KONSIDERASI
PEMBARUAN HUKUM DALAM
KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI)
Oleh:
Muh. Shaleh Suratmin*
ABSTRAK
Pembaruan hukum
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), adalah upaya untuk melakukan perubahan dan
atau pembaruan hukum Islam yang berlaku di Indonesia. Kedudukan KHI sebagai
sistem perundang-undangan mempunyai kekuatan hukum ajeg (tetap) dan mengikat. Berdasar
pada tinjauan sosio-yuridis, KHI sebagai sistem perundang-undangan di Indonesia
telah memberikan kontribusi positif dalam merespon berbagai permasalahan
kontemporer khususnya perkawinan, kewarisan dan perwakafan.
Keywords:
Pembaruan hukum dalam KHI dimaksudkan agar hukum Islam lebih bersifat fleksibel dan responsif.
I. PENDAHULUAN
Menurut Ahmad
Rafiq (2001:141), bahwa gagasan pembaruan
Hukum Islam di Indonesia pada dasarnya
telah dirintis dalam waktu yang cukup lama seiring dengan keberhasilan perjuangan fisik bangsa Indonesia. Dalam pendekatan historis, ketika dirumuskan dan
disahkan Piagam Jakarta, yang kemudian
termanifestasikan ke dalam Pembukaan
UUD 1945, adalah rentetan perjalanan sejarah pemikiran Hukum Islam di Indonesia, untuk mengakhiri cengkeraman teori iblis receptie yang dicanangkan
oleh pemerintah kolonial melalui “tipu daya”
Snouck Hurgronje.
Salah satu materi pembaruan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI). Eksistensi KHI dalam sistem hukum dan
politik hukum nasional menjadi bagian tak terpisahkan dengan pembaruan hukum di
Indonesia. Walaupun di sisi lain, pembaruan hukum dalam KHI masih menuai
problematika, akan tetapi masalah yang dihadapi KHI terkonpensasi oleh semangat
yang ada dalam materi KHI dan semangat para pelaksana hukum, bahwa umat Islam
memiliki materi hukum sebagai acuan formal dalam merealisir keadilan hukum dan kepastian
hukum.
Dasar
hukum KHI ditetapkan melalui Inpres No.1 Tahun 1991 jo. Keputusan Menteri Agama
No. 154 Tahun 1991 jo. Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama
Islam (Dirbimbaperais) atas nama Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam (Dirbimbagais) No.3694/Ev/Hk.003/ Az/1991.
Persoalannya,
menurut sebahagian pakar hukum, bahwa kekuatan Inpres dalam tata urutan
perundang-undangan dipandang lemah. Namun di sisi lain ada yang berpendapat
bahwa tidak ada perbedaan antara Inpres dan Kepres. Pandangan terakhir ini
memberikan alasan bahwa KHI cukup apa adanya dengan statusnya sekarang.
Pandangan pertama menginginkan adanya
upaya legal formal, sehingga tidak hanya sebuah “hadiah bagi umat Islam”
yang cenderung politis, tetapi harus dikukuhkan dalam bentuk hukum materiil
tertulis sehingga memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat.
Kedua
pandangan yang disebutlan di atas mewarnai perjalanan pembaruan KHI sampai
sekarang, dan telah banyak memberikan sumbangsih yang besar dalam menjawab problematika
kemasyarakatan dan kepastian hukum yang berhubungan dengan hukum perkawinan,
hukum kewarisan dan hukum perwakafan.
Kenyataan bahwa pada akhirnya sejarah
berpihak kepada kaum
Muslimin yang telah lama merindukan adanya fiqih atau Hukum Islam yang khas dan berkarakter
Indonesia, melalui perjuangan
panjang para pemikir dan ahli hukum, di antaranya Hasby Ash Shiddieqy, Notosusanto, Hazairin, Munawir Sjadzali, dan Ibrahim Hosen.
Menurut pakar hukum Islam Andi Rasdiyanah dalam Makalah Seminar
(2000:2), bahwa “sumber utama” hukum nasional
adalah hukum Islam, dimana hukum Islam dapat menjadi bahan baku, penyaring,
(filter) dan rujukan terhadap pembangunan hukum-hukum lainnya, dan kedudukannya adalah hukum yang mandiri. Bahwa yang dimaksud hukum Islam di
Indonesia adalah: Fiqh, Fatwa
Ulama, Perundang-undangan dan Putusan Pengadilan (Yurisprudensi). KHI berisi
kumpulan peraturan dan perundang-undangan tersebut, dan telah dijadikan sebagai
buku hukum.
Gagasan pembaruan itu kian menggelinding dan mendapat apresiasi wajar,
baik oleh mereka yang duduk di
lembaga legislatif, maupun khususnya pemerintah
Republik Indonesia yang dalam hal ini Departemen
Agama dan Mahkamah Agung RI. Selain itu keterlibatan para ulama juga mempunyai nilai yang tidak
kecil bagi upaya menggalang
konsensus ulama atau ijma’. Pembaruan hukum dalam KHI dipandang masih
eksis sampai dewasa ini untuk menyelesaikan permasalahan hukum kontemporer
khususnya mengenai perkawinan, kewarisan dan perwakafan, kendati masih menuai berbagai hambatan dalam
penyelesaian hukum. Kasus perkawinan beda agama masih sering terjadi, demikian
juga dengan kontroversi kasus poligami. Masalah kewarisan, juga belum dapat
dituntaskan hanya melalui muatan KHI, sehingga kasus-kasus kewarisan sering
diselesaikan melalui pengadilan. Khusus untuk perwakafan telah ditindaklanjuti
dengan UU No. 41 Tahun 2004, hal itu
mengingat, bahwa masalah wakaf yang sedemikian penting di Indonesia, sampai dewasa ini
eksistensinya belum menjadi issu perhatian yang menglobal di masyarakat. Di
beberapa wilayah banyak nadzir yang mengabaikan, bahkan menyalahgunakan
wafaf, hal itu berimplikasi keengganan masyarakat untuk bertwakaf (menajdi
wakif), dan kemandegan eksistensi wakaf. Oleh karena itu, masalah perwakafan
dipandang perlu adanya revitalisasi manajemen dalam berbagai lini.
Berdasarkan
uraian pendahuluan menarik untuk dikaji tentang konsep pembaruan hukum dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam tiga rumusan yakni: Apa yang dimaksud pembaruan
hukum dalam KHI, bagaimana kedudukan dan eksistensi KHI sebagai sistem
perundang-undangan, dan bagaimana implementasi dan wujud pembaruan KHI dalam
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
II. PEMBAHASAN
A. Pembaruan Hukum
dalam KHI.
1. Pembaruan hukum.
Istilah “pembaruan” dan atau “pembaruan” seringkali diguna-kan
secara bergantian. Akan tetapi, jika dicermati secara seksama, kedua istilah sama-sama
berakar dari kata “baru” hal itu sebenarnya mempunyai bentuk baku menurut (Kamus
Besar Bahasa Indonesia 2002:95). Bentuk baku itu adalah “pembaruan” dengan
awalan “pe” dan akhiran “an” tanpa sisipan “ha”.
Pembaruan dalam konteks Arab menurut Ibrahim Anis dalam al-Mu‘jam
al-Wasith, Juz 1 (1972:1090), adalah tajdīd. Kata ini berasal dari bentuk masdar
yang berderivasi dari kata jaddada–yujaddidu dan bisa semakna dengan
Tathwīr (pengembangan), yakni suatu upaya perubahan ke arah yang lebih
baik. Dalam penulisan ini digunakan kata “pembaruan”.
Menurut Ahmad Rofiq (2001:97), gerakan pembaruan dalam
Islam dapat diartikan sebagai upaya, baik secara individual maupun kelompok
pada kurun dan situasi tertentu, untuk mengadakan perubahan di dalam persepsi
dan praktek keislaman yang telah mapan kepada pemahaman dan pengamalan baru. Sedangkan
menurut Azyurmardi Azra dalam Ahmad Rofiq (Ibid), pembaruan bertitik
tolak dari asumsi atau pandangan, yang jelas dipengaruhi situasi dan lingkungan
sosial, bahwa Islam sebagai realitas dan lingkungan sosial tertentu tersebut
tidak sesuai atau bahkan menyimpang dari apa yang dipandang sebagai Islam yang
sebenarnya. Pandangan Harun Nasution (1986:11-12) tentang pembaruan terlihat
berbeda, yakni lebih menekankan bahwa pembaruan diperlukan untuk menyesuaikan
paham-paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan akibat
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Pakar hukum Islam Andi
Rasdiyanah berpandangan lebih konprehensip, bahwa pembaruan hukum meliputi:
Perubahan hukum, pembinaan hukum dan modernisasi.
