetap-kan nilai baik atau buruk. Atau, penyelidikan
tentang ting-kah laku dan sifat manusia baik sebagai individu mau-pun sebagai kelompok masyarakat. Secara umum
perbu-atan manusia dapat dibedakan dalam dua kategori:
1. Perbuatan
yang disengaja.
2.
Perbuatan yang tidak disengaja.
Obyek kajian
ilmu akhlak hanya pada perbuatan di-sengaja, sedangkan perbuatan yang tidak
disengaja tidak termasuk obyek kajian ilmu akhlak.
Dengan
demikian, kajian ilmu akhlak adalah semua perbuatan manusia yang timbul dari
orang yang melak-sanakan dengan; sadar, disengaja,
mengetahui waktu me-lakukannya, sadar akan akibat yang ditimbul-kannya.
D.
TUJUAN DAN MANFAAT ILMU AKHLAK
Secara umum tujuan akhlak adalah untuk mencapai
kebaikan dan keutamaan manusia. Menurut Imam al-Gazali kebaikan dan
keutamaan manusia bersumber em-pat pada:
1.
Kebaikan dan keutamaan jiwa (al-nafs),
berasal dari ilmu, kebijaksanaan, kesucian diri, dan keadilan.
2.
Kebaikan dan keutamaan badan (jasmaniah),
bisa diperoleh melalui sehat, kuat, tampan, dan panjang usia.
3.
Kebaikan dan keutamaan yang datang
dari luar (al-Kharijiah), berasal dari harta, keluarga, pangkat,
nama baik atau kehormatan.
4.
Kebaikan dan keutamaan
bimbingan (taufiq-hidayah), diperoleh dengan petunjuk, bimbingan,
pelurusan, penguatan dari Allah.
Dengan demikian tujuan akhlak
adalah tercapainya kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat melalui pe-tunjuk
al-Qur’an dan sunnah Nabi. Sedangkan manfa-atnya, dapat dijadikan panduan atau
pedoman dalam melakukan suatu tindakan, sehingga tindakan tersebut tetap berada
dalam jalur yang benar, atau dalam konsep Islam secara spesifik untuk mendapat keridhaan
dari Allah swt, dalam kehidupan dunia dan akhirat.
E.
TUJUAN AKHLAK
Berdasar
urain terdahulu, maka tujuan pokok akhlak adalah agar setiap muslim dapat
berbudi pekerti, ber-tingkah laku, berperangai baik sesuai dengan ajaran Islam.
Hal
itu dapat dilihat, bahwa semua ibadah sebagai-mana disebutkan arkanul Islam,
mulai dari syahadat, sha-lat lima waktu, puasa ramadham, menunaikan zakat dan
menunaikan haji, semua ibadah-ibadah tersebut apabila dilakukan secara benar
sesuai dengan petunjuk al-Qur’an dan Sunnah, maka terbentuklah kepribadian mus lim
yang berakhlakulkarimah baik lahir maupun batin.
Aktualisasi Akhlak Seorang Muslim
1. Akhlak kepada Allah;
2. Akhlak kepada Rasul;
3. Akhlak kepada s esame manusia;
4. Akhlak kepada lingkungan.
1. Akhlak
kepada Allah swt.
Menurut
Abuddin Nata, minimal ada empat alasan mengapa manusia harus berakhlak kepada
Allah:
a.
Karena manusia itu diciptakan
oleh Allah (lihat QS. al-Thariq/86 :4-7).
b.
Karena Allah telah melengkapi
manusia dengan pancaindra dan anggota badan yang kokoh (lihat QS. al-Nahl/16
:78).
c.
Karena Allah telah
menganugrahkan berbagai bahan dan sarana yang diperlukan dalam kelang-sungan
hidup manusia (lihat QS. al-Jatsiyah/45 :12-13).
d.
