Pages

Senin, 27 Januari 2014

Risalah Nabi saw


 
Peringatan maulid Nabi Besar Muhammad SAW dirayakan di mana-mana, khususnya dalam masyarakat Islam Nusantara. Semoga segala aktifitas tersebut menuai makna yang signifikan, bukan bagai kalimat dalam syair lagu melayu, ‘ibarat air di daun keladi’, atau bagai hembusan sang bayu, melainkan mempunyai dampak pada gerak maju dalam menapak kemajuan peradaban dan masyarakat Islam khususnya, serta peradaban dan masyarakat dunia serta bagi segenap alam seutuhnya (rahmatan lil ‘alamin). Nabi Besar Muhammad SAW lahir pada 12 Rabiul Awal tahun gajah. Menurut Muhammad Pasha, akhli ilmu falak Mesir masa itu bertepatan dengan 20/22 April 571 M. Masa itu dikenal sebagai masa jahiliyah. Masa jahiliyah merupakan masa di mana kemampuan manusia di berbagai bidang ilmu pengetahuan, seni, sosial, budaya, niaga, politik/kekuasaan tidak dibimbing oleh nurani dan iman yang lurus. Oleh sebab itu pada periode awal yang dibenahi terlebih dahulu adalah masalah aqidah. Ayat-ayat yang turun pada periode awal (Makkiyah) adalah yang berhubungan dengan keimanan, ancaman dan pahala serta pengajaran dan budi pekerti. Sering pula masyarakat jahiliah diartikan sebagai bodoh. Hanya saja bila jahiliyah diartikan bodoh, maka sesungguhnya dari mereka telah banyak yang menguasai bidang seni dan sastra, niaga (bisnis), sosial, kekuasaan, siasat perang, sudah terdapat diantara mereka yang mengembara menuntut ilmu hingga sampai ke Madain di Persia (Iran sekarang), rasulullah pernah bersabda ‘tuntutlah ilmu walau hingga ke negeri Cina’, jadi mobilitas masyarakat masa itu sudah cukup tinggi, hingga pula ke negeri Syam (di Siria, Libanon, Palestina sekarang), Yaman dan lain-lain. Persoalannya adalah nurani dan iman yang lurus yang tidak mereka miliki. Teringatlah penulis pada satu buku yang ditulis oleh salah seorang ulama besar yang berjudul ‘Jahiliyah Modern’. Ayat yang pertama kali turun adalah Iqra’, ‘bacalah’, tapi bila hanya sekedar membaca tak terbilang orang-orang kala itu yang telah pandai membaca, baik membaca dalam pengertian membaca atas tulisan ataupun dalam kemampuan membaca fenomena alam (ayat-ayat kauniyah). Namun kelanjutan firman Allah tersebut adalah ‘bacalah dengan menyebut nama Tuhan mu’, namun bila hanya sampai di situ maka sesungguhnya baik masyarakat Mekkah atau Arab pada umumnya, Persia, India dan lain-lain telah mengenal tuhan. Ingat akan latta, uzza, manata (tiga berhala terbesar) dan seterusnya bagi masyarakat Mekkah kala itu, bagi bangsa Persia menyembah akan api (majusi), masyarakat India atas segala yang luar biasa seperti sungai besar, pohon besar ataupun patung dan sebagainya. Melainkan Alah berfirman, ‘bacalah dengan nama Tuhan mu yang menciptakan’, jadi bukan tuhan yang diciptakan, baik yang diciptakan oleh sesama makhluk (khususnya manusia), seperti patung-patung dan sebagainya maupun yang diciptakan oleh Tuhan (Allah), seperti gunung-gunung, matahari, api dan sebagainaya. Pada masa itu pula kegelapan telah menyelimuti dunia seutuhnya. Negeri-negeri yang dahulu menguasai peradaban besar seperti Romawi, Yunani, Mesir, Persia, India, Cina telah terpuruk. Abad-abad itulah yang dikenal dalam sejarah sebagai abad pertengahan (middle ages), yang merupakan abad kegelapan. Fakta sejarah menunjukkan kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW telah menebarkan sinar pada dunia yang telah diselimuti kabut kegelapan, Islam telah mampu bergerak membawa peradaban yang cemerlang. Sayang pada masa kemudiannya sinar itu memudar, benarlah apa yang dikatakan salah seorang orientalis penulis buku ‘Humanisme Dalam Islam’, yang menyatakan bahwa kegagalan yang