Menyikapi pandangan pakar Harun Nasution dan Andi
Rasdiyanah tersebut, akan lebih mendekatkan pada kebenaran yang lebih logik,
karena perkembangan saint dan teknolgi, dalam kenyataannya membawa perubahan,
modernisasi, nilai, sistem, dan sekaligus problema, terutama dalam bidang
hukum, yang sudah tentu memerlukan respon dan penyelesaian. Dengan jalan pembaruan
inilah pemimpin-pemimpin Islam modern mengharap akan dapat melepaskan umat
Islam dari suasana kemunduran untuk selanjutnya dibawa kepada kemajuan. Jadi
yang dimaksud dengan pembaruan hukum, adalah pembaruan di bidang hukum Islam
yang subtansinya (wujudnya) telah diatur dalam peraturan perundang-undangan,
terutama masalah perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Pada prinsipnya
pembaruan hukum meliputi tiga hal yaitu: perubahan hukum, pembinaan hukum dan
modernisasi
Abraham
Maslow (1934:31), menjelaskan bahwa upaya perubahan
atau pembaruan terhadap dinamika yang terjadi dalam semua aspek kehidupan
manusia menuntut adanya perubahan pengembangan secara terus menerus. Penyebab
adanya pengembangan yang lebih tepat disebut pembaruan adalah adanya motivasi.
Dalam kaitan ini, manusia tidak pernah puas kecuali secara relatif atau
selangkah demi selangkah. Oleh karena itu, manusia mempunyai keinginan untuk
menempatkan dirinya dalam (semacam) hirarki di mana keinginan baru tak akan
muncul sebelum keinginan yang terdahulu terpenuhi.
Seperti disebutkan di atas bahwa semua aspek kehidupan
manusia selalu mengalami dinamika yang menuntut adanya konti-nuitas
pengembangan. Tuntutan kontinuitas pengembangan itu terjadi dalam semua aspek,
seperti politik, ekonomi, budaya, dan sosial yang di dalamnya termasuk aspek
hukum. Yang dimaksud hukum di sini adalah kongkritisasi manusia atas
nilai-nilai agama dalam mengatur kehidupan manusia, dan karakteristik inilah
yang mengantar hukum Islam untuk sejalan dengan hukum yang ada di Indonesia (Andi
Rasdiyana t.td:1). Hukum yang ada di Indonesia, adalah cakupan dari
hukum Barat, Hukum Islam, dan Hukum Adat.
Khusus dalam KHI itu tercakup beberapa aspek yang
mengandung konsep-konsep pengembangan atau pembaruan hukum. Dalam kaitan dengan
itu, maka yang dimaksud pemba-haruan hukum adalah pengembangan hukum sesuai
dengan illat (sebab) yang dapat menjadikannya lebih sempurna (Achmad
Ali, 1996:98). Dalam teori Ibn Qayyim al-Jauziah dalam bukunya I’lām al-Muwaqqi’īn
‘an Rab al-‘Alamīn, (t.th:14), ada empat faktor yang dapat merubah hukum
untuk mencapai kesempurnaannya, yakni faktor zaman, faktor tempat, faktor
situasi, faktor niat dan faktor adat.
Menurut Hamka Haq, Syariat
Islam; Wacana dan Penerapannya (2003:23), bahwa hukum adalah bagian dari syariat, dan syariat itu
sendiri ada yang bisa berubah dan ada yang tidak bisa berubah. Hukum syariat
yang tidak berubah dan atau berkembang misalnya yang berkenaan dengan aqidah
dan rukun iman yang enam. Hukum syariat dalam kategori demikian disebut dengan
hukum-hukum i’tiqādiyah. Sementara itu, hukum-hukum yang disebut ‘amaliyah yang
mencakup ibadah seperti salat, atau puasa dan semisalnya boleh saja berubah dan
berkembang. Hukum ¡alat wajib diamalkan (amaliyah) dengan cara berdiri,
namun bila tidak sanggup, diperbolehkan ¡alat dengan cara duduk. Hukum puasa
wajib di bulan Ramadhan, namun karena sakit, maka boleh diganti dengan membayar
fidyah. Jadi dalam hukum dalam amalan ibadah bisa saja mengalami pembaruan/ perubahan
sesuai illat yang melatarbelakangi.
Teori
pembaruan hukum dalam konteks ke-Indonesiaan pada awalnya dapat dilihat dalam
TAP MPR 1993 tentang pembangunan hukum dalam jangka panjang meliputi tiga
aspek, yaitu materi hukum, aparat hukum, sarana dan prasarana.
Arah pembaruan materi hukum, di antaranya pembentukan hukum diselenggarakan
melalui proses terpadu dan demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta
menghasilkan produk hukum hingga tingkat peraturan pelaksanaannya. Dalam pembentukan
hukum perlu diindahkan ketentuan yang memenuhi nilai filosofis, nilai sosiologis dan nilai yuridis. Nilai filosofis yaitu nilai yang berisikan rasa keadilan
dan kebenaran, nilai sosiologis yaitu norma yang sesuai dengan tata budaya yang
berlaku di masyarakat, dan nilai yuridis, yaitu nilai yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lihat
Cik Hasan Bisri,”Aspek-aspek sosiologis dalam pengembangan hukum Islam di
Indonesia”, dalam Mimbar hukum,
No.31 Tahun VIII Maret-April 1997, halaman 40.
Menurut Sudikno Mertokusomo, bahwa secara sosiologis pembaruan
hukum memiliki dua sifat, yaitu pertama teori
kekuatan (machts theorie), dimana hukum mempunyai kekuatan berlaku apabila
dipaksakan berlaku oleh penguasa, terlepas dari diterima atau tidaknya oleh
masyarakat. Kedua teori pengakuan (Annerkennungs theorie), dimana hukum
mempunyai kekuatan berlaku apabila diterima dan diakui oleh warga masyarakat.
2. Pengertian “Kompilasi” Hukum Islam.
Sebagaimana
halnya dengan kodifikasi yang istilahnya diambil dari perkataan bahasa Latin
maka demikian pula istilah kompilasi. Istilah “kompilasi” yang diambil dari
perkataan “Compilare”, yang mempunyai arti mengumpulkan bersama-sama,
seperti misalnya mengumpulkan peraturan peraturan yang tersebar berserakan di
mana-mana. Istilah ini kemudian dikembangkan menjadi “Compilation” dalam
bahasa Inggris atau “Compilatie” dalam bahasa Belanda. Istilah ini
kemudian dipergunakan dalam bahasa Indonesia menjadi “Kompilasi”(Abdurahan
2001:10) yang berarti terjemahan langsung dari dua perkataan yang tersebut
terakhir.
Dalam kamus
Lengkap Inggris-Indonesia-Indonesia Inggris, kata “compilation” dengan
terjemahan “karangan tersusun dan kutipan buku-buku lain. Selajutnya dalam Kamus Umum Belanda Indonesia
kata, “compilatie” dalam bahasa belanda diterjemahkan “kompilasi” dengan
keterangan tambahan “kumpulan dari lain-lain karangan” (S. Wojowasito, dan WJS
Poerwadarminta 1982:88).
Berdasar keterangan tersebut, maka kompilasi ditinjau dari
segi bahasa, kompilasi itu adalah kegiatan pengumpulan dari berbagai bahan
tertulis yang diambil dari berbagai buku/tulisan mengenai persoalan tertentu.
Pengumpulan bahan dari berbagai sumber yang dibuat oleh beberapa penulis yang
berbeda untuk ditulis dalam suatu buku
tertentu, sehingga dengan kegiatan ini semua bahan yang diperlukan dapat
ditemukan dengan mudah.
Dengan demikian, pembaruan hukum
dalam KHI, adalah upaya untuk melakukan perubahan dan atau pembaruan hukum
Islam dalam suatu kodifikasi.[1] Hal itu sejalan dengan upaya perubahan terhadap dinamika
yang terjadi dalam semua aspek kehidupan manusia menuntut adanya perubahan
pengembangan secara terus menerus.
Kasus
KHI, secara teori pembentukan dan pembaruannya sudah memenuhi syarat, apalagi
secara sosiologis, umat Islam dan para ulama’nya telah menerima secara bulat
dan utuh pada lokakarya ulama se-Indonesia pada tanggal 2-5 Februari 1988, dan
secara legitimasi melalui Inpres No.1 Tahun 1991, serta sebagai bagian dari
transformasi hukum Islam ke dalam peraturan perundang-undangan (Takhrīj
al-ahkām fī al-Nash al-Qan’ān).
Proses perumusan Kompilasi diadakan Lokakarya Nasional sebagai media
penggalangan konsensi sebagai berikut:
1. Pada dasarnya suatu komunitas umat yang di
dalamnya memiliki nilai-nilai dan
norma-norma adat, hukum, dan budaya
dalam perspektif historis-sosiologis betapapun lambannya selalu terjadi perubahan-perubahan. Perubahan ini membawa implikasi ke dalam semua aspek
kehidupan manusia. Maka antisipasi
dan inovasi serta solusi yang proporsional
akan memberikan kedamaian dan keadilan dalam masyarakat. Untuk itu pula, kesadaran atas
perubahan tersebut dibarengi upaya
terus-meneras dengan tetap mempedomani
kepribadian Indonesia,
pembaruan pemikiran mutlak
diperlukan. Ini hanya bisa dicapai jika masing-masing memahami ruang gerak dan posisi yang lebih
mengutamakan kebersamaan, dengan meningkatkan kualitas dan pemahaman keagamaan yang komprehensif, tanpa merugikan pihak-pihak lain. Dan inilah
sebagai konsekuensi negara bangsa yang memiliki pluralitas budaya, agama, dan adat kebiasaan.
2.
