URGENSI INSTRUMEN DAKWAH
Macam-macam
Instrumen Dakwah
Instrumen
dalam konteks dakwah dapat diartikan sebagai sarana atau alat pendukung dakwah.
Karena melalui instrumen yang signifikan dan tepat, segalanya diharapkan dapat
berjalan lebih efektif sesuai dengan yang diharapkan. Terlebih bila yang
menggunakan instrumen itu tergolong profesional. Tak hayal kalau ada adagium
dalam manajemen yang popular menyatakan “the man behind the gun”, bahwa
keme-nangan atau kekalahan suatu pertempuran ditentukan oleh “orang yang berada
di balik senjata” itu. Menurut Imam Munawwir, instrument dakwah bagi
seorang da’i ibarat senjata, apabila
seorang da’i itu mampu menggunakan instrumen sesuai dengan sasaran dan pasaran,
maka dakwah akan cenderung efektif dan berhasil[1].
Macam-Macam Instrumen Dakwah
Instrumen atau alat dakwah menurut Imam Munawwir, secara
umum diklasifikasi dalam 5(lima) kategori, yaitu:
A.
Instrumen Lisan,
B.
Instrumen Amalan,
C.
Instrumen Lukisan,
D.
Instrumen Audio visual dan
E.
Instrumen Tulisan,
A. Instrumen Lisan
Salah
satu instrument dakwah yang masih eksis dan efektif adalah melalui lisan atau
yang lebih popular disebut dakwah bi
al-lisa>n. Melalui lisan dapat dilakukan kontak komuni-kasi dalam
bentuk diskusi, orasi (pidato), presentasi, memberikan informasi, nasihat (taushiyah), debat, bertukar pikiran,
seminar, memanfaat kan majlis bahtsul masail, majlis fatwa, majlis
ta’lim dan lain-lainnya. Namun, kesemuanya harus mampu menyesuaikan dengan
situasi dan kondisi yang ada, baik kemampuan ilmu pengetahuan, hingga budaya dan gaya bahasa. Lihat QS. Ibrahi>m: 4:
!$tBur $uZù=yör& `ÏB @Aqߧ wÎ) Èb$|¡Î=Î/ ¾ÏmÏBöqs% úÎiüt7ãÏ9 öNçlm; ( @ÅÒãsù ª!$# `tB âä!$t±o Ïôgtur `tB âä!$t±o 4 uqèdur âÍyèø9$# ÞOÅ3ysø9$# ÇÍÈ
Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan
dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada
mereka. Maka Allah menyesatkan siapa
yang dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang dia kehendaki dan
Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana[2].
Karena dakwah
melalui lisan hingga kini paling banyak digunakan, maka uraian bagaimana
seharusnya dilakukan melalui lisan, kaifiat (cara-cara) apa yang paling
efektif, sehingga menjadi mudah diterima oleh pihak sasaran, di sini isi dan
porsi uraian tentang dakwah melalui lisan lebih banyak.
Gambar : 5
DISKRIPSI INSTRUMEN DAKWAH
Gambar : 6
DESKRIPSI TAHAPAN MENGANALISIS
OBYEK
DAKWAH[3]
Analilsis dalam deskripsi di atas penting
dilakukan, agar dakwah bi al-lisan tidak salah arah, tepat dalam proses adaptasi obyek dakwah. Analisis
yang cakap terhadap obyek dakwah atau khalayak akan memberi informasi yang
sangat penting.
1.
Informasi
pertama akan membantu kita memahami keadaan dan sikap khalayak yang berhubungan
dengan posisi kita.
2.
Informasi
kedua akan membantu meningkatkan tingkat pengharapan kita untuk mencapai
perubahan pada khalayak sebagai hasil komunikasi kita dengan mereka.
Menurut Dr. Jalaluddin Rakhmat, membuat persiapan pidato itu sangat
penting, sama pentingnya dengan membuat persiapan ceramah keagamaan. Salah satu
kementar beliau yang amat menarik dikemukakan,.. Ketika pengumpulan pendapat
(poll) dilakukan di antara 400 Profesor retorika di perguruan-perguruan tinggi
Amerika Serikat, 2 buah pidato dinyatakan sebagai pidato yang paling terkenal
di Amarika. Satu di antaranya adalah pidato Gettisburg, tanggal 19
Nopember 1863. Pembicara utama pada peringatan itu adalah Edward Everett.
Rektor Harvard dan Gubernur Massachusets. Semula peringatan akan
dilaksanakan pada tanggal 23 Oktober 1863, tetapi Everett minta agar
ditangguhkan waktu hampir satu bulan untuk membuat persiapan. Dimintanya satu
copy pidato Everett. Berhari-hari ia memikirkan pidatonya. Di tempat mana saja
waktu terluang digunakannya untuk menyusun pidato. Ditulisnya rancangan pidato
itu pada kertas buram dan disimpannya dalam topi sutranya. Ketika arak-arakan
di Gettisburg berjalan, Lincoln masih tampak merenungkan pidatonya.
Bagi Lincoln, pepatah latin yang
berbunyi qui ascendit sine labore,
descendit sine honore artinya,
mereka yang naik tanpa kelelahan, akan turun tanpa kehormatan. Hal itu bukan
sekedar kata mutiara. Pidato yang baik harus didahului dengan persiapan yang
matang. Karenanya langkah-langkah membuat persiapan ceramah sangat penting
dikemukakan.[4]
Persiapan Ceramah Menurut Jenisnya
Berdasarkan model
persiapan ceramah dapat dibedakan menjadi 4(empat) jenis yaitu:
1.
Impromtu
2.
Manuskrip
3.
Memoriter
4.
Ekstempore
1. Impromtu, adalah ceramah yang sifatnya mendadak tanpa persiapan, jadi
kalaupun ada, persiapannya bersifat spontan dan sebentar sekali. Misalnya anda
sedang menghadiri sebuah pesta, tiba-tiba anda diminta untuk menyampaikan ceramah
(biasanya sebagai kehormatan tersendiri bagi anda dan kebanggaan tersendiri
bagi hadirin). Ceramah seperti ini disebut ceramah Impromtu, ceramah
yang waktu persiapannya sangat sebentar sehingga menuntut banyak improvisasi
dalam penyampaian.
Untuk para dai yang
masih pemula, cara impromtu ini sebaiknya dihindari. Karena besar kemungkinan
cara ini bisa mengakibatkan demam panggung (karena merasa kurang atau tidak
siap); ceramah jadi terbata-bata hingga bisa juga sampai kacau. Lain halnya
bagi mereka yang sudah pengalaman (senior), cara impromtu ini biasanya membawa
berkah tersendiri. Kalaupun cara ini bukan atas keinginan dai itu sendiri,
melainkan karena permintaan mendadak, namun ia bisa juga membawa berbagai
keuntungan. Pertama, ceramah impromtu lebih orisinal dalam arti lebih dapat
mengungkapkan perasaan penceramah yang sebenar-nya, karena ia tidak bisa
memikirkan terlebih hulu materi yang disampaikannya. Dan kedua, materi
ceramahnya bisa jadi lebih segar dan hidup sesuai dengan situasi yang dihadapi,
karena muncul secara spontan.
2. Manuskrip, ini adalah ceramah dengan persiapan makalah. Jadi ceramah anda berusaha dulu
membuat makalah yang baik, dan sewaktu menyampaikannya, anda akan berpatokan
pada makalah yang telah dipersiapkan itu.
Tapi bagi dai yang sudah
berpengalaman, terkadang makalah tidak terlalu dijadikan pegangan ketika
mempre-sentasikan ceramahnya. Meski makalah itu sudah dibuat sedemikian matang,
namun dalam penyampaiannya ia lebih menekankan pada improvisasi sesuai dengan
tantangan situasi dan kondisi. Hal ini mengingat bahasa lisan (penyampaian
ceramah), bagaimanapun memiliki perbedaan dengan bahasa tulisan seperti
makalah.
3.
Memoriter, pesan ceramah jenis ini ditulis kemudian diingat kata perkata. Jadi cara persiapannya
adalah dengan mengingat
kata demi kata. Kelebihan cara ini memungkinkan pemilihan ungkapan yang lebih
tepat, susunan materi yang rapi, gerak dan isyarat yang disesuaikan dengan laju
uraian. Tapi karena pesan sudah tetap, maka kekakuan terhadapnya dapat
mengakibatkan kurang terjalinnya kontak antara pesan dengan pendengar, kurang
langsung, serta tidak leluasa berimprovisasi sesuai dengan tantangan yang ada
(misalnya celetukan orang yang sebenarnya perlu disambar dengan sesuatu yang
pas dan lucu, adanya yang ngantuk dan sebagainya), bahkan perhatian bisa beralih
dari makna kata-kata kepada usaha mengingat-ingat. Bahaya terbesar timbul bila
satu kata atau lebih hilang dari ingatan.
Cara ini biasanya
digunakan untuk latihan dai-dai cilik yang dilatih sebagai calon dai. Karena
mereka sebenarnya belum punya pendapat atau pendirian yang matang, mengenai
berbagai masalah atau ajaran agama, maka jalan yang termudah buat mereka adalah
dengan jalan menghafal materi yang sudah diberikan. Pelatih para dai kecil ini
boleh jadi sekaligus merangkap jadi pemberi materi.
Kalau kita
nonton Pildacil belakangan di Lativi, segera tampak bahwa ceramah para
da’i-da’i itu antara lain lewat latihan menghafal. Ini misalnya terlihat antara
lain dari materi-materi dan dari segi umur, tidak mungkin dilontarkan anak
sekecil mereka, seperti tentang tawuran di DPR, tawuran mahasiswa, kritik atas
berbagai masalah sosial dan seterusnya.
4.
Ekstempore, adalah jenis ceramah yang paling baik
dan paling
sering dilakukan oleh da’i
yang mahir. caranya, ceramah sudah dipersiapkan sebelumnya berupa out-line (garis besar) dan pokok-pokok penunjang
bahasan (supporting points).
Tetapi penceramah tidak
beruasaha mengingatnya kata demi kata. Out-line
itu hanya merupakan pedoman untuk mengatur (memetakan) gagasan yang ada dalam
pikiran kita. Keuntungan ekstempore ini ialah komunikasi pendengar dengan
penceramah lebih baik karena pence-ramah berbicara langsung kepada pendengar,
pesan dapat fleksibel untuk diubah sesuai dengan kebutuhan dan penyajiannya
lebih spontan.
Gambar : 7
DISKRIPSI JENIS-JENIS PERSIAPAN DAKWAH
Ragam Model Dakwah
Ragam model
dakwah atau ceramah bervariasi, dan masing-masing model biasanya menuntut cara
persiapan yang berbeda, mengingat tantangan dan situasi atau forum dari
masing-masing yang berbeda
pula. Model ceramah di kampus biasanya menuntut persiapan makalah dan
penyajiannya bahkan dilengkapi dengan tampilan power point, demikian
juga ceramah di seminar-seminar keagamaan yang lazimnya diadakan di hotel-hotel
bergensi atau kelas-kelas eksekutif. Sedangkan
ceramah-ceramah di masjid atau pada majlis taklim lebih lazim dengan model bi
al-lisan. Masalah penting dalam dakwah atau ceramah yang tidak boleh
diabaikan adalah memeilih topik dan tujuan.
Memilih Topik, Judul dan Tujuan
Memilih topik dan menentukan tujuan adalah hal yang
penting, bahkan merupakan sesuatu yang inti karena tanpa persiapan ini ceramah bisa jadi ngawur, dan
menjemukan pendengar.
Sebelum ceramah, kita harus mengetahui terlebih dahulu
ide apa yang akan kita sampaikan dan perilaku yang bagaimana kita harapkan dari
pendengar. Dengan kata lain, kita memerlukan pokok bahasan (topik) dan tujuan
yang jelas, karena topik dan tujuan ada hubungan yang signifikan. Tujuan sering
memerlukan pemilihan topik, misalnya kita sebagai dai merasa lingkungan sekitar
kurang memiliki minat yang besar untuk salat berjamaah ke masjid dan
mendengarkan kultum.
Sebagai contoh, ketika kita diundang ceramah, kita ingin
agar ceramah yang kita sajikan bisa mendorong atau membang- kitkan minat-minat
tersebut. Maka kalau kita sudah punya keinginan atau tujuan yang sudah jelas
seperti ini, biasanya topik segera bisa dirumuskan, dan selanjutnya kita cari
topik yang kira-kira paling berpengaruh terhadap dampak yang kita inginkan,
oleh karena itu penting kita cari bahan-bahan materi yang paling relevan
untuk itu.
Syarat-syarat Topik yang Baik
1. Topik harus sesuai dengan disiplin pengetahuan dai
Topik yang baik adalah topik yang memberikan kemungkinan
subyek dakwah lebih tahu dari pendengar (obyek dakwah), artinya kita lebih ahli
dari pendengar. Atau kalau tidak demikian, minimal kita harus betul-betul yakin
dengan pengetahuan kita sendiri.
Bagaimana kalau kita diminta ceramah dengan topik yang
kita rasa di luar kemampuan kita, atau sesuatu yang baru bagi kita? Dalam hal
ini perlu pertimbangkan apakah dengan waktu persiapan yang disediakan kita
mampu mempelajari topik itu sehingga kita bisa menjadi ahli “dadakan”.
Bila terpaksa, dan sangat diharap dan didesak, sebaiknya anggap ini sebagai
tantangan positif dan segera kita mulai memacu diri. Sebaliknya, bila tidak
terlalu didesak apalagi waktu persiapan pun kita rasakan tidak cukup, sebaiknya
harapan itu kita tolak.
2. Topik harus
berdasarkan interes da’i yang kuat
Topik yang paling baik dibicarakan adalah topik yang menyentuh emosi anda. Dengan kata lain
topik yang merupakan concern atau inti keprihatinan anda sendiri.
Misalnya, kita sudah lama memendam rasa prihatin yang sangat dalam atas nasib
orang-orang papa dan anak yatim yang banyak terlunta-lunta. Tahu-tahu suatu
saat kita diminta ceramah dengan topik yang barkaitan dengan mereka, maka concern
lama kita ini otomatis akan merupakan pendorong yang membuat pembicaraan kita
jadi lancar.