terjadi janganlah dinisbatkan pada Islam, melainkan hendaknya dinisbatkan pada ummat Islam, buya Hamka menulis buku berjudul ‘Sejarah Ummat Islam’ (4 jilid), beliau tidak menggunakan judul ‘Sejarah Islam’, sebab menurutnya banyak pula kedhaliman yang terjadi, misalnya kita buka sejarah pada tragedi di Padang Karbela, padahal itu bukan Islam, melainkan oleh sebab perilaku Ummat Islam. Islam telah menarik kearah fithrah, kebutuhan dasar manusia adalah tuntunan hati, pola interaksi serta pola aturan. Maka itu Islam telah meluruskannya atas aqidah, akhlak dan syaria’ah, yang ketiganya merupakan satu rangkaian kesatuan. Benarlah apa yang dinyatakan seorang orientalis yang bernama HAR Gib bahwa Islam bukan hanya sekedar sistem teologi, melainkan meliputi peradaban yang lengkap. Teringatlah pula akan kisah salah seorang jurnalis Austria yang bernama Leopard Weis (waktu itu), pada saat ia meliput berita di timur tengah, ternyata ia sempat mengamati perilaku ummat Islam di saat shalat, lalu ia bertanya pada salah seorang imam masjid, ia bertanya, ‘wahai tuan, mengapa orang Islam dalam menyembah Tuhan kok macam begitu, berdiri, membungkuk, berjongkok dan seterusnya, bukankah Tuhan maha tahu kendatipun yang ada dalam hati manusia?, mengapa mesti macam-macam?; sang imam masjid menjawab ‘wahai tuan, bila Tuhan menciptakan manusia terdiri dari jiwa dan raga, maka apakah salah bila manusia itu menyembah Tuhan dengan jiwa dan raganya pula? (illustrasi bebas dari penulis). Atas jawaban sang imam masjid tadi kemudian menjadi bahan renungan L. Weis, dan kemudiannya ia memeluk agama Islam dan merubah nama menjadi Muhammad Assad. Allah berfirman yang artinya ‘Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-redhai Islam itu jadi agama bagimu.(Q:5:3) AqidahAqidah merupakan sistem keyakinan. Sistem keyakinan disebut dengan iman. Pokok-pokok keyakinan dalam Islam merupakan rukun iman yang terangkum dalam enam perkara, yaitu iman kepada Allah, para Malaikat Nya, Kitab-kitab Nya, Nabi dan Rasul Nya, Hari Akhir serta takdir baik dan takdir buruk’. (riwayat Buhari dan Muslim).Aqidah merupakan roh, dari sinilah semua komponen ajaran agama Islam digerakkan, sebab bagaimana kita akan shalat, puasa, zakat, haji kalau iman kita kepada Allah, para malaikat Nya, kitab Nya, Nabi dan Rasulnya, hari akhir tidak ada?, bagaimana kita harus menjalani kehidupan kalau iman kita kepada qaha’ dan qadar Nya tidak ada?, dengan iman kepada takdir baik dan takdir buruk kita akan tahu tentang posisi kita, misalnya kita kaya, miskin, cobaan-cobaan yang menimpa kita dan lain-lain kita sandarkan kepada Allah SWT, sehingga kita terhindar dari kesombongan dan takabbur ataupun keputusasaan. Kita tidak akan mampu untuk menentukan nasib kita, la haula wa la kuwata illa billah. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim Rasulullah bersabda, ‘Sesunguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya dalam rakhim ibunya selama empat puluh hari berupanuthfah (sperma), kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah yang menggantung) selama itu pula, kemudian menjadi mudhghah (segumpal daging) selama itu pula, kemudian diutuslah Malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya dan menyampaikan empat perkara, yaitu menulis rizkinya, ajalnya, amal perbuatannya, akan menjadi orang sengsara atau bahagia’. Orang Jawa bilang ‘ilmu dapat ditiru, sedang nasib tak dapat ditiru’, orang Sumatera bilang ‘untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak’. Islam mengajarkan tauhid (monotheisme), la ilaha illallah; la tusyrik billah (Q:31:13), tidak boleh mempersekutukannya dengan siapa dan apapun juga, oleh