Karena Allah telah memuliakan
manusia dengan diberikannya kemapuan mengusai darat dan lautan (lihat QS.
al-Isra’/17 :70).[10]
Akhlak
kepada Allah swt., umumnya para pakar men-deskripsikan sebagai berikut:
a. Menyembah,
dan mentauhidkan Allah
Tauhid adalah pengakuan secara lahir dan batin,
bahwa hanya Allah satu-satunya yang memiliki sifat Rububuyah, dan sifat
Uluhiyah, serta kesem-purnaan nama dan sifat-sifat-Nya. Untuk itu, me-nyembah
Allah adalah wujud akhlak kepada Allah yang mutlak. Adapun tauhid, terbagi tiga
yaitu:
Pertama, tauhid rububiyah, yaitu meyakini bahwa Allah
satu-satunya Tuhan yang mencipta alam ini. Hanya Allah jua Yang Maha mengatur
seluruh makhluknya dalam segala hal, Tuhan yang meng-hidupkan dan mematikan,
telaah lebih jelas (lihat QS. az-Zumar/39 :62, QS. Hud/11 :6, QS.
as-Saja-dah/32 : 5. QS. Yunus/10 :56, QS. Lukman/31 :25).
Kedua,
tauhid uluhiyah, yaitu
mengimani Allah swt sebagai satu-satunya Al-Ma’bud (yang disem-bah)
telaah lebih jelas (lihat, QS. al-Baqarah/2 :163, QS. Ali ‘Imran/3 :18, QS.
al-Hajj/22 :62).
Ketiga,
tauhid nama dan sifat, yaitu
mengimani setiap penjelasan al-Qur’an tentang nama dan sifat Allah, telaah
lebih jelas (lihat QS. al-Ikhlas/ 112:4,
QS. asy-Syura/42 :11, QS. an-Nahl/16: 64).[11]
b. Berbaik
Sangka kepada Allah swt.
Berbaik sangka terhadap apa yang telah ditetap-kan Allah merupakan salah satu akhlak yang ter-puji
kepada-Nya.
c. Dzikrullah
Mengingat Allah adalah asas dari setiap ibadah
kepada Allah swt dan merupakan amalan amat terpuji kepada Allah.
d.
Tawakkal kepada Allah
Tawakkal atau berserah diri kepada Allah sete-lah manusia berusaha secara
maksimal meru-pakan salah satu amalan
terpuji kepada Allah swt.
2. Akhlak
kepada Rasul saw.
a.
Membenarkan apa yang
disampaikan oleh Rasul, dalam hal ini mempercayai kebenaran hadis atau sunnah
Rasul (lihat QS. al-Zumar/39 :33). Orang yang tidak percaya pada sunnah Rasul
disebut “inkarussunnah”, ingkar pada sunnah Rasul ber-arti tidak berakhlak
kepada Rasul saw.
b.
Mencitai, dan mengikuti
syariatnya, barang siapa menaati Rasul-Nya maka sesungguhnya ia telah menaati
Allah swt (lihat QS. al_Nisa’/4 :80), oleh karena itu, tidaklah seseorang itu
dapat dikatakan cinta dan taat kepada Allah, apabila ia meng-ingkari apa yang
disyariatkan Rasul saw.
c.
Memperbanyak shalawat kepada Rasul-Nya, se-sunggunya Allah dan para Malaikat-Nya bersha-lawat
untuk Nabi (lihat QS. al-Ahzab/33 :56), karena itu perbanyaklah shalawat kepada
Nabi saw.
3. Akhlak
kepada sesama manusia
Akhlak kepada sesama manusia antara lain:
a.
Akhlak kepada diri sendiri;
b.
Akhlak kepada kedua orang tua;
c.
Akhlak kepada keluarga;
d.
Akhlak kepada dosen atau guru;
e.
Akhlak kepada teman sejawat;
f.
Akhlak kepada orang yang lebih
tua;
g.
Akhlak kepada orang yang lebih
muda;
h.
Akhla k kepada orang yang belum
dikenal;
i.
Akhlak kepada tetangga;
j.
Akhlak kepada tamu;
k.
akhlak dalam majlis/berdiskusi;
l.
Akhlak kepada non muslim;
m.
Akhlak menjenguk orang sakit.
4.
Akhlak kepada lingkungan
Akhlak kepada lingkungan meliputi:
a.
Akhlak kepada binatang;
b.
Akhlak kepada tumbuh-tumbuhan;
c.
Akhlak kepada benda-benda tidak
bernyawa.
