Kerinduanku
Rabu, 10 Juli 2013
KEPEMIMPINAN MENURUT AL-GHAZALI
KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM
( Analisa pemikiran al-Ghazali )
Oleh : Dra.Tuti Munfaridah, M.S.I
A. Pendahuluan
Konsep kepemimpinan dalam Islam memiliki dasar-dasar yang sangat kuat dan kokoh yang bukan saja dibangun dari nilai-nilai ajaran Islam, namun telah dipraktekkan sejak berabad-abad yang lalu oleh nabi Muhammad SAW, para Shahabat dan al-Khulafa' al-Rosyidin. Bersumber dari al-Qur'an dan al-Sunnah, Berkembang dinamis karena dipengaruhi oleh kondisi sosial, politik dan budaya. Ketika di Madinah Nabi Muhammad SAW mempunyai peran ganda, sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai hakim yang merupakan manifestasi beliau sebagai Rasul utusan Allah SWT. Syari’at Islam menjadi dasar tata pemerintahan pada waktu itu, yang selanjutnya sistem khilafah Islam dipegang oleh seorang Khālifah, termasuk di dalamnya yang dikenal sebagai al-Khulafa al-Rasyidin. Masa khilafah Islam ini berakhir bersamaan dengan runtuhnya system kekhalifahan yang dihapus oleh Majelis Nasional Turki (1924 M) yang pada waktu itu dipegang oleh Kemal at-Taturk.[1] Sebelumnya dia juga telah sistem Kesultanan Turki (1922 M). Hal ini ternyata menimbulkan dampak yang begitu besar pada sistem pemerintahan negara yang secara struktural dan konstitusional berubah secara radikal. Puncaknya adalah pernyataan Konstitusi Negara bahwa Republik Turki adalah Negara Sekuler.2 Sekularisasi Turki yang ditandai dengan jatuhnya Imperium ‘Abāssiyah pada awal abad ke-20, ternyata memberikan wacana baru dalam khasanah pemikiran Islam Kontemporer.3 Setidaknya hal inilah yang melatarbelakangi perdebatan kontroversial seputar relasi Islam dan negara sampai saat ini. Salah satu persoalan yang cukup serius seputar relasi Islam dan Negara adalah mengenai kepemimpinan dalam konteks kehidupan bernegara.
Kepemimpinan sebenarnya merupakan keharusan perwujudannya dan memiliki aturan-aturan yang khasanah. Namun dalam fakta sejarah tidak sedikit pemimpin yang menghalalkan segala cara dalam meraih kursi kepemimpinannya. Dunia politik penuh dengan intrik-intrik kotor guna memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Bertemunya berbagai kepentingan antar golongan, kelompok dan parpol dalam kalangan elit politik adalah sebuah keniscayaan akan terjadinya konflik bila tidak adanya kesefahaman bersama, dan tidak jarang berujung pada penyelesaian dengan jalan kekerasan. Rambu-rambu moral memang sering disebut-sebut sebagai acuan dalam berpolitik secara manusiawi dan beradab. Tetapi hal itu hanya menjadi bagian dari retorika politik.
Berbicara moralitas politik saat ini seolah berteriak di padang pasir yang tandus dan kering. Sedangkan realitas politik hanya merupakan pertarungan kekuatan dan kepentingan saja. Melalui kecenderungan umum dari tujuan politik yang dibangun bukan dari yang ideal dan tidak tunduk kepada apa yang seharusnya, tetapi menghalalkan segala cara.4 Oleh karena itu, diperlukan telaah mendalam dan bertanggung jawab tentang etika politik.
Etika politik sebenarnya lebih mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia dalam norma-norma moral yang berlaku, serta dalam hubungan kemasyarakatan secara keseluruhan.5 Etika politik didalamnya mengandung dua dimensi politis manusia yakni; pertama, hukum sebagai lembaga normative penataan masyarakat dan kedua, kekuasaan politis atau negara sebagai lembaga penataan masyarakat efektif, dalam arti mengambil tindakan.6
Berkaitan dengan studi politik, kita tidak bisa memisahkan kriteria pemegang kontrol politik tertinggi dalam hal ini, kita meletakkan control politik tertinggi di bawah kontrol moral dengan meletakkannya sebagai subyek pada perangkat yang berkaitan dengan sumber-sumber, pembatasanpembatasan, tujuan-tujuan, dan berbagai penyelesaian.
Dalam sistem politik, proses utama adalah suatu upaya mengubah tuntutan-tuntutan, yang mewakili kepentingan, tujuan, dan keinginan individu-individu atau kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menjadi keputusan, kemudian dipaksakan dan diterapkan melalui struktur-struktur pemerintahan. Untuk itu, politik tidak hanya membahas mengenai hakekat, fungsi dan tujuan dari sebuah negara sebagaimana diketahui bersama 7, melainkan menjadi solusi bagi kompleksnya persoalan-persoalan manusia dengan lingkungan sosialnya. Meskipun, filsafat politik dalam tradisi klasik selalu bermuara pada persoalan etika, dalam hal ini, kita melihat bagaimana filsafat politik mengajukan pertanyaan kepada manusia tentang permasalahan moral dan segala usaha manusia dalam memahami dan memaknai kehidupan sosialnya dengan segala daya upayanya.8
Al-Ghazali adalah salah satu ulama/pemikir abad pertengahan yang memiliki perhatian dalam permasalahan politik atau kekuasaan. Pemikiran Al-Ghazali telah banyak mewarnai perkembangan pengetahuan dalam dunia Islam mau pun Barat dalam masalah politik atau kekuasaan. Ini dapat dilihat dari sekian banyaknya pemikir Muslim pada generasi sesudahnya yang terinspirasi pemikirannya.
Beberapa karyanya yang menjadi rujukan teori tentang politiknya adalah kitab Ihya Ulum al-Din, al-Iqtibad wa al-I’tiqad dan al-Tibr al-Masbuk fi Nasihah al-Mulk. Al-Ghazali menjelaskan teori politiknya dalam beberapa kitab tersebut tidak sepenuhnya membahas tentang politik kenegaraan, melainkan juga membahas masalah Teologi, tasawuf, fiqih, etika dan interaksi sosial.
Dalam hal etika politik, Al-Ghazali berpendapat bahwa manusia itu mahluk sosial. Untuk itu, ia tidak dapat hidup sendirian. Lebih jauh ia melihat ada dua faktor yang menyebabkan kenapa manusia itu menjadi makhluk sosial; pertama, kebutuhan akan keturunan demi keberlangsungan hidup umat manusia. Dan hal ini bisa di lakukan melalui pergaulan antara laki-laki dan perempuan dan keluarga. Kedua, saling membantu dalam menyediakan makanan, pakaian dan pendidikan anak (diperlukan kerja sama dan saling membantu antar manusia).9 Kerjasama dan saling membantu menjadi suatu keharusan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Menurut Al-Ghazali, untuk pengadaan kebutuhan-kebutuhan manusia, diperlukan pembagian tugas antara para anggota masyarakat dan penguasa (hubungan antar pemuka, baik agama dan pemerintah dengan dasar saling tolong menolong).