sebab itu maka dosa syirik adalah merupakan dosa besar yang tidak terampunkan, ‘sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan sesuatu dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa selain dari syirik itu barang siapa dikehendaki-Nya, barang siapa mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya’ (Q:4:116). ‘Janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar’ (Q:31:13). AkhlakAkhlak adalah keelokan berperilaku dalam berinteraksi, baik dengan al-Khalik maupun dengan sesama mahluk. Rasulullah bersabda ‘sesungguhnya aku diutus adalah untuk menyempurnakan akhlak’. Contoh akhlak dengan sesama, menggunjing saja (ghibah) tidak boleh (ghibah adalah gossip yang benar adanya, tapi jika seandainya orang yang digossip itu mendengarnya maka ia tidak akan menyukainya. Sedang kalau tidak benar namanya fitnah), jangan berburuk sangka, tebarkan salam, senyum saja dapat pahala, bertolong-tolongan atas kebaikan dan takwa, jangan bertolong-tolongan atas dosa dan permusuhan. SyariahSecara termenologi istilah syariah telah diperdebatkan, ada yang hendak membedakannya dengan fiqh dan bahkan juga dengan hukum Islam. Namun dalam kesempatan ini tidak diulas, cukuplah kita gunakan kata syariah sebagai telah umum digunakan. Syariah merupakan system aturan dalam hubungannya dengan al-Halik maupun sesama makhluk dalam kerangka hukum atas dasar al-Qur’an dan Sunnah. Terdapat lima kategori hukum, yaitu wajib, haram, sunnah, mubah dan makruh. Bidang syariah ini pada perinsipnya dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu bidang ibadah dan muamalah. Bidang ibadah di sini dimaksudkan sebagai ibadah mahdhah, hubungan transedental, hubungan dengan Allah, bidang ritual. Sedang muamalah adalah merupakan hubungan sesama manusia ataupun dengan makhluk selainnya. Ibadah dalam pengertian luas (ghairu mahdhah) mempunyai pengertian segala perbuatan baik yang disandarkan kepada Allah SWT, segala perbuatan baik yang disandarkan pada Allah SWT ganjarannya adalah pahala. Adapun hukum dasar daripada ibadah mahdhah adalah haram, tidak boleh dikerjakan kecuali terdapat nash yang menentukan lain, seperti misalnya shalat maghrib tiga rakaat, itu telah ada ketentuan dalam nash, bila seandainya karena ingin banyak pahalanya ditambah menjadi 5 rakaat, maka haram hukumnya. Di sinilah letak ketentuan sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW, ‘Perkara terjelek adalah perkara yang baru, dan setiap ajaran yang baru itu bid’ah, dan setiap bid’ah itu adalah sesat; dan setiap yang sesat itu tempatnya dalam neraka’. Disabdakan pula oleh Rasulullah SAW, bahwasanya barangsiapa mengerjakan amal tanpa perintah kami, maka tertolak’. Adapun yang berkenaan dengan perkara muamalah hukum dasarnya adalah boleh, kecuali terdapat nash yang menentukan lain, misalnya seperti makan-minum, babi haram sebab terdapat nash yang nenentukan demikian, demikian juga minuman keras, judi dan lain-lain. Di sinilah konteks sabda Rasulullah SAW, ‘engkau lebih tahu tentang urusan duniamu’. Demikianlah sekedar kita pahami sebagian dasar ajaran Islam. Selanjutnya, untuk melengkapi pembicaraan ini, perlulah kiranya disinggung sedikit perihal problema yang dihadapi di negeri-negeri muslim atau dunia ke-tiga pada umumnya (developing country). Rata-rata negeri-negeri dunia ke-tiga baru mulai eksis pada memasuki paruh (pertengahan) abad XX, yaitu setelah mampu melepaskan diri dari alam keterjajahan, itupun dengan harus mengalami berbagai rintangan baik dari dalam maupun luar, dari segala bidang, baik itu bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahan maupun keamanan, problema sumber daya manusia yang harus membina