Di
antara akhlak mahmudah (akhlak terpuji) adalah:
a.
sabar;
b.
amanah;
c.
benar;
d.
adil;
e.
hemat;
f.
kasih sayang;
g.
malu;
h.
rendah hati;
i.
pemaaf;
j.
hormat;
k.
syukur;
l.
tawadhu’;
m. qanaah;
n.
sopan dalam ucapan dan
perbuatan;
o.
taat beribadah dan memperbanyak
doa;
Di
antara akhlak mazmumah (akhlak tercela) adalah:
a.
ghibah; bersifat menggunjing.
b.
hianat; bersifat tidak amanah.
c.
hasad; bersifat dengki.
d.
su’uzhan; berprasangka buruk.
e.
dusta; bersifat tidak jujur.
f.
zhalim; bersifat menganiaya.
g.
tamak; bersifat rakus.
h.
pengecut; tidak bertanggung
jawab.
i.
sombong; bersifat angkuh.
j.
curang; bersifat tidak adil.
k.
bahil; bersifat kikir.
l.
riya; bersifat ingin dikata.
m. dendam; bersifat tidak pemaaf.
n.
putus asa; bersifat tidak
istiqamah.
o.
boros; bersifat berlebihan.
Prinsip
dasar karakteristik akhlak, sebagai berikut:
a.
Akhlak mengajarkan dan menuntun
manusia kepada tingkah laku yang baik dan menjauhkan dari tingkah laku yang
buruk.
b.
Akhlak bersifat universal dan
komprensif dapat dijadikan petunjuk dan pedoman bagi seluruh umat manusia kapan
dan dimanapun.
c.
Akhlak menetapkan bahwa yang
menjadi sumber atau ukuran baik dan buruk adalah al-Qur’an dan sunnah.
d.
Akhlak mengatur dan mengarahkan
fitrah manusia kejenjang akhlak luhur dan meluruskan perbuatan manusia.[12]
F. PENGERTIAN
BAIK DAN BURUK
M.
Yatimin Abdullah mengurai pengertian baik seba-gai berikut:
1.
Baik berarti sesuatu yang telah
mencapai kesempur-naan.
2.
Baik berarti sesuatu yang
menimbulkan rasa keha-ruan dan kepuasan, kesenangan persesuaian, dan se-terusnya.
3.
Baik berarti sesuatu yang
mempunyai nilai kebenaran atau nilai yang diharapkan dan memberikan kepu-asan.
4.
Baik berarti yang sesuai dengan
keinginan.
5.
Baik apabila mendatangkan
rahmat, memberikan pe-rasaan senang atau bahagia, bila dihargai secara po-sitif.[13]
Beberapa rumusan baik sebagaimana telah dikemuka-kan
oleh Yatimin Abdullah tersebut, dalam hemat penulis secara umum cenderung pada pengertian
baik menurut pandangan sekuler. Misalnya, bahwa yang baik berarti sesuai dengan
keinginan, atau baik karena adanya
kepu-asan, tentu pernyataan itu tidak sejalan dengan tuntunan al-Qur’an
dan hadis, karena sifat keinginan manusia itu tidak terbatas, banyak keinginan
manusia terhadap sesu-atu, akan tetapi sesuatu yang diingikan itu ternyata hal
yang bertentangan dengan hukum syar’i, di samping itu, sifat kepuasan bagi
manusia adalah sesuatu yang relatif, bahkan hakikatnya manusia tidak akan
pernah merasa puas, oleh karena itu keinginan, kesenangan dan kepuasan manusia harus
selalu sejalan dan terukur dengan tuntunan syar’i.
Adapun
perbuatan yang buruk dapat disrtikan sebagai berikut:
a.
Rusak atau tidak baik, jahat,
tidak menyenangkan, ti-dak elok, jelek.
b.
Perbuatan yang tidak sopan,
kurang ajar, jahat, tidak menyenangkan.
c.
Segala yang tercela, lawan
baik, lawan bagus perbu-atan yang bertentangan dengan norma-norma agama, adat
istiadat masyarakat yang berlaku.[14]
Beberapa aliran pemikiran tentang Baik dan Buruk.
1. Hedonisme
Hedonisme berasal dari bahasa Yunani hedone
yang berarti nikmat.[15] Hedonisme merupakan sebuah
kon-sep moral yang menyamakan antara kebaikan dengan kesenangan, dan kesenangan
itu merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia. Menurut paham ini ke-senangan
“badani” merupakan hal yang terbaik bagi manusia. Paham ini didasarkan pada
pandangan Aristippos yang menyatakan sebuah kesenangan tidak lain hanyalah berupa
gerak dalam badan belaka.