Secara
umum pembaruan Hukum Islam di Indonesia akan terus berjalan sesuai dengan hukum, meskipun lamban
namun pasti perlu mendapat
apresiasi yang wajar dari segenap kaum Muslimin. Ini dimaksudkan agar tidak terjadi
keterasingan di antara
subyek hukum dengan hukum materiilnya. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian masyarakat Muslim
sendiri masih memiliki persepsi yang tidak pas atau kurang proporsional terhadap fiqh dan syari’ah,
Fiqh sering dipahami dan diidentikkan dengan syari’ah. Sudah barang
tentu ini membawa implikasi jauh yang bukan saja merugikan kepentingan
pembinaan hukum, tetepi juga sering terjadi sikap mereduksi agama untuk
kepentingan insidental.
3.
Karena itu adanya kerja sama semua pihak dalam upaya pemberdayaan umat untuk menyadari
nilai-nilai hukum yang hidup di
dalam masyarakat, sebagai suatu perkembangan sejarah, perlu disosialisasikan melalui kodifikasi guna mewujudkan kepastian hukum, hingga tidak
menimbulkan persoalan
baru. Kesadaran semua pihak inilah yang dapal membantu dan mempermudah proses pembaruan itu sendiri (Ahmad Rofiq, 2001:99).
B. Kedudukan dan Eksistensi KHI Sebagai
Sistem Perundang-undangan
Dalam UUD 1945 hanya menyebutkan beberapa jenis peraturan,
yaitu Undang-undang (UU), Perpu dan Peraturan Pemerintah (PP). Namun dalam
praktek ketatanegaraan mengalami modifikasi dan revisi berdasarkan politik
hukum. Melalui TAP. MPRS No.XX/MPRS/1966, tata urutan peraturan
perundang-undangan diformulasikan dalam urutan, yaitu UUD 1945, TAP. MPR., UU
(formal), Perpu, PP, Kepres, dan peraturan pelaksana lainnya yang lebih rendah,
seperti Peraturan Menteri atau instruksi Menteri.
Tap. MPRS No.XX
Tahun 1966 tersebut belum mencerminkan acuan ketatanegaraan, sehingga direvisi
melalui Tap. MPR No. V Tahun 1973 dan Tap MPR No.IX Tahun 1978, sehingga
Hirarki peraturan perundang-undangan menjadi UU dan Perpu setingkat UU, PP,
Kepres, Kepmen, Keputusan Kepala Lembaga Pemerintahan Non Departemen, Kep.
Dirjen Departemen, Keputusan Badan Negara, Peraturan Daerah Tingkat I, Keputusan
Gubernur Kepala Daerah Tk.I, Peraturan daerah Tk.II, dan Keputusan
Bupati/Walikota Kepala Daerah Tk.II, (Achmad Ali, 1990:42).
Akibat adanya amandemen UUD 1945 pada sidang Tahunan MPR
2000, maka upaya revisi kembali terulang, sebagai upaya pemantapan Indonesia
sebagai Rechtstaat (negara Hukum). Hasil amandemen tersebut menunjukan
tata urutan peraturan perundang-undangan sebagai berikut: UUD 1945, Tap. MPR, UU, Perpu, PP, Kepres,
dan Perda. Pembukaan UUD 45 sebagai Norma dasar, sedangkan batang tubuh
sebagai aturan dasar, dan jenis aturan di bawahnya disebut aturan
perundang-undangan. Bahkan pada amandemen UUD 45 Tahun 2000 ini dijelaskan
secara rinci tugas masing-masing, seperti Tap. MPR dibuat oleh MPR, UU dibuat
oleh DPR, Perpu dan PP serta Kepres oleh Presiden.
Bila UUD 45 merupakan
Norma Dasar (pembukaan) dan aturan dasar (Batang tubuh), maka aturan yang di
bawahnya menjadi peraturan yang menjabarkan norma dasar dan aturan dasar. KHI
termasuk dalam kelompok kedua, sebagai penjabaran dari aturan dasar Pasal 29
ayat (1) dan (2) UUD 45.
Sesuai asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori,
bahwa undang-undang atau aturan yang mempunyai derajat lebih rendah dalam
hirarki perundangan tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi (Achmad
Ali, 1990:44). Secara filosofis, KHI yang didasarkan pada Inpres tidak
bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, bahkan materi hukumnya mengisi
kekosongan materi hukum pada peradilan Agama sesuai amanat penjelasan umum UUD
45, di mana disebutkan….di samping UUD, berlaku juga hukum dasar yang tidak
tertulis…(A.Hamid S.Attamimi, 150). Mengingat KHI
termasuk dalam kelompok hukum materiil yang tidak tertulis, maka secara yuridis
memiliki kekuatan hukum.
C. Implementasi
dan Wujud Pembaruan KHI dalam Perundang-Undangan
Berlakunya KHI, merupakan produk hukum nasional
berda-sarkan Instruksi Presiden sebagaimana yang telah disinggung. Secara
politis kemungkinan-kemungkinan yang paling mendasar adanya pembaruan hukum
pada KHI dalam inpres tersebut berbagai alasan:
1. Secara yuridis, antara Kepres dan Inpres tidaklah berbeda,
sebab Inpres bagian dari Kepres, yang merupakan wewenang dari Presiden sesuai
dengan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 tentang kekuasaan presiden untuk memegang
kekeuasaan pemerintahan Negara. Apakah dinamakan Inpres atau Kepres,
kedudukannya sama (Abdurahman,1992:53). Dengan demikian, Kepres merupakan
kebijakan makro, sedangkan Inpres merupakan kebijakan mikro yang bersifat
teknik operasional.
2. Secara sosiologis, bahwa KHI secara nyata menjadi hukum
terapan dan pedoman pada Peradilan Agama, bahkan menjadi buku hukum, kitab hukum, hukum positif, hukum
mandiri, hukum ijtihādy, bahkan
disebut Ijma’ (hasil Konsensus) ulama Indonesia dari berbagai golongan (Hasan
Bisri, 1999:15). Lebih dari itu, sebagai upaya akomodatif dari mazhab fiqh
klasik, terutama mazhab Syafi’i.
3. Lembaga Peradilan lain (PN, PTUN dan PM) sesuai
Undang-undang No.14 Tahun 1970 mengakui kewenangan absolut dan kewenangan
relatif Peradilan Agama, dan menghormati KHI sebagai hukum terapan pada
Peradilan Agama.
4. Keadilan prosedural tidaklah cukup bila keadilan
substansial tidak terpenuhi. Legislasi formal memang dibutuhkan, tetapi bila tidak memenuhi rasa keadilan
masyarakat, maka tidak akan berarti apa-apa suatu peraturan perundang-undangan.
Di samping itu, menurut Soerjono Soekanto (1993:5) lima
faktor yang mempengaruhi pemba-haruan hukum: Faktor hukumnya sendiri, faktor
penegak hukum, faktor sarana dan fasilitas, faktor masyarakat, dan faktor
budaya hukum. Melihat kepada problema pembaruan hukum yang diakibatkan oleh
hukumnya sendiri, maka kebijakan yang selayaknya dikedepankan adalah perlunya
reformasi hukum dengan mengembalikan aspek-aspek hukum materiil dan formil
kepada sumber-sumber hukum yang lebih menyentuh kepada hati sanubari dan
kepribadian bangsa Indonesia, yang dalam konteks religius adalah hukum agama, in
casu hukum Islam. Hal ini mengingat bahwa masih terlalu banyak hukum
positif Indonesia
yang bersumber pada kodifikasi peninggalan hukum positif Belanda yang berlaku
sejak masa sebelum kemerdekaan.
Dalam perkara-perkara pidana perlu dirumuskan sanksi yang
lebih berat dengan memperetimbangkan dampak mudarat yang diakibatkannya. Dari
segi aparat penegak hukum, aspek penting yang perlu direformasi adalah
peningkatan integritas para penyelenggara peradilan ini. Hal ini karena
persoalan law enforcement sering melibatkan konflik kepentingan yang
krusial, dan juga motif-motif ekonomi. Komisi Yudisial selaku lembaga yang
diberi tugas oleh negara untuk mengawasi dan menjaga perilaku dan martabat
hakim harus bertindak profesional dan serius sehingga para hakim benar-benar
merasa terawasi, meski tetap dalam koridor kebebasan mereka dalam mengambil
keputusan dalam penyelesaian perkara. Hakim-hakim yang rendah integritasnya
perlu ditindak tegas, jika perlu dengan pemberhentian tidak dengan hormat.
Di samping itu negara juga harus memperhatikan
kesejah-teraan para penyelenggara peradilan, karena diyakini bahwa hal ini akan
jauh sangat berpengaruh dalam mengurangi keterpengaruhan para penyelenggara
peradilan dari godaan suap dan parsialitas.