Apabila apa yang dikemukakan Al-Ghazali bisa diaplikasikan, maka interaksi antar manusia akan terbentuk. Tak terkecuali dalam pembentukan sebuah negara, dalam hal ini, interaksi merupakan syarat mutlak untuk dilakukan. Pembentukan sebuah negara dimulai dari adanya daerah (wilayah) dan rakyat kemudian dibentuklah pemerintahan. Dengan kata lain, Negara bukan terjadi dengan sendirinya, tetapi diadakan oleh manusia dan untuk manusia. Dalam pandangan Al-Ghazali, negara merupakan suatu lembaga yang sedemikian penting, untuk menjamin pergaulan hidup manusia. Bahkan, keberadaan negara adalah dalam rangka menjaga dan merealisasikan syariat agama yang kokoh, yaitu mengantarkan manusia menuju kebahagiaan hakiki. Secara tegas Beliau menyatakan: “Agama merupakan pokok (pondasi) sebuah bangunan, sedangkan negara adalah penjaganya”.10
Untuk menopang kuatnya sinergi agama dan negara, Al-Ghazali menganjurkan pentingnya pengembangan Ilmu Pengetahuan, Profesionalisme dan Industrialisasi. Dan pra syarat yang dikemukakan Al-Ghazali di atas merupakan pra syarat yang juga di adopsi negara modern.
B. Bentuk Kepemimpinan Negara Menurut Islam
Negara merupakan satu perangkat instrumental bagi pelaksanaan tata pemerintahan. Hal ini telah disadari oleh umat Islam, tatkala Islam mulai mengalami perkembangan, baik itu dalam hal jumlah kaum Muslimin maupun pada sektor wilayah kekuasaan Islam yang semakin meluas. Hal tersebut cukup memberi satu alasan penting untuk menumbuhkan kesadaran dikalangan umat Islam tentang perlunya penataan sistem ketatanegaraan yang lebih rapih dan terkordinasi.
Terdapat sebuah kaitan antara Islam sebagai suatu rancangan yang menyeluruh untuk menata kehidupan umat manusia, dengan politik sebagai satu-satunya alat yang dipakai untuk menjamin ketaatan universal terhadap rancangan tersebut.11 Konsep ini telah difahami oleh Nabi Muhammad SAW, sebagai sebuah cara untuk membangun peradaban Islam dalam bidang Politik Ketatanegaraan. Dan itu tampak pada keberhasilannya dalam meletakkan landasan sebuah negara yang berdasarkan ajaran-ajaran Islam21 pada masa pemerintahan Islam waktu itu.
Kata Negara merupakan pemakaian istilah dari ketata bahasaan Indonesia yang memiliki arti: pertama, organisasi disuatu wilayah yang mempunyai kekusaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh seluruh rakyat; kedua, kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi dibawah lembaga politik dan pemerintahan yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya.12
Sementara itu istilah ‘negara’ dalam ilmu politik dapat berarti agency (alat) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat.13 Secara ringkas negara adalah suatu wilayah yang didalamnya terdapat kesatuan penduduk yang diperintah oleh sekelompok orang (yang berkuasa) untuk mencapai suatu kedaulatan.
Sedangkan dalam khasanah keilmuan Islam, definisi istilah ‘negara’ dapat diartikan sebagai; Daulah, Khilafah, Hukumah, Imamah dan Kesultanan.14
a). Daulah
Istilah Daulah berasal dari bahasa Arab ‘daulah’ yang memilki makna: bergilir, beredar, dan berputar (rotate, alternate, take turns, or accurriodically). Kata ini dapat diartikan sebagai kelompok sosial yang menetap pada wilayah tertentu dan diorganisir oleh suatu pemerintahan yang mengatur kepentingan dan kemaslahatan. 16 Artinya bahwa, kekuasaan yang ada dalam sistem ‘daulah’ disini, berjalan secara bergilir, sesuai dengan keinginan dan kehendak rakyat sebagai penentu (yang berkehendak) dalam memberikan kepercayaan kepada penguasa, untuk menjalankan roda pemerintahan. Jadi rakyat dalam hal ini berada “di dalam” mekanisme kontrol terhadap kinerja yang dilakukan pemerintah (penguasa).
Menurut Olaf Schumann, istilah Daulah dapat diartikan sebagai “ dinasti” atau “Wangsa” yang berarti suatu sistem kekuasaan yang berpuncakpada seorang pribadi yang didukung oleh keluarganya atau clan-nya.16 Jelas, dalam konsep ini, kekuasaan pemerintahan telah dipegang oleh sekelompok clan yang telah berkuasa secara turun temurun yang dalam konteks modern, istilah ini diartikan sebagai sebuah konsep negara dan konsep utama dikalangan diskursus Islamis kontemporer.17
Sebaliknya, Azra mengatakan bahwa daulah tidak sama dengan konsep kedaulatan (soveregnity) atau bukan negara (Nation State) dalam pengertian modern.18 Kedua pendapat ini, tentunya memiliki perbedaan terhadap konteks yang hendak dituju. Pendapat pertama ingin menunjukkan bahwa daulah mempunyai persamaan dengan definisi negara atau bangsa (nation state).
Sedangkan Azumardi Azra mengartikan daulah sebagai kerajaan Islam di nusantara, merupakan kekuatan mutlak raja (penguasa) yang bersumber dari kualitas sakral sang raja dengan kekuatan ghaib yang menjaganya dan dengan keabadian kekuasaannya.19 Dalam khasanah keilmuan Islam, istilah ini untuk pertama kalinya digunakan dalam politik Islam ketika kekhalifahan dinasti ’Abbasiyah memimpin kekuasaan pemerintahan pada pertengahan abad kedelapan.20 Pada masa tersebut, kata Daulah diartikan dengan kemenangan, giliran untuk meneruskan kekuasaan, dan dinasti.
Lebih lanjut, M. Din Samsuddin menyebutkan bahwa berpangkal pada penisbatannya dengan kekuasaan Abbasiyah serta kemudian Utsmaniyyah, maka kata Daulah mengalami transformasi makna menjadi “negara” atau “kekuasaan Negara.” Sehingga untuk menunjukkan konsep negara atau negara-bangsa, pemikiran politik Islam mengajukan kata Daulah, seperti yang terdapat dalam istilah din wa daulah31 yang mempunyai arti “agama dan Negara.”