Menurutnya gerak dibedakan dalam tiga kemung-kinan,
yaitu pertama; “gerak kasar” yang disebut de-ngan “ketidaksenangan” seperti
rasa sakit. Kedua “gerak halus” yang disebut “kesenangan” ketiga “ke-tiadaan
gerak” disebut sebagai keadaan netral, seperti tidur.[16]
Menurut Aristippos yang baik
hanyalah kenikmatan yang ada pada saat ini, bersifat badani, aktual dan
individual, bukan kesenangan dari masa lampau dan masa yang akan datang.
Paham ini pertama kali
dikemukakan oleh Aristippos dari Kyrene[17] (sekitar 433-355 s.M)
seorang murid Sokrates.[18]
2. Naturalisme
Naturalisme berasal dari bahasa latin “natura”
yang berarti alam, kodrat.[19] Manurut aliran ini sesuatu
per-buatan dipandang baik apabila perbuatan itu sesuai dengan natur manusia,
baik natur yang bersifat lahir maupun natur yang bersifat batin.
3. Vitalisme
Vitalisme atau vitalism (Inggris), kata ini
berasal dari bahasa latin yang berarti “hidup atau kehidupan”.[20] Menurut aliran ini,
sesuatu dipandang baik apabila mencerminkan kekuatan dalam hidup manusia.[21]
Menurut
Sidi Gazalba, aliran ini yang bertanggungja-wab dalam perjalanan sejarah umat
manusia atas tin-dakan penindasan dan ekploitasi terhadap manusia lain dalam
bentuk feodalisme, kolonialisme, dictator, dan imprialisme.[22]
Menurut
aliran vitaisme, manusia yang kuat atau ber-kuasa dipandang sebagai manusia
yang baik, sekali-pun kekuatan dan kekuasaannya itu dipergunakan untuk
menaklukan orang yang lemah.
4. Utilitarisme
Utilitarisme
berasal dari kata utilis yang berarti “ber-guna”. Jika kata ini
dinisbahkan atau diberlakukan pada perorangan maka disebut “individual”, tetapi
jika dinisbahkan atau berlaku pada masyarakat atau Ne-gara maka disebut
“social”. Menurut aliran ini sesuatu dapat dinya-takan baik apabila sesuatu itu
mempu-nyai “nilai guna”, jika tidak mempunyai nilai guna berarti sesuatu itu
dinyatakan buruk, teori utilitarisme dikembangkan oleh Robert C. Solomon
pemikir Barat yang menulis tentang etika yang berpandangan bah-wa teori dasar
pembenaran moralitas yang paling berpengaruh dalam beberapa abad yang lalu
adalah teori utilitarisme.
Teori utilitarisme menekankan bahwa kenikmatan atau
kebahagiaan adalah tujuan akhir yang ingin dan memang pantas diinginkan semua
tindakan manusia. Maka untuk mendapatkan kebahagiaan sebanyak dan \sebesar mungkin,
maka manusia harus berikhtiar pula kebaikan terbesar buat sebanyak mungkin
manusia.[23]
Gambar: 28
G.
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI AKHLAK
Banyak faktor yang dapat
berpengaruh terhadap per-kembangan akhlak, hal itu karena manusia sebagai
mak-hluk sosial, faktor-faktor itu antara lain:
1. Faktor
Insting
Insting adalah karakter manusia yang dibawa sejak
lahir, oleh sebahagian ahli mengedentikkan dengan naluri, tabiat atau watak, insting
ini dapat berpeng-aruh pada kehendak atau keinginan manusia dalam hidupnya.
Insting dalam bahasa Arab dapat diidentikkan dengan fitrah pembawaan
dasar manusia sejak lahir. Insting atau naluri adalah karakter manusia yang
dapat me-nimbulkan suatu perbuatan secara spontan tanpa ter-pikir lebih dahulu
kearah tujuan perbuatan itu.[24]
Dalam berbagai kamus populer insting secara jelas di-samakan
dengan naluri, menurut Lorens Bagus ada lima pengertian insting atau
naluri, yaitu:
a.
Dorongan bawaan serta bersifat
otomatis dalam diri manusia dan binatang untuk memuaskan ke-butuhan-kebutuhan
biologis dasar yang meng-antar kepada prilaku yang bertujuan dan terarah.
b.