Dalam
bidang sarana selaku penunjang utama proses peradilan juga sangat penting untuk
direformasi. Masyarakat perlu diberi akses informasi yang mudah dan transparan
tentang apa dan bagaimana peradilan itu ditegakkan secara transparan melalui
jaringan sistem informasi peradilan secara terpadu. Selanjutnya, masyarakat
juga harus berperan serta secara aktif dan sungguh-sungguh dalam mengatasi
problema pembaruan hukum dan keadilan ini dengan bersikap proporsional. Ketika
mereka telah menyadari bahwa dirinya memang berada pada pihak yang tidak
selayaknya memperoleh sesuatu hak dalam sebuah tuntutan hak, maka mereka tidak
seharusnya memaksakan diri untuk memperjuangkan hak itu dengan segala cara
bahkan dengan cara yang tidak sehat, misalnya dengan menyewa pengacara yang
beken, meski ia tahu bahwa ia memang tidak sepantasnya memperoleh hak itu. Dari
sinilah maka diharapkan akan lahir dan terpupuk dengan subur pembaruan hukum
yang positif, yang pada akhirnya akan melahirkan budaya hukum yang baik pula.
Beberapa Wujud Pembaruan
dalam KHI.
Apabila ditelusuri secara menyeluruh, maka
wujud pembaha-ruan dalam KHI sedikitnya ada 14 bidang atau bahagian, antara
lain:
1. Hukum Perkawinan.
Disahkannya UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang ditindaklanjuti
dengan PP Nomor 9 Tahun 1975,
dan untuk lingkup yang terbatas,
PP Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, membawa nuansa baru dalam pemikiran hukum di Indonesia yang
di dalam kitab-kitab fiqh
belum dibicarakan, atau dalam hal-hal tertentu belum ada penegasan secara eksplisit. Kemudian pada akhir tahun 1989 juga disusul
dengan lahimya Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Ada enam prinsip dalam UU Perkawinan, yaitu:
1) Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia
dan kekal. Pasal 1 UUP menyatakan: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.” Sedangkan dalam rumusan pasal 2 dan 3 KHI dikemukakan: “Perkawinan
menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mītsāqon
gholīdzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”,
dan “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah”.
2) Ukuran sah atau tidaknya perkawinan adalah hukum agama,
dan harus dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Pasal 2 UUP menyatakan: “(1)
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan hukum masing-masing agamanya dan
kepeecayaannya itu, (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.” Ketentuan itu lebih dipertegas Pasal 4,5,6,7
KHI, bahwa Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut Hukum Islam sesuai
dengan pasal 2 ayat (1) UU Nonor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal
5: "(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat, (2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan
oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954."
Pasal 6: "(1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal
5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan
dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah, (2)
Perkawinan yang
dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat
Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum."
Pasal 7: "(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan
dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat
Nikah, (2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan
dengan Akta Nikah, dapat diajukan isbat nikahnya
ke Pengadilan Agama."
3) Asas perkawinan adalah monogami. Poligami
hanya dibenarkan jika
dilakukan atas izin istri dan Pengadilan. Pasal 3,4, 5 UUP menyatakan: Pasal 3: "(1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan
seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami, (2)
Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak
yang bersangkutan."
Pasal 4 : "(1) Dalam hal seorang suami akan
beristeri lebih dari
seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) UU ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya, (2)
Pengadilan dimaksud dalam ayat (1)
pasal ini hanyamemberikan izin kepada
seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila (a) isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, (b) isteri mendapat cacat
badan atau penyakit yang tidak
dapat disembuhkan, (c) isteri tidak dapat melahirkan keturunan (lihat pasal 57 KHI)." Sementara pasal 55 KHI menyatakan: "(1)
Beristeri lebih dari satu orang
pada waktu yang bersamaan terbatas hanya sampai empat orang isteri, (2) Syarat utama beristeri lebih
dari seorang, suami harus mampu berlaku adil
terhadap isteri-isteri dan
anak-anaknya, (3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang
beristeri lebih dari seorang."
Memperhatikan pasal 55 KHI ini seakan-akan
diterapkan prinsip yang terbalik dari UU Perkawinan, meskipun hakikatnya sama, yaitu bahwa prinsip perkawinan
adalah monogami.
4) Usia calon mempelai telah dewasa (masak
jiwa dan raganya, 21 tahun,
dan izin kedua orang tua bagi usia 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun bagi
perempuan) (ps. 6,7 UUP jo. ps. 15
KHI).
Pasal 15 KHI mengungkap tujuan yang lebih jelas,
"(1) Untuk kemaslahatan
keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 UU Nomor 1
tahun 1974, yakni calon
suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.
5) Perceraian dipersulit (ps. 38,39,40 UUP jo.
ps. 113,114,115,
116 KHI).
Pasal 38 : "Perkawinan dapat purus karena (a)
kematian, (b) perceraian, dan (c) atas keputusan
Pengadilan."
Pasal 39 : "(1) Perceraian hanya dapat
dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua
belah pihak, (2) Untuk
melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat bidup
rukun sebagai suami isteri (lihat pasal 113,114, dan 115 KHI)."
Pasal 116 KHI menyatakan: "Perceraian dapat terjadi
karena alasan atau
alasan-alasan: (a) salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan,
(b) salah satu pihak meninggalkan pihak
lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena
hal lain di luar kemampuannya, (c) salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan
berlangsung, (d) salah satu pihak melakukan ke-kejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain, (e) salah satu pihak mendapat cacat
badan atau penyakit dengan
akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri, (f) antara suami isteri terus-menerus
terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga, (g) suami melanggar
taklik talak, dan (h) peralihan agama atau
murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga."
6) Dikembangkan prinsip musyawarah
suami-istri (ps.30,31, 32, 33, 34
UUP jo. 77, 78, 79 KHI).
Pasal 30 UUP: "Suami isteri memikul kewajiban yang
luliur untuk menegakkan rumah
tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat."
Pasal 31: "(1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan rumah tangga dan
pergaulan hidup dalam masyarakat, (2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum, (3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu
rumah tangga." Pasal 33:
"Suami isteri wajib saling cinta menyintai, hormat menghonnati, setia dan memberi bantuan lahir
batin yang satu kepada yang
lain.''
Selain dari prinsip-prinsip tersebut ada enam syarat
lain, yaitu:
1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan
kedua calon mempelai.
2)
Untuk
melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang
tua.
3)
Jika salah
satu orang tua sudah meninggal atau tidak mampu, dapat diberikan oleh yang mampu.
4)
Jika
keduanya telah meninggal atau tidak mampu menyatakan kehendaknya, izin diperoleh dari wali atau yang memelinaranya.
5)
Perbedaan
pendapat dari wali atau yang memelihara, izin dapat diberikan Pengadilan yang mewilayahinya.
5) Ketentuan persyaratan tersebut berlaku
sepanjang sejalan dengan hukum
agamanya.
2. Hukum Kewarisan.
Menurut bunyi pasal 49 UU No.7 Tahun 1989
Hukum Waris yang
dipraktekkan di Pengadilan Agama adalah Hukum Waris Islam. Selama ini, ketika disebut Hukum Waris Islam,
maka asosiasinya adalah Hukum Waris menurut
mazhab Syafi'i. Atau menurut
pendapat Hazairin dan muridnya, Sajuti Thalib, Hukum Waris Islam adalah Hukum Waris yang bercorak
patrilineal. Dalam versi
Syafi'i dikenal ahli waris Ashab al-Furūd, Ashab al-‘Usubah, dan Zāwi al-Arhām. Di
antara Zāwi
al-Arhām adalah cucu garis perempuan dan kakek garis
ibu.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengintrodusir
beberapa cara yang tidak lazim menurut fiqh Syafi'i. Di antaranya adalah
sebagai berikut:
1)
Pembagian Warisan Dengan
Cara Damai
Pasal 183 KHI menyatakan bahwa para ahli
waris dapat bersepakat
melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya. Cara ini dimungkinkan karena adanya kebiasaan
yang terjadi dan dipraktekkan berulang-ulang dan
dianggap baik dalam masyarakat. Secara
teknis, kebiasaan ini dalam terminologi fiqh disebut ‘uruf/atau
adat. Kata 'uruf yang seakar kata dengan kata ma’ruf artinya baik. Dasarnya adalah kaidah, al-Adah
Muhakkamah (adat kebiasaan dapat
dijadikan hukum).
Pembagian warisan dengan jalan damai mengacu
pada Firman Allah QS.
aI-Nisa' [4] :(128), Lihat pula QS. al-Anfal [8] :(1), dan QS. al-Hujurat [49]
:(9-10):
Terjemahnya:
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz[2]
atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya
mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik
(bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir, dan jika kamu
bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesung-guhnya Allah
adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Karena itu, menarik apa yang dinasihatkan
oleh Umar ibn al-Khattab kepada kaum Muslim agar di antara pihak yang mempunyai urusan dapat memilih
cara damai. Kata baginda Umar
Ra: "Boleh mengadakan perdamaian di antara kaum Muslimin, kecuali perdamaian yang bertujuan menghalalkan
yang haram dan mengharamkan yang halal" (Muhammad
Salam Maskur, 1990:44).
Di samping itu ada cara lain, dan barangkali
lebih baik, apabila pembagian
warisan diselesaikan menurut ketentuan
faraid, baru setelah itu masing-masing pihak berdamai, untuk
menentukan penerimaan sesuai dengan kondisi perekonomian
mereka masing-masing. Kiranya lebih bijaksana
apabila seorang anak laki-laki yang ekonominya telah mapan, setelah ia menerima bagian warisan, memberikan kepada saudaranya yang perempuan, lebih-lebih jika ekonominya masih kekurangan.