dari titik nol koma, merajut mereka dari tingkat buta huruf yang amat luas, kesiapan mentalitas dari segala kejutan dalam menerima berbagai pengaruh alam luar yang telah terlebih dahulu melangkah maju, belum lagi problema infra struktur dan lain-lain, kuatnya berbagai tekanan dari bebagai kepentingan. Pertarungan ideologi di negeri-negeri muslim belum juga menjumpai titik temu. Duania pendidikan pada umumnya diyakini sebagai sarana untuk mendongkrak dengan signifikan untuk melakukan ekslarasi kearah kemajuan, pendidikan dipahami sebagai kata kunci. Dunia barat telah banyak menyumbangkan bea siswa (scholarship) untuk di berbagai bidang ilmu pengetahuan, dengan demikian bisalah dipahami bila telah terjadi sinergi yang signifikan (mutual-simbiosis) antara pola pikir timur dan pola pikir barat, antara Islam (agamis) dan barat (sekuler) pada kaum terpelajar muslim, dan mereka merupakan agen pembaharuan pemikiran yang bermuara pula pada aksi (gerakan) baik akademik, sosial, maupun penentu kebijakan. Sementara dunia Islam seperti Timur Tengah, Brunai dan sebagainya, bagaimana sumbangsihnya pada bidang ini?. Menarik pula untuk kita tilik sebuah buku yang ditulis oleh Amir Syakib Arselan yang berjudul ‘Limadza ta’kharal Muslimun wa Limadza takaddama ghairuhum’. Bagaimana sikap masyarakat dunia ketiga (dhi baca: Islam) di perantauan, khususnya di negara-negara maju?, menarik untuk mengingat dan mengambil manfaat dari pesan Deng Sio Ping yang mengandung falsafah tinggi itu kepada masyarakat Cina perantauan yang intinya yaitu hendaknya menjadi sebagai jembatan penghubung; lita’arafu, untuk merajut kemajuan bersama.

Kissah Nabi Ibrahim as

Kisah Nabi Ibrahim as Khalilullah dan Malaikat Jibril

2 CommentsPosted by Jookut dkk on May 4, 2010(Sumber: Imam Ahmad Ibnu Nizar, “Nabi Sulaiman dan Burung Hudhud”, Yogyakarta: DIVA Press, Cet. I, Mei 2009, hal. 32-36)

Nabi Ibrahim adalah putra seorang penyembah dan pembuat berhala sampai akhir hayatnya, Azar namanya. Sang putra itu sendiri tidak mampu memberi pertolongan dan meluruskan akidah si ayah yang dicintainya. Ironisnya, Nabi Ibrahim merupakan Bapak Tauhid melalui berbagai eksperimen yang ditunjukkan Allah, sebagaimana beliau pernah mencincang beberapa burung, kemudian ditanya kepada Allah bagaimana cara menghidupkan mereka. Di lain kesempatan, secara berani beliau menghancurkan berhala Namrudz, simbol kekuasaan rezim tiran; penyebab ia dibakar dalam gejolak api, sehingga Jibril as menyempatkan diri untuk berusaha menolongnya, namun apa jawab beliau, “Dia telah mengetahui kesemuanya, Anda tidak perlu bersusah payah menolongku!”Pernah pula, suatu saat ia diperintahkan Allah, “Islamlah kau wahai Ibrahim.” Lalu, dengan spontan beliau menjawab, “Aku serahkan sepenuhnya diri ini dalam kekuasaan Rabbil ‘alamin.”Dia adalah figur yang pernah diperlihatkan kepadanya kebesaran kerajaan langit dan bumi, sehingga mengetahui apa-apa yang terkandung dalam keduanya secara hakiki. Ia dikagumi oleh seluruh pengikut agama samawi, baik Yahudi, Nasrani, ataupun Islam sendiri, hingga nama beliau banyak disandang oleh para penganut agama-agama ini, bahkan hingga sekarang. Beliau pula yang telah meninggalkan ama jariah yang tidak akan terputus pahalanya sampai hari kiamat, yakni Ka’bah. Apalagi, sebagian besar amal-amal haji juga meneladani perilaku beliau sekeluarga. Betapa layak jika beliau mendapat gelar Khalilullah (kekasih Allah).Pada permulaannya, gelar spektakuler itu dicurigai oleh para malaikat sebagai predikat karbitan, sehingga mereka menanyakan sendiri kepada Allah, “Wahai Tuhan, bagaimana mungkin Ibrahim itu mendapat gelar yang begitu terhormat, padahal dia masih sering berkutat dengan anak, istri, serta harta keduniaan yang kebanyakan sebagai penghalang paling besar dalam mengabdi kepada-Mu?” begitu protes para malaikat.