3. Topik harus
menarik interes atau minat pendengar
Selain menarik
minat sendiri, topik harus menarik minat pendengan atau hadirin. Atau minimal
kita yakin, bahwa kita bisa membuat mereka tertarik. Misalnya kita merasa ada
topik yang sangat dibutuhkan oleh
masyarakat sekitar. Tapi kita tidak yakin mereka akan tertarik. Maka sebagai
dai kita harus yakin bisa membuat mereka jadi tertarik.
4. Topik harus
jelas batasan pembahasannya
Topik tidak
boleh terlalu luas karena dikhawatirkan akan ngawur, kesana kemari pada masalah
yang banyak sehingga pendengar tidak bisa menangkap inti pembicaraan kita.
5. Topik harus
disesuaikan dengan waktu dan majlisnya
Waktu dan forum atau majelis apa harus
menjadi pertim-bangan penting dalam berceramah. Misalnya, topik untuk
khutbah pernikahan tentunya sangat berbeda dengan topik pada ceramah
khitanan, atau dengan ceramah manasik haji, dan sebagainya.
Setidaknya
dari 5 kriteria topik ceramah yang telah diuaraikan di atas dapat
disimpulkan:
a.
Topik harus benar-benar dikuasai dan merupakan
kepriha-tinan (concern) penceramah.
b.
Topik harus disesuaikan dengan minat (interest)
pendengar dan tantangan situasi, serta
harus jelas lingkup bahasannya.
Judul sangat diperlukan terutama untuk jenis ceramah
manuskrip atau yang memakai makalah. Judul sangat erat kaitan-nya dengan topik
yang baru dibicarakan. Bila topik adalah pokok bahasan yang akan diulas, maka
judul adalah sebuah nama yang diberikan untuk pokok-pokok bahasan yang akan
diulas itu. Seringkali judul perlu dikemukakan terlebih dahulu kepada pendengar
dalam pengantar atau mukaddimah, atau minimal dalam makalah sudah dapat terbaca
lebih awal oleh pembaca, karena itu harus dibuat sedemikian menarik dan
singkat.
Menurut Jalaluddin Rahmat, judul harus memenuhi tiga
syarat: relevan, provokatif, dan singkat. Relevan artinya ada
hubungannya dengan pokok-pokok bahasan. Provokatif artinya dapat menimbulkan
hasrat ingin tahu dan antusiasme para hadirin atau pendengar. Pemahaman singkat
berarti mudah ditangkap atau dimengerti maksudnya, atau ungkapannya pendek dan
mudah diingatnya[6].
Gambar : 8
DISKRIPSI TOPIK YANG BAIK
Menentukan
Tujuan
Tujuan
ceramah biasanya dibedakan dalam dua macam, yakni tujuan umum dan tujuan
khusus. Setiap ceramah boleh jadi memiliki satu di antara tiga tujuan ini:
memberikan (informasi), mempengaruhi
(persuasif), dan menghibur (rekreatif). Dengan demikian ceramah boleh
jadi dimaksudkan untuk memberi informasi, atau untuk memberikan hiburan[7].
Tentu
masing-masing tujuan ini tidak ketat atau hitam putih betul. Dalam
kenyataannya, tidak ada ceramah yang semata-mata informative, sepenuhnya
persuasive atau murni rekreatif. Ceramah yang apa pun tentu saja tetap
mengandung unsur persuasi atau informasi. Sebaliknya ceramah yang khikmad dan
cukup serius pun, biasanya tetap saja memerlukan hiburan atau inter-mezzo. Jadi
kita pergunakan tujuan umum ini untuk menunjukkan tujuan utama atau tekanan
bahasa saja. Setiap ceramah mempunyai tekanan pada tujuan tertentu. Ceramah
dikalangan pelawak atau remaja, jelas harus cukup banyak tekanan hiburannya.
Sementara untuk mimbar khutbah tekanannya pada persuasi.
Tujuan khusus
adalah tujuan konkret yang dapat dijabarkan dari tujuan umum. Tujuan khusus
biasanya berupa target yang konkret dan dapat diukur dengan segera. Dalam
merumuskan tujuan, kita perlu memperhatikan kemampuan jamaah untuk memenuhi
tujuan harapan kita, sikap atau persepsi mereka, situasi ceramah, dan yang
penting adalah target dan batas waktu yang tersedia.
Bagi da’i senior yang banyak
berpengalaman, sebenarnya praktik menentukan tujuan tidak dilakukan dengan cara
dituliskan di atas, karena mereke sudah cukup membayangkannya dalam otak ketika
akan dan atau sedang menyusun materi ceramah. Adapun penulisan disini hanya
sebagai bahan latihan.
Tahap
Penyusunan Materi
Pernahkah anda mendengar seseorang
berceramah dengan begitu memukau dan mengalir, sehingga tanpa terasa hadirin
pun tak bosan-bosannya mendengarkan? Bahkan ketika ia bertanya apakah
ceramahnya sudah perlu diakhiri? Serentak mereka menjawab, “jangan, jangan
teruskan!”
Seperti halnya sebuah sinetron, ceramah
yang baik bisa menghanyutkan. Salah satu rahasianya terletak pada alur
(susunan) materi yang demikian lancar, mengalir bagaikan bak air
mengha-nyutkan.
Syarat-Syarat
Susunan Materi yang Lancar
1.
Menyatu-padu (unity)
2.
Bertautan (coherence)
3.
Adanya penekanan (empasis)
1.
Menysatu-Padu (unity). Ibarat satu
tubuh, susunan materi yang menyatu-padu merupakan kesatuan yang tak dapat
ceraiberaikan. Seluruh materi begitu menyatu-padu sehingga kompak laksana satu
tubuh. Satu bagian melengkapi bagian lainnya. Dan hilangnya satu bagian bisa
menyebabkan rusaknya atau tidak lengkapnya bentuk keseluruhan. Agar sebuah
materi menyatu-padu, haruslah ia merupakan kesatuan dalam tiga aspek sekaligus,
yaitu kesatuan dalam isi, tujuan dan sifat (mood).
Dalam isi, harus ada gagasan
tunggal yang mendominasi seluruh uraian, yang merupakan pokok pembicaraan yang
mendominasi seluruh uraian, yang merupakan pokok pembi-caraan yang mendomonasi
seluruh pembicaraan. Gagasan tunggal tercermin dalam judul atau topik ceramah.
Misalnya ada ceramah topiknya tentang Nikmatnya Silatu ar-Rahim, berarti
materi tentang nikmat atau pentingnya memelihara silaturahim tersebut mulai
dari yang serius sampai yang kocak akan mendominasi seluruh uraian. Pokok
pembicaraan akan difokuskan pada mengungkap-kan secara memikat dan penuh imbuan
betapa pentingnya memelihara silaturahim tersebut.
Sepanjang ceramah, kesatuan
dalam isi (materi) atau topik ini benar-benar harus dijaga. Tanpa topik yang
tegas, ceramah akan terasa buyar dan ngawur, tidak jelas apa yang sedang
dibicarakan. Misalnya dalam ceramah Nimatnya Bersila-turahim itu,
tiba-tiba sang penceramah berbelok menerangkan musibah, maka topik
silaturahim itu akan terasa buyar.
Susunan materi juga harus
mamiliki satu macam tujuan saja. Tujuan ceramah tak lain adalah untuk “menggelitik”,
menyentuh hati, atau menghimbau orang untuk beramal. Jadi tujuan
utamanya adalah persuasi. Karena itu, semua bahan materi harus dicocokkan
dengan tujuan utama ini. Kira-kira rumusan pokoknya: Materi apa yang paling
punya daya sentuh (persuasi) terhadap pendengar sesuai dengan situasi mereka,
materi itulah yang dijadikan pokok bahan. Materi untuk persuasi tentu yang
paling berpengaruh adalah bahan-bahan dari sumber agama (al-Qur’an dan hadis
dan seterusnya), tapi karena ini terlalu luas jadi kita harus pilih sesuai
dengan kebutuhan situasi pendengar tadi.
Karena
tujuan utamanya persuasi, maka unsur-unsur lainnya kita tempatkan sebagai
penopang atau senjata saja. Unsur lain itu misalnya, unsur hiburan, informasi
(pengajaran kognisi), keaktualan, dan seterusnya.
Tujuan persuasi ini perlu
ditekankan karena akan menen-tukan pemilihan bahan, pemilihan kata, gaya
bahasa, informasi suara dan seterusnya. Bersama dengan kesatuan isi (topik),
kesatuan jujuan ini akan menggerakkan susunan materi menjadi alur yang kompak
dan lancar.
Kesatuan juga harus tampak
pada sifat/gaya penyampaian (mood). Gaya itu bisa formal, informal,
serius sejuk, dan sebagainya. Kalau ceramah misalnya tujuannya persuasi,
maka suasana, performa penceramah, gaya bahasa, intonasi suara, dan gaya-gaya
penyampaian lainnya harus disesuaikan dengan tujuan ini. Misalnya gaya
bahasanya cukup akrab dan cair (tidak terlalu kaku dan resmi), informasi yang
sejuk dan berwibawa, performa yang religius pula. Ini lain lagi misalnya dengan
khotbah, dimana suasa khidmat dan khusuk menjalankan ibadah jumat sangat
mendominasi, sehingga tidak ada celah dan tidak sepantasnya memberikan unsur
hiburan. Tapi agak sedikit lain dengan khotbah nikah, karena ada sedikit celah
untuk memberikan hiburan segar.
Kesimpulannya, materi
bisa disebut menyatu padu, bila ketiga aspek materi itu, yakni topik tujuan dan
mood, sama-sama kompak menyatu padu dan saling bahu membahu dalam memenuhi
tujuan dan target yang telah kita tetapkan.
2.
Pertautan (koherensi); Syarat kedua supaya materi kita lancar
adalah adanya pertautan. Yakni setiap bahagian bertaut dan berkaitan satu sama
lain secara seirama. Bertaut sedemikian rupa sehingga menyebabkan perpindahan
dari satu bagian (gagasan) ke bagian lainnya berjalan lancar.
Kalau kita renungkan,
sebenarnya syarat menyatu padu (syarat pertama) sudah dengan sendirinya
mencakup pula syarat pertautan. Karena tidak mungkin susunan materi bisa
menyatu padu tanpa adanya pertautan ini dijadikan syarat kedua.
3.
Perlu adanya penekanan (empasis)
Penekanan
dalam dakwah bi al-lisan yang
dimaksud mencakup penekanan pada
tema sentral sesuai dengan tujuan pokok dakwah, karena setiap kegiatan dakwah
selalu didasari dengan dua tujuan, yaitu umum dan tujuan pokok. Ketika obyek
dakwah adalah kelompok yang cenderung kurang rukun antara satu dengan lainnya,
maka penekanannya adalah bagaimana pentingnya membangun silaturahim, dan tentu
silaturahim adalah tema sentral, misalnya “Indahnya kebersamaan atau
silaturahim”.
Gambar : 9
DISKRIPSI SYARAT-SYARAT SUSUNAN
MATERI DAKWAH YANG LANCAR
Pentingnya Menggayakan Pesan
Pesan agar dapat menimbulkan kesan
dapat juga dilakukan melalui lisan atau tulisan. Gaya lisan biasanya lebih
berulang-ulang, lebih pleonastis dan tepat. Para pembicara atau pemberi
taushiyah diingatkan untuk “mengatakan kepada mereka apa yang akan dikatakan,
katakan kepada mereka dan katakan apa yang telah dikatakan kepada mereka”. Para
pembicara membuat pengu-langan untuk meyakinkan bahwa para penyimak mengikuti
dan memahami pesan.
Contoh yang pernah dilakukan Rasulullah
saw, “Pada tanggal 9 Zul Hijjah tahun 10 Hijriyah, berlakulah suatu peristiwa
yang dapat diibaratkan sebagai satu peristiwa “timbang terima” antar
Rasul, pembawa risalah dengan umat yang menerima amanat dakwah, yakni pada
musim ibadah haji, yang untuk terakhir kali disertai melakukannya oleh
Rasulullah saw yang terkenal dengan nama “Hujjatul Wada” (Haji Wada’).
Dimulailah dengan memanggil perhatian
umat yang banyak, lalau dibayangkannya, bahwa mungkin hanya satu kali itulah
lagi beliau akan berjumpa denga mereka di padang Arafah. Dengan kata
pembukaannya, “Wahai manusia! Dengarlah kata saya, agar aku terangkan,
sesungguhnya saya tak tahu, barangkali saya tak akan bertemu lagi dengan kalian
sesudah tahunku ini, di tempat perhentian ini untuk selama-lamanya!”
Dalam kontak rasa dan jiwa semacam itu,
Rasulullah saw membangunkan perhatisn dan pikiran yang hadir, dengan beberapa
pertanyaan rethorik (istifham taqriri) yang diulang tiga kali
berturut-turut, sehingga berlakulah tanya jawab, serta menyahut antara
Rasulullah saw yang berkhutbah secara dialogis, dengan umat yang mendengarkan
secara halus dan mengesankan.
Dialog di atas adalah salah satu contoh,
bahwa dakwah melalui lisan dapat dilakukan dengan bentuk diulang-ulang agar
dapat memperkuat komitmen, sedangkan bila melalui tulisan, hal semacam itu
tidaklah mungkin.
Gaya dakwah lisan juga lebih personal.
Pada saat kita sedang berbicara (berdakwah), kita harus melihat khalayak,
mempertahankan kontak mata dengan mereka. Ketika kita berdakwah dengan lisan,
kita dapat menggunakan banyak referensi personal (misalnya: saya, mushalla
kita, jama’ah kita). Sebaliknya, pada komunikasi tulisan kita cenderung banyak
menggunakan kata ganti yang tidak mengarah kepada orang tertentu (kata ganti
ia).
Pesan Perlu Digayakan
Pesan yang digayakan dapat memperoleh
perhatian yang lebih besar, memudahkan pemahaman, menarik dan mempertahan-kan
minat khalayak. Pesan yang digayakan dapat mempertinggi pengertian dan
pemahaman, juga membantu pengingatan suatu pesan, meningkatkan daya tarik
persuasif suatu pesan.