2) Penggantian Kedudukan, Mawali.
Model ahli waris pengganti diatur dalam pasal
185 KHI sebagai berikut:
"(1) Ahli waris yang meninggal lebih
dahulu daripada pewaris, maka
kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173, dan bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari
bagian ahli waris yang
sederajat dengan yang diganti."
Ketentuan ini boleh jadi merupakan pengejawantahan dari gagasan
Hazairin yang dicatat sejarah
Hukum Islam di Indonesia sebagai Yuris atau ahli hukum yang gigih memperjuangkan Hukum Waris bilateral. Secara konsepsional, konsep
penggantian kedudukan
atau mawali yang dikemukakan Hazairin mirip dengan fiqh Syi'ah, yang menempatkan cucu garis perempuan sebagai ahli waris. Dari satu sisi pemberian
bagian kepada ahli waris Zāwi
al-Arhām, dekat dengan wasiat wajibah dalam Hukum Waris Mesir, Syria, dan juga Maroko. Akan tetapi, dalam KHI diperkecil lingkupnya
sehingga wasiat wajibah hanya diberikan kepada orang tua dan atau anak angkat. Kitab Undang-Undang Wasiat Mesir
No.71 tahun 1946 tanggal
24 Juni / 24 Rajab 1365 H disiarkan dalam Lembaran Negara No.65, Senin 2 Sya'ban 1365 H (awal Juli 1946 M) berlaku awal Agustus 1946.
Pasal 76,77, dan
78 menentukan bagian penerima wasiat wajibah
tidak boleh melebihi
1/3 harta warisan dengan ketentuan:
a.
Cucu itu
bukan termasuk orang yang berhak menerima bagian warisan,
b.
Si mati
(ayahnya) tidak memberikan kepadanya dengan jalan lain sebesar yang ditentukan padanya (Faturrahman,
1981:64).
Dalam pasal 209 KHI dinyatakan: "(1)
Harta peninggalan anak angkat
dibagi berdasarkan pasal-pasal 176 sampai dengan 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi
wasiat wajibah
sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya, (2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah
sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta
warisan orang tua angkatnya.
Penciutan
ruang lingkup wasiat wajibah
ini kelihatannya, karena di dalam KHI
telah mengakomodasi cara pemberian bagian warisan dengan penggantian kedudukan menurut konsep KUH Perdata,
yang disebut plaatsvervullings. Yang jelas, baik penggantian kedudukan maupun wasiat wajibah dimaksudkan untuk mengatasi ahli waris Zāwi al-Arhām yang dalam fiqh sunni tidak mendapat warisan, selama ahli waris Ashab al-Furūd ada.
3) Warisan Anak Zina atau Anak Li'an
Secara garis besar, pernyataan dalam pasal
186 KHI bahwa anak zina atau anak li'an hanya
mempunyai hak waris kepada ibu atau keluarga ibunya, adalah penegasan kembali fiqh
yang didasarkan pada riwayat Abu Dawud, yang
diikuti oleh fiqh Syafi'i. Rasulullah saw menjadikan hak waris anak li'an
(mul'anah) kepada ibunya dan ahli waris ibu sesudahnya (Riwayat Abu Dawud). Yang menarik
untuk dipertanyakan lebih jauh adalah, apabila akibat hamilnya tersebut dari
laki-laki yang kemudian
menikahinya. Mungkin ini tidak ada persoalan
jika mengacu pada Firman Allah QS. an-Nur
[24] :(3):
Terjemahnya: "Laki-laki pezina tidak boleh menikah kecuali
dengan perempuan pezina atau musyrikah, perempuan pezina tidak boleh menikah
kecuali dengan laki-laki pezina atau musyrik, yang
demikian diharamkan bagi orang-orang yang beriman.
Perkawinan
antara laki-laki pezina dengan
perempuan pezina diperboleh-kan, meskipun status anak hasil perzinaan tersebut adalah anak zina. Namun
apabila si wanita yang hamil
karena zina kemudian kawin dengan laki-laki yang bukan pezinanya, seperti model kawin
tambelan, atau pasampo siri (penutup malu), masih menarik untuk
diperbin-cangkan. Yang
menjadi persoalan di sini sebenarnya adalah tentang status kawin hamil. Karena bagaimanapun juga
persoalan ini penting
untuk dicarikan solusinya, mengingat akibat perubahan kultur dan kian melonggarnya batas-batas etika sosial dan
cenderung permisif, maraknya perkawinan hamil
menjadi suatu keprihatinan.
Tentu saja ini ditempuh dengan tetap mempertimbangkan
berbagai segi dan akibat hukumnya.
4) Pembagian Warisan Ketika Pewaris Masih Hidup
Pasal 187 KHI
menyatakan:
"(1) Bilamana
pewaris meninggalkan harta
peninggalan, maka oleh pewaris semasa hidupnya
atau oleh para ahli waris dapat dirunjuk beberapa orang sebagai pelaksana pembagian warisan dengan tugas: (a) mencatat dalam suatu daftar harta
peninggalan, baik berupa benda
bergerak maupun tidak bergerak yang kemudian disahkan oleh para ahli waris yang bersangkutan, bila
perlu dinilai harganya dengan uang, (b) menghitung
jumlah pengeluaran untuk kepentingan pewaris
sesuai dengan pasal 175 ayat (1) sub
a, b, dan c; (2) Sisa dari pengeluaran dimaksud
di atas adalah merupakan harta warisan yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak.
Dirinci lagi dalam pasal 188:
"Para
ahli waris, baik secara bersama-sama atau perorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta
warisan. Bila ada di antara
ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang
bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan
Agama untuk dilakukan pembagian harta warisan.''
Bunyi pasal 175 adalah: "(l) Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah (a) mengurus dan
menyelesaikan sampai
pemakaman jenazah selesai, (b) menyelesaikan baik utang-utang berupa pengobatan, perawatan, termasuk kewajiban pewaris maupun menagih piutang, (c)
menyelesaikan wasiat
pewaris, (d) membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak; (2) Tanggungjawab ahli waris
terhadap utang atau
kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya".
Prinsipnya pembagian warisan semacam ini
didasarkan pada musyawarah
antar ahli waris yang berhak mewarisi. Ini sejalan dengan cara yang pertama, yaitu pembagian dengan cara damai.
5)
Sistem
Kewarisan Kolektif
Gagasan sistem kewarisan kolektif ini
agaknya dimunculkan karena
kepentingan pragmatis dan situasional. Dilihat dari nilai-nilai yang
berkem-bang dan bidup dalam masyarakat, ketentuan ini diakomodasi dari sistem Hukum Adat. Dinyatakan dalam pasal 189 KHI sebagai berikut:
"(1) Bila harta warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari dua hektar
supaya dipertahankan sebagaimana
semula, dan dimanfaatkan untuk kepentingan
bersama para ahli waris yang bersangkutan, (2) Bila ketentuan pada ayat (1) pasal ini tidak memungkinkan karena
di antara ahli waris yang bersangkutan ada yang memerlukan uang, maka lahan tersebut dapat dimiliki oleh seorang atau lebih ahli waris yang berhak sesuai
dengan bagiannya masing-masing,
dengan cara yang memiliki lahan menggantikan
atau memberikan kompensasi sebesar atau senilai bagian ahli waris yang membutuhkannya".
Sepanjang cara penyelesaian tersebut tidak
menimbulkan kerugian
pada sebagian ahli waris, dapat dilaksanakan dan dalam batas-batas tertentu dapat dianalogikan dengan
sistem adat di Minangkabau.
Menurut Hazairin, ciri-ciri sistem kewarisan
kolektif adalah harta peninggalan itu diwarisi oleh sekumpulan ahli waris yang merupakan semacam badan hukum di mana harta tersebut, yang disebut
harta pusaka, tidak boleh
dibagi-bagikan pemilikannya di antara ahli waris-ahli waris, dan hanya boleh dibagikan pemakaiannya
kepada mereka itu, seperti
dalam masyarakat matrilineal di Minangkabau.[3]
Jadi, pembagian warisan dengan sistem
kolektif tersebut lebih didasarkan
pada musyawarah keluarga. Secara metodologis langkah ini dapat ditempuh dengan metode istihsan, yaitu
meninggalkan ketentuan umum memilih ketentuan
khusus, karena ada pertimbangan
kemaslahatan yang lebih besar. Dalam
perspektif fiqh, cara ini adalah realisasi dari konsep bai' syufah, yakni jual beli dengan mengutamakan saudara atau tetangga dekat, sebagai orang yang
lebih dahulu berhak untuk membelinya
6)
Harta
Bersama atau Harta Gono-Gini
Cara
pembagian gono-gini dilaksanakan sebelum harta warisan dibagi kepada ahli waris lain. Harta warisan
dibagi dua atau lebih menurut
jumlah isteri yang ada, sebanding dengan
durasi waktu lamanya masing-masing isteri mengarungi bahtera perkawinan dengan pewaris (suaminya), baru
setelah itu dibagi kepada ahli
waris lain. Dalam pasal 190 KHI disebutkan:
"Bagi pewaris yang beristeri lebih dari seorang, maka masing-masing isteri berhak mendapat bagian atas
gono-gini dari rumah tangga dengan suaminya,
sedangkan keseluruhan
bagian pewaris adalah menjadi hak para ahli warisnya."