b). Khilafah
Didalam sejarah pemerintahan Islam, istilah ini muncul setelah pemerintahan kenabian dengan wafatnya beliau pada tahun 632 M. Istilah khilafah ini mengandung arti “perwakilan”, “penggantian” atau “jabatan khalifah.” Istilah ini berasal dari behasa Arab, “khalf” yang berarti “wakil”, “pengganti”, dan “penguasa.”21
Lain halnya dengan perspektif politik Sunni, khilafah menurut mereka didasarkan pada dua rukun, yaitu: konsensus elit politik (ijma’) dan pemberian legitimasi (bay’ah).22 Karenanya, setiap pemilihan pemimpin Islam, cara yang digunakan adalah dengan memilih pemimpin yang ditetapkan oleh elit politik. Setelah itu baru dibai’ah oleh rakyatnya demikian, menurut Harun Nasution, bukanlah dalam artian suatu bentuk kerajaan, tetapi lebih cenderung pada republik. Dalam arti, seorang kepala negara dipilih dan tidak tetap mempunyai sifat turun-temurun.23
Sedangkan menurut Bernard Lewis, istilah khalifa muncul untuk pertama kalinya di Arabia pra-Islam dalam suatu prasasti Arab abad ke-6 Masehi. Pada waktu itu kata Khalifa ditujukan kepada raja muda atau letnan yang bertindak sebagai wakil pemilik kedaulatan yang berada ditempat lain.24 Dalam Islam sendiri, istilah ini telah digunakan ketika Abu Bakar diangkat menjadi khalifah pertama Islam, setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW.Dalam pidato inagurasinya, Abu Bakar menyebut dirinya sebagai Khalifah Rasul Allah”, dalam pengertian “Pengganti Rasulullah.”25 Karena itu, penggunaan istilah Khalifah erat hubungannya dengan tugas kenabian yang tujuannya meneruskan misi-misi Rasul, sebagai salah satu syi’ar dakwah.
Sejauh ini terdapat tiga teori tentang dasar-dasar pembentukan khilafah. Pertama, pembentukan khilafah ini wajib hukumnya berdasarkan Syari’ah atau berdasarkan wahyu. Para ahli Fiqh Sunni, antara lain, Abu Hasan Al-Ashari, berpendapat bahwa khilafah itu wajib, karena wahyu dan Ijma’ para sahabat. Pendapat Kedua, antara lain dikemukakan oleh al-Mawardi mengatakan bahwa mendirikan khilafah hukumnya farhu kifayah atau wajib kolektif berdasarkan Ijma.’ Ketiga, adalah pendapat kaum Mu’tazillah mengatakan bahwa, pembentukan khilafah ini memang wajib tetapi dengan pertimbangan akal.26
Pada fase selanjutnya, konsep khilafah ini memiliki perluasan makna yang akhirnya menjadi kontroversi di sebagian pemikir-pemikir Muslim pada waktu itu. Pendapat ini mengataan bahwa, Islam itu tidak ada kaitannya sedikitpun dengan kekhilafahan, artinya kehilafahan itu bukanlah satu sistem yang Islamis, atau bercorak keagamaan sampai dengan kekhilafahan al-Khulafa al-Rashidin. Ia hanyalah sistem duniawiah yang sepenuhnya berbeda dan bertentangan dengan agama, serta memiliki tujuantujuan yang bersifat duniawiah untuk mempertahankan kerajaan, penaklukan dan kolonialisasi, serta sama sekali bukanlah bertujuan merealisasikan tujuantujuan agama.27Inilah yang menjadi tarik ulur dikalangan cendekiawan Muslim saat itu. Propaganda-propaganda ganjil dan aneh itu ternyata terlahir dari seorang Non- Muslim.28 Jadi sudah hampir dapat dipastikan pokok-pokok pikiran yang ada didalamnya benar-benar bertentangan dengan pandangan seluruh ulama Islam sejak awal sampai saat ini. Hal itu disebabkan karena seiring dengan wafatnya Rasulullah, maka tidak bisa tidak harus ada seseorang yang menggantikannya sebagai seorang pemimpin dan mengemban amanatnya dalam memelihara agama, memelihara kelestariannya, melaksanakan syri’at-nya, melindungi umatnya, dan menyampaikan risalahnya sampai keseluruh dunia.
c) Hukumah
Secara terminolgi, istilah hukumah bermakna “pemerintah”. Istilah
ini tidak sama dengan istilah daulah (negara).29 Selain itu dalam uraian beliau selanjutnya, istilah ini juga berbeda dengan konsep khilafah dan Imamah. Sebab kedua konsep ini, seperti telah dijelaskan diatas, lebih berhubungan dengan format politik dan kekuasan. Sedangkan hukumah lebih berhubungan dengan sistem pemerintahan yang akan dijalankan.30
Menurut Bernard Lewis, kata tersebut beberapa waktu yang lalu saja digunakan dalam pengertian “pemerintahan”, yaitu kira-kira pada abad ke-19. Lebih lanjut, menurut Lewis, kata hukuma sendiri telah digunalkan sejak masa kuno. Akar kata h-k-m dalam bahasa Arab dan bahasa semit lainnya mengungkapakan gagasan-gagasan pokok yang saling berkaitan, yaitu pengadilan dan kebijaksanaan. Pada masa abad pertengahan, melalui perkembangan yang alamiah sifatnya, ruang lingkup arti dari akar kata itu dari berbagai turunannya diperluas sehingga mencakup wewenang politik serta hukum, dan hukuma acapkali digunakan untuk menunjukkan jabatan atau fungsi kegubernuran, atau bahkan ruang lingkup masa jabatan seorang gubernur. Dalam bahasa Muhammad Said al-Ashmawy, hukuma berkenaan dengan administrasi masalah publik, khususnya urusan eksekutif. Dalam konteks ini, urusan hukumah mengandung teori yang disampaikan oleh ideology Ikhwanul Muslimin, Sayyid Qutb yang dikenal dengan teori hakimiyah, yaitu: teori tentang kekuasaan dan kedaulatan ilahi (divine sovereignity).
Menurut Said Agil, konsep negara seperti hakimiyyah merupakan produk dari pemahaman yang sangat harfiah terhadap al-Qur’an, Konsepsi tersebut menuntut adanya suatu pemerintahan Ilahi, yang dlam format kelembagaan negara akan berbentuk negara teokratis.31
d) Imamah
Di samping istilah diatas, kata imamah juga sering dipergunakan dalam menyebutkan maksud ‘negara’ dalam kajian keislaman. Munawir Sjadzali 32, dengan mengutip pendapat Mawardi mengatakan bahwa imam adalah khalifah, raja, sultan atau kepala negara. Dengan demikian, menurut Munawir, Mawardi memberikan juga bagi agama kepada jabatan kepala negara disamping payung politik.33
Adapaun Taqiyyudin an-Nabhani menyamakan antara imamah dengan khilafah. Karena menurutnya, khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum Syari’at Islam dan mengemban dakwah Islam ke segenap penjuru dunia.34 Sebagai mana telah diketahui bahwa konsep pemikiran tentang imamah ini lebih banyak berkembang dikalangan Syi’ah daripada dalam lingkungan Sunni.47Disini dijelaskan bahwa dalam lingkungan Syi’ah, Imama mnekankan dua rukun, yaitu: kekuasaan imam (wilayah) dan kesucian ‘ismah. Istilah ini untuk pertama kali dalam pemikiran politik islam muncul setelah Nabi wafat pada tahun 632 M.