Macam-macam Gaya dalam Pesan Dakwah
(a) Gaya Inversi, yaitu memutar balikkan susunan kata-kata yang normal dari suatu frase
atau kalimat. Misalnya: “Pada waktu shalat subuh, hanya beberapa gelintir orang
yang mendatangi masjid”. Diputar balikkan menjadi: Hanya beberapa
gelintir orang yang mendatangi masjid pada waktu shalat subuh. Di sini
penekanan yang penting, harus didengar dan diketahui adalah “hanya beberapa
gelintir orang”.
(b) Gaya Repetisi, yaitu seorang pembicara memberi taushiyah dengan
mengulang-ulang kata-kata yang dianggap penting. Tujuannya adalah untuk
mengingat-ingat serta penekanan. Contohnya, seperti yang dilakukan oleh
Rasulullah pada waktu haji wada’ dengan kata-kata: ”Tahukah kalian…
sampai tiga kali. Dengan mengulang-ulang kata, yang diamksudkan dapat meresap
dalam hati untuk kemudian dihayati.
(c) Gaya iterasi, yaitu seorang motivator, da’i yang orator
menggunakan bunyi (biasanya konsonan awal) yang sama atau lebih kata atau suku
kata yang berdekatan untuk menimbulkan efek yang menyolok atau tidak umum.
Misalnya: kaya omelan, tetapi miskin amalan, banyak pengakuan, tetapi sedikit
kelakuan, kaya harapan, tetapi miskin garapan, kaya cita-cita tetapi miskin
realita, pandai mengejek, tetapi tidak pandai mengajak, janjinya meyakinkan,
kenyataannya menyakitkan.
(d) Gaya Personifikasi, yakni menghubungkan kualitas manusia dengan benda-benda mati. Sebagai
misal: kehadiran dia pada forum pembahsan ini hampir tidak ada gunanya, karena “adanya
dengan tidak adanya sama saja”(wujuduhu ka’adamihi), hatinya keras bagai
batu. Atau contoh lain “Dirinya tak jauh bedanya dengan boneka, atau ibarat
wayang, dimana gerak dan langkahnya ditentukan oleh sang dalang”. Kualitas
kebenarannya tak jauh bedanya dengan itik, dihalau orang ke hilir dan ke mudik.
Hanya dengan aba-aba sepotong kayu, ia sudah lari terbirit-birit menelusuri
parit.
(e) Gaya Metafora, yakni
membuat perbandingan yang tersirat. Al-Qur’an juga banyak menggunakan gaya
metafora, sebagai missal QS. al-A’raf:179.
ôs)s9ur
$tRù&us
zO¨YygyfÏ9 #ZÏW2 ÆÏiB
Çd`Ågø:$#
ħRM}$#ur
(
öNçlm; Ò>qè=è%
w cqßgs)øÿt
$pkÍ5
öNçlm;ur ×ûãüôãr& w tbrçÅÇö7ã
$pkÍ5
öNçlm;ur ×b#s#uä w tbqãèuKó¡o
!$pkÍ5 4
y7Í´¯»s9'ré& ÉO»yè÷RF{$%x.
ö@t/ öNèd @|Êr& 4
y7Í´¯»s9'ré& ãNèd cqè=Ïÿ»tóø9$#
Dan
sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka jahannam) kebanyakan dari jin dan
manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu
sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka itulah
orang-orang yang lalai,.[8]
(f) Gaya Suspensi,
ialah merupakan kata-kata yang dipandang penting yang diletakkan pada akhir
ceramah atau khutbah sebagai kata kunci, agar mudah diingat-ingat.. sebagai
misal: seorang khatib mengakhiri khutbahnya dengan ucapan “Barang siapa yang
hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka termasuk orang yang beruntung”.
Atau juga guna memotivasi
agar memberi kesan yang baik terhadap lingkungan sekitar dalam perjalanan
hidupnya, meng-gunakan pesan:
“Wahai putera Adam, disaat ibumu
melahirkan kamu menangis, sedangkan orang-orang disekitarmu semua
tertawa kegirangan.
Maka jadilah kebalikannya
nanti, ketika mereka
menangis
di saat menjelang kematianmu,
engkau tersenyum kegirangan”.
Di smaping itu, gaya lisan biasanya
juga lebih personal. Pada saat
kita sedang menjadi pembicara, kita harus melihat khalayak, mempertahankan
kontak dengan mereka.
Dalam dakwah lisan, beraneka ragam
bentuknya. Pada akhir-akhir ini berkembang dalam bentuk seminar, diskusi,
bahtsul masail, pertemuan terbatas atau bersifat khususi. Secara garis besar
dapat ditarik perbedaan antara retorika (pidato biasa) dengan yang bersifat khususi
atau berbentuk presentasi.
Gambar : 10
DISKRIPSI MACAM-MACAM GAYA DAKWAH
Syarat-syarat
Pesan
Dakwah Agar Komunikatif dan Orientatif
1.
Pesan
dakwah yang disampaikan harus jelas.
Pesan dakwah harus dapat dipahami, menarik perhatian serta mampu
meyakinkan pihak obyek dakwah. Pesan yang kacau, tidak ada arah tujuan yang
jelas, tenntu tidak akan mampu membuat orang lain puas. Meski komunikator
tersebut memiliki kehebatan dalam berkomunikasi, ahli dalam bahasa, juga fasih
dalam ucapannya, akan tetapi bila pesan yang disampaikan sulit diambil
kesimpulan, tentu tidak akan membawa pengaruh dan perubahan.
2.
Memahami
adanya tingkatan-tingkatan pendengar.
Diantara
mereka ada kalangan akademisi, praktisi, politisi, orang awam, ilmuan,
usahawan, penguasa, pengusaha, muallaf, proletar, orang terlantar, orang
dewasa, anak kecil serta tingkatan-tingkatan sosial lainnya. Ketika kita
berbicara ataupun berkhotbah, harus melihat latar belakang pendengar, baik
sosial, budaya maupun keilmuan.
3.
Penggunaan
ungkapan dan istilah yang sesuai.
Jangan
menggunakan bahasa slang (yakni bahsa tidak resmi dan tidak baku digunakan oleh
kelompok soaial tertentu untuk komonitas intern yang hanya dimengerti oleh
anggota kelompok tersebut) seperti yang digunakan oleh para spesialis dalam
bidang tertentu ketika berbicara di depan publik. Jangan menggunakan
istilah-istilah ilmiah yang tidak di pahami oleh mayoritas orang dan jangan
menggunakan ungkapan-ungkapan atau kalimat-kalimat asing.
4.
Hendaklah
menggunakan unsur waktu.
Tujuannya
agar menjadi jelas antara inti dan isi dengan waktu yang tersedia. Jangan
terlalu panjang dan jangan pula terlalu cepat sehingga membosankan pendengar
(jama’ah). Hal ini penting bagi siapa saja yang menyampaikan ceramah, tausyiah,
khotbah, mau’idlatil hasanah, persentase makalah dan lain sebagainya.
5.
Gunakanlah
contoh, kisah dan peristiwa.
Hal
ini juga menambah pengaruh, tingkat keyakinan dan kenikmatan. Cara yang paling
mudah adalah dengan menyiapkan buku catatan kecil dan catatan
kejadian-kejadian, kisah-kisah. Bila memungkinkan, juga data statisti untuk masyarakat ilmiah.
6.
Aturlah
intonasi, suara dan gerak tubuh.
Hal
ini juga merupakn perpaduan antara pesan yang bersifat verbal dan non verbal.
Bagaimana menggambarkan sikap yang penuh semangat dan bagaimana pula
menggam-barkan suasana yang sedih dan penuh duka, antara nada tinggi dengan
nada rendah, juga suasana yang penuh haru. Bagaiamana cara yang baik untuk
menggerakkan tangan dan tubuh, bagaimana berdiri tegak, bagaimana maju ke depan
dan mundur ke belakang pada beberapa bagian ketika kita berbicara. Sesungguhnya
kemampuan kita dalam menggunakan suara dan menggerakkan tubuh melalui cara yang
paling efektif akan memperkuat kemampuan berkomunikasi.
7.
Berilah
kesempatan hadirin untuk menanggapi.
Hal
ini dimaksudkan sebagai sikap toleran, lapang dada, agar tidak terkesan
mendominasi pembicaraan, menghormati orang lain memiliki saran dan buah
pikiran. Untuk kesempatan kita diam guna
mendengarkan respons, agar terjadi komunikasi timbal balik (feed back).
Terhadap hadirin (jamaah) yang bersikap emosional, lebih baik dihadapi dengan
sikap diam. Hal ini pernah dilakukan oleh Rasulullah saw ketika mengumpulkan
keluarganya dalam jamuan makan kemudian diajak masuk Islam. Belum sampai
Rasulullah saw menyampaikan pesannya, Abu Lahab langsung berdiri, berbicara
membabi buta, penuh emosi-onal. Hal ini ditanggapi oleh Rasulullah saw. Beliau
memilih diam, karena diam itu hikmah.
8.
Hilangkan
kesan mimik negatif pada lawan pendapat.
Bagi
individu yang bersifat lapang dada, maka lawan pendapat selalu dipandang
sebagai kawan berfikir. Karena itu setuju berbeda pendapat (agree in disagreement) adalah
sikap yang lapang dada, walau sebenarnya anda ingin menentangnya serta tidak
menyetujuinya. Malahan Rasulullah saw juga memberi motivasi, bahwa “perbedaan pendapat
umatku adalah rahmat” (ikhtila>fu
ummati> rahmatun).
Mulailah dengan ungkapan dan ucapan terima kasih, menampakkan rasa simpati dan
sikap positif serta terbuka terhadap perbedaan pendapat (QS.
Az Zuma>r: 18).
Kesemuanya itu adalah faktor-faktor yang dapat menghancurkan pertentangan orang lain dan
subyektivitas mereka.
9.
Selingilah
humor positif konstruktif.
Humor
memang perlu guna menghilangkan ketegangan. Namun, haruslah humor yang terkait
dengan inti dan isi pembicaraan. Bahkan, bisa menambah dan merubah situasi
antipati menjadi simpati. Akan tetapi, humor yang tidak ada hubungannya dengan
isi dan inti pembicaraan, seringkali menambah kekaburan akan tujuan komunikasi
dan pesan. Para pendengar atau jamaah malah menjadi tidak dapat megambil
kesimpulan. Bahkan yang diingat-ingat bukanlah inti dan isi pesan, akan tetapi
humornya.
Menurut penulis, dalam
penyajian dakwah memang perlu diselipkan hal-hal yang sifatnya humoris, namun
sebaiknya penyelingan humor tidak berlebihan (over), dan harus
dihindari membuat humor yang menjurus kesubtansi yang bersifat forno.
Meski kita telah
menempuh berbagai cara untuk menghadapi jamaah yang bermacam-macam daya tangkap
serta kelas sosialnya, hal itu belumlah cukup. Pendengar (mustami’)
sebelum atau setelah menerima informasi, memberikan tanggapan atau anggapan
melalui berbagai sikap.
Gambar : 11
DESKRIPSI SYARAT-SYARAT PESAN AGAR KOMUNIKATIF DAN
ORIENTATIF
Tanggapan itu ada kalanya positif, ada kalanya netral, ada yang
negatif dan ada pula yang masa bodoh (acuh). Untuk itu, mereka perlu
diyakinkan. Guna meyakinkan, ada beberapa jalan yang perlu ditempuh.
(a) Pendengar
yang memberi tanggapan positif
Meski telah menanggapi secara positif, perlu diberi kunci yang berfungsi
sebagai penegas (tarjih), pengingat (tanbih) dan motivasi.
Kadangkala ketika seseorang mendengar taushiyah, ceramah, presentasi yang penuh
semangat, ia menanggapi positif dan tertarik. Akan tetapi, setelah berkumpul
dengan orang lain, semanagatnya menjadi lemah. Bila tidak diberi pengingat (tanbih), maka semangat atau respon
positif itu akan melemah.
Bebrapa pilihan adalah sebagai berikut:
1) Sampaikan pengalaman-pengalaman hidup
yang realistis (nyata). Hal itu untuk menghindari penjelasan-penjelasan yanag
bersifat khayal (abstrak).
2) Data-data baru yang akurat perlu
disampaikan untuk memperkuat keterangan sebelumnya sehingga lebih meyakinkan
pendengar.
3) Memberi pancingan-pancingan terhadap
hadirin atau pendengar agar bersikap proaktif, sehingga menyampaikan
pertanyaan-pertanyaan.
(b) Pendengar yang belum menentukan sikap
Sikap antara menerima dan menolak (syak), bila tidak mampu untuk
meyakinkannya, tentu akan cenderung untuk menolaknya. Mereka memang tidak
langsung gegabah emosional untuk menerima dan menolaknya, akan tetapi
mendiskusikan terlebih dahulu. Untuk itu perlu dilakukan langkah-langkah:
1) Kita harus mampu membuktikan kebenaran
(al-khaq) serta kredibilitas bukti-bukti yang telah disampaikan.
2) Agar keragu-raguan menjadi hilang, maka
pendengar harus diberi kesempatan untuk melakukan tanya jawab.
3) Metode-metode yang kita gunakan dalam
proses pengambilan keputusan memang perlu kita jelaskan, juga logika atau jalan
pikiran yang kita gunakan.
4) Dalil dalil, sumber-sumber rujukan, dan
pendapat para ulama sebagai penguat jangan sedikit pun terlupakan, karena
pendengar perlu sumber-sumber informasi lainnya.