Gagasan
harta bersama yang diperkenalkan KHI, kelihatannya
belum dibicarakan dalam kitab-kitab fiqh. Tidak jelas, dari mana konsep ini dimunculkan. Apakah karena akibat dari banyaknya wanita yang bekerja di
luar rumah baik dalam sektor formal sebagai wanita karier atau sektor informal lainnya yang kadang-kadang secara ekonomis penghasilan mereka melebihi penghasilan kaum
laki-laki, memerlukan penelitian
tersendiri. Kitab-kitab fiqh memang telah membicarakan tentang syirkah, tetapi concern
pembica-raannya tidak secara langsung dikaitkannya
dengan persoalan harta bersama
suami isteri yang membawa implikasi pada
pembagian warisan.
Apabila dilihat dari corak sistem keluarga inti dalam Islam, yang dipraktekkan dalam sistem sosial keluarga modern, sesungguhnya konsep harta
bersama ini memberi
nuansa yang tujuannya melindungi kepada pasangan yang ditinggal mati. Di mana sejak awal mereka
mengarungi bahtera rumah tangga,
membangun perekonomian keluarga mulai dari nol hingga akhirnya berhasil.
Terlebih jika si istri bekerja membanting tulang di luar rumah, suami hanya mendapat 1/2 apabila tidak ada anak, atau 1/4
jika ada anak, atau bagi
istri 1/4 apabila bersama anak atau 1/8 jika tidak ada anak, sementara yang lain diambil oleh saudara-saudara
yang selama perkawinannya tidak tahu menahu,
memang menarik untuk
dipertimbangkan lagi. Tentu saja ini baru terlihat jika mereka tidak mempunyai anak, atau hanya ada anak perempuan, sementara banyak saudara yang
menjadi ahli waris. Kelihatannya pembagian warisan harta bersama ini diakomodasi dari Hukum Adat yang berlaku di
masyarakat,
3. Hukum
Perwakafan.
Berdasarkan pasal
1PP 28 tahun 1977 dan pasal 215 KHI
mendefinisikan wakaf sebagai perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum dengan cara
memisahkan sebagian dari harta
benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan
umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam (ps. 1
(1) PP No.28/1977 jo. ps. 215 KHI).
Hal tersebut, sebagai bagian dari amal
jariah yang bersifat tabarru' atau tindakan sukarela yang tidak mengharapkan kontraprestasi (imbalan), Islam mengajarkan agar jika tangan
kanan memberi, maka tangan
kirinya tidak mengetahuinya. Ini membawa
implikasi yang kurang menguntungkan dan berkepanjangan bahwa di kemudian hari sosialisasi
keharusan adanya Pengganti/Akta
Ikrar Wakaf (P/AIW) sebagai pendahuluan
sertifikasi tanah wakaf mengalami hambatan besar. Ada kekhawatiran pada sebagian masyarakat,
dengan adanya pencatatan
melalui akta /pengganti ikrar wakaf, akan mengurangi nilai jariah wakaf tersebut, utamanya dalam hal
keikhlasan si wakif. Tidak
terbayangkan sama sekali di benak mereka, bahwa wakaf mereka akan dengan mudah disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggungjawab,
dialihkan untuk kepentingan
pribadi. Demikian juga ketentuan teknis lainnya, nadzir, saksi dalam ikrar wakaf yang kesemuanya
bertujuan untuk mewujudkan
ketertiban hukum dan administrasi wakaf dalam masyarakat. Olehkarena itu,
diperlukan pemahaman yang lebih luas
dan proporsional sejalan dengan tuntutan hukum modern, di mana bukti-bukti
autentik merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindari, demi pencapaian tujuan wakaf itu sendiri.
Sebenamya masalah pencatatan/pensertifikatan tindakan wakaf lebih dekat untuk diqiyaskan kepada
soal utang piutang, dalam Firman Allah QS.
al-Baqarah, [2] :(282):
Terjemahnya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya….
Sejauh penelitian Ahmad Rofiq, dalam kitab-kitab fiqh tampaknya belum dibicarakan
masalah pencatatan dan sertifikasi
tanah wakaf ini. Itu artinya untuk masa sekarang ini, rumusan yang dikemukakan dalam kitab-kitab fiqh
pengamalannya perlu dilengkapi dengan adanya
penambahan-penambahan yang bersifat
yuridis administratif. Ini dimaksudkan untuk meningkatkan jangkauan
kemaslahatan yang ingin dicapai oleh
tindakan wakaf itu sendiri. Misalnya dengan disertai Akta Ikrar Wakaf/ Pengganti Akta Ikrar Wakaf,
atau sertifikat tanah
wakaf, dengan juga dilibatkannya saksi dalam
ikrar atau penyerahan benda wakaf,
dan penunjukan Nazir yang dilengkapi dengan
rincian tugas dan tang-gungjawabnya.
Dengan mencermati gagasan-gagasan pembaruan
yang diintrodusir dalam hukum perkawinan,
kewarisan, dan perwakafan
seperti telah dikemukakan di atas, dapat dianalisis, bahwa Amir Syarifuddin dalam melihat pembaruan Hukum Islam di Indonesia, lebih cenderung
menggunakan istilah, reaktualisasi
Hukum Islam. Menurut hemat penulis, analisis tersebut
dapat diidentifikasi sebagai
menggam-barkan tentang nuansa pembaruan
Hukum Islam di Indonesia.
Reaktualisasi
Hukum Islam menurut Amir Syarifuddin, itu ber-nuansa:
Pertama, kebijaksanaan
administratif. Kebijaksanaan ini menurutnya
adalah sebagai usaha menjembatani fiqh yang tidak akan berubah dengan tuntutan masyarakat
(karena tidak ada ulama yang
berani menempuhnya) yang sudah berbeda dengan tuntutan kekinian, dengan membuat kebijak-sanaan
administratif. Demikian
juga terhadap pembatasan usia kawin. Hemat penulis, pencatatan perkawinan memang masalah teknis administratif,
tetapi jika ditelusuri lebih jauh,
secara metodologis memiliki landasan
yang cukup kuat. Boleh jadi karena sebagian besar masyarakat kita memiliki sikap dan pola fiqh-oriented
dalam pengertiannya ketika fiqh itu
dirumuskan, maka mestinya penambahan
kebijaksanaan administratif tersebut, dilihat sebagai keharusan atau kewajiban, yang juga perlu
dipenuhi,sebagai upaya merealisasikan
kemaslahatan. Menurut terminologi KUH
Perdata, dan atau wasiat wajibah, meskipun
yang terakhir ini Kompilasi Hukum Islam memperkecil ruang lingkupnya kepada anak angkat atau orang tua
angkat, berbeda dengan Hukum Waris
Mesir. Jika Hukum Waris Mesir menggunakan
wasiat wajibah untuk mengatasi hak ahli waris Zāwi al-Arhām, maka dalam Kompilasi Hukum Islam dikenal dengan penggantian kedudukan.
Kedua, menempuh
cara talfiq,[4] yaitu meramu beberapa pemikiran atau hasil ijtihād dalam suatu masalah tertentu menjadi satu bentuk yang kelihatannya seperti baru.
la menilai, ini digunakan
dengan alasan apabila digunakan suatu hasil pemikiran fiqh tertentu, ditemukan hal-hal yang memiliki titik lemah
yang menyebabkan fiqh kehilangan
aktualitasnya. Lebih dari itu, cara ini
kelihatannya efektif. Ini dapat dilihat misalnya dalam proses penyusunan KHI yang memang sengaja dikaji 36
kitab fiqh dari berbagai
mazhab yang ada, meskipun mayoritas tetap mazhab Syafi'iyah.
Demikian juga misalnya calon isteri dapat
menentukan syarat, agar dirinya tidak dimadu. Syarat ini dapat dibenarkan
menurut versi mazhab Hanbali.
Tampaknya, pendekatan talfiq ini merupakan cara efektif dalam upaya menyusun suatu kodifikasi dan unifikasi hukum.
Ketiga, reinterpretasi dan reformulasi, yaitu
mengkaji ulang dalil dan
bagian-bagian fiqh yang tidak aktual lagi dalam situasi dan kondisi tertentu, untuk kemudian disusun
penafsiran dan formulasi
baru.
Amir
Syarifuddin berkesimpulan bahwa dalam masalah perkawinan, kewarisan, perwakafan, dan Iain-lain umat
Islam Indonesia mayoritas berafiliasi kepada mazhab Syafi'i, dan dalam pembaruan Hukum Islam, telah dengan tegas menggunakan
juga pemikiran para ulama fiqh mazhab yang lain. Memang secara harfiah dalam Perundang-undangan atau
Kompilasi sebagai kodifikasi hukum tidak perlu disebut-sebut mazhab tertentu, karena yang terpenting adalah substansinya.
Dan kalau hal ini disebutkan,
maka akan mengulang lagi kepada kitab-kitab fiqh yang sarat dengan khilafiyah, dan
inilah yang dianggap sebagai tidak
adanya kepastian hukum.