Dorongan alamiah untuk
bertindak dengan cara-cara tertentu.
c.
Kecondongan yang tidak bebas
dan tidak masuk akal yang melekat untuk bertindak atau untuk menjalankan suatu
tindakan tertentu di bawah kendali khusus di bawah rangsangan internal dan
eksternal.
d.
Kegemaran, kesukaan alamiah
(bawaan, spontan) dan atau berurat berakar untuk melakukan se-suatu.
e.
Bentuk kegiatan psikis, tipe
dari tingkah laku.[25]
Telaah terhadap uraian Lorens Bagus dapat
dipahami bahwa insting atau naluri adalah potensi bawaan sejak lahir manusia
dan atau binatang yang dalam karakternya cenderung bersifat spontan tanpa
disadari. Misalnya, insting atau naluri makan, seksual, berjuang, bertempat
tinggal, berkumpul, dan naluri ber-Tuhan.
2. Faktor
Adat
Adat merupakan faktor yang
sangat berpengaruh ter-hadap terbentuknya akhlak. Dalam konteks adat, da-pat
dibedakan dalam dua macam, yaitu: Pertama, adat dalam arti adat-istiadat yang
lazimnya mengan-dung sanksi. Contoh, dikalangan masyarakat bugis, apabila
seseorang hendak melintas di hadapan orang yang lebih tua, atau melintas di
depan sekelompok orang, maka kita harus sedikit menundukkan badan dan kepala
yang dibarengi dengan mengarahkan tangan kanan ke bawah bagian depan sambil
berucap “tabe”. Apabila kebiasaan itu kita tidak lakukan, maka kita dapat
dipandang sebagai seorang yang kurang dan atau tidak beradat.
Kedua, adat dalam arti kebiasaan atau prilaku kese-harian
manusia atau seseorang yang lazimnya tidak mengandung sanksi. Contoh,
“merokok”, seorang yang telah dipandang sebagai “perokok”, hal itu merupakan
kebiasaan yang pada awalnya tidak menyenangkan, namun karena merokok itu dilakukan
berlang-ulang maka lambat laun kebiasaan itu menjadi sangat me-nyenangkan.
Adat dalam bahasa Inggris disebut custom.
Secara harfiah adat berarti praktek-praktek yang berdasar-kan kebiasaan,
baik perorangan maupun kelompok.[26]
Adat juga diartikan kebiasaan atau tradisi masyarakat yang telah
dilakukan berulangkali secara turun-me-nurun.[27]
Beberapa cara untuk merubah kebiasaan yang buruk
menurut Hamzah Ya’kub, sebagai berikut:
a.
Berniat dengan sungguh-sungguh
tanpa keragu-an dan bertekad kuat untuk merubah kebiasaan buruk itu.
b.
Tanamkan dalam diri pengertian
dan kesadaran yang mendalam perlunya kebiasaan buruk itu di-hilangkan.
c.
Niat untuk merubah kebiasaan
buruk itu tidak boleh goyah harus sesuai dengan yang diniatkan.
d.
Segera disusul dengan kebiasaan
yang baik, sete-lah kebiasaan buruk itu hilang.
e.
Cari waktu yang baik dan tepat
agar apa yang ki-ta niatkan dapat terlaksana dengan baik secara sempurna.
f.
Pelihara potensi niat yang kuat
untuk merubah kebiasaan buruk agar tumbuh berkembang da-lam diri secara baik.[28]
Bersarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa adat (istiadat) sangat
berpengaruh dalam pembentukan akhlak seseorang. Dalam ajaran akhlak, Rasulullah
saw mengajarkan kepada umatnya agar yang muda menghormati yang tua, yang
berjalan menghormati yang duduk, kelompok yang sedikit menghormati ke-lompok
yang lebih banyak dan seterusnya. Demi-kian pula dengan meninggalkan
kebiasaan-kebiasaan yang tidak berguna seperti kebiasaan merokok, kebiasaan
begadang (tidak tidur larut malam tanpa tujuan), hal itu merupakan perbuatan
(akhlak) yang ter-puji.
3. Faktor
Lingkungan
Menurut
pandangan empirime faktor lingkungan sangat berpengaruh pada prilaku manusia,
baik ling-kungan geografis atau alam maupun lingkungan sosial atau manusia.