(c) Pendengar yang berseberangan jalan pikiran
Hendaklah disadari, bahwa situasi dan
kondisi pendengar adalah majemuk. Mereka terdiri dari latar belakang sosial
yang berbeda-beda, lebih-lebih lagi motif mereka untuk menghadiri majlis
mubahsah. Ada yang hanya ingin menguji, sejauh mana kemampuan penguasaan
materi yang dimiliki oleh da’i. ada juga yang sengaja datang untuk
menentang mewakili kelompok opposant
(pembangkang), lantaran mereka merasa memiliki ide yang lebih matang. Dalm
menghadapi kondisi semacam ini harus diwaspadai. Pengertian “mujadalah bi’ al-lati hiya ahsan”
(berdebat dengan cara yang lebih baik) QS. An Nahl: 125, bukanlah melalui
cara saling membela dan menyerang pendapat orang lain, akan tetapi dengan cara
yang lebih santun dan terpuji, sebagai misal: melakukan umpan balik (feed back). Lebih-lebih yang berlaku
dalam dunia modern sekarang ini. Oleh karena itu perlu diperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
1) Jangan terjebak perbedaan paham (ikhtilaf)
yang berlarut-larut, sehingga menyita energi dan waktu.
2) Jadilah orang yang terbuka menerima
pendapat dari mana pun datangnya, tetapi bersikap selektif.
3) Menghindar sementara waktu titik-titik
rawan yang menimbulkan pertentangan.
4) Anggaplah bahwa lawan pendapat adalah
kawan berfikir sehingga kita menjadi orang yang tampak menghargai pendapat
orang lain.
5) Dalam menyampaikan hujjah (argumen) jangan terlalu
berlebih-lebihan. Hal ini bisa memancing emosional dari pihak yang kurang
senang.
6) Gunakanlah gaya yang bersemangat, akan
tetapi tetap ramah.
B. Instrumen
Amalan
Di samping pihak da’i harus mampu
menunjukkan dirinya seimbang antara pengakuan dengan kelakuan, antara omelan dengan
amalan sehingga dapat dipakai sebagai teladan, tetapi juga harus mampu
menunjukkan contoh-contoh, amal perbuatan yang sudah dibuktikan oleh kalangan
ummat Islam. Lebih-lebih lagi yang dilakukan oleh diri sendiri.
Bagi
orang awam, dalil atau hujjah-hujjah yang terlalu panjang dan bertele-tele
kuranglah perlu, sebab mereka tidak ingin berlarut-larut mencurahkan serta
mengerahkan akal pikiran, akan tetapi akan lebih senang bagaimana hal itu harus
dilakukan melalui cara yang mudah, tanpa banyak hujjah, lebih-lebih lagi bila
ada contohnya.
Kata-kata hikmah atau makalah yang
populer mengisyratkan bahwa “tindak-tanduk perbuatan dengan amalan yang nyata,
lebih menyentuh ketimbang sekedar kata-kata “(lisanu’l hal afshahu min
lisani’l maqal). Maksudnya, pihak sasaran akan mudah tunduk atau
takluk bukan melalui kata-kata, akan tetapi lebih mengesan dengan perbuatan
yang nyata.
Bagi orang awam tidak akan tertarik bagi
mereka yang hanya bertitik tolak pada banyak argumen, janji untuk mengikuti,
akan tetapi tidak ada bukti. Manakala bukti berbentuk karya nyata tidak
dimiliki, maka keragu-raguan pun timbul. Bila keragu-raguan timbul, adalah
nihil dan mustahil untuk mengikuti.
Alkisah, langkah pertama yang dilakukan
oleh Rasulullah saw sesampainya di Madinah, malah sebelum masuk kota, adalah
mendirikan masjid di Quba’, masjid yang didirikan pertama di zaman Islam. Tanpa
banyak bicara dan komentar, beliau lalu berhenti di tempat itu, beliau pun
mulai bekerja untuk membangun masjid.
Diriwayatkan oleh seorang sahabat, Syamsud
binti Nu’man yang turut hadir di waktu itu; Aku melihat Rasulullah saw
waktu beliau baru sampai beliau turun dan berhenti. Lalu beliau mempe-lopori
para sahabat mendirikan masjid. Kulihat beliau mengangkat batu besar. Begitu
besarnya, beliau terhuyung-huyung lantaran beratnya.
Salah seorang sahabat datang dan berkata:
Ya Rasulullah, biarkanlah,.. serahkan kepadaku mengangkatnya! Rasulullah
menjawab: “ Tidak!, ambil saja batu
lain yang seperti itu”
Demikian Rasulullah saw bekerja sama
dengan para sahabat Muhajirin, hingga masjid Quba’ selesai. Dalam
pekerjaan-pekerjaan yang penting atau dalam suasana yang genting, seperti dalam
mendirikan masjid Quba’ dan masjid Madinah, ataupun sewaktu membuat parit
pertahanan (perang Ahzab) Rasulullah banyak menggunakan “lisanu’l hal”,
bahasa contoh perbuatan yang nyata dan amat fasih. Bahasa yang dipaki oleh
lisanu’l hal memang tidak berbunyi “Kamu harus kerjakan ini dan itu”, tetapi
bahasanya tanpa terdengar bunyinya berkata ”Mari sama-sama mengerjakan ini, dan
aku mulai !”
Bahasa lisanu’l hal memang besar
sekali pengaruhnya, sehingga ada seorang sahabat ada yang menggugah satu saja,
kemudian dilakukannya.
“Betapa kita hendak menganggur Sedangkan rasul
asyik bekerja Sungguhlah itu perbuatan sesat yang menyesatkan diri sendiri.”
C. Instrumen Lukisan
Tidak semua amaliah agama dapat dijelaskan melalui
lisan ataupun tulisan. Lebih-lebih lagi kepada anak kecil yang belum memahami
tulisan. Karena itu perlu dijelaskan atau ditunjukkan memakai gambar atau lukisan.
Misalnya: bagaimana orang melakukan shalat, wudlu, haji, gambar-gambar atau
foto tentang daerah kemiskinan, lingkungan dampak industri, pemuda korban
narkotika, siphilis dan lain-lainnya.
Sentuhan hati seseorang tidak semuanya
dapat dilakukan melalui lisan, ada kalanya juga memakai lukisan. Lebih-lebih
lagi bagi mereka yang memiliki jiwa seni lukis. Mereka ingin menghayati suatu
melalui gambar atau lukisan, bukan pesan-pesan yang disampaikan melalui bahasa
yang bernada puitis, atau juga melalui tulisan yang dipandang terlalu memakan
pikiran. Mereka ingin yang praktis serta mudah diterapkan. Urut-urutan suatu
aktivitas akan lebih mudah disampaikan melalui lukisan atau pembuatan sketsa,
ketimbang melalui lisan.
D. Audio
Visual
Dakwah perlu dilakukan melalui alat bantu
multimedia, seperti: audio visual. Lebih-lebih lagi bagi
orang banyak yang mengalami kesibukan, mereka tidak sempat untuk mendengarkan
pengajian, ceramah, ikut dalam majlis bahtsul masail, akan tetapi hatinya ingin
mengikuti. Mereka tak ingin ketinggalan melihat perkembangan, juga dalam
penguasaan agama dan juga ilmu pengetahuan.
Dengan menggunakan alat berupa audio,
seperti radio, tape recorder tak perlu mendatangi tempat dakwah tersebut yang
biasanya terkesan harus berpenampilan formal. Hal itu bisa dilakukan di kamar,
di mobil atau sambil melayani pembeli di mall maupun pasar, juga di tempat yang
jauh dari keramaian agar dapat melakukan penghayatan. Pendek kata sesuka hati,
asal bisa dihayati.
Demikian juga dakwah dengan menggunakan alat
audio visual seperti media televisi jangkauannya jauh lebih luas ke segala
penjuru dan lapisan masyarakat, tanpa pandang agama, suku maupun golongan.
Bahkan belakangan ini, hampir semua rumah, memiliki televisi.
Tentu saja materi yang disampaikan harus
selektif, demikian juga metode penyampaian. Bila dipersiapkan secara matang,
beren-cana dan berbobot, pengaruhnya amat besar. Sebaliknya kalau hanya sekedar
tampil serta tidak terampil, tentu akan dapat membawa pengaruh serta citra yang
jelek. Kejelekan itu tentu akan membawa citra dan pengaruh berikutnya.
E. Instrumen Tulisan
Pada zaman, dimana seseorang penuh
kesibukan, dakwah melalui tulisan menduduki posisi strategis. Mulai dari bentuk
selebaran, surat menyurat, SMS, facebook, internet, brosur, pamplet, bulletin,
majalah, koran, buku, dari tulisan yang sederhana hingga yang paling sempurna,
kesemuanya amat diperlukan.
Melalui tulisan, segala isi bisa disimak,
diperhatikan kata demi kata, kalimat demi kalimat, diulang-ulang, apalagi bila
sumber datanya kuat dan akurat. Kesemuanya bisa dinikmati dan dihayati. Tulisan
yang mampu menyentuh hati pembaca, akan membawa pembaca larut dalam perenungan
dan penghayatan, sehingga akan melahirkan dan meng-alirkan tindakan.
Tetapi tidak semua orang mampu menuangkan
ide-ide, gagasan, saran dan buah pikiran melalui tulisan, karena bahasa tulisan
terkesan lebih formal, ringkas, padat berisi dan mampu mempengaruhi pada
pembaca untuk bersikap atau berbuat, sehingga melahirkan dan mengalirkan
perubahan menuju kondisi yang lebih baik.
Guna mencapai tingkat dan derajat
tertentu, manusia memang harus melalui proses, sebab sukses tanpa proses hanya
akan menimbulkan ekses. Dalam menjalani proses itupun juga memerlukan keahlian
(skill), sehingga tidak membuang-buang waktu, yakni sejak dari: listening
and hearing (mendengar
dan mendengarkan), reading (membaca), observation (mengamati), writing (menulis), hingga speaking (berbicara) kesemuanya
diperlukan dalam dakwah.
Agar
pembicaraan, pesan dakwah menjadi berbobot, baik dalam hal “qaulan ma’rufa”,
perkataan baik yang biasanya ditujukan kepada anak yatim, “qaulan balligha”, perkataan berbekas,
biasanya ditujukan kepada orang munafik, “qaulan
kari>ma” perkataan
mulia, biasanya ditujkan kepada orang tua, diperlukan sumber referensi yang
berkualitas pula. Karena itu seorang da’i yang berkualitas, harus memliki
kemampuan mendengarkan (istima’),membaca, mengamati, menulis hingga
kemampuan menyam- paikan pesan dakwah.
Di
samping tiga qaulan di atas, juga dikenal dalam al-Qur’an: qaulan
tsaqi>la”perkataan yang berat, berbobot,
berkualitas. Perkataan berat adalah perktaan yang ringan dalam ucapan, akan
tetapi berat dalam makna serta nilai guna, berat dalam memberi pengaruh dan
manfaat, memberi dampak yang sangat luar biasa pada orang yang mendengar.
Itulah yang dilakukan oleh Rasulullah saw terhadap para sahabat.
Ketika
Rasulullah berbicara tentang surga, maka dapat membuat para sahabat yang
mendengarkan berlomba-lomba untuk masuk ke dalam surga. Mereka bersedia mati
hari itu juga karena mereka ingin mendapatkan surga. Tetapi ketika Rasulullah
berbicara tentang mereka, maka dapat membuat sahabat menangis. Karena mereka
teringat dosa-dosa mereka. Apakah itu dosa yang kecil, maupun dosa yang besar.
Sedemikian powerfull-nya,
sedemikian kuat impact yang diberikan Rasulullah kepada mereka. Itulah
yang disebut “qaulan tsaqi>lan” perkataan yang berat, “tsaqi>lan
fi’l miza>n” berat dalam timbangan.
Metode
Pendekatan dalam Dakwah
Kemajemukan kondisi masyarakat yang
menjadi sasaran dakwah, dengan latar belakang perbedaan pendidikan, sosial,
budaya, ekonomi, politik dan lain-lainnya harus didekati dengan cara yang
berbeda-beda. Bukan dengan gaya yang monoton, akan tetapi harus sesuai dengan
kondisi serta tingkat berpikirnya (‘ala qadri ‘uqulihim).
Sentuhan-sentuhan kata dakwah memang beragam, sesuai dengan situasi dan kondisi
mereka.
Secara
garis besar, metode pendekatan itu dapat dibedakan menjadi empat macam:
1.
Informatif
2.
Persuasif
3.
Transformatif
4.
Konfrontatif
Tidak semua kelompok atau masyarakat
mudah begitu saja menerima suatu keyakinan, ide, gagasan, saran maupun buah
pikiran. Mereka perlu waktu untuk berfikir, mempertimbangkan tentang risalah
dakwah yang disampaikan. Kadangkala untuk langsung menerima keyakinan, ide,
saran ataupun buah pikiran seringkali dilandasi oleh gengsi dan harga diri,
lebih-lebih berhadapan dengan kedudukan, keturunan, tradisi yang diwarisi
secara kurun demi kurun hingga turun temurun.
Pengalaman Rasulullah saw dalam
mengumpulkan keluarga dengan cara melakukan makan bersama sambil menyampaikan
risalah dakwah, malah mendapat tantangan berat dari pamannya sendiri, yakni Abu
Lahab. Namun, beliau tidak putus asa, masih banyak jalan untuk mencapainya.
Pada pertemuan kedua, beliau menunjukkan, bahwa beliau benar-benar utusan Allah
(Rasulullah).
Gambar : 12
DESKRIPSI METODE PENDEKATAN
DALAM DAKWAH
[1]Lihat Imam Munawwir, op.cit., h. 246.
[2]Depertemen Agama RI, op.cit., h. 345.
[3]Lihat Imam Munawir, op.cit., h. 247.
[4]Lihat Toto Tasmara, Komunikasi
Dakwah, (Jakarta: CV Gaya Media Pratama, 1997), h. 40.
[5]Topik adalah pokok bahasan, pokok
kajian, pokok pikiran, pokok pembicaraan. Lihat Kamus Ilmiah Populer Edisi
lengkap Referensi Ilmiah Ideologi, Politik, Hukum, Ekonomi, Sosial, Budaya dan
Sains, Cet. Ke
1 (Surabaya, 2006), h. 473.
[6]Lihat Jalaluddin
Rahmat, dalam Toto Tasmara, op.cit., 34
[8]Lihat Deparetemen
Agama RI, op.cit., 233.