Masalah talfiq ini terjadi bukan saja
dalam hal perkawinan saja, tetapi
dalam kewarisan juga demikian. Ini dapat dilihat secara kongkret dalam langkah-langkah yang ditempuh
oleh Tim Perumus Kompilasi
Hukum Islam dengan mengkaji 36 kitab fiqh dari berbagai mazhab. Selain itu juga mengacu kepada pendapat
para ulama di seluruh hidonesia yang ditempuh
melalui wawancara, seminar, dan
diskusi yang diselenggarakan oleh organisasi sosial keagamaan, seperti Bahtsu al-Masāil Nahdatul Ulama dan Majelis Tarjih Muhammadiyah.
Dengan tanpa merinci titik sasaran pembaruan
Hukum Islam di Indonesia,
Sahal Mahfudh mengemukakan bahwa
ijtihad bukan saja diperlukan ketika Nabi sudah tiada, tetapi bahkan ketika Nabi masih hidup.
Apabila di masa Nabi saja ijtihad
sudah bisa dilakukan, maka sepeninggal beliau tentu jauh lebih mungkin dan lebih diperlukan. Rachmat Djatnika lebih melihat pembaruan
Hukum Islam di Indonesia
sebagai penerapan landasan metodologis, yaitu metode-metode ijtihad yang telah dirumuskan
oleh para ulama Ushul
al-Fiqh dan Imam mazhab.
"Menurut Ahmad Rafiq, Penerapan konsepsi Hukum Islam
dalam perundang-undangan Indonesia, walaupun
masih sebagian kecil telah berkembang
dengan penerapannya yang menjawab tantangan dan kebutuhan masyarakat untuk menuju tujuan Hukum Islam, seperti dalam hal monogami, masalah batas
umur boleh kawin, masalah jatuhnya
talak di hadapan sidang pengadilan, masalah
harta bersama, masalah nadzir, saksi pada perwakafan tanah milik, dan masalah ikrar perwakafan harus tertulis.
Kesemuanya itu (baik penerapan hukum dalam kehidupan masyarakat, dalam Pengadilan
Agama, maupun dalam perundang-undangan) mengandung masalah ijtihādiyah yang diselesaikan
dengan ijtihād ulama Indonesia dengan menggunakan metode-metode al-istislah,
al-istihsān,
al-'urf, dan
Iain-lain metode istidlal dengan tujuan jalb al-masalih wa dar’al-mafāsid.
Berdasarkan analisis tersebut dapat dikatakan bahwa pembaruan Hukum Islam di
Indonesia memiliki nuansa
metodo-logis mengacu kepada metodologi yang telah dikembangkan para ulama Sunni, dan yang terutama
adalah bahwa metode-metode
tersebut digunakan secara simultan, meskipun dalam materi hukum yang
berbeda-beda.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan.
1. Pembaruan hukum, adalah upaya untuk melakukan perubahan dan atau pembaruan hukum ke arah yang
lebih baik. Dengan demikian, pembaruan hukum dalam KHI, adalah upaya untuk
melakukan perubahan dan atau pembaruan hukum Islam yang berlaku di Indonesia.
Agar hukum lebih bersifat fleksibel dan responsip terhadap dinamika yang
terjadi dalam semua aspek kehidupan manusia yang menuntut adanya perubahan
pengembangan secara terus menerus.
2. Kedudukan KHI sebagai sistem perundang-undangan mempunyai
kekuatan hukum yang ajeg (tetap) dan mengikat, karena Inpres (sebagai dasar
hukum KHI) mempunyai kekuatan hukum sama (sederajat) dengan Kepres. Kepres
merupakan kebijakan makro, sedangkan inpres merupakan kebijakan mikro yang
bersifat teknik operasional. Di samping itu, berdasar pada tinjauan
sosio-yuridis, KHI sebagai sistem perundang-undangan di Indonesia telah
memberikan sumbangan positif dalam merespon berbagai permasalahan kontemporer
khususnya masalah perkawinan, kewarisan dan perwakafan.
3. KHI sebagai suatu sistem perundang-undangan, dalam
implementasinya, telah melahirkan wujud pembaruan dalam menjawab berbagai
tantangan, khususnya yang berkenaan dengan problematika perkawinan, kewarisan
dan perwakafan. Pembaruan KHI juga dipandang berkembang dan eksis sebagai suatu
buku hukum Islam yamg berlaku. Kendati secara empiris KHI memang belum dapat
merespon sepenuhnya berbagai persoalan hukum yang muncul, namun setidaknya KHI
telah memenuhi unsur-unsur hukum materiil dan hukum formal yang dapat dilakukan
perubahan dan atau pembaruan secara terus menerus sesuai dengan perkembangan
zaman.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur’ān
al-Karīm.
Abu Zahra, Muhammad, Ushūl al-Fiqh, Mesir: Dar al-Fikr al-Araby,
tt.
.al-Muhādarāt fī al-Waqb, Mesir: Dar
al-Fikr al-‘Araby, 1971.
Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika
Pressindo, 1992.
Ali, Ahmad, Asas-asas Hukum Islam, Jakarta:
Rajawali Press, 1990.
.Menguak Tabir Hukum;
Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Cet I: Jakarta:
Chandra Pratama, 1996.
Amir, Hj. Andi Rasdiyanah, "Kumpulan
Makalah Seminar” Makassar, 2001.
Anis, Ibrahim, al-Mu‘jam al-Wasith, Juz
1 Kairo: t.p., 1972.
Attamimi, A. Hamid S. “Kedudukan KHI dalam
sistem Hukum Nasional” (Suatu Tinjauan dari Aturan Perundag-undangan
Indonesia), dalam Amrullah Ahmad (ed.) Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional Cet. I;
Jakarta: Gema Insani Pers, 1996.
Bisri, Cik
Hasan (ed.) , KHI dan Peradilan Agama Dalam sistem Hukum Nasional Cet.II;
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Dahlan, Abdul Azis Ensiklopedi
Hukum Islam/Editor, (et al), Cet. I; Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996.
Daud Ali, Mohammad, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan
Wakaf, Jakarta: UI-Press, 1986.
Departemen
Agama Republik Indonesia RI, al-Qur’ān dan
Terjemahnya Semarang: Karya Toha Putra, 2002.
Departeman Pendidikan Nasional, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
Al-Jauziyah, Ibn Qayyim I’lām
al-Muwaqqi’īn'an Rab al-'Alamīn, juz III; Bairut: Dar al-Fikr, t.th.
Hamka Haq, Syariat Islam; Wacana
dan Penerapannya, Makassar: Yayasan Ahkam, 2003.
Hosen, K.H. Ibrahim, Ijtihad dan Pembaruan Hukum Islam, Harian
Terbit, 22 Juli 1991.
Ichtianto, H, Hukum Islam dan Hukum Nasional Indonesia, Ind Hill
Co, Jakarta: 1990.
Maslow, Abraham, Motivasi dan Kepribadian,
Terjemahan oleh Nurul Imam, Cet IV; Jakarta: Pustaka Binamas Pressindo, 1994.
Nasution,Harun, Pembaruan dalam Islam
Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. VI; 1986.
Qahaf,
Mundzir, Manajemen Wakaf Produktif, Penerjermah: Muhyiddin Mas Rida,
Cet. III; Jakarta: Khalifa (Pustaka Al-Kautsar Grup), 2007.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf,
Cet. Kedua; Fokosmedia, Bandung, 2007.
Rafiq,
Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Cet. III; Jakarta: RajaGrafindo, 1998.
.Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, Cet. I; Jogyakarta: Gama Media 2001.
Rahman, Fatchur, Ilmu Waris, Cet. II; Bandung: Al-Ma’arif, 1981.
Syarifuddin, Amir, Pembaruan Pemikiran Hukum Islam, Cet. II;
Padang: Angkasa Raya, 1993.
Soekanto, Soerjono, Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta,1993.
Al-Syāthibi, Abu Ishaq. al-Muwāfaqāt
fī Ushūl al-Syari’ah. Jilid I;
Mesir: al-Maktabāh a-Tijāriyah al-Kubrā,
t.th.
Al-Zuhaīliy, Wahbah. Al-Wasīth fi
Ushūl al-Fiqh. Damaskus:
Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1969.
Wojowasito, S. Kamus Umum Belanda
Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1981.
Wojowasito, S. dan Poerwadarminta WJS, Kamus
Lengkap Inggris Indonesia, Indonesia Inggris Jakarta: Hasta, 1982.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur±n al-Kar³m.
Amir, Hj. Andi Rasdiyanah, "Kumpulan
Makalah Seminar dan Materi Kuliah”, Kelompok 1 Konsentrasi Hukum Islam, Makassar, 2008.
Abdurrahman, Himpunan Peranan Perundang-undangan tentang Perkawinan,
Akademika Pressindo, Jakarta,
1986.
.Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Akademika
Pressindo, Jakarta,
1992.
.Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Kedudukan Tanah
Wakaf di Negara Kita, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990.
Ahmad Ali, Mengembara Di Belantara Hukum Cet.I;
Lembaga Penerbitan UNHAS, Ujung
Pandang, 1990.
.Menguak Tabir Hukum;
Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Cet I: Chandra
Pratama, Jakarta,1996.
Ali, H. Mohammad Daud, Asas-asas Hukum Islam, Rajawali Press, Jakarta,
1990.