“Kalian jangan memandang seseorang dari lahiriahnya saja, hendaklah kalian meneliti hatinya. Kendati Ibrahim bergelimabng dnegan anak dan istrinya, namun ia itu merupakan figur yang tidak pernah membagi cintanya terhadap-Ku. Kalau tidak percaya, coba saja kau uji dia baik-baik!” begitu jawab Allah.Beliau merupakan seorang hartawan, memiliki 12.000 anjing penjaga domba. Kita tinggal membayangkan berapa ekor domba yang harus diawasi oleh setiap anjing. Setiap anjing itu diberi kalung emas sebagai amtsal (perumpamaan) bahwa duniawi itu seperti barang najis yang tidak akan layak diberikan kecuali pada mereka yang najis pula. Untuk memeriksa kawanan dombanya itu, beliau cukup naik ke sebuah bukit seraya memandang kawanan dombanya itu, hanya begitu cara menghitungnya.Pada suatu hari, Jibril as pun berangkat untuk menguji kedalaman tauhid Nabi Ibrahim dengan menyamar sebagai manusia biasa. Setelah berjumpa, Jibril pun berkata, “Wahai Nabiyullah, milik siapakah kawanan domba yang sangat banyak itu?”“Itu semua milik Allah, hanya saja saat ini aku diberi mandat untuk mengurusnya,” begitu jawab Nabi Ibrahim.Bisakah engkau bershadaqah padaku seekor saja,” selidik Jibril.“Sebutlah nama Allah dan engkau bisa mengambil sepertiga kawanan itu,” jawab Nabi Ibrahim.Lantas Jibril as mengatakan, “Subbuh quddus rabbuna wa rabbul malaikati war ruh (Maha Suci Allah, Tuhan kita, Tuhan para malaikat, dan Tuhan Jibril).”Sejenak kemudian, Nabi Ibrahim menyuruh Jibril lagi, “Sebutlah sekali lagi asma Allah dan kau bisa mengambil separuhnya.”Jibril pun menyebut asma Allah lagi dan menerima porsi sesuai yang telah dikatakan Nabi Ibrahim.Lagi-lagi, Nabi Ibrahim berkata, “Sebutlah asma Allah sekali lagi, dan kau bisa mengambil seluruh kawanan domba itu beserta penggembalanya dan seluruh anjing penjaganya.”Jibril pun menyebut asma Allah lagi. Anehnya, Nabi Ibrahim masih berkata lagi, “Sebutlah asma Allah sekali lagi, aku dapat engkau jadikan sebagai budakmu.”Demi melihat sendiri keteguhan Nabi Ibrahim ini, Jibril betul-betul terpana, sehingga Allah memanggilnya, “Wahai Jibril, bagaimana dia menghadapi ujianmu?”“Dia memang betul-betul kekasih-Mu, wahai Tuhan,” jawab Jibril.Setelah semuanya berakhir, Nabi Ibrahim lantas memanggil seluruh penggembala dombanya, lalu ia berkata, “Wahai para penggembala, pergilah kalian dengan membawa domba-domba itu mengikuti orang ini sebagai pemilik barunya, hari ini aku sudah tidak memiliki domba lagi, dan kalian sendiri menjadi milik orang ini.”Terperanjatlah Jibril mendengarnya. Maka, segera saja dia berujar, “Wahai Nabiyullah, saya tidak membutuhkan semua itu, kedatanganku hanya untuk mengujimu, untuk mengetahui sebatas mana ketinggian martabatmu di sisi Allah. Aku sendiri adalah Jibril.”“Aku sebagai khalilullah pantang mengambil kembali apa yang telah aku berikan pada orang lain,” begitu tegas Nabi Ibrahim.Dijawab demikian, Jibril menjadi kebingungan, sehingga Allah menengahi persoalan itu dengan jalan agar domba-domba itu dijual saja seluruhnya kemudian dibelikan tanah sebagai wakaf yang ditanami berbagai jenis buah-buahan dan bahan makanan yang dapat dipetik siapa saja yang membutuhkan sampai hari kiamat.———————————————————————————————————————————Imam Ali ditanya: “Ya Imam, zakat berarti memberikan seberapa persen dari apa? Apa aturannya dalam hukum Islam?” Imam Ali menjawab: “Dalam pandangan mereka yang kikir, ia berarti memberikan seperempat puluh. Tetapi, dalam pandangan kita, ia berarti memberikan segala sesuatu.”