Sebagai contoh, karakter atau cara berpakaian orang atau masyarakat yang
tinggal di desa berbeda dengan orang atau masyarakat yang tinggal di kota, hal
itu karena dipengaruhi oleh fak-tor lingkungan alam dan lingkungan sosial.
Dalam
pandangan Islam lingkungan cenderung dapat berpengaruh dalam pembentukan akhlak
seseorang. Dalam perspektif hadis, setiap bayi yang lahir dalam keadaan fitrah,
bersih dan suci. Namun lingkungan yang terdekat akan sangat berpengaruh, yaitu
kedua orang tuanya, kalau orang tuanya dari kalangan kaum Yahudi, atau Nasrani,
atau Majusi, maka akhlak bayi yang dilahirkan akan terbentuk sesuai agama yang
dianut oleh orang tuanya atau bapak dan ibunya.
“Setiap manusia yang
dilahirkan ibunya di atas fit-rah. Kedua orang tuanya yang menjadikannya Ya-hudi,
Nasrani, atau Majusi”. (Muttaqun Alaih).
4. Faktor
Pendidikan
Faktor
pendidikan akan sangat berpengaruh terhadap pembentukan akhlak manusia. Menurut
pandangan Islam manusia lahir dalam keadaan fitrah atau suci.
Maknah
fitrah bagi seorang bayi yang baru
lahir, bu-kan berarti hanya suci dari segala kesalahan dan dosa, tetapi juga
fitrah dalam arti, manusia lahir tanpa di-sertai harta benda dan ilmu pengetahuan,
oleh ka-rena itu Islam mengajarkan bahwa ilmu pengeta- huan dan atau pendidikan
mempunyai peranan yang amat penting dalam pembentukan akhlak, dan pendi-dikan akhlak itu harus di bentuk sejak
manusia dila-hirkan.
Pendidikan akhlak yang paling fundamental dalam Islam
adalah akhlak rububiyyah atau akhlak kepada Allah dan Rasul-Nya, karenanya
setiap bayi yang la-hir, sesegera mungkin di azankan di telinga kanan-nya dan
di iqamatkan di telinga kirinya, hal ini adalah salah satu bentuk pendidikan
Islam yang diajarkan oleh Rasul saw.
Bahkan lebih jauh, Rasulullah saw mengajarkan agar mulai
dari hubungan biologis antara suami-istri hen-daklah diawali dengan berdoa
kepada Allah agar dia-nugrahi keturunan yang berakhlakulkarimah.
Dalam kehidupan modern, pendidikan sangat
berpe-ngaruh terhadap prilaku atau akhlak manusia, untuk itu pendidikan yang
cenderung sekuler akan sangat berbahaya bagi perilaku dan kehidupan manusia.
Karena itu, untuk membentuk dan mewujudkan ge-nerasi yang berakhlak mulia, maka
kunci dasarnya adalah pendidikan yang Islami, yaitu pendidikan yang didasarkan
pada nilai-nilai al-Qur’an dan hadis, ka-rena menurut pandangan Islam,
al-Qur’an dan hadis harus dijadikan prinsip dasar untuk mengukur, apa-kah sesuatu
itu baik atau buruk.
Gambar: 28
H. Macam-macam
Nafsu Menurut Islam
Prinsip dasar nafsu pada diri manusia ada dua ma-cam yaitu nafsu yang
mendorong manusia melakukan kebaikan, dan nafsu yang mendorong manusia melaku-kan
keburukan. Namun jika dilihat dari segi karakter si-fatnya para ulama membagi
nafsu manusia menjadi de-lapan macam yaitu:
a. Nafsu
Amarah
Prinsip dasar kata amarah sebenarnya sudah men-jadi bahasa Indonesia, amarah adalah salah satu naf-su yang
tercela. Ciri utamanya, yaitu adanya karak-ter
jiwa yang cenderung melanggar norma dan akh-lak karena hilangnya
kesadaran berpikir Islami.