Dalam perkembangan selanjutnya, istilah ini berkembang menjadi pemimpin dalam shalat, dan dari sana kemudian berkembang menjadi pemimpin religiopolitik (religious-politik leadership) seluruh komunitas muslim, dengan mengemban tugas seperti yang telah ditetapkan dalam Syari’at islam yang diembankan kepadanya, yaitu pemimpin komunitas tersebut dan memenuhi perintah-perintah - Nya.
e) Kesultanan
Istilah kesultanan sebenarnya bukan lagi merupakan istilah baru dalam perbendaharaan bahasa Indonesia. Kata ini, menurut Lewis, berkalikali
ditemukan dalam Al-Qur’an dengan arti “kekuasaan”, “bukti”, dan yang lebih khusus lagi istilah ini dapat berarti “kekuasaan yang efektif”.
Lebih lanjut,Lewis mengatakan bahwa seorang penulis dari scribal, ‘Abdul Hamid, yang hidup pada awal abad kedelapan, secara umum menggunakan istilah sultan untuk “pengatur” atau “pemerintah.” Di Indonesia sendiri penggunaan istilah kesultanan ini sering digunakan oleh raja-raja Islam yang memerintah di Nusantara. Ketika seorang raja telah memeluk agama Islam, maka kata sultan dipakai dibelakang namanya.35 Karena itu tidak mengherankan jika pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan Islam, seperti Samudera Pasai misalnya, banyak gelar yang digunakan oleh penguasa-penguasa lokal mirip dengan nama-nama penguasa Dinasti Ayyub yang berjaya di Timur Tengah sepanjang abad-abad XII.
Dari uraian-uraian yang telah di paparkan diatas, tampak bahwa penggunaan istilah “negara” dalam sejarah perkembangannya, telah banyak digunakan dikalangan umat Islam, dengan berbagai macam corak, baik di Indonesia maupun didunia Islam lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwasanya konsep “Negara Islam” sebenarnya telah mendapat sebuah legitimasi oleh pemimpin-pemimpin umat dalam berbagai bentuknya, serta menepis anggapan yang mengatakan bahwa Negara Islam tidak ada dalam khasanah keilmuan Islam. Meskipun secara de jure tidak ada istilah Negara Islam ataupun konsep tentang Negara itu sendiri, namun perlu diingat bahwa Islam telah mengenal sejumlah istilah yang sinonim dengan negara, seperti yang telah diterangkan diatas. Sehinggga fakta inilah yang menepis anggapan
yang mengatakan bahwa Islam tidak mengenal istilah negara ataupun konsep Negara Islam, seperti yang sering dipropagandakan oleh sebagian kaum Liberalis.
C. Pandangan al-Ghazali tentang Kekuasaan
Setiap orang pasti memiliki gagasan tertentu mengenai kekuasaan,
namun bila ditanyakan apa itu kekuasaan orang itu akan menemui kesulitan dalam mengurai gagasannya tentang apa yang disebut kekuasaan. Sebenarnya sejak seseorang mengenal dirinya dan lingkungannya, ia telah mengenal apa yang disebut kekuasaan itu. Kekuasaan pertama yang dikenal adalah kekuasaan dalam keluarga, kemudian orang yang lebih besar atau lebih tua darinya, dosen terhadap mahasiswanya dan seterusnya sampai pada kekuasaan pemerintah terhadap rakyatnya.
Konsep kekuasaan dalam ilmu politik adalah suatu konsep yang sering dibahas. Sebabnya adalah karena konsep ini dianggap mempunyai sifat yang sangat mendasar dalam ilmu sosial pada umumnya, dan ilmu politik khususnya. Malahan pada suatu ketika politik (politics) dianggap tidak lain dari masalah kekuasaan belaka. Dan dalam keadaan bagaimanapun juga kekuasaan tetap merupakan gejala yang sangat sentral dalam ilmu politik dan dapat diperdebatkan dengan hangat.36 Perbedaan pandangan tentang hakekat kekuasaan itu di kalangan para sarjana agaknya adalah suatu hal yang telah lumrah. Kendati demikian sekali pun ada banyak pandangan yang berbeda mengenai kekuasaan, akan tetapi agaknya ada satu inti yang dianggap sebagai kemampuan pelaku untuk mengetahui tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa, sehingga tingkah laku pelaku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan.37
Sumber ke kuasaan itu bukan pangkat, kedudukan atau jabatan, juga bukan harta milik kekayaan dan bukan pula dewa atau pun yang dianggap ilahi. Plato menobatkan filsafat atau ilmu pengetahuan menjadi yang mulia dan harus di atas tahta pemerintahan negara ideal karena hanya dengan pengetahuan lah yang sanggup membimbing dan menuntun manusia untuk datang pada pengenalan yang benar akan segala sesuatu yang ada dalam keberadaannya serta sempurna dalam dunia ide.38
Merebut kekuasaan adalah sebagai salah satu cara untuk mendapatkan kekuasaan. Dalam hal ini bukan hanya masalah moral, melainkan masalah kesanggupan untuk memusatkan kekuatan kosmis dalam dirinya sendiri. Untuk memusatkan kosmis yang dimiliki dalam menata sebuah negara.
Membiarkan kekuasaan diperintah orang lain yang kurang menguasai ilmunya sehingga institusi negara tidak bisa berperan sebagaimana mestinya menjadi tanggung jawab bersama, rakyat berhak dan sah secara moral dan hukum untuk merebut kekuasaan dalam negara apabila secara pribadi menguasai ilmu tentang tata negara. Begitu pula menggunakannya kekuasaan dengan sendirinya sah karena sejauh kekuasaan itu nyata.
Kekuasaan menurut al-Ghazali adalah menguasai hati rakyat (punya wibawa) sehingga mereka dapat mentaati dan menghormati semua peraturan yang telah ditetapkan. Inti dari kekuasaan adalah sebuah popularitas dan itu tercela sebab akan menimbulkan sifat tamak, sombong dan syirik (menyekutukan Tuhan), tetapi bisa menjadi terpuji bila orang yang memegang kekuasaan itu telah ditunjuk oleh Allah dan menggunakan kekuasaan itu untuk li maslahatil ‘ammah (demi kepentingan umum).39 Beliau juga menegaskan bahwa sumber kekuasaan adalah dari Tuhan. Hal ini terlihat dari dasar rujukan yang dijadikan al-Ghazali yaitu surat an-Nisa’ ayat 59, yang memerintahkan orang-orang mukmin taat kepada Allah, kepada Rasul-Nya, dan kepada para pemimpin:
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.( al-Qur’an : Ali Imron: 59 )
Diterangkan juga dalam surat ‘Ali Imran ayat 26, yang menegaskan bahwa Allah memberikan kerajaan (kekuasaan) kepada yang Ia kehendaki;
Artinya : Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.( Q.S Ali Imron : 26 )
Al-Ghazali mendukung semboyan yang menyatakan bahwa kepala negara atau sultan merupakan bayangan Allah di atas bumi-Nya. Karena itu, rakyat wajib mengikuti dan menaatinya, tidak boleh menentangnya. Untuk itu, menurut al-Ghazali dalam kenyataannya Tuhan memilih di antara cucu-cucu Adam menjadi Nabi-nabi dan para pemimpin. Para nabi bertugas membimbing rakyat ke jalan yang benar, dan para raja atau kepala negara mengendalikan rakyat agar tidak bermusuhan sesama mereka, dan dengan kebajikannya ia mewujudkan kemaslahatan rakyat.40
Pendapat al-Ghazali di atas, dapat dipahami bahwa kekuasaan itu muqaddas (suci). Karena rakyatnya wajib menaati segala perintahnya. Sistem pemerintahan seperti itu hampir sama dengan teori kenegaraan yang berdasarkan atas ketuhanan (teokrasi) Kendatipun demikian, teokrasi al- Ghazali berbeda dengan teori ketuhanan yang diformulasikan dalam teori Barat. Dalam teori ketuhanan, kekuasaan berasal dari Tuhan. Penguasa bertahta atas kehendak Tuhan sebagai pemberi kekuasaan kepada-Nya.41 Teori ketuhanan ini merupakan suatu teori yang menyatakan kekuasaan politik diperoleh melalui kekuatan dalam persaingan antar kelompok.