.Hukum Islam: Pengantar
Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007.
Anis,
Ibrahim, al-Mu‘jam al-Wasith, Juz 1 Kairo: t.p., 1972.
Attamimi, A. Hamid S. “Kedudukan KHI dalam
sistem Hukum Nasional” ( Suatu Tinjauan dari Aturan Perundag-undangan
Indonesia), dalam Amrullah
Ahmad (ed.) Dimensi Hukum Islam Dalam
Sistem Hukum Nasional Cet.I; Gema Insani Pers, Jakarta,1996.
Bisri, Cik
Hasan (ed.) , KHI dan Peradilan Agama Dalam sistem Hukum Nasional,Cet.II;
Logos Wacana Ilmu, Jakarta,1999.
Departeman Pendidikan Nasional, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta,
2002.
Al-Jauziyah, Ibn Qayyim I’l±m
al-Muwaqqi’³n‘an Rab al-‘²lam³n, juz III D±r al-Fikr, Bairt: t.th.
Hamka Haq, Syariat Islam; Wacana
dan Penerapannya Yayasan Ahkam Makassar, 2003.
Hosen, K.H. Ibr±him, Ijtih±d dan Pembaruan Hukum Islam, Harian
Terbit, 22 Juli 1991.
Ichtianto, H, Hukum Islam dan Hukum Nasional Indonesia, Ind
Hill Co, Jakarta,
1990.
Kepustakaan Nasional
Katalog Dalam Terbitan (KDT), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi baru
Cet. II; Jakarta:
Pustaka Phoenix, 2007.
Maslow, Abraham, Motivasi dan Kepribadian,
Terjemahan oleh Nurul Imam, Cet IV; Pustaka Binamas Pressindo, Jakarta,1994.
Rafiq, Ahmad
Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, Cet. I; Gama Media Jogyakarta, 2001.
Rahman, Fatchur, Ilmu Waris, Cet. 2, Al-Ma’arif, Bandung,1981.
Syarifuddin, Amir, Pembaruan Pemikiran dalam Islam, Angkasa Raya, Padang, 1990.
Soekanto, Soerjono, Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta,1993.
Wojowasito, S. Kamus
Umum Belanda Indonesia,
Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta,
1981.
Wojowasito, S. dan
Poerwadarminta WJS, Kamus Lengkap Inggris Indonesia,
Indonesia Inggris Hasta,
Jakarta,1982.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur±n al-Kar³m.
Ab Zahra,
Muhammad, Usl al-Fiqh, Mesir: Dar al-Fikr al-Araby, tt.
. al-Muh±dar±t
f³ al-Waqb, Mesir: Dar al-Fikr al-‘Araby, 1971.
Abdurrahman, Masalah
Perwakafan Tanah Milik dan Kedudukan Tanah Wakaf di Negara Kita, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1990.
.Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia, Jakarta:
Akademika Pressindo, 1992.
Ali, Ahmad, Mengembara Di Belantara Hukum Cet.
I; Ujung Pandang:
Lembaga Penerbitan UNHAS, 1990.
.Asas-asas Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1990.
.Menguak Tabir Hukum;
Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Cet I: Jakarta: Chandra Pratama,
1996.
Amir, Hj. Andi Rasdiyanah, "Kumpulan
Makalah Seminar dan Materi Kuliah”, Kel-1 Konsentrasi Hukum Islam, Makassar: 2008.
.Hukum Islam:
Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2007.
Anis, Ibrahim, al-Mu‘jam al-Wasith, Juz
1 Kairo: t.p., 1972.
Attamimi, A. Hamid S. “Kedudukan KHI dalam
sistem Hukum Nasional” ( Suatu Tinjauan dari Aturan Perundag-undangan
Indonesia),
dalam Amrullah Ahmad (ed.) Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional Cet. I; Jakarta: Gema Insani Pers,
1996.
Bisri, Cik
Hasan (ed.) , KHI dan Peradilan Agama Dalam sistem Hukum Nasional
Cet.II; Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1999.
Dahlan, Abdul Azis Ensiklopedi
Hukum Islam/Editor, (et al), Cet. I; Jakarta:
Ichtiar Baru van Hoeve, 1996.
Daud Ali, Mohammad, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan
Wakaf, Jakarta:
UI-Press, 1986.
Departemen Agama Republik Indonesia
RI, al-Qu’r±n dan Terjemahnya Semarang: Karya Toha Putra, 2002.
Departeman Pendidikan Nasional, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
2002.
Al-Jauziyah, Ibn Qayyim I’l±m
al-Muwaqqi’³n 'an Rab al-'²lam³n, juz III; Bairt: Dar al-Fikr, t.th.
Hamka Haq, Syariat Islam; Wacana
dan Penerapannya, Makassar: Yayasan Ahkam, 2003.
Hosen, K.H.
Ibrahim, Ijtih±d dan Pembaruan Hukum Islam, Harian Terbit, 22 Juli 1991.
Ichtianto, H, Hukum
Islam dan Hukum Nasional Indonesia,
Ind Hill Co, Jakarta: 1990.
Maslow, Abraham, Motivasi dan Kepribadian,
Terjemahan oleh Nurul Imam, Cet IV; Jakarta:
Pustaka Binamas Pressindo, 1994.
Nasution,Harun, Pembaruan dalam Islam
Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta:
Bulan Bintang, Cet. VI; 1986.
Qahaf, Mundzir, Manajemen wakaf
produktif, Penerjermah: Muhyiddin Mas Rida, Cet. III; Jakarta: Khalifa (Pustaka Al-Kautsar Grup),
2007.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Cet. Kedua; Fokosmedia, Bandung, 2007.
Rafiq,
Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Cet. III; Jakarta: RajaGrafindo, 1998.
.Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, Cet. I; Jogyakarta: Gama Media 2001.
Rahman, Fatchur, Ilmu
Waris, Cet. II; Bandung:
Al-Ma’arif, 1981.
Syarifuddin, Amir,
Pembaruan Pemikiran Hukum Islam, Cet. II; Padang: Angkasa Raya, 1993.
Soekanto, Soerjono, Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta,1993.
Al-Sy±¯ib³,
Abu Ishaq. al-Muw±faq±t f³ U¡ul al-Syari’ah. Jilid I; Mesir: al-Maktab±h
a-Tij±riyah al-Kubr±, t.th.
Al-Zuha³liy, Wahbah. Al-Was³¯ fi U¡l al-Fiqh. Damaskus:
Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1969.
Wojowasito, S. Kamus
Umum Belanda Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1981.
Wojowasito, S. dan
Poerwadarminta WJS, Kamus Lengkap Inggris Indonesia,
Indonesia
Inggris Jakarta: Hasta, 1982.
[1]Kodifikasi dalam KHI (di
Indonesia), adalah buku hukum yang berisi berbagai peraturan dan
perundang-undangan yang berlaku mengenai hukum Islam. Lihat Abdurahman, op.
cit, h. 10.
[2]Nusyuz: yaitu meninggalkan kewajiban bersuami
isteri, nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin
suaminya, nusyuz dari pihak suami ialah bersikap keras terhadap isterinya;
tidak mau menggaulinya dan tidak mau memberikan haknya. Cara ini efektif
untuk meredam terjadiriya konflik
intern keluarga akibat pembagian harta benda (warisan) tersebut.
[3]Ahmad
Rofiq, op. cit., h. 120.
Di Minangkabau, menurut Fatchur Rahman,
dikenal dua macam harta pusaka, yaitu harta pusaka
rendah dan harta pusaka
tinggi. Harta pusaka rendah adalah
harta pencarian yang
diwarisi oleh anak turun dari garis ibu. Misalnya jika seorang perempuan wafat meninggalkan
sebidang tanah hasil pencariannya
sendiri, sawah itu menjadi hak milik bersama (yang tidak terbagi-bagi) anak-anak turunnya. Jika yang
wafat itu yang laki-laki dengan meninggalkan sebidang tanah, maka sebidang sawah dari pencariannya
tersebut menjadi harta pusaka
dari saudara laki-laki, saudara perempuan, dan anak cucu dari saudara perempuan yang
kesemuanya menurut garis perempuan.
Harta pusaka tinggi adalah harta benda yang sudah diwarisi turun-menurun dan
merupakan milik dari famili besar sebagai kesatuan dan diurus atas nama keluarga besar oleh kepala
dari famili yang disebut Pengulu Andiko. Lihat Ahmad Rofiq, Ibid.
[4]Tentang talfiq ini, misalnya dapat
dilihat dalam rumusan tentang
perjanjian perkawinan taklik talak, yang kemudian menjadi bagian tak terpisahkan dalam rangkaian acara
akad nikah. Sekarang
ini, setiap selesai akad nikah, suami "diharuskan" membaca taklik talak sebagai perjanjian
perkawinan, yang secara teknis
muatan taklik talak tersebut dicetak pada bagian akhir Salinan Akta Nikah.
Perjanjian perkawinan ini bermula dari pendapat Imam Malik yang memberi hak kepada
isteri untuk mengajukan
tuntutan atau rafa' ke pengadilan, ketika ia disakiti atau ditinggal pergi oleh suaminya tanpa
tanggungjawab yang jelas. Lihat Ahamad
Ahmad Rofiq, Ibid., h.
127.