Suatu ketika
seorang sahabat bertanya kepada Rasul tentang amalan apa yang mesti aku lakukan
(seba-gai syarat utama) agar aku kelak
menjadi penghuni surga? Rasulullah menjawab La>
Tagdhab, artinya jangan marah, sahabat itu tetap
bertanya (selain itu ya Rasulullah), tiga kali pertanyaan jawabannya sa-ma,
La> Tagdhab, sesudah tiga kali,
baru Rasul me-nyatakan amalan yang lain, dan
berbaktilah engkau kepada kedua orang tua. Riwayat ini menggambar-kan
bahwa tidak mungkin seseorang bisa berbuat baik dengan sempurna kepada kedua
orang tuanya, kalau ia selalu dikuasai oleh nafsu amarahnya.
b.
Nafsu Lawwamah
Nafsu Lawwamah juga nafsu yang tercela, ciri uta-manya adanya karakter jiwa yang
cenderung sera-kah, mudah melakukan kejahatan, namun sesudah manusia melakukan kejahatan
timbul penyesalan, tetapi rasa penyesalan itu tidak membuat dirinya jerah
melakukan kejahatan.
c.
Nafsu Musawwalah
Nafsu Musawwalah
juga tergolong nafsu yang ter-cela, ciri utamanya adanya karakter jiwa yang cen-derung
malu melakukan kejahatan kalau diketa-hui orang, karenanya ia dengan sadar
melakukan kejahatan dengan sembunyi-sembunyi.
d.
Nafsu Mutmainnah
Nafsu Mutmainnah adalah nafsu yang mulia, ciri
uatamanya adanya karakter jiwa yang cenderung untuk melakukan kebaikan dan
melarang berbuat kemungkaran, membuat jiwa tenang, damai dan melahirkan
perasaan Islami.
e.
Nafsu Malhamah
Nafsu Malhamah adalah nafsu mulia, ciri utamanya adanya
karakter jiwa yang merasakan adanya suatu ilham dari Allah, jiwa yang darinya melahirkan
sifat kesabaran, kesyukuran dan keuletan.
f.
Nafsu Radhiah
Nafsu Radhiah adalah nafsu yang
mendapatkan ri-dha Allah, ciri utamanya
adanya karakter jiwa yang berderajat
syukur sangat tinggi terhadap segala nik-mat yang dianugerahkan
kepadanya.
g.
Nafsu Mardhiah
Nafsu Mardhiah
adalah nafsu yang terlimpah keri-dhaan Allah swt, ciri utamanya adanya karakter jiwa yang penuh
dengan kemuliaan berupa kemu-rahan dan keikhlasan yang berderajat zikirpikir.
h.
Nafsu Kamilah
Nafsu Kamilah adalah nafsu yang dipandang me-miliki kesempurnaan, ciri
utamanya adanya karak-ter jiwa yang telah memperoleh ilmu-ilmu “La-Dunni”
dari Allah swt. Jiwa yang setiap saat telah siap kembali kehadirat Allah swt.
Apabila kita mencermati secara menyeluruh karak-ter atau sifat-sifat nafsu yang ada pada diri manusia terda-pat
delapan nafsu, lima jenis nafsu (Mutmainnah,
Malha-mah, Radhiah, Mardhiah dan Kamilah), harus tetap dipelihara
dan dikembangkan agar derajatnya semakin tinggi guna mencapai insan kamil. Kemudian tiga jenis nafsu (Amarah, Lawwamah,
Musawwalah), harus senan-tiasa dikendalikan agar tidak merusak hakikat
kemanu-siaan yang fitrah.
Dengan demikian, ada lima nafsu yang berpengaruh positif pada diri manusia, dan tiga nafsu
berpengaruh negatif. Untuk itu, aqidah mempunyai peran penting dalam kehidupan
manusia. Semakin baik aqidah sese-orang maka akan semakin cenderung untuk
berbuat kebaikan atau akhlak mahmudah, dan apabila aqidah seseorang rapuh, maka
akan semakin cenderung pada perbuatan yang buruk atau akhlak mazmumah.
Gambar: 28
DESKRIPSI MACAM-MACAM NAFSU
Karakter nafsu amarah, lawwamah dan musawwa-lah
senantiasa mendorong jiwa agar melakukan akhlak mazmumah (tercela), antara lain
seperti:
a.
Takabbur, adalah karakter yang cederung melupa-kan
kemahakuasaan Allah, sangat mengagungkan dirinya sendiri, identik dengan sifat
sombong.
b.
al-Hasad, adalah karakter yang cenderung bersifat iri dan
dengki terhadap kelebihan dan keberhasilan orang lain.
c.