Negara dibentuk oleh pihak yang menang, dan kekuatannya yang membentuk kekuasaan dan pembuat hukum.42 Sesuatu yang membedakan teori ketuhanan al-Ghazali dengan Barat adalah adanya sumber kekuasaan itu
merupakan pengakuan dari rakyat, sedangkan Barat berdasarkan atas siapa yang kuat dialah yang akan berkuasa. Teori ketuhanan barat akan mendorong penguasa berbuat lalim atas nama Tuhan. Sedangkan al-Ghazali menurut penguasa tidak boleh sekali-kali lalim, karena segala tindak-tanduknya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.
Al-Ghazali berpendapat mengenai kedudukan seorang kepala negara, bahwa meskipun seseorang menjadi kepala negara atas kehendak Allah, namun ia juga harus mendapat Tafwid (penyerahan kekuasaan) dan Tauliyat (pengangkatan dari orang lain). Menurut al-Ghazali ada tiga cara untuk memperoleh Tafwid dan Tauliyat, yaitu dengan cara penetapan dari Nabi, penetapan dari sultan yang berkuasa dengan menunjuk putra mahkota (Wilayatal-Ahd) dari putra-putranya atau orang yang diperkuat dengan baiat oleh ulama, Ahl al-Hall wa al-Aqdi.43 Seorang penguasa tidak dibenarkan memberikan peluang kepada para keluarga, pembantu, dan para pengikutnya untuk berlaku zalim terhadap rakyat, agar mereka tidak lemah dan sengsara dan karenanya mendorong mereka berpindah ke wilayah lain, dan meninggalkan negaranya. Dengan begitu pamor kepemimpinan penguasa menjadi menurun dan pemasukan negara pun menurun.
Dalam kitab Al-Tibr al-Masbuk fi Nashihat al-Muluk diceritakan tentang seorang penguasa yang telah kehilangan kekuasaannya pernah ditanya, "Apa sebab kekuasaanmu lenyap dan berpindah ke orang lain?" "Aku tertipu oleh kekuasaan, kekuatan, dan kesenanganku akan pendapat dan pengetahuanku. Aku melupakan musyawarah, dan menyerahkan kekuasaan kepada para petugas yang tak berpengalaman, melupakan petugas senior dan berpengalaman. Aku telah menyia-nyiakan peluang dan kesempatan yang tepat, tidak banyak berpikir tentang peluang itu, dan tiada pula melaksanakan pada saat yang diperlukan. Aku kurang tanggap pada tempat yang harus siap segera, dan kurang cepat menggunakan kesempatan dan kesibukan untuk memenuhi segala keperluan." Ditanyakan pula, "Apakah yang paling menimbulkan keburukan?" Para utusan (delegasi) yang tidak jujur, yaitu orangorang yang berkhianat dalam menyampaikan risalah, hanya karena kepentingan perut mereka. Betapa banyak kerajaan yang menjadi hancur karena ulah mereka.44
Sebaik-baik penguasa adalah orang yang pandangannya tajam bak burung rajawali, sedangkan orang-orang yang berada di sampingnya (para pejabat teras kerajaan) memiliki kecerdasan serupa, bagaikan banyak burung rajawali, bukan seumpama bangkai." Maksudnya, jika seorang penguasa memiliki pandangan cemerlang dan dapat mengetahui segala hal, sementara para pendampingnya dan para pejabat teras kerjaan memiliki pandangan serupa, maka sempurnalah segala urusan pemerintahannya, dan tegaklah segala urusan penduduk negeri.45
Beberapa tanda-tanda penguasa yang akan kekal kekuasaannya sebagai berikut: pertama, menghidupkan akal dan agama dalam hatinya, supaya rakyat menaruh simpati kepadanya. Kedua, pemikirannya logis dan realistis. Ketiga, cinta ilmu pengetahuan, sehingga dikenal di kalangan kaum cerdik pandai. Keempat, memiliki keutamaan dan rumah yang besar, sehinggamendapat penghormatan dari orang-orang yang memiliki keutamaan. Kelima, mendidik orang-orang yang suka membesar-besarkan kelemahan orang lain dari pemerintahannya, sehingga ia terhindar dari caci maki. Setiap penguasa yang tidak memiliki beberapa kriteria di atas, ia tidak akan memperoleh kebahagiaan dalam pemerintahannya. Sebaliknya, berbagai kendala dan hambatan akan meruntuhkan kekuasaannya.46
Tanda seorang yang berjaya dan dapat mengalahkan musuh ialah seorang raja yang fisiknya kuat, diamnya bermakna, pendapatnya selalu direnungkan dan dipertimbangkan dengan hati, bersikap rasional dalam pemerintahannya, hatinya mulia, dicintai rakyatnya, sayang terhadap para pegawainya, belajar dari sejarah, dan konsisten terhadap agama dan keputusannya. Setiap penguasa yang memiliki sifat-sifat di atas, dan direalisasikan dalam kenyataan, ia akan berwibawa dan ditakuti oleh semua musuh, dan tak seorang pun dapat menemukan peluang untuk mengkritik atau memakinya. Jika seorang raja memandang segala daya dan upayanya bergantung kepada kekuasaan Allah Yang Maha Kuasa, dia akan memperoleh kemenangan, kendati pun musuhnya kuat. Contohnya adalah kisah yang diabadikan oleh Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 249 :
Artinya : …."Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar."
Ada empat hal yang merupakan kewajiban para penguasa. Pertama, menjauhkan orang-orang bodoh dari pemerintahannya. Kedua, membangun
negeri, merekrut orang cerdas dan potensial. Ketiga, menghargai orang tua bijak. Keempat, melakukan uji coba dan meningkatkan kemajuan Negara dengan melakukan penertiban dan pembersihan terhadap segala tindakan kejahatan.