BAB II
URGENSI INSTRUMEN DAKWAH
Macam-macam
Instrumen Dakwah
Instrumen
dalam konteks dakwah dapat diartikan sebagai sarana atau alat pendukung dakwah.
Karena melalui instrumen yang signifikan dan tepat, segalanya diharapkan dapat
berjalan lebih efektif sesuai dengan yang diharapkan. Terlebih bila yang
menggunakan instrumen itu tergolong profesional. Tak hayal kalau ada adagium
dalam manajemen yang popular menyatakan “the man behind the gun”, bahwa
keme-nangan atau kekalahan suatu pertempuran ditentukan oleh “orang yang berada
di balik senjata” itu. Menurut Imam Munawwir, instrument dakwah bagi
seorang da’i ibarat senjata, apabila
seorang da’i itu mampu menggunakan instrumen sesuai dengan sasaran dan pasaran,
maka dakwah akan cenderung efektif dan berhasil[1].
Macam-Macam Instrumen Dakwah
Instrumen atau alat dakwah menurut Imam Munawwir, secara
umum diklasifikasi dalam 5(lima) kategori, yaitu:
A.
Instrumen Lisan,
B.
Instrumen Amalan,
C.
Instrumen Lukisan,
D.
Instrumen Audio visual dan
E.
Instrumen Tulisan,
A. Instrumen Lisan
Salah
satu instrument dakwah yang masih eksis dan efektif adalah melalui lisan atau
yang lebih popular disebut dakwah bi
al-lisa>n. Melalui lisan dapat dilakukan kontak komuni-kasi dalam
bentuk diskusi, orasi (pidato), presentasi, memberikan informasi, nasihat (taushiyah), debat, bertukar pikiran,
seminar, memanfaat kan majlis bahtsul masail, majlis fatwa, majlis
ta’lim dan lain-lainnya. Namun, kesemuanya harus mampu menyesuaikan dengan
situasi dan kondisi yang ada, baik kemampuan ilmu pengetahuan, hingga budaya dan gaya bahasa. Lihat QS. Ibrahi>m: 4:
!$tBur $uZù=yör& `ÏB @Aqߧ wÎ) Èb$|¡Î=Î/ ¾ÏmÏBöqs% úÎiüt7ãÏ9 öNçlm; ( @ÅÒãsù ª!$# `tB âä!$t±o Ïôgtur `tB âä!$t±o 4 uqèdur âÍyèø9$# ÞOÅ3ysø9$# ÇÍÈ
Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan
dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada
mereka. Maka Allah menyesatkan siapa
yang dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang dia kehendaki dan
Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana[2].
Karena dakwah
melalui lisan hingga kini paling banyak digunakan, maka uraian bagaimana
seharusnya dilakukan melalui lisan, kaifiat (cara-cara) apa yang paling
efektif, sehingga menjadi mudah diterima oleh pihak sasaran, di sini isi dan
porsi uraian tentang dakwah melalui lisan lebih banyak.
Gambar : 5
DISKRIPSI INSTRUMEN DAKWAH
Gambar : 6
DESKRIPSI TAHAPAN MENGANALISIS
OBYEK
DAKWAH[3]
Analilsis dalam deskripsi di atas penting
dilakukan, agar dakwah bi al-lisan tidak salah arah, tepat dalam proses adaptasi obyek dakwah. Analisis
yang cakap terhadap obyek dakwah atau khalayak akan memberi informasi yang
sangat penting.
1.
Informasi
pertama akan membantu kita memahami keadaan dan sikap khalayak yang berhubungan
dengan posisi kita.
2.
Informasi
kedua akan membantu meningkatkan tingkat pengharapan kita untuk mencapai
perubahan pada khalayak sebagai hasil komunikasi kita dengan mereka.
Menurut Dr. Jalaluddin Rakhmat, membuat persiapan pidato itu sangat
penting, sama pentingnya dengan membuat persiapan ceramah keagamaan. Salah satu
kementar beliau yang amat menarik dikemukakan,.. Ketika pengumpulan pendapat
(poll) dilakukan di antara 400 Profesor retorika di perguruan-perguruan tinggi
Amerika Serikat, 2 buah pidato dinyatakan sebagai pidato yang paling terkenal
di Amarika. Satu di antaranya adalah pidato Gettisburg, tanggal 19
Nopember 1863. Pembicara utama pada peringatan itu adalah Edward Everett.
Rektor Harvard dan Gubernur Massachusets. Semula peringatan akan
dilaksanakan pada tanggal 23 Oktober 1863, tetapi Everett minta agar
ditangguhkan waktu hampir satu bulan untuk membuat persiapan. Dimintanya satu
copy pidato Everett. Berhari-hari ia memikirkan pidatonya. Di tempat mana saja
waktu terluang digunakannya untuk menyusun pidato. Ditulisnya rancangan pidato
itu pada kertas buram dan disimpannya dalam topi sutranya. Ketika arak-arakan
di Gettisburg berjalan, Lincoln masih tampak merenungkan pidatonya.
Bagi Lincoln, pepatah latin yang
berbunyi qui ascendit sine labore,
descendit sine honore artinya,
mereka yang naik tanpa kelelahan, akan turun tanpa kehormatan. Hal itu bukan
sekedar kata mutiara. Pidato yang baik harus didahului dengan persiapan yang
matang. Karenanya langkah-langkah membuat persiapan ceramah sangat penting
dikemukakan.[4]
Persiapan Ceramah Menurut Jenisnya
Berdasarkan model
persiapan ceramah dapat dibedakan menjadi 4(empat) jenis yaitu:
1.
Impromtu
2.
Manuskrip
3.
Memoriter
4.
Ekstempore
1. Impromtu, adalah ceramah yang sifatnya mendadak tanpa persiapan, jadi
kalaupun ada, persiapannya bersifat spontan dan sebentar sekali. Misalnya anda
sedang menghadiri sebuah pesta, tiba-tiba anda diminta untuk menyampaikan ceramah
(biasanya sebagai kehormatan tersendiri bagi anda dan kebanggaan tersendiri
bagi hadirin). Ceramah seperti ini disebut ceramah Impromtu, ceramah
yang waktu persiapannya sangat sebentar sehingga menuntut banyak improvisasi
dalam penyampaian.
Untuk para dai yang
masih pemula, cara impromtu ini sebaiknya dihindari. Karena besar kemungkinan
cara ini bisa mengakibatkan demam panggung (karena merasa kurang atau tidak
siap); ceramah jadi terbata-bata hingga bisa juga sampai kacau. Lain halnya
bagi mereka yang sudah pengalaman (senior), cara impromtu ini biasanya membawa
berkah tersendiri. Kalaupun cara ini bukan atas keinginan dai itu sendiri,
melainkan karena permintaan mendadak, namun ia bisa juga membawa berbagai
keuntungan. Pertama, ceramah impromtu lebih orisinal dalam arti lebih dapat
mengungkapkan perasaan penceramah yang sebenar-nya, karena ia tidak bisa
memikirkan terlebih hulu materi yang disampaikannya. Dan kedua, materi
ceramahnya bisa jadi lebih segar dan hidup sesuai dengan situasi yang dihadapi,
karena muncul secara spontan.
2. Manuskrip, ini adalah ceramah dengan persiapan makalah. Jadi ceramah anda berusaha dulu
membuat makalah yang baik, dan sewaktu menyampaikannya, anda akan berpatokan
pada makalah yang telah dipersiapkan itu.
Tapi bagi dai yang sudah
berpengalaman, terkadang makalah tidak terlalu dijadikan pegangan ketika
mempre-sentasikan ceramahnya. Meski makalah itu sudah dibuat sedemikian matang,
namun dalam penyampaiannya ia lebih menekankan pada improvisasi sesuai dengan
tantangan situasi dan kondisi. Hal ini mengingat bahasa lisan (penyampaian
ceramah), bagaimanapun memiliki perbedaan dengan bahasa tulisan seperti
makalah.
3.
Memoriter, pesan ceramah jenis ini ditulis kemudian diingat kata perkata. Jadi cara persiapannya
adalah dengan mengingat
kata demi kata. Kelebihan cara ini memungkinkan pemilihan ungkapan yang lebih
tepat, susunan materi yang rapi, gerak dan isyarat yang disesuaikan dengan laju
uraian. Tapi karena pesan sudah tetap, maka kekakuan terhadapnya dapat
mengakibatkan kurang terjalinnya kontak antara pesan dengan pendengar, kurang
langsung, serta tidak leluasa berimprovisasi sesuai dengan tantangan yang ada
(misalnya celetukan orang yang sebenarnya perlu disambar dengan sesuatu yang
pas dan lucu, adanya yang ngantuk dan sebagainya), bahkan perhatian bisa beralih
dari makna kata-kata kepada usaha mengingat-ingat. Bahaya terbesar timbul bila
satu kata atau lebih hilang dari ingatan.
Cara ini biasanya
digunakan untuk latihan dai-dai cilik yang dilatih sebagai calon dai. Karena
mereka sebenarnya belum punya pendapat atau pendirian yang matang, mengenai
berbagai masalah atau ajaran agama, maka jalan yang termudah buat mereka adalah
dengan jalan menghafal materi yang sudah diberikan. Pelatih para dai kecil ini
boleh jadi sekaligus merangkap jadi pemberi materi.
Kalau kita
nonton Pildacil belakangan di Lativi, segera tampak bahwa ceramah para
da’i-da’i itu antara lain lewat latihan menghafal. Ini misalnya terlihat antara
lain dari materi-materi dan dari segi umur, tidak mungkin dilontarkan anak
sekecil mereka, seperti tentang tawuran di DPR, tawuran mahasiswa, kritik atas
berbagai masalah sosial dan seterusnya.
4.
Ekstempore, adalah jenis ceramah yang paling baik
dan paling
sering dilakukan oleh da’i
yang mahir. caranya, ceramah sudah dipersiapkan sebelumnya berupa out-line (garis besar) dan pokok-pokok penunjang
bahasan (supporting points).
Tetapi penceramah tidak
beruasaha mengingatnya kata demi kata. Out-line
itu hanya merupakan pedoman untuk mengatur (memetakan) gagasan yang ada dalam
pikiran kita. Keuntungan ekstempore ini ialah komunikasi pendengar dengan
penceramah lebih baik karena pence-ramah berbicara langsung kepada pendengar,
pesan dapat fleksibel untuk diubah sesuai dengan kebutuhan dan penyajiannya
lebih spontan.
Gambar : 7
DISKRIPSI JENIS-JENIS PERSIAPAN DAKWAH
Ragam Model Dakwah
Ragam model
dakwah atau ceramah bervariasi, dan masing-masing model biasanya menuntut cara
persiapan yang berbeda, mengingat tantangan dan situasi atau forum dari
masing-masing yang berbeda
pula. Model ceramah di kampus biasanya menuntut persiapan makalah dan
penyajiannya bahkan dilengkapi dengan tampilan power point, demikian
juga ceramah di seminar-seminar keagamaan yang lazimnya diadakan di hotel-hotel
bergensi atau kelas-kelas eksekutif. Sedangkan
ceramah-ceramah di masjid atau pada majlis taklim lebih lazim dengan model bi
al-lisan. Masalah penting dalam dakwah atau ceramah yang tidak boleh
diabaikan adalah memeilih topik dan tujuan.
Memilih Topik, Judul dan Tujuan
Memilih topik dan menentukan tujuan adalah hal yang
penting, bahkan merupakan sesuatu yang inti karena tanpa persiapan ini ceramah bisa jadi ngawur, dan
menjemukan pendengar.
Sebelum ceramah, kita harus mengetahui terlebih dahulu
ide apa yang akan kita sampaikan dan perilaku yang bagaimana kita harapkan dari
pendengar. Dengan kata lain, kita memerlukan pokok bahasan (topik) dan tujuan
yang jelas, karena topik dan tujuan ada hubungan yang signifikan. Tujuan sering
memerlukan pemilihan topik, misalnya kita sebagai dai merasa lingkungan sekitar
kurang memiliki minat yang besar untuk salat berjamaah ke masjid dan
mendengarkan kultum.
Sebagai contoh, ketika kita diundang ceramah, kita ingin
agar ceramah yang kita sajikan bisa mendorong atau membang- kitkan minat-minat
tersebut. Maka kalau kita sudah punya keinginan atau tujuan yang sudah jelas
seperti ini, biasanya topik segera bisa dirumuskan, dan selanjutnya kita cari
topik yang kira-kira paling berpengaruh terhadap dampak yang kita inginkan,
oleh karena itu penting kita cari bahan-bahan materi yang paling relevan
untuk itu.
Syarat-syarat Topik yang Baik
1. Topik harus sesuai dengan disiplin pengetahuan dai
Topik yang baik adalah topik yang memberikan kemungkinan
subyek dakwah lebih tahu dari pendengar (obyek dakwah), artinya kita lebih ahli
dari pendengar. Atau kalau tidak demikian, minimal kita harus betul-betul yakin
dengan pengetahuan kita sendiri.
Bagaimana kalau kita diminta ceramah dengan topik yang
kita rasa di luar kemampuan kita, atau sesuatu yang baru bagi kita? Dalam hal
ini perlu pertimbangkan apakah dengan waktu persiapan yang disediakan kita
mampu mempelajari topik itu sehingga kita bisa menjadi ahli “dadakan”.
Bila terpaksa, dan sangat diharap dan didesak, sebaiknya anggap ini sebagai
tantangan positif dan segera kita mulai memacu diri. Sebaliknya, bila tidak
terlalu didesak apalagi waktu persiapan pun kita rasakan tidak cukup, sebaiknya
harapan itu kita tolak.
2. Topik harus
berdasarkan interes da’i yang kuat
Topik yang paling baik dibicarakan adalah topik yang menyentuh emosi anda. Dengan kata lain
topik yang merupakan concern atau inti keprihatinan anda sendiri.
Misalnya, kita sudah lama memendam rasa prihatin yang sangat dalam atas nasib
orang-orang papa dan anak yatim yang banyak terlunta-lunta. Tahu-tahu suatu
saat kita diminta ceramah dengan topik yang barkaitan dengan mereka, maka concern
lama kita ini otomatis akan merupakan pendorong yang membuat pembicaraan kita
jadi lancar.