Ana>niyah, adalah karakter yang cenderung serba dirinya, atau
sifat egoistis tidak memahami orang lain.
d.
al-Kadzbu,adalah sifat karakter yang cenderung pa-da tipudaya atau sifat dusta/bohong.
Sedangkan karakter nafsu Mutmainnah, Malhamah, Radhiah, Mardhiah dan
Kamilah senantiasa mendorong jiwa untuk melakukan akhlak mahmudah (terpuji), an-tara
lain seperti:
a. al-Amanah,
adalah karakter jiwa yang jujur,
dapat dipercaya untuk mengemban sesuatu amanah seke-cil apapun.
b. al-Shiddiq,
adalah karakter jiwa yang
senantiasa cinta kepada kebenaran sehingga berimplikasi per-kataan dan
perbuatan yang benar.
c. al-Shabr,
adalah sifat karakter jiwa yang senantiasa berlaku dan/atau
bersifat sabar dalam menghadapi ujian hidup.
d. al-Haya’,
adalah sifat karakter jiwa yang senantiasa mencintai rasa malu
kepada diri sendiri, malu ke-pada orang lain dan malu kepada Allah swt.
e. al-Tawadhu’,
adalah karakter jiwa yang
senantiasa bersifat rendah hati, bersih dari sifat sombong dan sangat
menghargai orang lain.
f.
al-Syajaah, adalah karakter jiwa yang bersifat be-rani dalam kebenaran dan takut berbuat kesalahan.
g. al-Qanaah,
adalah karakter jiwa yang
senantiasa merasa cukup sangat mensyukuri segala nikmat yang Allah berikan
kepadanya.
h. al-Ikhlas,
adalah karakter jiwa yang bersifat
tulus karena Allah swt, maka apapun yang dilakukan ti-dak menimbulkan beban yang memberatkan.
[1] Tim
Prima Pena, Kamus Ilmiah Populer,
Edesi Lengkap, (Su-rabaya: Gitamedia
Press, 2006), h. 18
[2] WJS, Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1985, hlm. 25.
[3] M. Syatroni, Ilmu Akhlak, Bandung: Lisan, 1987, hlm. 1.
[8] M. Syatori, op, cit, hlm. 1.
[10] Asbuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persa-da, 2009), hlm.
49-50.
[11] Lihat
Abdul Aziz, Al-Tauhid li al-Nasyi’ah wa al-Mubtadi’in, Arab Saudi: Wisarah yu’un
al-Islamiyah wa al-Awqaf wa al-Da’wah wa Irsyad, 1422H, hlm, 11-13.
[12] Abd. Rahman Assegaf, Studi Islam Kontekstual; Elaborasi Para-digma Baru Muslim Kaffah,
Yogyakarta: Gama Media, 2005, hlm. 171. Dalam hal ini Abd. Rahman Assegaf,
menyamakan antara akhlak dengan etika Islam.
[13] M.
Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam
Perspektif al-Qur’-an (Jakarta:
Amzah, 2007), h. 39.
[15] Loren
Bagus, Kamus Populer Filsafat,
(Jakarta: Gramedia Pus-taka Utama, 1996), h. 282.
[16] K.
Bertens, loc. cit.,
[17] Dick Hartoko, Kamus Populer Filsafat,(Jakarta: Rajawali,1986) cet.
Ke-1, h. 36.
[18] K.
Bertens, Etika, (Jkt: Gramedia
Pustaka Utama, 2002), h. 235.
[19] Bagus,
op.cit., h. 688
[20] Loren
Bagus, op. cit., h. 1158
[21] Sidi
Gazalba, op. cit., h. 38.
[22] Sidi
Gazalba, op.cit., h. 38.
[23] Robert
C. Solomon, op, cit., h. 137
[25] Lorens
Bagus, op. cit., h. 354-355
[26] Lorens
Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 8.
[27]
Abdul Azis Dahlan et.al (ed.)., Ensiklopedi
Hukum Islam, (Ja-karta: Ictiar Baru VanHoeve, 1997), Jilid I, hlm. 21.
[28] Hamzah Ya’kub, Etika Islam Pembinaan Akhlaqulkari-mah, Suatu Pengantar, (Bandung:
Diponegoro, 1996), h. 61
0 komentar:
Posting Komentar