Seorang penguasa tidak dibenarkan menyerahkan jabatan menteri maupun jabatan penting lainnya kepada orang yang bukan ahlinya. Jika ia meyerahkan, maka ia telah menghancurkan pemerintahannya. Orang yang shiddiq ada tiga: para nabi, para raja, dan orang-orang yang gila (sakr). Sakr diartikan dengan gila, padahal yang sesungguhnya takut mabuk. Sebab mabuknya orang gila bersifat batin, sedangkan gilanya orang yang mabuk bersifat lahir. Celaka bagi orang yang selalu dalam keadaan mabuk dan lalai.47
Para kepala negara terdahulu membagi waktunya siang hari menjadi empat jadwal. Pertama, dipergunakan untuk kebaktian dan menyembah Allah. Kedua, dipergunakan untuk memberikan pelayanan kepada rakyat, memberikan perlindungan dan keadilan kepada orang-orang yang teraniaya, juga dipergunakan untuk berbincang-bincang dengan ulama dan kaum cerdik pandai, dipergunakan pula untuk mengatur segala hal yang berkaitan dengan siasat negara, seperti merealisasikan program dan pelbagai ketetapan pemerintah, menulis buku-buku, dan mengirimkan utusan diplomatik. Ketiga, dipergunakan untuk makan, minum, mencari bekal dunia, dan rekreasi. Keempat, dipergunakan untuk berolah raga, seperti main catur, bola, dan lainnya.
Aristoteles berpendapat, pengayoman Tuhan tertuang dalam 16 hal. Yaitu, akal, ilmu, kecerdasan dan ketajaman analisis, rupa yang sempurna, keahlian menunggang kuda, keberanian, kemajuan, sikap tenang, berbudi luhur, adil kepada orang yang lemah, cinta rakyat, kepemimpinan yang menonjol, ulet, disiplin, banyak ide, bisa mengatur segala macam persoalan, banyak membaca kisah-kisah kehidupan dan perjalanan para raja, dan meneliti sifat-sifat dan perbuatan yang menjadi pegangan para raja."49
Etika politik menuntut kepada pemegang kekuasaan, agar pemerintahan dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku (legalitas), disahkan secara demokratis dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar moral.
Ketiga tuntutan itu dapat kita sebut sebagai normatif atau etis karena berdasarkan keyakinan bahwa kekuasaan hanya sah secara etis dalam artian kekuasaan hanya sah apabila dijalankan sesuai dengan tiga tuntutan tersebut. Proses legitimasi etis menuntut ketaatan nyata dari pihak pemegang kekuasaan, maka sistem politik yang berdasarkan paham legitimasi etis kekuasaan mengembangkan berbagai pengontrol secara nyata menunjang tuntutan
legitimasi etis.
C. Kriteria Pemimpin Ideal Menurut Al-Ghazali
Sebuah hal yang lumrah ketika seseorang menjadi pemimpin atau kepala negara mempunyai suatu keinginan menguasai segala hal. Hal ini menurut al-Ghazali merupakan suatu penyakit dan harus segera diobati, karena ini akan menjadi ancaman bagi keamanan masyarakat dan negara, bahkan akan mengancam kedamaian dunia. Penyakit yang akan menghampiri para kepala
negara adalah nafsu ingin berkuasa. Hal ini timbul ketika dirinya (kepala negara) merasa maha kuasa.
Al-Ghazali membagi empat macam keinginan atau nafsu untuk berkuasa. Pertama, ingin kebesaran penaklukan, yaitu keinginan hendak menjadi besar dan menaklukkan, baik dengan ilmu pengetahuan maupun dengan kekuatan. Kedua, nafsu berkuasa, yaitu keinginan hendak menguasai dan menundukkan orang lain di bawah kekuasaannya. Ketiga, nafsu hak pengistimewaan. Suatu keinginan supaya dianggap dan mempunyai hak-hak istimewa di dalam segala hal. Keempat, adalah nafsu maha kuasa, yaitu berkeinginan untuk menguasai segalanya atau segalanya di bawah kekuasaannya.
Empat hal di atas menurut al-Ghazali adalah suatu ancaman yang akan menghampiri bagi moral para kepala negara atau pemegang kekuasaan yang berakibat menjadikan mereka otoriter dan totaliter. Seorang kepala negara akan maksimal dalam memimpin suatu pemerintahannya bila dibantu oleh menteri yang cerdas, jujur teguh dan dapat dipercaya dan pandai mengatur urusan negara, beserta saran yang telah diberikan oleh kepala negara. Seorang kepala negara dalam bekerja dengan para menterinya harus memperhatikan beberapa hal: Pertama, jika terlihat kesalahan dan kekhilafan dari sang menteri, maka ia tidak boleh langsung menindaknya. Kedua, jika sang kepala negara merasa puas dengan pelayanan yang diberikan sang menteri dan ia telah bekerja secara maksimal dalam pemerintahannya, maka harta dan kekayaannya tidak boleh diungkit-ungkit. Ketiga, jika ia mengajukan sebuah permohonan, maka sang kepala negara mesti segera memenuhinya, dan tidak boleh menunda-nundanya.
Ada tiga hal juga yang harus dicegah untuk para menteri. Pertama, jika menterinya senang melihat kepala negaranya, maka sang kepala negara tidak boleh melarangnya. Kedua, seorang kepala negara tidak boleh memperdengarkan kepada menterinya kata-kata yang dapat merusak. Ketiga, seorang kepala negara tidak boleh menyimpan rahasia kepada menterinya, karena menteri yang saleh dapat menjaga rahasia kepala negara, dan cakap dalam mengatur segala urusan negara, membangun wilayah, meningkatkan income dan keindahan negara, serta meningkatkan wibawa dan pengaruh.
Seorang kepala negara mesti menyadari bahwa kekalnya sebuah kekuasaan adalah karena menteri, sedangkan kekalnya dunia karena ada kepala negara. Ia juga tak selayaknya memberikan perhatian pada hal-hal di luar kebaikan. Ia menyadari bahwa suatu yang pertama sekali diperlukan manusia adalah pemimpin atau kepala negara.
Al-Ghazali menegaskan bahwa seorang kepala negara yang baik dalam proses kepemimpinannya harus lah berjalan mulus. Dalam kitab Al-Tibr al- Masbuk fi Nashihat al-Muluk dengan mengangkat dialog raja Bahram dengan rakyatnya. Raja Bahram pernah ditanya, "Berapa hal yang diperlukan seorang penguasa sehingga kepemimpinannya menjadi sempurna dan negara pun maju dan sejahtera?" Jawabnya, "Seorang penguasa memerlukan enam hal sebagai partner”.
Pertama, menteri yang soleh, agar sang raja dapat menjelaskan sesuatu yang rahasia. Kedua, merenungkan pendapatnya serta mengatur Negara bersamanya. Ketiga, Kuda yang bagus yang dapat menyelamatkannya dalam keadaan genting. Keempat, pedang yang tajam dan senjata yang ampuh.