3. Topik harus
menarik interes atau minat pendengar
Selain menarik
minat sendiri, topik harus menarik minat pendengan atau hadirin. Atau minimal
kita yakin, bahwa kita bisa membuat mereka tertarik. Misalnya kita merasa ada
topik yang sangat dibutuhkan oleh
masyarakat sekitar. Tapi kita tidak yakin mereka akan tertarik. Maka sebagai
dai kita harus yakin bisa membuat mereka jadi tertarik.
4. Topik harus
jelas batasan pembahasannya
Topik tidak
boleh terlalu luas karena dikhawatirkan akan ngawur, kesana kemari pada masalah
yang banyak sehingga pendengar tidak bisa menangkap inti pembicaraan kita.
5. Topik harus
disesuaikan dengan waktu dan majlisnya
Waktu dan forum atau majelis apa harus
menjadi pertim-bangan penting dalam berceramah. Misalnya, topik untuk
khutbah pernikahan tentunya sangat berbeda dengan topik pada ceramah
khitanan, atau dengan ceramah manasik haji, dan sebagainya.
Setidaknya
dari 5 kriteria topik ceramah yang telah diuaraikan di atas dapat
disimpulkan:
a.
Topik harus benar-benar dikuasai dan merupakan
kepriha-tinan (concern) penceramah.
b.
Topik harus disesuaikan dengan minat (interest)
pendengar dan tantangan situasi, serta
harus jelas lingkup bahasannya.
Judul sangat diperlukan terutama untuk jenis ceramah
manuskrip atau yang memakai makalah. Judul sangat erat kaitan-nya dengan topik
yang baru dibicarakan. Bila topik adalah pokok bahasan yang akan diulas, maka
judul adalah sebuah nama yang diberikan untuk pokok-pokok bahasan yang akan
diulas itu. Seringkali judul perlu dikemukakan terlebih dahulu kepada pendengar
dalam pengantar atau mukaddimah, atau minimal dalam makalah sudah dapat terbaca
lebih awal oleh pembaca, karena itu harus dibuat sedemikian menarik dan
singkat.
Menurut Jalaluddin Rahmat, judul harus memenuhi tiga
syarat: relevan, provokatif, dan singkat. Relevan artinya ada
hubungannya dengan pokok-pokok bahasan. Provokatif artinya dapat menimbulkan
hasrat ingin tahu dan antusiasme para hadirin atau pendengar. Pemahaman singkat
berarti mudah ditangkap atau dimengerti maksudnya, atau ungkapannya pendek dan
mudah diingatnya[6].
Gambar : 8
DISKRIPSI TOPIK YANG BAIK
Menentukan
Tujuan
Tujuan
ceramah biasanya dibedakan dalam dua macam, yakni tujuan umum dan tujuan
khusus. Setiap ceramah boleh jadi memiliki satu di antara tiga tujuan ini:
memberikan (informasi), mempengaruhi
(persuasif), dan menghibur (rekreatif). Dengan demikian ceramah boleh
jadi dimaksudkan untuk memberi informasi, atau untuk memberikan hiburan[7].
Tentu
masing-masing tujuan ini tidak ketat atau hitam putih betul. Dalam
kenyataannya, tidak ada ceramah yang semata-mata informative, sepenuhnya
persuasive atau murni rekreatif. Ceramah yang apa pun tentu saja tetap
mengandung unsur persuasi atau informasi. Sebaliknya ceramah yang khikmad dan
cukup serius pun, biasanya tetap saja memerlukan hiburan atau inter-mezzo. Jadi
kita pergunakan tujuan umum ini untuk menunjukkan tujuan utama atau tekanan
bahasa saja. Setiap ceramah mempunyai tekanan pada tujuan tertentu. Ceramah
dikalangan pelawak atau remaja, jelas harus cukup banyak tekanan hiburannya.
Sementara untuk mimbar khutbah tekanannya pada persuasi.
Tujuan khusus
adalah tujuan konkret yang dapat dijabarkan dari tujuan umum. Tujuan khusus
biasanya berupa target yang konkret dan dapat diukur dengan segera. Dalam
merumuskan tujuan, kita perlu memperhatikan kemampuan jamaah untuk memenuhi
tujuan harapan kita, sikap atau persepsi mereka, situasi ceramah, dan yang
penting adalah target dan batas waktu yang tersedia.
Bagi da’i senior yang banyak
berpengalaman, sebenarnya praktik menentukan tujuan tidak dilakukan dengan cara
dituliskan di atas, karena mereke sudah cukup membayangkannya dalam otak ketika
akan dan atau sedang menyusun materi ceramah. Adapun penulisan disini hanya
sebagai bahan latihan.
Tahap
Penyusunan Materi
Pernahkah anda mendengar seseorang
berceramah dengan begitu memukau dan mengalir, sehingga tanpa terasa hadirin
pun tak bosan-bosannya mendengarkan? Bahkan ketika ia bertanya apakah
ceramahnya sudah perlu diakhiri? Serentak mereka menjawab, “jangan, jangan
teruskan!”
Seperti halnya sebuah sinetron, ceramah
yang baik bisa menghanyutkan. Salah satu rahasianya terletak pada alur
(susunan) materi yang demikian lancar, mengalir bagaikan bak air
mengha-nyutkan.
Syarat-Syarat
Susunan Materi yang Lancar
Materi ceramah akan lancar bila memenuhi tiga
syarat, yaitu;
1.
Menyatu-padu (unity)
2.
Bertautan (coherence)
3.
Adanya penekanan (empasis)
1.
Menysatu-Padu (unity). Ibarat satu
tubuh, susunan materi yang menyatu-padu merupakan kesatuan yang tak dapat
ceraiberaikan. Seluruh materi begitu menyatu-padu sehingga kompak laksana satu
tubuh. Satu bagian melengkapi bagian lainnya. Dan hilangnya satu bagian bisa
menyebabkan rusaknya atau tidak lengkapnya bentuk keseluruhan. Agar sebuah
materi menyatu-padu, haruslah ia merupakan kesatuan dalam tiga aspek sekaligus,
yaitu kesatuan dalam isi, tujuan dan sifat (mood).
Dalam isi, harus ada gagasan
tunggal yang mendominasi seluruh uraian, yang merupakan pokok pembicaraan yang
mendominasi seluruh uraian, yang merupakan pokok pembi-caraan yang mendomonasi
seluruh pembicaraan. Gagasan tunggal tercermin dalam judul atau topik ceramah.
Misalnya ada ceramah topiknya tentang Nikmatnya Silatu ar-Rahim, berarti
materi tentang nikmat atau pentingnya memelihara silaturahim tersebut mulai
dari yang serius sampai yang kocak akan mendominasi seluruh uraian. Pokok
pembicaraan akan difokuskan pada mengungkap-kan secara memikat dan penuh imbuan
betapa pentingnya memelihara silaturahim tersebut.
Sepanjang ceramah, kesatuan
dalam isi (materi) atau topik ini benar-benar harus dijaga. Tanpa topik yang
tegas, ceramah akan terasa buyar dan ngawur, tidak jelas apa yang sedang
dibicarakan. Misalnya dalam ceramah Nimatnya Bersila-turahim itu,
tiba-tiba sang penceramah berbelok menerangkan musibah, maka topik
silaturahim itu akan terasa buyar.
Susunan materi juga harus
mamiliki satu macam tujuan saja. Tujuan ceramah tak lain adalah untuk “menggelitik”,
menyentuh hati, atau menghimbau orang untuk beramal. Jadi tujuan
utamanya adalah persuasi. Karena itu, semua bahan materi harus dicocokkan
dengan tujuan utama ini. Kira-kira rumusan pokoknya: Materi apa yang paling
punya daya sentuh (persuasi) terhadap pendengar sesuai dengan situasi mereka,
materi itulah yang dijadikan pokok bahan. Materi untuk persuasi tentu yang
paling berpengaruh adalah bahan-bahan dari sumber agama (al-Qur’an dan hadis
dan seterusnya), tapi karena ini terlalu luas jadi kita harus pilih sesuai
dengan kebutuhan situasi pendengar tadi.
Karena
tujuan utamanya persuasi, maka unsur-unsur lainnya kita tempatkan sebagai
penopang atau senjata saja. Unsur lain itu misalnya, unsur hiburan, informasi
(pengajaran kognisi), keaktualan, dan seterusnya.
Tujuan persuasi ini perlu
ditekankan karena akan menen-tukan pemilihan bahan, pemilihan kata, gaya
bahasa, informasi suara dan seterusnya. Bersama dengan kesatuan isi (topik),
kesatuan jujuan ini akan menggerakkan susunan materi menjadi alur yang kompak
dan lancar.
Kesatuan juga harus tampak
pada sifat/gaya penyampaian (mood). Gaya itu bisa formal, informal,
serius sejuk, dan sebagainya. Kalau ceramah misalnya tujuannya persuasi,
maka suasana, performa penceramah, gaya bahasa, intonasi suara, dan gaya-gaya
penyampaian lainnya harus disesuaikan dengan tujuan ini. Misalnya gaya
bahasanya cukup akrab dan cair (tidak terlalu kaku dan resmi), informasi yang
sejuk dan berwibawa, performa yang religius pula. Ini lain lagi misalnya dengan
khotbah, dimana suasa khidmat dan khusuk menjalankan ibadah jumat sangat
mendominasi, sehingga tidak ada celah dan tidak sepantasnya memberikan unsur
hiburan. Tapi agak sedikit lain dengan khotbah nikah, karena ada sedikit celah
untuk memberikan hiburan segar.
Kesimpulannya, materi
bisa disebut menyatu padu, bila ketiga aspek materi itu, yakni topik tujuan dan
mood, sama-sama kompak menyatu padu dan saling bahu membahu dalam memenuhi
tujuan dan target yang telah kita tetapkan.
2.
Pertautan (koherensi); Syarat kedua supaya materi kita lancar
adalah adanya pertautan. Yakni setiap bahagian bertaut dan berkaitan satu sama
lain secara seirama. Bertaut sedemikian rupa sehingga menyebabkan perpindahan
dari satu bagian (gagasan) ke bagian lainnya berjalan lancar.
Kalau kita renungkan,
sebenarnya syarat menyatu padu (syarat pertama) sudah dengan sendirinya
mencakup pula syarat pertautan. Karena tidak mungkin susunan materi bisa
menyatu padu tanpa adanya pertautan ini dijadikan syarat kedua.
3.
Perlu adanya penekanan (empasis)
Penekanan
dalam dakwah bi al-lisan yang
dimaksud mencakup penekanan pada
tema sentral sesuai dengan tujuan pokok dakwah, karena setiap kegiatan dakwah
selalu didasari dengan dua tujuan, yaitu umum dan tujuan pokok. Ketika obyek
dakwah adalah kelompok yang cenderung kurang rukun antara satu dengan lainnya,
maka penekanannya adalah bagaimana pentingnya membangun silaturahim, dan tentu
silaturahim adalah tema sentral, misalnya “Indahnya kebersamaan atau
silaturahim”.
Gambar : 9
DISKRIPSI SYARAT-SYARAT SUSUNAN
MATERI DAKWAH YANG LANCAR
Pentingnya Menggayakan Pesan
Pesan agar dapat menimbulkan kesan
dapat juga dilakukan melalui lisan atau tulisan. Gaya lisan biasanya lebih
berulang-ulang, lebih pleonastis dan tepat. Para pembicara atau pemberi
taushiyah diingatkan untuk “mengatakan kepada mereka apa yang akan dikatakan,
katakan kepada mereka dan katakan apa yang telah dikatakan kepada mereka”. Para
pembicara membuat pengu-langan untuk meyakinkan bahwa para penyimak mengikuti
dan memahami pesan.
Contoh yang pernah dilakukan Rasulullah
saw, “Pada tanggal 9 Zul Hijjah tahun 10 Hijriyah, berlakulah suatu peristiwa
yang dapat diibaratkan sebagai satu peristiwa “timbang terima” antar
Rasul, pembawa risalah dengan umat yang menerima amanat dakwah, yakni pada
musim ibadah haji, yang untuk terakhir kali disertai melakukannya oleh
Rasulullah saw yang terkenal dengan nama “Hujjatul Wada” (Haji Wada’).
Dimulailah dengan memanggil perhatian
umat yang banyak, lalau dibayangkannya, bahwa mungkin hanya satu kali itulah
lagi beliau akan berjumpa denga mereka di padang Arafah. Dengan kata
pembukaannya, “Wahai manusia! Dengarlah kata saya, agar aku terangkan,
sesungguhnya saya tak tahu, barangkali saya tak akan bertemu lagi dengan kalian
sesudah tahunku ini, di tempat perhentian ini untuk selama-lamanya!”
Dalam kontak rasa dan jiwa semacam itu,
Rasulullah saw membangunkan perhatisn dan pikiran yang hadir, dengan beberapa
pertanyaan rethorik (istifham taqriri) yang diulang tiga kali
berturut-turut, sehingga berlakulah tanya jawab, serta menyahut antara
Rasulullah saw yang berkhutbah secara dialogis, dengan umat yang mendengarkan
secara halus dan mengesankan.
Dialog di atas adalah salah satu contoh,
bahwa dakwah melalui lisan dapat dilakukan dengan bentuk diulang-ulang agar
dapat memperkuat komitmen, sedangkan bila melalui tulisan, hal semacam itu
tidaklah mungkin.
Gaya dakwah lisan juga lebih personal.
Pada saat kita sedang berbicara (berdakwah), kita harus melihat khalayak,
mempertahankan kontak mata dengan mereka. Ketika kita berdakwah dengan lisan,
kita dapat menggunakan banyak referensi personal (misalnya: saya, mushalla
kita, jama’ah kita). Sebaliknya, pada komunikasi tulisan kita cenderung banyak
menggunakan kata ganti yang tidak mengarah kepada orang tertentu (kata ganti
ia).
Pesan Perlu Digayakan
Pesan yang digayakan dapat memperoleh
perhatian yang lebih besar, memudahkan pemahaman, menarik dan mempertahan-kan
minat khalayak. Pesan yang digayakan dapat mempertinggi pengertian dan
pemahaman, juga membantu pengingatan suatu pesan, meningkatkan daya tarik
persuasif suatu pesan.