Kelima, istri baik (cantik) yang dapat menyenangkan hatinya dan menghilangkan kesusahannya. Keenam, juru masak (koki) yang bijaksana ialah seorang yang jika memegang sesuatu ia dapat mengaturnya dengan baik. Dalam kitab ini al-Ghazali juga mengutip buku dari pesan-pesan Aristoteles "Segala persoalan yang diselesaikan melalui tangan orang lain tanpa kekerasan dan pertempuran, masih lebih baik dibanding persoalan dan dapat kamu selesaikan sendiri dengan kekerasan.50
Para menteri dalam menjalankan tugas mesti mengikuti urutan (tartib) pertimbangan berikut: Pertama, jika mereka memungkinkan melakukan perang bukan dengan senjata, tetapi dengan ide dan pemikiran, maka mereka mesti melakukan perang dalam bentuk ini. Kedua, jika mereka mengalami kesulitan dalam menangani pelbagai persoalan dengan khilafah dan pengaturan tertentu, maka mereka mesti mencari terobosan dan khilafah lain, misalnya, dengan memberikan dana (harta), kenang-kenangan, dan hadiah. Ketiga, jika seorang pasukan lari dari medan juang, maka mereka mesti memberi maaf kepada satuan perang tersebut. Mereka tidak boleh tergesa-gesa membunuh prajurit itu. Sebab melakukan pembunuhan terhadap orang hidup sangatlah mudah, sedang menghidupkan orang-orang yang sudah mati merupakan suatu kemustahilan. Dan manusia disebut manusia sesungguhnya, manakala ia telah mencapai usia 40 tahun. Dan dari setiap seratus orang akan ada seorang yang dapat memberikan pengkhidmatan kepada raja dengan baik. Keempat, jika
seorang pasukan perang tertawan tentara musuh, maka seorang menteri mesti menebus atau membelinya agar semua prajurit mendengar apa yang ia lakukan, sehingga mempertebal keberanian dan semangat juang mereka dalam bertempur. Ia harus pula memperhatikan kesejahteraan pasukan perang, dan setiap orang mesti dihargai sesuai dengan pangkat dan kadarnya.51
Seorang pemimpin (kepala Negara) memiliki tugas dan tanggung jawab yang berat dan mulia. Oleh karena itu seorang pemimpin (kepala Negara) menurut al-Ghazali harus memiliki kriteria-kriteria sebagai berikut:
1. Tanggung jawab. Hal yang harus diketahui oleh seorang pemimpin adalah batas dan kadar kekuasaan serta menyadari kemungkinan buruk kekuasaan untuk sesegera mungkin mengevaluasi.
2. Menerima pesan ulama. Seorang pimpinan mesti senang bergaul dengan para ulama' dan menerima nasehat mereka. Tapi ia perlu waspada akan ulama' alsu' (ulama' culas), yang hanya menginginkan kekayaan duniawi.
3.Berlaku baik kepada bawahan. Secara garis besar dapat dikemukakan di sini bahwa seorang pimpinan (kepala negara) yang punya minat dan tekad untuk menegakkan keadilan, ia mesti mengatur dan mengarahkan para petugas dan pegawainya kepada keadilan. Ia mesti menjaga mengawasi keadaan mereka, keluarga dan anak-anak mereka, juga rumah dan tempat kediaman. Namun pengawasan ini tidak akan efektif, kecuali sang pimpinan telah lebih dulu berlaku adil dan memelihara dirinya. Misalnya, tekanan emosi dan amarahnya
tidak mengalahkan rasionalitas dan agamanya. Demikian pula rasionalitas dan agamanya tidak tunduk kepada emosi dan amarahnya, akan tetapi emosi dan amarahnya tunduk pada rasio dan agama.
4.Rendah hati dan penyantun. Janganlah berhati takabur dan bersikap sombong. Kepala negara haruslah merasakan dirinya sama dengan para rakyat biasa di dalam segala hal.
5. Tidak mementingkan diri sendiri. Segala persoalan dan kejadian akan dilaporkan kepada anda. Menanggapi hal ini, anda mesti mengandaikan diri anda sebagai salah seorang rakyat biasa dan orang lain sebagai pemimpin anda. Segala hal yang tidak anda sukai untuk diri anda sendiri, maka ia juga tidak disukai oleh seorang pun dari kalangan umat islam. Jika anda menyukai sesuatu untuk mereka yang tidak anda sukai untuk anda sendiri, sungguh anda telah berkhianat dan menipu rakyat anda.
6. Loyalitas tinggi. Tidak sepatutnya baginda mencemooh orang-orang yang menunggu di depan pintu baginda untuk suatu keperluan. Waspadalah anda dari kemungkinan buruk ini. Jika seorang telah datang kepada anda untuk suatu kepentingan, maka janganlah anda menyibukkan diri dengan ibadah74 ibadah sunnah sebab memenuhi kebutuhan dan kepentingan umat islam jauh lebih utama dibanding ibadah sunnah.
7. Hidup sederhana. Seorang kepala negara harus dapat mengendalikan dorongan hawa nafsu seperti mengenakan pakaian mewah dan makanan yang lezat-lezat . Semesti bersikap qona’ah (menerima apa adanya) dalam segala hal. Karena tidak ada keadilan tanpa sifat qonaah.
8. Lemah lembut. Jauhilah sifat-sifat yang kasar dan keras, selama sifat lunak lembut dan bijaksana masih dapat di lakukan.
9. Cinta rakyat. Hendaklah kepala negra berusaha untuk membuat rakyat senang dan rela, sesuai dengan tuntutan dan kehendak agama. Nabi pernah bersabda kepada sahabatnya: "sebaik-baik umatku adalah orang-orang yang mencintaimu dan kau pun mencintai mereka. Dan seburuk-buruk umatku adalah orang-orang yang membenci kalian, dan kalian pun membenci mereka. Mereka mengutuk kalian dan kalian pun turut mengutuk mereka".
10. Tulus dan ikhlas. Setiap penguasa dilarang mencari kesenangan seseorang dengan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan agama. Sebab seseorang yang benci atau murka karena ada sesuatu yang berlawanan dengan syara', maka kemurkaannya tidak dipandang bahaya. Umar ibnu khattab pernah berkata, "suatu hari, hampir separuh penduduk berada dalam kebencian. Dan tentu saja orang yang dituntut untuk menyerahkan hak orang lain darinya akan murka, sementara dalam satu kasus tidak mungkin memenangkan kedua-duanya (kedua belah pihak yang sedang terlibat sengketa). Orang yang paling bodoh adalah orang yang meninggalkan ridha allah, hanya karena mencari ridha manusia”.52
Suatu hal yang luar biasa apa yang diidealkan oleh al-Ghazali dalam menata sistem pemerintahan, tampaklah bahwa segala bentuk corak kekuasaan mestinya bertumpu pada ajaran yang sangat fundamental, yaitu terwujudnya
keadilan selaras dengan kualitas moral yang baik bagi seorang pemimpinnya,
tetapi apakah adil dan moral pemimpin yang baik itu? Maka dikatakan bahwa; yang adil dan moral pemimpin yang baik itu kemuliaan agama, juga buat pemimpin dan kebijaksanaan sekalian manusia. Karena adil adalah hikmah dari Allah dan perbuatan adil dari penguasa adalah suatu hal yang didambakan oleh seluruh rakyatnya. Secara moral dan agama, legitimasi atau daulat kekuasaan ditentukan oleh perbuatan dan keinginan murni untuk menciptakan keadilan dari sang pemimpin. Tanpa adanya keadilan, maka secara moral keabsahan kekuasaan itu tidak ada. Yang ada hanyalah tirani.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, penulis menyimpulkan sebagai berikut:
1. Pemikiran Al-Ghazali tentang etika politik adalah etika politik yang harus didasari oleh aqidah Islam. Karenanya, antara moral dan politik merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Moral politik yang dimaksud adalah moral yang bersendikan atau didasarkan kepada agama atau doktrin yang diajarkan oleh agama Islam atau moralitas Islam yang mengajarkan bahwa setiap manusia harus dalam srtiap aktifitasnya harus berorientasi pada hubungan vertikal dan horizontal. Dalam konteks politik, hubungan vertikal seorang pemimpin atau penguasa harus mematuhi perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Sedangkan dalam hubungan horizontal seorang pemimpin atau penguasa bertanggungjawab atas rakyatnya, sehingga akan membawa masyarakat yang adil makmur dengan ditopang moral yang bersendikan agama.
2. Sumber kekuasaan menurut Al-Ghazali adalah dari Tuhan dan mendapatkan legitimasi (pengakuan) dari rakyat. Orang yang memegang kekuasaan harus menggunakan kekuasaan itu dalam rangka li maslahatil ‘ammah (demi kepentingan umat ).
[1] Faisal Ismail, Islam Idealitas Ilahiyyah dan Realitas Insaniyyah, Cet. ke-1 (Yogyakarta:
Tiara Wacana Group, 1999), hlm. 157.
2 Ibid., hlm.123-124
3 Ibid
4 Franz Magnis Suseno, Mencari Makna Kebangsaan, (Yogyakarta: Kanisius, 1998),
hlm. 181-183.
5 Ibid.
6 Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta: Kanisius, 1998),
hlm. 23.
7 Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 75.
8 Ibid, hal.76
9 J. Abdul Rojak. Politik Kenegaraan: Pemikiran Politik Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah.
(Surabaya: Bina Ilmu, 1999), hlm. 95.
10 Ibid, hal: 96
11 Hamit Enayat, Reaksi Politik Sunni dan Syi’i: Pemikiran Politik Modern Menghadapi
Abad Ke-XX, (Bandung: Pustaka, 1998), hlm.1.
12 Kamaruzzaman, Relasi Islam Dan Negara; Perspektif Modernis dan Fundmentalis,
(Magelang: IndonesiaTERA, 2001), hlm.28.
13 Miriam Budiharjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Cet.XX (Jakarta: PT.Gramedia, 1999),hlm.38.
14 Kamaruzzaman, Relasi Islam Dan Negara… hlm.28
16 Olaf Schumann, Dilema Islam Kontemporer antara Masyarakat Madani dan Negara
Islam, Vol.I No.2, (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm.59.
17 Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara… hlm.29
18 Azumardi Azra, Renaisans Islam…, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm.81.
19 Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara… hlm.30.
20 Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, terjemahan Ihsan al-Fauzi, (Jakarta: Gramedia,
1994), hlm.50.
21 Ibid., hlm.30.
22 Hamid Enayat, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah: Pemikiran Politik Islam Modern Menghadapi Abad Ke-20, terjemahan Asep Hikmat, (Bandung: Pustaka, 1988), hlm.9
23 Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Cet.V, (Jakarta: UI
Press, 1985), hlm.95.
24 Bernard Lewis, Bahasa… Op.cit., hlm.61.
25 H.Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara: ajaran, sejarah, dan pemikiran, Edisi V,(Jakarta: UI Press, 1993), hlm.21
26 M. Din Samsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, (Jakarta:
Logos, 2000), hlm.78.
27 Afif Mohammad, dalam: Islam dan Khilafah; Kritik terhadap Buku Khilafah dan
Pemerintahan Dalam Islam, terjemahan: Al-Islam wa al-Khalifah fi al-‘Ashar al-Hadist (Naqd Kitab
28 Ibid., hlm.170.
29 Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara… hlm.31.
30 Ibid., hlm.31
31 Ibid.
32 Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara: ajaran, sejarah, dan pemikiran, (Jakarta: UI
Press, 1993), hlm. 63-65.
33 Ibid., hlm.66.
34 Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara...., hlm.32.
35 Azra, Renaisans Islam..., hlm.90
36 A. Rahman Zainuddin. Kekuasaan dan Negara Pemikiran Politik Ibnu Khaldun,
(Jakarta: Gremedia, 1992), hlm. 103.
37 Meriam Budiarjo. "Konsep kekuasaan: tinjauan Kepustakaan,” dalam Meriam
Budiarjo (ed.), Aneka Pemikiran Tentang Kuasa Dan Wibawa (Jakarta: Sinar harapan, 1994), hlm. 9.
38 J. H Raper, Filsafat Politik, hlm. 86.
39 Imam Ghazali, Ihya ’Ulum al-Din, Juz 3, bab Damul Jah wa Riya’ , hlm. 268.
40 Imam Ghazali, Al-Tibr al-Masbuk fi Nashihat al-Mulu k, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), hlm. 43-44.
41 Kranenburg dan TK Sabaruddin, Ilmu Negara Umum, (Jakarta: Pradnya Paramita,1986), hlm. 9.
42 F. Isywara, Pengantar Ilmu Politik, (Bandung: Angkasa, 1982), hlm. 153
43 al-Ghazali, al-Iqtisad…, hlm. 106.
44 Al-Ghazali, Al-Tibr al-Masbuk fi Nasihat al-Muluk, hlm. 87-88.
45 Ibid., hlm. 85.
46 Ibid., hlm. 79-80.
47 Ibid., hlm. 74.
49 Ibid., hlm. 68.
50 Al-Ghazali, Al-Tibr al-Masbuk fi Nasihat al-Muluk, hlm. 176-177.
51 Al-Ghazali, Al-Tibr al-Masbuk fi Nasihat al-Muluk, hlm. 181.
52 Ibid., hlm. 173.
Tuti munfarida di 20.09
Berbagi

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
‹
›
Beranda
Lihat versi web
Mengenai Saya

Tuti munfarida

Sy adalah perempuan mandiri sejak balita, hobby mahabbah Ilahiyah & menulis ( puisi,cerpen, novel, ilmiah, profesi sy : Dosen & Da'i ( mengisi di momen PHBI,Peringatan HariNasional, hajatan, Diklat manajemen masjid/ MADIN/TPQ/ Rethorika dll ), selalu rangking 1 di kelas dari SD - PT, disiplin, obyektif, tegas, teguh memegang prinsip, tabah dan sabar ( Amin )
Lihat profil lengkapku
Diberdayakan oleh Blogger.