Macam-macam Gaya dalam Pesan Dakwah
(a) Gaya Inversi, yaitu memutar balikkan susunan kata-kata yang normal dari suatu frase
atau kalimat. Misalnya: “Pada waktu shalat subuh, hanya beberapa gelintir orang
yang mendatangi masjid”. Diputar balikkan menjadi: Hanya beberapa
gelintir orang yang mendatangi masjid pada waktu shalat subuh. Di sini
penekanan yang penting, harus didengar dan diketahui adalah “hanya beberapa
gelintir orang”.
(b) Gaya Repetisi, yaitu seorang pembicara memberi taushiyah dengan
mengulang-ulang kata-kata yang dianggap penting. Tujuannya adalah untuk
mengingat-ingat serta penekanan. Contohnya, seperti yang dilakukan oleh
Rasulullah pada waktu haji wada’ dengan kata-kata: ”Tahukah kalian…
sampai tiga kali. Dengan mengulang-ulang kata, yang diamksudkan dapat meresap
dalam hati untuk kemudian dihayati.
(c) Gaya iterasi, yaitu seorang motivator, da’i yang orator
menggunakan bunyi (biasanya konsonan awal) yang sama atau lebih kata atau suku
kata yang berdekatan untuk menimbulkan efek yang menyolok atau tidak umum.
Misalnya: kaya omelan, tetapi miskin amalan, banyak pengakuan, tetapi sedikit
kelakuan, kaya harapan, tetapi miskin garapan, kaya cita-cita tetapi miskin
realita, pandai mengejek, tetapi tidak pandai mengajak, janjinya meyakinkan,
kenyataannya menyakitkan.
(d) Gaya Personifikasi, yakni menghubungkan kualitas manusia dengan benda-benda mati. Sebagai
misal: kehadiran dia pada forum pembahsan ini hampir tidak ada gunanya, karena “adanya
dengan tidak adanya sama saja”(wujuduhu ka’adamihi), hatinya keras bagai
batu. Atau contoh lain “Dirinya tak jauh bedanya dengan boneka, atau ibarat
wayang, dimana gerak dan langkahnya ditentukan oleh sang dalang”. Kualitas
kebenarannya tak jauh bedanya dengan itik, dihalau orang ke hilir dan ke mudik.
Hanya dengan aba-aba sepotong kayu, ia sudah lari terbirit-birit menelusuri
parit.
(e) Gaya Metafora, yakni
membuat perbandingan yang tersirat. Al-Qur’an juga banyak menggunakan gaya
metafora, sebagai missal QS. al-A’raf:179.
ôs)s9ur
$tRù&us
zO¨YygyfÏ9 #ZÏW2 ÆÏiB
Çd`Ågø:$#
ħRM}$#ur
(
öNçlm; Ò>qè=è%
w cqßgs)øÿt
$pkÍ5
öNçlm;ur ×ûãüôãr& w tbrçÅÇö7ã
$pkÍ5
öNçlm;ur ×b#s#uä w tbqãèuKó¡o
!$pkÍ5 4
y7Í´¯»s9'ré& ÉO»yè÷RF{$%x.
ö@t/ öNèd @|Êr& 4
y7Í´¯»s9'ré& ãNèd cqè=Ïÿ»tóø9$#
Dan
sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka jahannam) kebanyakan dari jin dan
manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu
sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka itulah
orang-orang yang lalai,.[8]
(f) Gaya Suspensi,
ialah merupakan kata-kata yang dipandang penting yang diletakkan pada akhir
ceramah atau khutbah sebagai kata kunci, agar mudah diingat-ingat.. sebagai
misal: seorang khatib mengakhiri khutbahnya dengan ucapan “Barang siapa yang
hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka termasuk orang yang beruntung”.
Atau juga guna memotivasi
agar memberi kesan yang baik terhadap lingkungan sekitar dalam perjalanan
hidupnya, meng-gunakan pesan:
“Wahai putera Adam, disaat ibumu
melahirkan kamu menangis, sedangkan orang-orang disekitarmu semua
tertawa kegirangan.
Maka jadilah kebalikannya
nanti, ketika mereka
menangis
di saat menjelang kematianmu,
engkau tersenyum kegirangan”.
Di smaping itu, gaya lisan biasanya
juga lebih personal. Pada saat
kita sedang menjadi pembicara, kita harus melihat khalayak, mempertahankan
kontak dengan mereka.
Dalam dakwah lisan, beraneka ragam
bentuknya. Pada akhir-akhir ini berkembang dalam bentuk seminar, diskusi,
bahtsul masail, pertemuan terbatas atau bersifat khususi. Secara garis besar
dapat ditarik perbedaan antara retorika (pidato biasa) dengan yang bersifat khususi
atau berbentuk presentasi.
Gambar : 10
DISKRIPSI MACAM-MACAM GAYA DAKWAH
Syarat-syarat
Pesan
Dakwah Agar Komunikatif dan Orientatif
1.
Pesan
dakwah yang disampaikan harus jelas.
Pesan dakwah harus dapat dipahami, menarik perhatian serta mampu
meyakinkan pihak obyek dakwah. Pesan yang kacau, tidak ada arah tujuan yang
jelas, tenntu tidak akan mampu membuat orang lain puas. Meski komunikator
tersebut memiliki kehebatan dalam berkomunikasi, ahli dalam bahasa, juga fasih
dalam ucapannya, akan tetapi bila pesan yang disampaikan sulit diambil
kesimpulan, tentu tidak akan membawa pengaruh dan perubahan.
2.
Memahami
adanya tingkatan-tingkatan pendengar.
Diantara
mereka ada kalangan akademisi, praktisi, politisi, orang awam, ilmuan,
usahawan, penguasa, pengusaha, muallaf, proletar, orang terlantar, orang
dewasa, anak kecil serta tingkatan-tingkatan sosial lainnya. Ketika kita
berbicara ataupun berkhotbah, harus melihat latar belakang pendengar, baik
sosial, budaya maupun keilmuan.
3.
Penggunaan
ungkapan dan istilah yang sesuai.
Jangan
menggunakan bahasa slang (yakni bahsa tidak resmi dan tidak baku digunakan oleh
kelompok soaial tertentu untuk komonitas intern yang hanya dimengerti oleh
anggota kelompok tersebut) seperti yang digunakan oleh para spesialis dalam
bidang tertentu ketika berbicara di depan publik. Jangan menggunakan
istilah-istilah ilmiah yang tidak di pahami oleh mayoritas orang dan jangan
menggunakan ungkapan-ungkapan atau kalimat-kalimat asing.
4.
Hendaklah
menggunakan unsur waktu.
Tujuannya
agar menjadi jelas antara inti dan isi dengan waktu yang tersedia. Jangan
terlalu panjang dan jangan pula terlalu cepat sehingga membosankan pendengar
(jama’ah). Hal ini penting bagi siapa saja yang menyampaikan ceramah, tausyiah,
khotbah, mau’idlatil hasanah, persentase makalah dan lain sebagainya.
5.
Gunakanlah
contoh, kisah dan peristiwa.
Hal
ini juga menambah pengaruh, tingkat keyakinan dan kenikmatan. Cara yang paling
mudah adalah dengan menyiapkan buku catatan kecil dan catatan
kejadian-kejadian, kisah-kisah. Bila memungkinkan, juga data statisti untuk masyarakat ilmiah.
6.
Aturlah
intonasi, suara dan gerak tubuh.
Hal
ini juga merupakn perpaduan antara pesan yang bersifat verbal dan non verbal.
Bagaimana menggambarkan sikap yang penuh semangat dan bagaimana pula
menggam-barkan suasana yang sedih dan penuh duka, antara nada tinggi dengan
nada rendah, juga suasana yang penuh haru. Bagaiamana cara yang baik untuk
menggerakkan tangan dan tubuh, bagaimana berdiri tegak, bagaimana maju ke depan
dan mundur ke belakang pada beberapa bagian ketika kita berbicara. Sesungguhnya
kemampuan kita dalam menggunakan suara dan menggerakkan tubuh melalui cara yang
paling efektif akan memperkuat kemampuan berkomunikasi.
7.
Berilah
kesempatan hadirin untuk menanggapi.
Hal
ini dimaksudkan sebagai sikap toleran, lapang dada, agar tidak terkesan
mendominasi pembicaraan, menghormati orang lain memiliki saran dan buah
pikiran. Untuk kesempatan kita diam guna
mendengarkan respons, agar terjadi komunikasi timbal balik (feed back).
Terhadap hadirin (jamaah) yang bersikap emosional, lebih baik dihadapi dengan
sikap diam. Hal ini pernah dilakukan oleh Rasulullah saw ketika mengumpulkan
keluarganya dalam jamuan makan kemudian diajak masuk Islam. Belum sampai
Rasulullah saw menyampaikan pesannya, Abu Lahab langsung berdiri, berbicara
membabi buta, penuh emosi-onal. Hal ini ditanggapi oleh Rasulullah saw. Beliau
memilih diam, karena diam itu hikmah.
8.
Hilangkan
kesan mimik negatif pada lawan pendapat.
Bagi
individu yang bersifat lapang dada, maka lawan pendapat selalu dipandang
sebagai kawan berfikir. Karena itu setuju berbeda pendapat (agree in disagreement) adalah
sikap yang lapang dada, walau sebenarnya anda ingin menentangnya serta tidak
menyetujuinya. Malahan Rasulullah saw juga memberi motivasi, bahwa “perbedaan pendapat
umatku adalah rahmat” (ikhtila>fu
ummati> rahmatun).
Mulailah dengan ungkapan dan ucapan terima kasih, menampakkan rasa simpati dan
sikap positif serta terbuka terhadap perbedaan pendapat (QS.
Az Zuma>r: 18).
Kesemuanya itu adalah faktor-faktor yang dapat menghancurkan pertentangan orang lain dan
subyektivitas mereka.
9.
Selingilah
humor positif konstruktif.
Humor
memang perlu guna menghilangkan ketegangan. Namun, haruslah humor yang terkait
dengan inti dan isi pembicaraan. Bahkan, bisa menambah dan merubah situasi
antipati menjadi simpati. Akan tetapi, humor yang tidak ada hubungannya dengan
isi dan inti pembicaraan, seringkali menambah kekaburan akan tujuan komunikasi
dan pesan. Para pendengar atau jamaah malah menjadi tidak dapat megambil
kesimpulan. Bahkan yang diingat-ingat bukanlah inti dan isi pesan, akan tetapi
humornya.
Menurut penulis, dalam
penyajian dakwah memang perlu diselipkan hal-hal yang sifatnya humoris, namun
sebaiknya penyelingan humor tidak berlebihan (over), dan harus
dihindari membuat humor yang menjurus kesubtansi yang bersifat forno.
Meski kita telah
menempuh berbagai cara untuk menghadapi jamaah yang bermacam-macam daya tangkap
serta kelas sosialnya, hal itu belumlah cukup. Pendengar (mustami’)
sebelum atau setelah menerima informasi, memberikan tanggapan atau anggapan
melalui berbagai sikap.
Gambar : 11
DESKRIPSI SYARAT-SYARAT PESAN AGAR KOMUNIKATIF DAN
ORIENTATIF
Tanggapan itu ada kalanya positif, ada kalanya netral, ada yang
negatif dan ada pula yang masa bodoh (acuh). Untuk itu, mereka perlu
diyakinkan. Guna meyakinkan, ada beberapa jalan yang perlu ditempuh.
(a) Pendengar
yang memberi tanggapan positif
Meski telah menanggapi secara positif, perlu diberi kunci yang berfungsi
sebagai penegas (tarjih), pengingat (tanbih) dan motivasi.
Kadangkala ketika seseorang mendengar taushiyah, ceramah, presentasi yang penuh
semangat, ia menanggapi positif dan tertarik. Akan tetapi, setelah berkumpul
dengan orang lain, semanagatnya menjadi lemah. Bila tidak diberi pengingat (tanbih), maka semangat atau respon
positif itu akan melemah.
Bebrapa pilihan adalah sebagai berikut:
1) Sampaikan pengalaman-pengalaman hidup
yang realistis (nyata). Hal itu untuk menghindari penjelasan-penjelasan yanag
bersifat khayal (abstrak).
2) Data-data baru yang akurat perlu
disampaikan untuk memperkuat keterangan sebelumnya sehingga lebih meyakinkan
pendengar.
3) Memberi pancingan-pancingan terhadap
hadirin atau pendengar agar bersikap proaktif, sehingga menyampaikan
pertanyaan-pertanyaan.
(b) Pendengar yang belum menentukan sikap
Sikap antara menerima dan menolak (syak), bila tidak mampu untuk
meyakinkannya, tentu akan cenderung untuk menolaknya. Mereka memang tidak
langsung gegabah emosional untuk menerima dan menolaknya, akan tetapi
mendiskusikan terlebih dahulu. Untuk itu perlu dilakukan langkah-langkah:
1) Kita harus mampu membuktikan kebenaran
(al-khaq) serta kredibilitas bukti-bukti yang telah disampaikan.
2) Agar keragu-raguan menjadi hilang, maka
pendengar harus diberi kesempatan untuk melakukan tanya jawab.
3) Metode-metode yang kita gunakan dalam
proses pengambilan keputusan memang perlu kita jelaskan, juga logika atau jalan
pikiran yang kita gunakan.
4) Dalil dalil, sumber-sumber rujukan, dan
pendapat para ulama sebagai penguat jangan sedikit pun terlupakan, karena
pendengar perlu sumber-sumber informasi lainnya.
(c) Pendengar yang berseberangan jalan pikiran
Hendaklah disadari, bahwa situasi dan
kondisi pendengar adalah majemuk. Mereka terdiri dari latar belakang sosial
yang berbeda-beda, lebih-lebih lagi motif mereka untuk menghadiri majlis
mubahsah. Ada yang hanya ingin menguji, sejauh mana kemampuan penguasaan
materi yang dimiliki oleh da’i. ada juga yang sengaja datang untuk
menentang mewakili kelompok opposant
(pembangkang), lantaran mereka merasa memiliki ide yang lebih matang. Dalm
menghadapi kondisi semacam ini harus diwaspadai. Pengertian “mujadalah bi’ al-lati hiya ahsan”
(berdebat dengan cara yang lebih baik) QS. An Nahl: 125, bukanlah melalui
cara saling membela dan menyerang pendapat orang lain, akan tetapi dengan cara
yang lebih santun dan terpuji, sebagai misal: melakukan umpan balik (feed back). Lebih-lebih yang berlaku
dalam dunia modern sekarang ini. Oleh karena itu perlu diperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
1) Jangan terjebak perbedaan paham (ikhtilaf)
yang berlarut-larut, sehingga menyita energi dan waktu.
2) Jadilah orang yang terbuka menerima
pendapat dari mana pun datangnya, tetapi bersikap selektif.
3) Menghindar sementara waktu titik-titik
rawan yang menimbulkan pertentangan.
4) Anggaplah bahwa lawan pendapat adalah
kawan berfikir sehingga kita menjadi orang yang tampak menghargai pendapat
orang lain.
5) Dalam menyampaikan hujjah (argumen) jangan terlalu
berlebih-lebihan. Hal ini bisa memancing emosional dari pihak yang kurang
senang.
6) Gunakanlah gaya yang bersemangat, akan
tetapi tetap ramah.
B. Instrumen
Amalan
Di samping pihak da’i harus mampu
menunjukkan dirinya seimbang antara pengakuan dengan kelakuan, antara omelan dengan
amalan sehingga dapat dipakai sebagai teladan, tetapi juga harus mampu
menunjukkan contoh-contoh, amal perbuatan yang sudah dibuktikan oleh kalangan
ummat Islam. Lebih-lebih lagi yang dilakukan oleh diri sendiri.
Bagi
orang awam, dalil atau hujjah-hujjah yang terlalu panjang dan bertele-tele
kuranglah perlu, sebab mereka tidak ingin berlarut-larut mencurahkan serta
mengerahkan akal pikiran, akan tetapi akan lebih senang bagaimana hal itu harus
dilakukan melalui cara yang mudah, tanpa banyak hujjah, lebih-lebih lagi bila
ada contohnya.
Kata-kata hikmah atau makalah yang
populer mengisyratkan bahwa “tindak-tanduk perbuatan dengan amalan yang nyata,
lebih menyentuh ketimbang sekedar kata-kata “(lisanu’l hal afshahu min
lisani’l maqal). Maksudnya, pihak sasaran akan mudah tunduk atau
takluk bukan melalui kata-kata, akan tetapi lebih mengesan dengan perbuatan
yang nyata.
Bagi orang awam tidak akan tertarik bagi
mereka yang hanya bertitik tolak pada banyak argumen, janji untuk mengikuti,
akan tetapi tidak ada bukti. Manakala bukti berbentuk karya nyata tidak
dimiliki, maka keragu-raguan pun timbul. Bila keragu-raguan timbul, adalah
nihil dan mustahil untuk mengikuti.
Alkisah, langkah pertama yang dilakukan
oleh Rasulullah saw sesampainya di Madinah, malah sebelum masuk kota, adalah
mendirikan masjid di Quba’, masjid yang didirikan pertama di zaman Islam. Tanpa
banyak bicara dan komentar, beliau lalu berhenti di tempat itu, beliau pun
mulai bekerja untuk membangun masjid.
Diriwayatkan oleh seorang sahabat, Syamsud
binti Nu’man yang turut hadir di waktu itu; Aku melihat Rasulullah saw
waktu beliau baru sampai beliau turun dan berhenti. Lalu beliau mempe-lopori
para sahabat mendirikan masjid. Kulihat beliau mengangkat batu besar. Begitu
besarnya, beliau terhuyung-huyung lantaran beratnya.
Salah seorang sahabat datang dan berkata:
Ya Rasulullah, biarkanlah,.. serahkan kepadaku mengangkatnya! Rasulullah
menjawab: “ Tidak!, ambil saja batu
lain yang seperti itu”
Demikian Rasulullah saw bekerja sama
dengan para sahabat Muhajirin, hingga masjid Quba’ selesai. Dalam
pekerjaan-pekerjaan yang penting atau dalam suasana yang genting, seperti dalam
mendirikan masjid Quba’ dan masjid Madinah, ataupun sewaktu membuat parit
pertahanan (perang Ahzab) Rasulullah banyak menggunakan “lisanu’l hal”,
bahasa contoh perbuatan yang nyata dan amat fasih. Bahasa yang dipaki oleh
lisanu’l hal memang tidak berbunyi “Kamu harus kerjakan ini dan itu”, tetapi
bahasanya tanpa terdengar bunyinya berkata ”Mari sama-sama mengerjakan ini, dan
aku mulai !”
Bahasa lisanu’l hal memang besar
sekali pengaruhnya, sehingga ada seorang sahabat ada yang menggugah satu saja,
kemudian dilakukannya.
“Betapa kita hendak menganggur Sedangkan rasul
asyik bekerja Sungguhlah itu perbuatan sesat yang menyesatkan diri sendiri.”
C. Instrumen Lukisan
Tidak semua amaliah agama dapat dijelaskan melalui
lisan ataupun tulisan. Lebih-lebih lagi kepada anak kecil yang belum memahami
tulisan. Karena itu perlu dijelaskan atau ditunjukkan memakai gambar atau lukisan.
Misalnya: bagaimana orang melakukan shalat, wudlu, haji, gambar-gambar atau
foto tentang daerah kemiskinan, lingkungan dampak industri, pemuda korban
narkotika, siphilis dan lain-lainnya.
Sentuhan hati seseorang tidak semuanya
dapat dilakukan melalui lisan, ada kalanya juga memakai lukisan. Lebih-lebih
lagi bagi mereka yang memiliki jiwa seni lukis. Mereka ingin menghayati suatu
melalui gambar atau lukisan, bukan pesan-pesan yang disampaikan melalui bahasa
yang bernada puitis, atau juga melalui tulisan yang dipandang terlalu memakan
pikiran. Mereka ingin yang praktis serta mudah diterapkan. Urut-urutan suatu
aktivitas akan lebih mudah disampaikan melalui lukisan atau pembuatan sketsa,
ketimbang melalui lisan.
D. Audio
Visual
Dakwah perlu dilakukan melalui alat bantu
multimedia, seperti: audio visual. Lebih-lebih lagi bagi
orang banyak yang mengalami kesibukan, mereka tidak sempat untuk mendengarkan
pengajian, ceramah, ikut dalam majlis bahtsul masail, akan tetapi hatinya ingin
mengikuti. Mereka tak ingin ketinggalan melihat perkembangan, juga dalam
penguasaan agama dan juga ilmu pengetahuan.
Dengan menggunakan alat berupa audio,
seperti radio, tape recorder tak perlu mendatangi tempat dakwah tersebut yang
biasanya terkesan harus berpenampilan formal. Hal itu bisa dilakukan di kamar,
di mobil atau sambil melayani pembeli di mall maupun pasar, juga di tempat yang
jauh dari keramaian agar dapat melakukan penghayatan. Pendek kata sesuka hati,
asal bisa dihayati.
Demikian juga dakwah dengan menggunakan alat
audio visual seperti media televisi jangkauannya jauh lebih luas ke segala
penjuru dan lapisan masyarakat, tanpa pandang agama, suku maupun golongan.
Bahkan belakangan ini, hampir semua rumah, memiliki televisi.
Tentu saja materi yang disampaikan harus
selektif, demikian juga metode penyampaian. Bila dipersiapkan secara matang,
beren-cana dan berbobot, pengaruhnya amat besar. Sebaliknya kalau hanya sekedar
tampil serta tidak terampil, tentu akan dapat membawa pengaruh serta citra yang
jelek. Kejelekan itu tentu akan membawa citra dan pengaruh berikutnya.
E. Instrumen Tulisan
Pada zaman, dimana seseorang penuh
kesibukan, dakwah melalui tulisan menduduki posisi strategis. Mulai dari bentuk
selebaran, surat menyurat, SMS, facebook, internet, brosur, pamplet, bulletin,
majalah, koran, buku, dari tulisan yang sederhana hingga yang paling sempurna,
kesemuanya amat diperlukan.
Melalui tulisan, segala isi bisa disimak,
diperhatikan kata demi kata, kalimat demi kalimat, diulang-ulang, apalagi bila
sumber datanya kuat dan akurat. Kesemuanya bisa dinikmati dan dihayati. Tulisan
yang mampu menyentuh hati pembaca, akan membawa pembaca larut dalam perenungan
dan penghayatan, sehingga akan melahirkan dan meng-alirkan tindakan.
Tetapi tidak semua orang mampu menuangkan
ide-ide, gagasan, saran dan buah pikiran melalui tulisan, karena bahasa tulisan
terkesan lebih formal, ringkas, padat berisi dan mampu mempengaruhi pada
pembaca untuk bersikap atau berbuat, sehingga melahirkan dan mengalirkan
perubahan menuju kondisi yang lebih baik.
Guna mencapai tingkat dan derajat
tertentu, manusia memang harus melalui proses, sebab sukses tanpa proses hanya
akan menimbulkan ekses. Dalam menjalani proses itupun juga memerlukan keahlian
(skill), sehingga tidak membuang-buang waktu, yakni sejak dari: listening
and hearing (mendengar
dan mendengarkan), reading (membaca), observation (mengamati), writing (menulis), hingga speaking (berbicara) kesemuanya
diperlukan dalam dakwah.
Agar
pembicaraan, pesan dakwah menjadi berbobot, baik dalam hal “qaulan ma’rufa”,
perkataan baik yang biasanya ditujukan kepada anak yatim, “qaulan balligha”, perkataan berbekas,
biasanya ditujukan kepada orang munafik, “qaulan
kari>ma” perkataan
mulia, biasanya ditujkan kepada orang tua, diperlukan sumber referensi yang
berkualitas pula. Karena itu seorang da’i yang berkualitas, harus memliki
kemampuan mendengarkan (istima’),membaca, mengamati, menulis hingga
kemampuan menyam- paikan pesan dakwah.
Di
samping tiga qaulan di atas, juga dikenal dalam al-Qur’an: qaulan
tsaqi>la”perkataan yang berat, berbobot,
berkualitas. Perkataan berat adalah perktaan yang ringan dalam ucapan, akan
tetapi berat dalam makna serta nilai guna, berat dalam memberi pengaruh dan
manfaat, memberi dampak yang sangat luar biasa pada orang yang mendengar.
Itulah yang dilakukan oleh Rasulullah saw terhadap para sahabat.
Ketika
Rasulullah berbicara tentang surga, maka dapat membuat para sahabat yang
mendengarkan berlomba-lomba untuk masuk ke dalam surga. Mereka bersedia mati
hari itu juga karena mereka ingin mendapatkan surga. Tetapi ketika Rasulullah
berbicara tentang mereka, maka dapat membuat sahabat menangis. Karena mereka
teringat dosa-dosa mereka. Apakah itu dosa yang kecil, maupun dosa yang besar.
Sedemikian powerfull-nya,
sedemikian kuat impact yang diberikan Rasulullah kepada mereka. Itulah
yang disebut “qaulan tsaqi>lan” perkataan yang berat, “tsaqi>lan
fi’l miza>n” berat dalam timbangan.
Metode
Pendekatan dalam Dakwah
Kemajemukan kondisi masyarakat yang
menjadi sasaran dakwah, dengan latar belakang perbedaan pendidikan, sosial,
budaya, ekonomi, politik dan lain-lainnya harus didekati dengan cara yang
berbeda-beda. Bukan dengan gaya yang monoton, akan tetapi harus sesuai dengan
kondisi serta tingkat berpikirnya (‘ala qadri ‘uqulihim).
Sentuhan-sentuhan kata dakwah memang beragam, sesuai dengan situasi dan kondisi
mereka.
Secara
garis besar, metode pendekatan itu dapat dibedakan menjadi empat macam:
1.
Informatif
2.
Persuasif
3.
Transformatif
4.
Konfrontatif
Tidak semua kelompok atau masyarakat
mudah begitu saja menerima suatu keyakinan, ide, gagasan, saran maupun buah
pikiran. Mereka perlu waktu untuk berfikir, mempertimbangkan tentang risalah
dakwah yang disampaikan. Kadangkala untuk langsung menerima keyakinan, ide,
saran ataupun buah pikiran seringkali dilandasi oleh gengsi dan harga diri,
lebih-lebih berhadapan dengan kedudukan, keturunan, tradisi yang diwarisi
secara kurun demi kurun hingga turun temurun.
Pengalaman Rasulullah saw dalam
mengumpulkan keluarga dengan cara melakukan makan bersama sambil menyampaikan
risalah dakwah, malah mendapat tantangan berat dari pamannya sendiri, yakni Abu
Lahab. Namun, beliau tidak putus asa, masih banyak jalan untuk mencapainya.
Pada pertemuan kedua, beliau menunjukkan, bahwa beliau benar-benar utusan Allah
(Rasulullah).
Gambar : 12
DESKRIPSI METODE PENDEKATAN
DALAM DAKWAH
[1]Lihat Imam Munawwir, op.cit., h. 246.
[2]Depertemen Agama RI, op.cit., h. 345.
[3]Lihat Imam Munawir, op.cit., h. 247.
[4]Lihat Toto Tasmara, Komunikasi
Dakwah, (Jakarta: CV Gaya Media Pratama, 1997), h. 40.
[5]Topik adalah pokok bahasan, pokok
kajian, pokok pikiran, pokok pembicaraan. Lihat Kamus Ilmiah Populer Edisi
lengkap Referensi Ilmiah Ideologi, Politik, Hukum, Ekonomi, Sosial, Budaya dan
Sains, Cet. Ke
1 (Surabaya, 2006), h. 473.
[6]Lihat Jalaluddin
Rahmat, dalam Toto Tasmara, op.cit., 34
[8]Lihat Deparetemen
Agama RI, op.cit., 233.
0 komentar:
Posting Komentar